Epistemologi Filsafat Yunani

Menarik, bahwa Dr.Julius Ranimpi mempertanyakan, mengapa berbicara epistemologi selalu dari Barat? Dan, lebih-lebih lagi Yunani? Apakah filsafat timur tidak punya “epsitemologi?” Atau pertanyaan pak Wahyu, mengapa “episteme” di Yunani berkembang bersamaan juga dengan mekarnya mitologi, seni pentas, sastra dan lainnya—yang secara substantif bertentangan? Penanya lain mengkonfirmasi, apa sumbangan filsafat Yunani pada metode peneiltian sosial atau humaniora? Saya sendiri juga merenungkan, ketika sains (dalam versi Richard Dawkins, baik dalam karyanya The Magic Reality maupun dalam berbagai debat publik), ngotot bahwa sains berhak masuk ke manapun, termasuk “dunia etika,” “dunia seni,” “dunia teologi,” dan apapun, dengan sensor standar ilmiahnya, bagaimana epistemologi menjelaskannya. Apakah seni dan teologi memiliki (memerlukan) epistemologi?

Demikian secuil gambaran dinamika diskusi pada Sesi-1 dari 10 Sesi yang dirancang dalam kursus “Epistemologi dan Metodologi” 2022 bagi dosen-dosen UKSW. Selain dosen, juga mahasiswa-mahasiswa Pascasarjana di lingkungan UKSW dan sejumlah alumni ikut menjadi peserta dan berpartisipasi dalam diskusi.

Meski menggunakan pertanyaan-pertanyaan di atas sebagai pembuka tulisan ini, saya tidak maksudkan menyimpulkan jawaban-jawaban Dr.Setyo Wibowo, karena memang tidak semua pertanyaan tersebut tercakup dalam materi pembahasan. Secara teknis filsafat Yunani mengawali aktifitas “episteme” (mengupayakan penjelasan rasional atas realitas dan pengalaman manusia), namun secara konseptual kata episteme (dan espitemologi) barulah muncul di masa-masa setelah revolusi sains.

Revolusi sains sendiri secara umum dipahami dimulai di penghujung renaisans (abad 16) hingga abad ke-18. Ketika itu, sains telah berkembang pesat dan meninggalkan (mengingkari) “induk semangnya” yaitu filsafat. Maka, episteme menjadi “cara kerja ilmiah,” meski secara historis merupakan “cara kerja filsafat.”

Pada Sessi 1 ini mengambil topik “Epistemologi Filsafat Yunani,” dengan pemateri Dr. A. Setyo Wibowo. Para peserta yang hadir dalam sessi 1 ini berjumlah 98 orang, yang terdiri dari para akademisi.

Epistemologi (Dr.Setyo Wibowo secara longgar menyamakannya dengan filsafat ilmu) dalam pembidangan filsafat disebut filsafat pengetahuan, untuk membedakannya dari fillsafat ada (ontologi) dan filsafat nilai yang mencakup etika dan estetika. Penyamaannya dengan filsafat ilmu bisa dipahami, sebab “longgar” yang dimaksud Wibowo adalah “kajian mengenai hakikat pengetahuan manusia (atau ilmu).” Episteme itu sendiri memang berarti pengetahuan, dan kajian filsafat ilmu persis terkait perihal bagaimana cara kerja sains, bagaimana pengetahuan diperoleh, apa arti mengetahui, dan sejenisnya. Dalam cakupan pengertian ini episteme adalah filsafat tentang sains.

Perbedaan pengetahuan dan ilmu nampaknya adalah, bahwa pengetahuan masih bersifat “common,” belum teruji, belum terstandarisasi. Sementara ilmu merupakan bentuk pegetahuan yang telah teruji, diperoleh dengan menggunakan seperangkat metode ketat dan alat uji yang standard untuk memastikan daya obyektif, daya-periksa-ulang, keterbukaan validatif, dan kebolehan difalsifikasi. Dalam pengertian ini, para filsuf Yunani Kuno telah memiliki pengetahuan (berpengathuan) tetapi (mungkin) berlum berilmu?

“Operasi” epesteme oleh para pemikir awal Yunani Kuno (phusikoi/filsuf alam) meski menentang mitos, tidaklah memusuhinya. Bahkan, kebanyakan orang Yunani tetap menghidupi mitos dalam pengertian pikiran mereka diekspresikan melalui mitos dan puisi. Platon sendiri fasih menggunakan mitos sebagai instrumen penting untuk menjelaskan buah pemikirannya. Bahkan, Andrew Gregory (Eureka! The Birth of Science), seperti diacu Dr.Wibowo mencatat bahwa sains (episteme) sebenarnya diawali dengan mitos. Hasil-hasil observasi dalam ilmu perbintangan yang meninggalkan banyak catatan tentang kalender kuno, seperti dicapai bangsa Babilonia misalnya, meski punya persisi namun mereka tidak menjelaskan faktor “why” dan “how” sebagai ciri episteme. Sebaliknya, justru dihubungkan dengan mitologi dan diekspresikan dalam bahasa-bahasa sastrawi/puisi.

Itulah sebabnya penting untuk dipahami perbedaan tegas antara mitos dan sains. Mitos tidak membawa perubahan, sedangkan sains memicu banyak perubahan atau kemajuan. Mitos tidak memerlukan pengujian dan verifikasi, berkebalikan dengan sains. Mitos tidak mensyaratkan standar, konsistensi, obyektifitas, dan sejenisnya. Sementara sains mensyaratkan bahkan mewajibkannya. Lebih dari itu, kebenaran sains mensyaratkan perdebatan dan dialektika yang memungkinkan sebuah teori digugurkan oleh teori lainnya, lalu gugur lagi dan lagi. Sains selalu ada dalam bara api pengujian untuk menemukan “kebenaran sejati.” Mitos tidak berintensi dengan hakikat kebenaran.

Jejak-jejak buah pemikiran para filsuf Yunani Kuno meninggalkan jejak dan pewarisan yang terbawa hingga hari ini. Teorema Thales tentang “sudut siku-siku” dan teorema Pytagoras (persamaan Pytagoras) misalnya, tidak hanya memberi dasar bagi matematika melainkan juga geometri. Atau pemikiran Parmenides dan Herakleitos tentang sifat realitas, apakah tetap (stabil) atau berubah-ubah. Buah pikir Solon tentang sistem demokrasi sejak abad 7 SM yang diikuti Kleisthenes di abad 6 SM menjadi “model” pemerintahan ideal hingga hari ini. Artinya, para filsuf mula-mula ini telah menghasilkan “buah pengetahuan” yang sedemikian standar sehingga teruji melampaui batas-batas region dan melintasi ujian waktu ribuan tahun.

Masih ada warisan pengetahuan lainnya dari pemikiran Yunani Kuno yang masih menantang para saintis. Misalnya prinsip like-to-like (like-to-like principle) dari Platon, yang menurut Andrew Gregory merupakan permulaan dari argumen intelligent design. Gregory menukil tulisan Platon dalam karyanya Timaiois, dimana ia berkisah tentang ‘a skilled craftsman, a Demiourgos,’ dan menjelaskan “keillahian ini demikian terampil sehingga ia bisa memproduksi sebuah kosmos dari chaos yang ada.” Oposisi dari intelligent design juga sudah ada di era ini, yang percaya bahwa kosmos dan segala sesuatu ada begitu saja, seperti apa adanya, dan tidak ada sesuatu dibaliknya.

Itulah antara lain warisan agung yang mengagumkan dari filsafat Yunani. Ketekunan dan kontemplasi filosofis para filsuf mula-mula yang menghidupkan “cahaya episteme” melawan “penjelasan buta” mitos telah mampu mencapai puncak yang bisa dikatakan belum terlampaui hingga hari ini. Berbagai varian “teori pengetahuan,” baik dari yang beraliran monisme (realitas dibentuk oleh prinsip tunggal), dualisme maupun pluralisme telah mampu membuat kategori realitas yang masih berpengaruh hingga hari ini. Yakni, kategori realitas fisik dan non fisik, bahkan nihilisme Grogias (483 SM). Pengetahuan modern tidak melampaui kategori ini, kecuali bahwa telah mampu memberikan penjelasan detil yang lebih persisi, membuat model yang canggih dan memudahkan pemahaman, dan sebagainya. Andrew Gregory dalam karyanya Eureka! The Birth of Science (2001:4-5) menegaskan, “Many of their ideas, such as atomism, are still alive and well, and many of the principles laid down by the Greeks for understanding and investigating the universe are still valid today.

Ini tidak mengherankan. Penjelasan tertinggi tentang realitas fisika hingga hari ini memang, adalah atom, yang sudah diteorikan Demokritus di abad 5 SM. Sains modern berhasil membuat model, yang pada level inti atom terdapat proton dan netron yang “dikitari loncatan pijar” elektron. Ini menyisahkan banyak ruang kosong karena jarak “garis edar” jauh dari inti (nukleos). Kalau inti “realitas fisik” ternyata menunjukkan lebih banyak ruang hampa, dan bahkan proton dan elektron sendiri kenyatannya bukanlah “berwujud materi,” maka tidakah mudah dipahami hal ini membawa sejumlah ilmuan cenderung mengafirmasi nihilisme Gorgias? (karyanya berjudul “Tentang yang Tidak Ada atau tentang Alam”). Pun, alam luas yang kita pandang, baik dengan mata telanjang maupun dengan teropong tercanggih membahwa para saintis berkesimpulan bahwa materi teramati hanya kurang dari 5%, sisanya “kosong,” terdiri dan materi dan energi gelap (“gelap” dimaksudkan adalah tak teramati, mungkin sebagai ungkapan lain untuk “kosong/hampa?).

Di abad pertengahan, “aliran” realitas idea (non fisik/metafisika atau idealisme) mendominasi tafsir pengetahuan, mengalahkan realitas fisika yang dianggap “fana.” Munculnya revolusi sains menandai turun takhtanya idealisme/spiritualisme. Sains modern bekerja dalam asumsi naturalistik, dimana realitas hanyalah yang berwujud dan bisa disensor oleh indera manusia. Meski kerja keras sains ingin “membunuh” metafisika dalam ambisi membangun scientism society (sejenis positivisme Comte-ian atau seperti yang dikampanyekan secara agresif oleh the New Atheism) nampak tidak banyak memberi hasil, dominasi fisika tidak dapat disangkal.

Maka, pertanyaan kritisnya, sebagaimana di alinea pembuka, apakah epistemologi hanya bekerja dalam sains naturalistik/fisika? Dapatkah ia beroperasi dalam lanskap seni, teologi, neurosains, konfusiuisme, dan sejenisnya? Meski secara serampangan oleh sejumlah kalangan saintis filsafat dimasukkan dalam kategori metafisika, nyata bahwa “episteme” merupakan cara kerja filsafat tidak dapat ditutup-tutupi. Dengan demikian, epistemologi tetap sebagai pembidangan filsafat, sementara sains bekerja dengan “epistemologi level teknis” yaitu metode ilmiah, sebuah “tata cara” untuk mengidentifikasi, mengkategorisasi dan menakar-kuantifikasi realitas. Namun, dalam kategori episteme sebagai kata-kerja (nomina), ia dioperasikan baik oleh sains maupun filsafat, juga (mungkin) jenis pengetahuan lainnya.

Tidak hanya sebatas itu “daya jangkau dan daya pukau” epistemologi filsafat Yunani Kuno. Kenyataannya ia telah membuat kajian komprehensif tentang Kosmologi, Antropologi, Teologi, Psikologi, Etika, Politik, Matematika, Fisika dan Logika. Itulah alasan mengapa ia diakui sebagai mater scientiae (mother of sciences), induk dari semua ilmu. Berkembangnya berbagai percabangan keilmuan saat ini, diakui atau tidak, merupakan hasil dari perkawinan berbagai “ilmu” dan pengetahuan yang sebagian besarnya telah dicapai para pemikir Yunani Kuno. Mereka bisa disebut sebagai peletak dasar epistemologi yang hingga kini tetap menjadi “standar” untuk mengukur “kadar keilmuan sebuah ilmu.”

Kalau demikian, dapatkan disimpukan bahwa sains modern tidak lain adalah (cara berpikir) filsafat Yunani dalam wujud modern? Lalu, bagaimana dengan seni, teologi dan ilmu humaniora lainnya? Dapatkah disebut sebagai bentuk pengetahuan, karenanya membutuhkan operasi epistemologi? Bagaimana bentuk epistemologinya? Bagaimana epistemologi dalam ragam paradigma pengetahuan, mengingat sudah begitu banyak percabangan ilmu? Jawaban-jawaban atas pertanyaan ini kiranya akan terungkap pada sesi-sesi kursus selanjutnya.

Link: