Presentasi Dr.Simon P.L.Tjahjadi pada sesi 4 kursus Epistemologi dan Metodologi UKSW 2022 (1/4/22) termasuk berat tetapi juga sangat penting. Persoalnnya, melalui proyek filsafat kritis, Kant mendaku telah mensintesa pertentangan rasionalisme dan emperisme. Kalau rasionalisme mendahulukan rasio sebagai sumber pengetahuan, sebaliknya emperisme menegasi rasio dan mengusung pengalaman. Bagi rasionalisme, pengalaman hanya menegaskan pengetahuan yang sudah “tertanam” di rasio. Sebuah pohon yang kita lihat dan pegang (alami) menegaskan “pohon ide” yang telah ada sebagai ide bawaan (rasio murni). Ini khas Platonian, yaitu substansi mendahului materi. Sementara, bagi emperisme kita terlebih dahulu mengalami “pohon indrawi” barulah rasio mengabtraskinya sebagai pohon ide. Ringkasnya, dari pohon indrawilah lahir kondepsi/ide pohon. Ini sangat Aristotelian, yaitu materi mendahului substansi.
Meski demikian, keduanya sama-sama tidak memberi kepastian pengetahuan, persis karena masing-masing berdiri di “titik ekstrim” yang berbeda. Setidaknya, itulah (antaralain) argumen Kant. Lalu, apakah Kant benar-benar menghasilkan sebuah sintesa parmanen? Bagaimana Kant mencapai sintesa itu?
Berbeda dengan para filsuf sebelumnya, Kant memulai epistemologinya dengan menyelidiki “kapasitas manusia dalam hal mengetahui.” Tentu saja, dimaksud adalah kapasitas rasio. Tetapi, secara proses (praktis) pengetahuan dimulai dari pengalaman (induksi). Dengan terlebih dahulu menyelediki kapasitas manusia, filsafat kritis Kant memetakan sampai di mana batas-batas kemampuan mengetahui, apa saja yang dimungkinkan untuk diketahui dan apa yang tidak bisa diketahui, persis karena kapasitas untuk itu tidak ada. Katakanlah manusia tidak dibekali fitur untuk mengetahui jenis pengetahuan tertentu.
Seperti menggunakan sebuah HP keluaran tahun 1990-an, kita tidak dapat mengakses internet dan bermedia sosial. Bukan karena internet dan media sosial tidak eksis, melainkan karena default dari device yang digunakan tidak memiliki fitur-fitur yang memungkinkannya mengakses.
Proyek epistemologi Kant dibahas dalam karyanya “Kritik der reinen Vernunft” atau Critiques of Pure Reason (1781). Disini kapasitas mengetahui dipaparkan. Tanpa kapasitas (fitur-fitur) yang memungkinkan pengetahuan, manusia tidak dapat mengetahui. Itulah sebabnya kritisime menganjurkan penyelidikan dimulai dari kemungkinan-kemunginan pengetahuan, dan bukan dari pengalaman atau obyek indrawi. Kant lalu memetakan tiga level pengetahuan, yang tersurat dalam pernyataan ini:
“All our knowledge begins with THE SENSES, procceds them to the UNDERSTANDING, and ends with REASON. There is nothing higher than REASON,” seperti dikutib Dr. Tjahjadi dalam Critiques of Pure Reason. Dari pernyataan di atas, secara eksplisit memuat ketiga level pengetahuan, yaitu senses, understanding dan, sebagai yang tertinggi adalah reason.
Ketika memandang dari ketinggian puncak Merbabu, Anda melihat persawahan dan lahan pertanian yang tertata indah. Pepohonan dan bunga-bungaan, gemerlap kota di kejauhan, dan bentangan Rawa Pening dengan sebagian besarnya tertutup enceng gondok. Juga, aktifitas-aktifitas penduduk di lahan pertanian. Semua itu barulah data pengalaman, yang secara serentak diproses oleh rasio murni (kategori apriori), khususnya ruang waktu. Dengan kategori ruang waktu Anda mengatribusi hasil pencerapan indrawi dari puncak Merbabu sebagai lahan yang luas, lebar, pepohonan tinggi, rendah, tanaman baru (muda), tanaman tua, dan sebagainya. Inilah pengetahuan level I, yaitu SENSES atau tahap pencerapan indrawi (Sinneswahrnehmung). Senses atau pengalaman adalah data-data indrawi plus ruang-waktu.
Sebelum dilanjutkan, perlu disadari dua hal disini. Pertama; bahwa sejak mula di level senses sudah terdapat “kerjasama antara rasio dan pengalaman.” Jadi, bukan rasio atau pengalaman yang mendahului, melainkan kerjasama keduanya berlangsung secara serentak. Rasio murni memungkinkan manusia memaknai pengalaman pengamatan. Kedua; kausalitas yang ditolak David Hume karena dianggap bersifat metafisik lantaran berada diluar pengamatan indrawi, oleh Kant diposisikan sebagai rasio murni atau ide bawaan, yaitu sebagai modalitas yang membantu memproses pengetahuan.
Data dari senses (pengetahuan level I) ditata oleh kategori apriori, terutama ruang waktu. Bagi Kant, ruang waktu bukanlah entitas diluar subyek, melainkan “default” manusia yang membantunya menata pengetahuan. Selain ruang waktu, terdapat 12 kategori apriori (rasio murni non pengalaman), antara lain kausalitas, keindahan (beautifulness), quantity dan quality. Dengan ke-12 kategori apriori yang merupakan struktur internal pengamat atau default, Anda dimungkinkan memaknai pengalaman pengamatan sebagai pohon-pohon, lahan persawahan, petak-petak sayur mayur dengan atribusi ruang waktu yaitu panjang, lebar, luas, tinggi-rendah, tua-muda, baru-lama dan sebagainya. Atribusi keindahan untuk nilai estetik seperti pemandangan yang indah, bunga-bungaan yang indah, tertata dan sebagainya. Kategori kualitas dan kuantitas tentang jumlah (banyak-sedikit) dan mutu tanaman atau lahan. Sementara, kategori kausalitas memungkinkan Anda menjelaskan relasi antara penanganan (manejemen) pertanian dengan hasilnya, perawatan dan penataan dengan keindahan, dan sebagainya.
Semuanya merupakan rasio murni yang membantu menata dan memaknai pengalaman indrawi serta memproses pengetahuan. Inilah level II dari pengetahuan, yaitu understanding atau pencerapan akal budi (Verstand). Cobalah bayangkan, bagaimana pengetahuan dimungkinkan tanpa peran rasio murni, yaitu kategori-kategori apriori di atas?
Sebuah problem pada emperisme terselesaikan di sini. Kalau pada skeptisme David Hume, si A yang meninggal karena ditembak dengan pistol oleh si B tidak dapat dikatakan A meninggal oleh sebab tembakan senjata api (melainkan meninggal setelah ada tembakan), pada filsafat kritis Kant telah menjadi jelas. Kausalitas memang bukan obyek pengamatan (di luar pengamat), melainkan modalitas apriori (bagian integral atau kekeran atau default pengamat/subyek) yang berguna menginterpretasi pengalaman. Hubungan kausalitas A dan B bukan sebagai hasil pengamatan, melainkna hasil kerja rasio murni setelah memproses data pengamatan. Disini kepastian diperoleh, sebab yang diproses bukan pengalaman (yang tidak dapat memberikan kepastian itu) melainkan rasio murni. Melalui rasio murni sebagai “wadah atau fasilitas memasak pengalaman menjadi pengetahuan,” tersedia dasar-dasar kokoh bagi pengetahuan.
Semua pengetahuan yang dihasilkan di level II dilihat dalam cakupan yang lebih luas, saling terkoneksi dan menyeluruh. Ini fungsi regulative yang menjadi bobotan pengetahuan level III sebagai level tertinggi dari pengetahuan, yaitu reason. Namun, perlu dicatat bahwa reason disini berbeda dari makna frasa itu dalam bahasa Inggris. Pada Kant, reason yang dimaksud adalah intelek / intellect (Latin) atau nous (Yunani) atau vernunft (Jerman), yang oleh Dr. Simon P.L.Tjahjadi diterjemahkan sebagai budi. Itulah yang tertinggi dari pengetahuan.
Hakikat akal-budi (reason/nous) itu melampaui nalar. Ia bukan anti-nalar, melainkan beyond nalar atau rasio. Ia juga merupakan kapasitas dan hasilnya adalah kebijaksanaan.
Reason atau intelek menata (fungsi regulator) pengetahuan karena ditopang oleh tiga ide bawaan, yaitu ide dunia, ide jiwa dan ide Tuhan. Ide dunia disebut oleh Dr.S.P.L.Tjahjadi sebagai folder penyimpan data, ide jiwa sebagai folder untuk perasaan, estetika, etika dan sejenisnya, dan ide Tuhan sebagai super folder yang menata segalanya. Bagaimana peran Tuhan? Bila emperisme Hume menolak tuhan dan semua atribut metafisika, maka kritisisme Kant menempatkan Tuhan sebagai fungsi regulator. Sebagai ide regulatif, Tuhan adalah penata pengetahuan yang karenanya tidak dapat menjadi obyek pengetahuan, obyek pengamatan atau obyek indrawi. Itu sebabnya, tujuan pengetahuan atau level pengetahuan tertinggi pada akhirnya adalah intelek atau “kepekaan” budi, dimana semua bentuk pengetahaun telah dirangkum sehingga membentuk sikap bijak/wisdom. Kita tentu ingat piramida pengetahuan Russel Ackoff, dimana pengetahuan berawal dari Data ke Informasi ke Pengetahuan dan tertinggi Wisdom (DIKW pyramide).
Bagaimana memahami keberadaan Tuhan? Menurut Kant, Tuhan berada dalam suara hati. Itulah sebabnya, hati nurani dapat memberi kepastian sebab ia tidak tergantung pada apa pun diluarnya. Bila kita tergoda akan melakukan sebuah kejahatan, hatinurani tanpa tedeng aling menegur / mengingatkan kita dengan keras. Artinya ia tidak tergantung pada kita dan seakan memiliki otoritas yang kuat. Ia juga tidak tergantung pada orang tua kita, pastor/pendeta atau ulama kita, dan sebagainya. Ia memiliki kewibawaan independen dalam melakukan fungsi regulator. Dengan kata lain, Tuhan tidak dapat diketahui melalui rasio murni melainkan rasio praktis, yaitu hatinurani.
Anda menangkap sedikit keganjilan, bukan? Bagaimana ide Tuhan tiba-tiba muncul dan berperan sangat penting yaitu sebagai regulator pengetahuan, namun Ia tidak dapat diketahui? Bukankah mengasumsikan Tuhan sebagai regulator telah mengandaikan “bentuk pengetahuan” atas-Nya?
Meski mendaku mensintesa pertentangan Rasionalisme (tesa) dan Emperisme (antitesa), filsafat kritis Kant berakhir di sebuah simpang baru yang menandai keterbelahan. Darinya lahir idealisme Jerman (dikenal juga sebagai transendetalisme atau spiritualisme) dengan Hegel sebagai arsitek utama, dan Positivisme Prancis dimana August Comte sebagai tokohnya. Idealisme kembali mempertegas peran “ide/Tuhan/Roh” dalam proses pengetahuan, sementara Positivisme mengamputasi unsur-unsur metafisika Kant dan mengusung kembali peranan emperia (pengalaman) dengan standar keterukuran yang lebih ketat. Sains abad 19 telah beroperasi dengan epistemologi positivisme dan melibatkan banyak tokoh selain Comte, yakni Karl Popper, John Stuart Mill (kemudian mengembangkan aliran Utilitarianisme), Ĕmile Durkheim, Ludwig Wittgenstein, Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer.
Untuk menonton aktivitas kursus secara lengkap dapat dinonton dalam video berikut: