CINA PUNYA MODEL PENDIDIKAN SAINS & SENI LIBERAL, APA YANG BISA KITA PELAJARI? (1)

Melanjutkan pembahasan buku “Experiences in Liberal Arts and Science Education from America, Europe, and Asia A Dialogue across Continents” di postingan saya sebelumnya (15 Januari 2022), pada kesempatan ini saya ingin fokus di chapter 2 yang khusus membahas pendidikan liberal arts di Cina. Lantaran terdapat kemiripan konteks, saya asumsikan Indonesia bisa banyak belajar dari Cina.

Misalnya soal perbedaan budaya (dengan Eropa dan Amerika tempat pendidikan liberal modern berkembang dan berasal), perbedaan ideologi politik, dan dalam hal ini, bagaimana nilai-nilai kultural dan pengetahuan khas Cina yang telah teruji dan lestari selama ribuan tahun itu diramu sebagai bahan dasar mendisain sendiri “model pendidikan liberal arts-nya.” Apa yang membuatnya berhasil, dan pada akhirnya apakah juga terkait dengan revolusi sains dan teknologi di Cina yang berkembang begitu cepat dan pesat sehingga membuat “iri” negara lain, termasuk Amerika.

Menunjuk kesamaan konteks di atas, saya berpendapat bahwa Indoensia perlu belajar dari Cina, dengan asumsi kita akan mengadopsi model pendidikan liberal arts. Ada sejumlah indikasi yang meyakinkan saya bahwa Indonesia sedang dalam proses itu. Dihilangkannya sistem penjurusan di SLTA (IPA/IPS dan Bahasa) merupakan salahsatu indikasi. Sebelumnya, telah dihilangkan sistem ujian nasional (exam meritocracy) digantikan dengan “asesmen kompetensi” (talent meritocracy??). Lainnya adalah konsep Belajar Merdeka Kampus Merdeka (BMKM), yang setidaknya secara konsep mengatribusi wawasan liberal education. Indikasi terkahir yang ingin saya sebut adalah kecenderungan yang kuat negara-negara besar di Asia mengadopsi model liberal, selain Cina (termasuk Hong Kong), yaitu Jepang, India, Taiwan, dan Korea Selatan. Kita tahu bahwa Hong Kong dan India sebelumnya lebih berorientasi ke Inggris yang “menganut pendidikan spesifik/ keahlian” namun juga sudah mengadopsi liberal arts.

Dengan fokus pada chapter 2, saya tidak seperti biasanya sekadar membuat ringkasan bab melainkan juga mencoba membahasnya. Pembahasan saya mendasarkan pada “kesamaan konteks” kedua negara, dan menggunakan “data” strategi Cina mengelolanya, lalu mengidentifikasi isu-isu penting apa yang bisa kita pelajari untuk membangun pendidikan liberal arts di Indonesia, lebih khusus apa yang telah dan mungkin bisa dilakukan oleh UKSW.

Chapter ini ditulis oleh Gerard Postiglione, dan dijuduli “China’s Search for Its Liberal Arts and Sciences Model.” Postiglione adalah Ketua Profesor Pendidikan Tinggi dan Wakil Dekan untuk Penelitian di Fakultas Pendidikan, Universitas Hong Kong. Dengan memperkenalkannya, saya ingin mengatakan bahwa Postiglione tidak saja ahli pendidikan liberal arts, melainkan juga “orang dalam” yang menulis apa yang merupakan bidang kepakaran profesionalnya.

Postiglione memperkenalkan tokoh kunci (meski bukan satu-satunya dan bukan yang pertama) dibalik masuknya pendidikan liberal arts ke Cina (melalui Hong Kong), yaitu Woo Chia Wei. Wei adalah Profesor Fisika, tamatan Amerika (Georgetown College dan Washington University), dan menjadi pendiri sekaligus presiden pertama Hong Kong University of Science and Technology (HKUST) yang berdiri 1991. Sebelum ke Hong Kong ia telah berkarier di sejumlah universitas Amerika, seperti San Francisco State University, Northwestern University, dan University of California San Diego. Bahkan, tahun 1983 ketika masih berusia 45 tahun Wei terpilih menjadi President of San Fransisco State University.

Woo Chia Wei menunjukkan keunggulan seni liberal dalam pendidikan sarjana Amerika dan menerapkannya di HKUST. Dengan demikian HKUST menjadi katalis dalam transisi universitas gaya Inggris Hong Kong dari program studi tiga tahun yang sangat terspesialisasi menjadi program yang diperluas (general/seni liberal) untuk gelar sarjana. Kurikulum inti seni liberal dan ilmu pengetahuan ditambahkan sehingga semua siswa wajib mengambilnya terlepas dari spesialisasi mereka. Terobosan ini lalu menarik minat universitas-universitas di Cina daratan karena dianggap sebagai contoh seni liberal Barat yang diintegrasikan ke dalam universitas-universitas di Cina.

Kurikulum inti umum (liberal arts) HKUST terdiri dari empat bidang penyelidikan, yaitu Teknologi dan Literasi Ilmiah, Humaniora, Isu Global, dan China: Budaya, Negara, dan Masyarakat. Secara umum kurikulum ini bertujuan mengembangkan pemikiran kritis, kemampuan mengatasi situasi baru, keterampilan komunikasi dan kolaborasi, antar budaya pemahaman dan kewarganegaraan global, dan kepemimpinan dan advokasi untuk perbaikan kondisi manusia. Sementara sasaran spesifiknya adalah untuk memungkinkan siswa mengembangkan perspektif yang lebih luas dan pemahaman kritis tentang hubungan kompleks antara masalah dalam kehidupan sehari-hari; menumbuhkan kemampuan siswa untuk menavigasi persamaan dan perbedaan antara budaya mereka sendiri dengan budaya lain; untuk memungkinkan siswa berpartisipasi penuh sebagai individu dan warga negara dalam komunitas global, regional, dan lokal; dan untuk memungkinkan keterampilan intelektual, kolaboratif, dan komunikasi yang akan lebih ditingkatkan dalam studi disiplin siswa, dan, pada gilirannya, berkontribusi pada kualitas hidup mereka setelah lulus (Universitas Hong Kong 2015).

Sejak awal Cina telah menunjukkan minat pada pendidikan, dan orientasinya ke Amerika. Tetapi intensitasnya makin menguat pasca Revolusi 1949 yang menandai berkuasanya Partai Komunis di Cina. Minat awal pada tradisi pendidikan seni liberal ini tidak saja sebagai subjek penelitian tetapi juga sebagai “metode,” lantaran diyakini akan dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dengan cara-cara inovatif.

Postiglione mengutip Vogel yang menceritakan kisah panggilan telepon dari Presiden Deng Xiaoping kepada Presiden Jimmy Carter di suatu pagi buta (pukul 3:00 pagi (waktu Washington) di tahun 1978. Deng menginginkan persetujuan untuk mengirim segera ratusan orang Cina belajar di universitas-universitas Amerika, dan akan diikuti ribuan dalam beberapa tahun berikutnya. Dibawah kepemimpinan Deng Xiaoping telah dicanangkan bahwa Cina perlu memiliki ribuan ilmuwan berbakat bertaraf dunia. Deng yakin bahwa reformasi ekonomi Cina dan keterbukaan terhadap dunia luar mengharuskan penyiapan ilmuwan kelas dunia.

Sasaran besar dibaliknya adalah bahwa Cina ingin mendiversifikasi sistem pendidikan tingginya, membangun universitas kelas dunia, memperkuat ekonomi pengetahuannya, dan mengambil peran yang lebih besar dalam pendidikan tinggi internasional. Ini sebuah visi besar yang terlihat ambisius.

Postiglione menyaksikan bahwa dua puluh tahun setelah telpon Deng kepada Carter itu, komitmen Cina pada visi pendidikan makin konkrit. Tahun 1998 di Aula Besar Rakyat ia menghadiri pidato Presiden Jiang Zemin yang menegaskan tujuan Cina adalah untuk mendirikan universitas-universitas kelas dunia. Itu berarti membutuhkan identifikasi institusi tingkat atas dan paket dukungan finansial besar untuk memperkuat infrastruktur dan kapasitas akademik. Hanya dua tahun sejak pidato itu, Postiglione mengamati investasi besar-besaran dalam infrastruktur universitas, konsolidasi institusi dan perluasan pendaftaran, perombakan manajemen sains dan teknologi, reformasi pengajaran universitas, pengenalan lebih banyak buku teks asing, dan seruan untuk memperbaiki preferensi sains berbasis seni liberal.

Di tahap ini, persoalan dasar yang dicoba dijawab juga adalah, bagaimana tradisi budaya asli Tiongkok ikut membentuk model pendidikan tinggi yang khas? Pada saat yang sama, Cina ingin membawa universitas-universitasnya go global dan memposisikannya di deretan universitas terbaik baik dunia!

Cina paham bahwa kemampuan universitas Amerika menarik dan menghasilkan terobosan ilmiah dan kemajuan teknologi terkait dengan penekanan pada kreativitas, inovasi, dan kewirausahaan. Qian Xuesen, bapak ilmu roket Tiongkok ketika itu mengingatkan bahwa universitas-universitas di Cina gagal mendorong kreativitas, keluasan multidisiplin, dan pemikiran inovatif, yang justru menjadi kebutuhan Cina. Juga, bahwa pencapaian seperti itu di universitas-universitas Amerika tidak akan mungkin terjadi tanpa otonomi institusional dan kebebasan akademik. Meskipun nampaknya bukan sifat sistem universitas Cina untuk menetapkan itu sebagai prioritas utama, jelas ada pengakuan bahwa reformasi signifikan sangat diperlukan. Baik mantan Perdana Menteri Zhu Rongji maupun Wen Jiabao mengakui daya saing ekonomi Cina bergantung pada pengembangan pemikiran yang lebih kreatif dan mandiri.

Berhadapan dengan visi besar memajukan pendidikan Cina, bahkan target Cina menjadi pemimpin dunia di bidang sains dan teknologi di tahun 2035, ideologi Marxisme (terutama Komunisme yang secara umum diopinikan “tertutup”), semangat go global dan nilai budaya Konfusianisme yang kental, bagaimana Cina membangun model pendidikannya? Apalagi, jelas model yang dipilihnya adalah pendidikan liberal arts, padahal ia juga berhadapan dengan tantangan menginovasi semua strategi membangun riset teknologi masa depan yang futuristik?

Pertanyaan-pertanyaan di atas akan saya jawab di tulisan berikut, namun saya ingin merumuskan sejumlah poin penting yang telah dibahas, yang menurut saya diperlukan, sebelum kita masuk ke isu pentingnya yaitu, “bagaimana Cina menciptakan model Pendidikan liberalnya?”

Pertama; terdapat visi besar untuk membangun ekonomi Cina dan berpartisipasi dalam kepemimpinan global, dimulai dengan reformasi pendidikan. Visi ini disadari hanya bisa terelasisasi melalui jenis pendidikan yang dapat mendorong kerativitas dan inovasi untuk menciptakan teknologi tinggi dan mengembangkan pengetahuan.

Kedua; untuk mendukung poin pertama di atas perlu dibangun infrastruktur Pendidikan secara masif, mulai dari reformasi struktur, alokasi pendanaan, pengiriman mahasiswa untuk kuliah di luar negeri (terutama Amerika dan Eropa).

Ketiga; secara politik terdapat konsitensi dan sustainabilitas meski terjadi pergantian presiden. Bahkan sejak era sebelumnya, berlanjut setelah Revolusi 1949, dibawah pemerintahan Partai Komunis visi untuk memajukan negara Cina melalui Pendidikan tetap konsiten. Setiap presiden melanjutkan capaian presiden sebelumnya sehingga secara konsisten dan terukur capaian-capaian mudah dievaluasi dan terus dikembangkan.

Tulisan ini ditulis dan di-share 2 Februari 2022 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/real.self.9

Webinar: Pendidikan Berbasis Liberal Arts

Pada tanggal 23 Oktober 2020 pukul 17.00-19.00 WIB telah dilangsungkan webinar melalui aplikasi Zoom Clouds meeting dan chanel Youtube UKSW. Webinar tersebut mengangkat topik “Pendidikan berbasis liberal arts”. Dengan menghadirkan pembicara, yakni : 1) Dr. Iwan Setiawan (Permbatu Rektor 1 UKSW); 2) Dr. Titik Susilowati Prabawa (Dekan Fakultas Inter Disipliner UKSW); 3) Dr. Agastya Rama Listya (Dosen Progdi Seni musik FBS UKSW); 4) Ricky Arnold Nggili (peneliti Pusat Pengembangan Pemikiran Kritis UKSW). Keempat pembicara ini memaparkan peluang liberal arts sebagai sebuah pendekatan yang relevan dalam pendidikan di era saat ini. Dari pengalaman yang diamati oleh Dr. Iwan Setiawan menyajikan implementasi Liberal Arts di universitas-universitas besar dunia. Dr. Titik Susilowati Prabawa menjelaskan tentang interdisipliner dan interkoneksi antar berbagai disiplin ilmu, dalam memahami realitas dan pengetahuan. Dr. Agastya Rama Listya memaparkan bahwa UKSW secara filosofis telah mendasarkan pendidikannya pada Liberal Arts, dan Liberal Arts mempengaruhi kehidupan warga kampus di UKSW. Ricky Arnold Nggili menjelaskan bahwa dengan Liberal Arts, pemikiran kritis akan semakin terasah, karena ada dialektika ilmiah yang berfokus pada kebenaran ilmu pengertahuan.    Dalam sessi diskusi, Liberal Arts sebagai metode membebaskan para civitas akademika dari penjajahan administrasi pendidikan sangat diperlukan. Untuk itu perlu sebuah sistem pendidikan yang lebih mengedepankan proses pencaharian kebenaran dan dialektika antar disiplin ilmu. Dengan demikian akan melahirkan inteletual-intelektual yang bertanggung jawab dan penuh inisiatif dalam mencari solusi dalam mengatasi masalah tiap zaman.   Pertanyaan paling menantang keingintahuan terkait penerapan Liberal Arts (LA) adalah, mengapa negara-negara Asia yang langganan mendapat rangking tinggi dalam even-even olimpiade sains tidak menghasilkan ilmuwan, wirausahawan, penemu, pencipta, dan pebisnis kreatif di dunia? Mengapa mereka tidak memiliki semacam google, facebook, apple, Silicon Valley, Bill Gates, Mark Zuckerberg, Warren Buffett, dan lainnya? Mengapa siswa Amerika, Swedia, Israel yang jarang menempati rangking terbaik di PISA (Program for International Student Assessment), justru menciptakan perusahaan-perusahaan inovatif, memiliki sumberdaya manusia kreatif, langganan penerima Nobel, penemu dan pembuat terobosoan-terobosan? Ambil saja contoh di PISA 2018 (dipublis 2019), rangking pertama hingga keempat dikuasai negara-negara Asia, berturut-turut China, Singapore, Makau, dan Hong Kong (Amerika urutan ke-13). Diselenggarakan sejak tahun 2000 secara tiga tahunan, Amerika tidak pernah menempati rangking 10 besar. PISA “menguji” sistem pendidikan dari berbagai negara dalam tiga bidang, yaitu literasi matematika, sains dan literasi baca.   Jack Ma menyimpulkan persoalannya terletak pada sistem pendidikan yang hanya menekankan pada pedagogi dan pengajaran dalam kelas. Namun, gagal dalam hal “menumbuhkan budaya dan kecerdasan emosional anak, yakni dengan memberikan pengalaman bermain (menikmati kesenangan) dan bereksperimen.” Ditekankannya juga bahwa pendidikan yang mengenalkan budaya sendiri serta mendorong pembelajaran di luar kelas sebagai cara menanamkan daya inovasi dan kreativitas. Dan, hal itu tidak dilakukan dalam pendidikan China. Penjelasan dari mantan Menteri Pendidikan dan menteri senior Singapura, Tharman Shanmugaratnam juga sangat membantu memahami duduk soalnya. Menurutnya, baik Amerika maupun Singapura menerapkan sistem meritokrasi. Hanya saja, Amerika menggunakan meritokrasi bakat (talent meritocracy) sementara Singapura meritokrasi ujian (exam meritocracy). Dalam exam meritocracy ada elemen-elemen kunci yang tidak dapat diuji dengan baik, yaitu kreativitas, keingintahuan, rasa petualangan, dan ambisi. Lain dari itu, Amerika memiliki budaya belajar yang menantang kearifan konvensional, sementara Singapura tidak memilikinya. Jawaban ini, kiranya mewakili “wajah pendidikan Asia,” meski saya tidak cukup tega menyandingkan sistem pendidikan Indonesia dengan China dan Singapura!   Dalam karya Fared Zakaria mempresentasikan hasil-hasil riset, pengamatan yang subtil dan eksplorasi pengalaman berbagai universitas dan pemimpin dunia terkait pendidikan Liberal Arts. Banyak contoh diambil dari Yale-NUS College di Singapura, yang disebutnya sebagai “yang terbaik di dunia” lantaran mengkolaborasikan dua world view timur dan barat. Saya mencoba membuat intisari dan catatan dari hasil mencerna gagasan dari karya yang menjadi bestseller di New York Times ini. Sejumlah informasi penting dari buku ini saya gunakan untuk menegaskan tujuan dari tulisan ini, yaitu “Mengapa perlu Liberal Arts.”    Pendidikan pada awalnya bersifat fungsional semata, berupa latihan-latihan untuk kepentingan survival, seperti mengasah keterampilan memanah, berperang, bertani, berburuh,bertarung dan sebagainya. Barulah di era Socrates (470 – 399 BC) pendidikan diorientasikan untuk mencari kebenaran dan keutamaan hidup (arête). Murid-muridnya, Platon dan Aristoteles meneruskan ajaran sang guru. Socrates hidup di saat sistem demokrasi sedang di puncak kejayaannya karena sudah sejak abad ke-5 Yunani telah bereksperimen dengan sistem pemerintahan polis itu. Pendidikan dengan sendirinya perlu disesuaikan sebab tidak lagi cukup hanya memiliki keterampilan hidup, melainkan perlu mencakup upaya pemberdayaan agar masyarakat ikut mengelola polis. Kaum Sofis yang seangkatan dengan Socrates perlu dicatat memiliki kontribusi besar dalam upaya pemberdayaan dan literasi politik warga, yang berkontribusi mendorong kemerdekaan berekspresi dalam kehidupan demokrasi polis, terlepas dari “ajaran sesatnya” yang membuatnya beroposisi dengan Socrates. Hubungan antara pendidikan dengan kebebasan atau kemerdekaan menjadi kebutuhan. Kelak, dibawah emperium Romawi model ini dirumuskan sebagai pendidikan liberal karena menunjuk pendidikan bagi orang merdeka. Demokrasi mengandaikan manusia-manusia bebas agar dapat leluasa memberi kontribusi bagi kemajuan polis.    Isocrates (436–338 BC), seorang orator ulung dan penulis di era itu mendukung pencarian arête ala Socrates, namun bersama pengikutnya juga percaya bahwa orang dapat mencapai kebajikan sekaligus mencari nafkah dengan mempelajari seni retorika, bahasa, dan moralitas. Disinilah dualitas dalam pendidikan menjadi lebih nyata, yaitu disatu sisi ditujukan untuk mencari kebenaran hakiki, tetapi disisi lain memenuhi kebutuhan materil untuk hidup. Kelak Cicero (Marcus Tullius Cicero) yang hidup di abad pertama Masehi (106 BC-43 M) dicatat dalam sejarah sebagai orang pertama yang menggunakan istilah artes liberales. Frasa itu digunakan karena ia ingin menggabungkan antara pencarian kebenaran dengan retorika, yang dianggapnya sebagai keterampilan yang sangat berguna). Pada abad pertama inilah pendidikan dengan pendekatan dualistik diformalkan, yang dirangkum menjadi apa yang kemudian dikenal sebagai “tujuh liberal arts,” dimana kurikulum dikelompokkan menjadi sains dan humaniora, teroretis dan praktis, filosofis dan praxis.   Di abad pertengahan yang berlangsung antara 400-an hingga 1400-an Masehi, dibawah dominasi para ulama, pendulum pendidikan lebih fokus kepada kebenaran teologis, sehingga pemikiran-pemikiran teoretis-filosofis meredub. Akal takluk dibawah otoritas teologi. Pencarian kebenaran selalu dalam kaitan dengan kebenaran teologis, dan semakin ke ujung upaya harmonisasi antara kebenaran agama dan akal mengemuka. Melalui pemikiran, misalnya Albertus Magnus (yang dijuluki Doktor Magnus dan Doktor Universalis), Ibnu Rushyd, Don Scotus, Thomas Aquinos dan lainnya, terlihat kebenaran teologis dan kebenaran akal mengalami kalibrasi. Pendidikan formal atau universitas muncul di era Scolastik, diawali dari Universitas Al-Karaouine di Maroko (859 Masehi), Al Azhar di Mesir (970), Universitas Bologna di Italia (1088), Universitas Paris (1096), lalu Oxford (1096) dan Cambridge (1209) di Inggris. Meski pendidikan tinggi ini mengajarkan filsafat, teologi, kedokteran, hukum dan lainnya, namun teologi jelas mendominasi. Kebenaran-kebenaran lain adalah dalam rangka mendukung kebenaran teologi.    Abad ke-14 di Italia terbit fajar renaissance yang menandai beakhirnya malam panjang abad kegelapan (pertengahan). Timbangan formula pendidikan mengalami tekanan baru. Ada kesadaran bahwa pendidikan universitas telah sangat terspesialisasi. Para cendikiawan dan penulis ingin mengembalikan pendidikan gaya Eropa ke akarnya pada kebudayaan Yunani dan Romawi. Mereka ingin ‘membersihkan’ pendidikan dari jejak Scolastik yang terlalu memberi tekanan pada teologi (kristen), lalu menggantikannya dengan filsafat, seni, sastra dan sejarah klasik. Ini menandai kebangkitan kembali humanisme yang kemudian mewarnai pendidikan dan bahkan kebudayaan Eropa. Dengan kata lain, renaisance telah mengembalikan pendidikan ke akarnya, yaitu artes liberales.    Perguruan tinggi residensial kemudian menjadi model karena diyakini memiliki “kualitas plus” dalam upaya meningkatkan pengalaman pendidikan liberal di luar kurikulum. Bermula dari Inggris lalu menyebar ke seluruh Eropa, kemudian ke Amerika. Gambarannya, bangunan dengan halaman terbuka di tengahnya dan asrama mahasiswa di sekitarnya. Terdapat aula tempat para siswa bertemu untuk kegiatan bersama, ada kapel untuk beribadat dan doa, lalu perpustakaan tempat membaca. Di negeri paman Sam, Harvard dan Yale misalnya, paling pertama mengadopsi model residensial. Jadi, kampus berasrama dimaksudkan agar mengkondisikan optimalsasi pembelajaran pendidikan tinggi dengan pendekatan liberal arts. Bahkan, Yale-NUS yang baru berdiri 2013 pun memilih menggunakan model residensial yang sudah ditinggalkan di banyak universitas perintis liberal arts.    Di pertengahan abad ke-17 industrialisasi mengguncang Eropa, dimulai di Inggris. Sektor kerja dan sektor nafkah mengalami revolusi yang memberi dampak berskala luas. Kebutuhan mengelola mesin industri sangat kuat memutar orientasi pendidikan, yang dampaknya terasakan hingga hari ini. Dalam sejarah, salah satu tonggak penting yang dirujuk adalah ketika ditengah gempuran teknologi dan perkembangan ekonomi di awal abad ke-18, universitas Yale mengeluarkan laporan 1828 yang intinya mempertahankan model pendidikan liberal. Laporan Yale menjelaskan inti pendidikan liberal sebagai: “tidak mengajarkan sesuatu yang khas pada salah satu profesi; melainkan meletakkan dasar yang sama bagi semua profesi.” Dalam ungkapan lain yang popular saat itu, “liberal arts melatih pikiran untuk berpikir, dan bukan mengisi pikiran dengan konten tertentu saja.”   Awal abad ke-20 banyak imigran memasuki Amerika. Gelombang imigran yang terus berdatangan ini menciptakan kekhawatiran di sejumlah kalangan, terutama cendikiawan dan tentu saja politisi. Nilai-nilai Amerika dikhawatirkan terancam luntur. Tahun 1920 John Erskine, seorang profesor bahasa Inggris dari universitas Colombia disebut sebagai yang pertamakali menawarkan kursus dua tahun yang disebut General Honors. Tujuan Erskine adalah ”membekali kaum muda dari latar belakang yang berbeda dengan budaya yang sama, sesuatu yang menurutnya sudah tipis di Amerika Serikat,” dan menurutnya cara terbaik untuk menjadi benar-benar terpelajar adalah dengan membenamkan diri mahasiwa dalam karya-karya besar di masa lalu.    Tekanan LA adalah pada kemampuan berpikir. Tetapi, harus juga disadari bahwa untuk mengaktifkan kegiatan berpikir Anda perlu lakukan dengan menulis. Aktivitas menulis akan mengaktivasi pemikiran, dan terlatih dalam menulis akan membuat Anda terlatih dalam berpikir. Disamping menulis, berbicara (berorasi dan berdiskusi), atau lebih tepatnya kemampuan memberikan penjelasan tentang hasil-hasil eksperimen ilmiah, dan meneliti merupakan cara simultan mengaktifkan pemikiran. Kegiatan-kegiatan seminar dengan demikian penting karena dengan itu mahasiswa belajar membaca, membedah, menganalisis, dan menyimpulkan, yang hasilnya lalu ditulis dan didiskusikan atau dipresentasikan. Di era serba digital ini, kemampuan berbicara menjadi faktor kunci dalam ekspresi diri, baik untuk kepentingan pekerjaan maupun kepentingan pengembangan diri. Kekuatan ketiga dari LA menurut Zakaria adalah mengajari mahasiswa cara belajar. Dengan semua aktivitas di atas, mahasiswa terlatih dan terbiasakan dengan kultur belajar yang kemudian menjadi gaya hidup.    Sebuah analogi dari Thomas Cech, ahli kimia pemenang Nobel dan lulusan Liberal Arts klasik dari Grinnell College mungkin membantu. Dianalogikan sebagai jenis olahraga, seorang atlet melakukan latihan yang tidak terkait bidang permainanya saja. Demikian juga mahasiswa perlu mempelajari bidang diluar fokus akademiknya. “Pelatihan silang dapat melatih kelompok otot utama lebih efektif daripada menghabiskan jumlah waktu yang sama untuk berolahraga dalam olahraga yang diminati,” tulis Cech.    Zakaria sebagai alumni Yale dan pendukung program buku ini banyak menjadikan Yale-NUS sebagai model. Asal tahu saja, tahun 2011 Yale dan NUS bekerja sama membangun sebuah universitas berbasis Liberal Arts berlokasi di Singapura. Kolaborasi pengalaman ke dua universitas adalah juga kolaborasi kultur barat dan timur, menjadikan Yale-NUS sebagai model pendidikan LA yang paling maju. Alasannya, selain kolaborasi dua kultur, juga Yale-NUS memasukan “filsafat dan sastra timur” dalam kurikulum. Dibuka pada tahun ajaran 2013, mahasiswa angkatan pertama datang dari 26 negara berjumlah 157 orang. Keunggulannya tentu saja bukan hanya karena telah mengkolaborasikan dua pandangan dunia (world views), tetapi juga kolaborasi kompleks antara para pakar berbeda keahlian, pengalaman, dan mengakomodasi konteks multikulturalisme dalam kurikulum. Model ini membuat Yale-NUS paling siap menghadapi tantangan abad 21.    Di India, Ashoka University dan Nalanda University telah membuka kelas Liberal Arts mulai tahun 2014, juga Universitas Azim Premji dan Mahindra United World College. Kurikulumnya mengangkat kembali warisan kuno filsafat, sastra, sains, dan etika India, tetapi dalam bentuk seni dan sains liberal modern. Di Jepang Universitas Tokyo telah mendahului membuka Liberal Arts di tahun 2004, diikuti Universitas Waseda.    Amerika mungkin contoh yang bagus soal penerapan Liberal Arts. Dalam berbagai kompetisi internasional dan PISA, capaian para siswa Amerika mengecewakan. Rangking-rangking terbaik didominasi mahasiswa Asia. Namun, dalam hal inovasi Amerika tidak terkalahkan. Silicon Valley adalah sebuah ikon inovasi dunia. Israel dan Swedia juga termasuk memiliki daya inovasi tinggi, namun, seperti Amerika keduanya tidak mencetak rangking dalam PISA. Beberapa ciri menonjol, di ketiga negara tersebut budaya kerja tidak hierarkis menekankan pada meritokrasi (prestasi), terutama tentu saja talent meritocracy, bukan exam meritocracy (exam-dominated curricula ) seperti di Asia. Ciri lain terletak pada sifat masyarakatnya yang percaya diri, terbuka, dan mudah menerima ide-ide baru yang menantang.    Jika Thomas Jefferson, pendiri Virginia University yang berbasis LA menyebut tujuan LA adalah menjamin berlangsungnya demokrasi, maka Benjamin Franklin merumuskannya secara lebih umum, yaitu sebagai “jalan menuju pelayanan umat manusia.” Baik Jefferson maupun Franklim mantan presiden Amerika bertolak dari asumsi yang berbeda, namun relevansinya masih sesuai hingga hari ini. Mentalitas pasar telah membentuk budaya transaksional yang menggeser demokrasi. Bahkan di lembaga-lembaga yang berfungsi merawat dan menjalankan demorasi terjebak dalam proses-proses politik berbasiskan transaksi kepentingan. Dan, dunia pendidikan tidak pernah didisain untuk menciptakan masyarakat demokratis, sebailknya melayani kebutuhan pasar. Disini visi pendidikan liberal arts Jefferson membantu kita merawat keberlanjutan budaya demokrasi, sebelum dimutilasi dan dikuburkan oleh budaya pasar yang sangat ekspansif. Sudut pandang Franklin melihat kecenderungan memudarnya semangat kolektif dan solidaritas kemanusiaan. Dunia yang semakin kering solidaritas membutuhkan sistem pendidikan yang mengkultivasi jiwa pelayanan. Dan, kedua visi tersebut menjadi roh dari pendidikan liberal arts.    Bagi yang masih ragukan kontribusi LA terhadap keahlian spesifik ada baiknya belajar dari eksperimen Dr.Irwin Braverman dari the Yale Medical School. Ketika tahun 1998 dia mengajar mahasiswa kedokteran ia menemukan bahwa kekuatan observasi dan diagnosis mereka lemah. Solusi barunya adalah membawa mereka ke galeri seni. Bekerja sama dengan Linda Friedlander, kurator dari Yale Center for British Art merancang tutorial visual untuk seratus mahasiswa. Mahasiswa diminta meneliti lukisan, memaksa mereka membongkar lapisan-lapisan detail dan makna dalam sebuah karya seni yang baik. Braverman temukan mahasiswa menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik dalam diagnosis setelah mengambil kelas itu. Keberhasilan tersebut lalu diikuti dua puluh sekolah kedokteran lainnya.    Data lainnya yang sangat meyakinkan, tahun 2013 American Association of Colleges and Universities mempublikasikan survei yang menunjukkan bahwa 74 persen pemberi kerja akan merekomendasikan pendidikan liberal kepada mahasiswa sebagai cara terbaik untuk mempersiapkan ekonomi global saat ini. Mantan CEO Seagram Company Edgar Bronfman memberi satu nasihat kepada mahasiswa yang ingin sukses dalam bisnis: “dapatkan gelar seni liberal. Menurut pengalaman saya, gelar seni liberal adalah faktor terpenting dalam membentuk individu menjadi orang yang menarik dan tertarik yang dapat menentukan jalannya sendiri di masa depan.” Almarhum Steve Jobs dan Mark Zukerberg juga akan memberikan nasehat yang mirip, mengingat di latar sukses mereka ditopang oleh kompetensi liberal arts yang kental.    Dalam rancangan mengadopsi pendidikan LA, ada baiknya mempertimbangkan nasehat Drew G.Faust, wanita pertama yang menjadi presiden Universitas Harvard (ke-28), bahwa pendidikan liberal harus memberi orang keterampilan “yang akan membantu mereka bersiap untuk pekerjaan keenam, bukan pekerjaan pertama mereka.” Sarjana LA sulit mendapatkan pekerjaan pertama lantaran pasar kerja belum memiliki formula untuk formasi itu. Apa yang dilakukan di Stanford mungkin perlu ditiru, yaitu memanfaatkan jaringan alumni untuk memberikan kesempatan kerja pertama. Pekerjaan pertama biasanya menjadi pembuktian, bahwa sarjana LA memiliki daya adaptasi dan inovasi yang “tahn uji di berbagai medan,” dan secara konsiten dapat memberikan kontribusi positif dalam berbagai perubahan situasi. Perlu dicatat, bahwa nampaknya judul buku “In Defense of a Liberal Education” menggambarkan semacam kegalauan intelektual penulis melihat kecenderungan dukungan terhadap pendidikan LA di Eropa dan Amerika mulai menurun. Secara umum, kebijakan keuangan negara lebih berpihak kepada pendidikan vokasi/kejuruan karena dianggap dapat memberikan hasil nyata dan terukur. Tetapi, juga tidak sedikit praktisi pendidikan, cendikiawan, pengusaha, juga universitas yang dengan gigih ingin tetap mempertahankan LA. Termasuk Yale, yang dengan cerdas dan bijak berkolaborasi dengan NUS membangun Yale-NUS College. Pendidikan berbasis LA juga mulai dikembangkan oleh perguruan tinggi di negara-negara Asia, seperti Singapura, Jepang, Korea, India, Filipina, Taiwan, dan lainnya.    Komentar Michael S. Roth, presiden Wesleyan University yang menghadiri pembukaan kampus liberal arts Yale-NUS sebagaimana ditulisnya dalam artikel berjudul “American Liberal Education Is Happening in Singapore” di The Atlantic (16/10/2015). Roth menyebut Yale-NUS College sebagai “like a timely rain.” Roth sendiri mengutip Pericles Lewis, pendiri dan presiden Yale-NUS dalam sambutannya di acara pembukaan itu. Frasa itu juga dikutip Lewis dari filsuf Confucian, Mencius yang menjelaskan “kekuatan pendidikan yang mentransformasi” sebagai “like a timely rain,” hujan yang turun sebelum waktunya. Rantai kebajikan itu sendiri sangat khas artes liberales (dalam ungkapan filsuf Yunani klasik, Cicero).    Apakah di Indonesia kita akan segera mentransformasi sistem pendidikan kita? Apakah konsep “Kampus Merdeka” hendak menavigasi sistem pendidikan, sekurangnya pendidikan tinggi di Indonesia untuk terlibat menciptakan “hujan sebelum waktunya,” atau hanya merdeka dalam mengkampanyekannya, namun tetap terbelenggu dalam labirin kerumitan birokrasi yang memerosotkan pendidikan kita? Setidaknya, untuk menemukan model terbaik, adalah bijak bila pemerintah membuka ruang seluas-luasnya bagi masing-masing Perguruan Tinggi untuk menerjemahkan konsep yang khas liberal arts itu. Dengan demikian, kita akan mendapatkan banyak model dengan corak-corak yang unik sebagai awal untuk memenemukan model pendidikan “yang khas Indonesia.”

Survei: Kesadaran Kritis 83% sebagai Modal Transformasi Kelembagaan

Survei dilakukan terhadap Dosen peserta dikusi filsafat taman, “Pendidikan yang Membebaskan ala Paulo Freire,” 17 Januari 2020. Survei diikuti oleh 31 peserta  terdiri dari 23 dosen dan 8 mahasiswa (S1, S2 dan S3).   Hasil survei menunjukkan bahwa 83% responden telah berada di level Kesadaran Kritis. Lainnya tersebar dengan prosentase yang sangat kecil, yaitu Kesadaran Intransitif 9%,  Kesadaran Magis 4% dan Kesadaran Fanatik 4%.   Survei ini tidak dimaksudkan mengevaluasi kondisi “pendidikan yang menindas” seperti kritik Freire, melainkan dimodifikasi untuk melihat potensi transformasi kelembagaan di UKSW. 

  • Kesadaran Kritis. 83% yang berada pada level kesadaran kritis merupakan modal besar untuk memulia terobosan. Mereka yang berada pada level ini memiliki  ciri antara lain menyadari adanya masalah yang sedang dihadapi. Mereka dengan sadar memilih fokus pada upaya mencari solusi dan secara proaktif (dengan inisiatif sendiri) melibatkan diri membuat terobosan atau sekurangnya memiliki intensi membuka ruang dialog untuk menginisiasi perubahan. Dalam bahasanya Paulo Freire, mereka aktif mencari solusi untuk keluar dari masalah atau terlepas dari ‘rantai penindasan.’ Dengan kata lain, orientasi dari kelompok ini adalah  MEMUTUS RANTAI PENINDASAN MENUJU PEMBEBASAN. Oleh Freire mereka disebut sebagai “transformers of that world.
  •  “Kesadaran” Intransitive (pra kesadaran) sebesar 9%.  Ini level pra sadar, dimana orang belum memiliki kesadaran akan situasi organisasi. Mereka hanya fokus pada hal-hal yang bersifat materi seperti gaji, tunjangan dan insentif lainnya yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan material. Orang-orang pada level kesadaran ini belum bisa diajak terlibat dalam upaya mentransformasi organisasi, namun bisa dicerahkan atau disadarkan akan kondisi organisasi.
  • Kesadaran Magis 4%. Pada level kesadaran ini orang bersikap pasrah.  “Memang nasib saya sudah begini, sudah takdir tuhan.”  Freire menyebutnya sebagai mitos inferioritas alamiah, yang berciri deterministik dan fatalistik. Orang sadar akan keadaan sebenarnya, namun tidak tahu apa yang perlu dilakukan. Tipe ini akan mudah dimanfaatkan oleh kaum penindas yang beorientasi melestarikan ‘penindasan’ demi kekuasaan. Merupakan kesadaran level terbawah. Orientasinya: PASRAH PADA KEADAAN.
  • Kesadaran Fanatik 4%.   Kelompok ini mengerti ada masalah, ada sistem yang tidak beres, namun alih-alih mencari solusi justru ia mencari penindas baru untuk mengganti penguasa  agar balik menindas. Yang terjadi hanyalah mengganti penindas, sementara struktur dan sistem penindasan tetap lestari.  Kesadaran di level ini sangat berbahaya, karenanya Freire menyebutnya dengan “destructive fanaticism”  atau  “a sensation of total collapse of their world.”  Orientasi: MERAWAT PENINDASAN.

Kesimpulan: survei ini tidak representatif karena hanya dilakukan di sebuah kelas diskusi.  Namun, setidaknya dapat memberi gambaran, bahwa UKSW punya modal dan potensi untuk melakukan transformasi kelembagaan.  Untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat dan signifikan survei  perlu dikembangkan ke berbagai unit (fakultas/progdi dan unit-unit lainnya). 

Pendidikan yang memerdekakan ala Bahruddin

Berpikir kritis harus dimulai dari merdeka dalam belajar. Banyak anak-anak disekitar kita mengalami keterjajahan dalam belajar. Bahkan hingga kaus kaki pun dibuat sedemikian rupa agar seragam, menurut Bahruddin (penggagas komunitas belajar Qaryah Tayyibah dan assesor BAN PAUD/NNF).

Anak-anak tidak akan muncul nalar kreatif dan inovatifnya, apabila terus menerapkan pola pendidikan gaya “bank,” seperti yang hingga saat ini diterapkan dibanyak sekolah-sekolah formal. Pendidikan gaya “bank” akan membuat anak-anak terus menabung pengetahuan yang ditransfer dari guru, dan pada akhirnya mereka hanya akan mencairkan pengetahuan tersebut saat Ujian Nasional. Realitasnya dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak tidak menggunakan pengetahuan yang didapatkan dari sekolah. Dengan demikian gaya “bank” tidak menjawab kebutuhan masyarakat, namun membebani anak-anak dengan standar yang terlampau tinggi.

Bahrudin saat menyampaikan materinya di Forum Diskusi Filsafat UKSW pada tanggal 17 Januari 2020 pukul 14.00-18.00, dengan santai mengatakan bahwa untuk mendidik anak menjadi pintar tidak perlu guru yang punya banyak pengetahuan. Namun lebih butuh guru yang siap ngayomin anak tersebut. Guru harus menjadi teman anak diskusi, dan bermain, sehingga kreatifitas anak muncul.

Dalam diskusi yang digagas oleh Pusat Pengembangan Pemikiran Kritis (P3K) dan Pusat Pengajaran & Pembelajaran Inovatif (P3I), dan bertempat di Gedung Administrasi Pusat (GAP) UKSW, Bahruddin mengingatkan kembali bahwa pendidikan yang membebaskan membutuhkan kemampuan investigasi realitas disekitar lingkungan anak. Dengan melakukan investigasi realitas, maka pembelajaran akan lebih menyenangkan dan mengoptimalkan kinerja otak sang anak.

DIskusi yang dihadiri sekitar 30-an peserta yang terdiri dari dosen dan mahasiswa pasca sarjana ini, diakhiri dengan sessi tanya jawab yang memunculkan banyak ide untuk menerapkan pendidikan yang memerdekakan disekitar kita. Bahruddin telah berhasil dengan komunitas belajar Qaryah Tayyibah untuk menjadi sumber inspirasi pendidikan yang memerdekakan di Indonesia. Sudah saatnya nalar kritis bebas dengan pola pendidikan yang membebaskan.