Sebelum ini saya telah shared video #1 yang diproduksi oleh NHK (Nippon Hoso Kyokai, Japan Broadcasting Corp.). Darinya kita tahu bahwa Covid-19 yang di Maret 2020 dinyatakan oleh WHO sebagai pandemi global terdeteksi memiliki akar lebih awal dari identifikasi waktu formal kapan bermulanya. Secara resmi Covid-19 dinyatakan bermula di akhir Desember 2019. Namun, kasus-kasus awal penyakit serupa pneumonia ini sudah terdeteksi lebih dini, bukan hanya di Wuhan China, tetapi bahkan di negara lain. Penyingkapan itu mestinya mencengangkan karena bisa berarti ada peluang terjadinya pengabaian yang telah berakibat buruk. Juga menarik adalah potensi sumber atau asal virus ini adalah bukan sepenuhnya natural yakni dari kelelawar berpindah ke manusia (zoonotic), dengan atau tanpa perantara seperti trenggiling. Tentang aspek ini, dari sumber-sumber lain, belakangan ini meninggi intensitas pemberitaan dan tekanan untuk memahami lebih jauh tentang kemungkinan kebocoran dari lab virologi Wuhan (lab leak theory). Spekulasi ini misalnya telah memunculkan masalah-masalah ikutan di seputar respon dan kebijakan lembaga-lembaga formal dan figur-figur publik, terutama di masa-masa awal Covid ini muncul, sehingga menempatkan orang penting seperti Anthony Fauci, Direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases dan kepala penasehat kesehatan Presiden Amerika, dalam posisi kritis hari-hari ini.
Ada sejumlah hal menarik lainnya dari kasus munculnya pandemi Covid-19. Bagi saya, dalam sebuah video memberi tambahan dimensi pelik pada wajah kepemimpinan, otoritas publik, serta institusi-institusi relevan, terutama dalam hal respon terhadap potensi masalah dari penyakit ini. Tampak ada pengabaian. Bukan hanya pengabaian, bahkan tampak ada upaya menutup-nutupi persoalan, dengan “biaya” besar berupa korban jiwa hingga hingga 3,7 juta orang di seluruh dunia. 137 juta orang sudah yang terinfeksi dan tidak sedikit yang menderita. Jika disebut penderitaan, yang tidak terinfeksi virus Covid-19 pun telah ikut menderita. Dengan situasi ini tidak boleh ada satu negara, apalagi negara sumber yakni China, merasa diri telah berhasil mengatasi Covid-19. China boleh saja kita sebut berhasil menekan dan mengendalikan penyebaran Covid-19. Namun, China harus sadar bahwa karena kegagalannya kendalikan di awal, penderitaan dunia yang harusnya bisa dihindari ternyata telah membawa biaya-biaya yang amat sangat besar. Jadi ada tanggung jawab total di China, bukan sekedar tanggung jawab moral. Video ini menyingkap, China cenderung tidak bertanggung jawab. Memblokir informasi seputar virus dan penyakit ini. Membungkam suara-suara kritis. Bahkan, mungkin lebih dari itu. Namun, tidak hanya China yang harus bertanggung jawab, tetapi kita semua. Tanggung jawab adalah esensi kepemimpinan. Karena itu pemimpin-pemimpin yang bagaimanapun telah diperhadapkan dengan Covid-19 harus pikul tanggung jawab melindungi warganya dari terjangan persoalan ini. Jika dari video ini kita melihat ada pengabaian, ada pengelabuan informasi, ada pembungkaman, mestinya para pemimpin bisa belajar dari kesalahan seperti itu dan tidak mengulanginya.
Dalam video ini menunjukkan adanya juga kebutuhan kerjasama antar negara, antar sektor, antar organisasi. Kegagalan bekerjasama antar negara antar organisasi di fase awal munculnya Covid-19 tampak telah ikut menyumbang pada keparahan persoalan ini, hingga saat ini. Ini juga tanggungjawab pemimpin. Kadang terobosan dilakukan pemimpin tertentu, termasuk dengan “menabrak pagar” sebagaimana dilakukan oleh peneliti Australia membuka ke publik kode genetik SARS-CoV2 di Januari 2020, sehingga “memaksa” pemimpin di China untuk segera mengirimkan kode itu ke WHO. Padahal gene sequencing itu telah dilakukan di Desember 2019. Penyingkapan kode genetik inilah yang memunculkan kerjasama-kerjasama pembuatan vaksin-vaksin Covid-19. Namun dalam urusan pengembangan vaksin, kita sebaliknya juga melihat adanya sisi gelap dalam bentuk distrust, rivalitas, bahkan pencarian untung belaka, yang menjadi wajah buruk penyerta penderitaan besar dalam pandemi ini. Ini juga menjadi pengalaman di dalam negeri Indonesia, misalnya terhadap solusi dendritic cell di vaksin nusantara. Mereka lupa bahwa dalam situasi yang tidak menentu sebagai karakteristik pandemi ini, paling tidak sampai saat ini, dukungan dan kerjasama lebih diperlukan daripada ciri-ciri bermasalah tadi. Di akhir video ini ada wajah kolaborasi antar organisasi, antar sektor, antar negara yang dilakukan oleh sebuah network. Ini hal baik. Ada inisiatif dari unsur-unsur masyarakat dunia, dari mereka yang merasa memiliki tanggung jawab dan mewujudnyatakan tanggung jawab itu. Pandemi ini memang tidak bisa direspon dengan sikap terbelah-belah. Namun, wajah dunia masih belum sesungguhnya menyatu dalam menghadapi persoalan dunia ini. Ini bisa terlihat misalnya program vaksinasi yang harusnya memunculkan wajah solidaritas dan keadilan, daripada wajah bersaing, berebutan, bahkan pakai manuver-manuver yang bisa dikatakan over hanya untuk membuat diri sendiri terlindungi, sedangkan masih banyak orang lain berada dalam risiko besar.
Tentu masih ada banyak hal muncul dari dan dalam pandemi Covid-19, apalagi pandemi ini belum ada tanda-tanda akan berakhir segera. Semua hal itu hendaknya menjadi bahan belajar, bagi para pemimpin, apalagi pemegang otoritas publik. Pandemi ini telah meluluhlantakkan insitusi-institusi dan itu menunjukkan kerapuhan mereka berhadapan dengan a new, unexpected danger. Bahaya-bahaya besar seperti pandemi Covid-19 masih akan datang dalam bentuk-bentuk lain. Sekalipun dapat dipastikan akan beda karakteristik antara bahaya-bahaya baru itu dari pandemi Covid-19 ini, namun mari kita belajar dari peristiwa besar ini dengan sebaik-baiknya. It has taught us many things, and would still teach us some other things. Pandemi Covid-19 adalah guru yang amat sangat mahal. Karena itu, belajarlah darinya.
Tulisan ini ditulis dan di-share 5 Juni 2021 oleh Neil S. Rupidara diaplikasi Facebook.