MODEL PENDIDIKAN SENI LIBERAL DAN SAINS CINA (2)

Ketertarikan pada seni liberal dan ilmu pendidikan tinggi terjadi sebagai bagian dari perdebatan intensif di Cina tentang model pendidikan tinggi. Sebuah model pendidikan tinggi Cina yang membahas prinsip-prinsip dasar, dengan cara yang sama seperti prinsip dasar peradaban Barat yang tertanam dalam seni liberal dan ilmu pengetahuan. Argumennya adalah, bahwa Cina memiliki peradaban sendiri yang berbeda dengan Barat. Penulis mengutip Cheung (2012:186), yang mengkonstantir pertanyaan seorang cendekiawan Cina: “Akankah Asia hanya memproduksi lebih banyak model pendidikan tinggi kontemporer yang berasal dari Barat, atau akankah ia mampu melepaskan pemahaman dan praktik yang lebih kritis dari pendidikan tinggi? Pendidikan, refleksi budaya dan epistemologis dari peran universitas sebagai tempat pendidikan tinggi?”

Model pendidikan tinggi Cina pertama-tama merujuk gagasan Cai Yuanpei, presiden Universitas Peking tahun 1916-1926 dan reformator pendidikan, yang sejak awal mencoba membuat sintesis pemikiran Cina dan Barat. Cai merupakan alumni Jerman (Universität Leipzig), yang juga lama berkeliling Eropa sehingga memahami tradisi pendidikan di Eropa, khususnya Jerman, Prancis dan Inggris. Ia menggagas pengitegrasian model Barat dengan semangat Konfusianisme dan tradisi Cina. Itulah sebabnya reformasi Universitas Peking memilih model liberal arts dan hingga kini Yuanpei College masih dipertahankan dengan memodel kurikulum pendidikan liberal arts Harvard.

Sumber lain untuk model pendidikan datang dari para pemikir seperti Hu Shi, Liang Shuming, Ye Yangchu dan lainnya, yang membantu menangkap kekhawatiran yang masih ada untuk memastikan pendidikan universitas Cina ikut dibentuk oleh ide-ide pribumi, terutama tentu saja dalam kaitan dengan kerjasama patungan dengan luar negeri. Ini untuk memastikan independensi pendidikan (dan budaya) Cina dalam iklim kerjasama dengan universitas luar negeri dalam membangun universitas di negeri Cina.

Hasilnya mengagumkan, terlepas dari berbagai kritik atasnya. Akademi swasta pembelajaran klasik (shuyuan) yang dimulai sejak dinasti Tang (Abad ke-7) dan berlanjut hingga dinasti terakhir (Qing) di tahun 1911 dapat hidup berdampingan dengan sistem ujian negara di Cina modern. Dewasa ini pemerintah Cina mendirikan ratusan institut Konfusianisme di seluruh dunia, sementara juga mendanai lembaga penelitian nasional tentang Marxisme. Ketika Cina kembali menjadi negara adidaya mungkin akan ada lebih banyak dukungan untuk model yang mengandalkan fondasi klasik peradaban Cina, tetapi juga dengan konsisten mengintegrasikan semangat Marxisme didalamnya. Presiden Xi Jinping pernah bertemu dengan Tang Yijie, seorang sarjana Konfusiusisme terkemuka di Universitas Peking sebagai indikasi penguatan nilai-nilai dan tradisi Cina. Tetapi juga, menariknya Universitas Peking akan menamai sebuah gedung dengan nama Karl Marx.

Disini terlihat bagaimana “globalisasi/internasionalisasi konfusiusisme” dilakukan berbarengan dengan “nasionalisasi” Marxisme. Bahkan, ketika perayaan 200 tahun kelahiran Karl Marx (5 Mei 2018), Xi Jinping menghadiahi Trier, kota kelahiran Karl Marx, sebuah patung besar Marx setinggi lebih 4 meter. Ini mempertegas komitmen Cina mengintegrasikan ideologinya dalam mengembangkan sistem pengetahuan (pendidikan) nasionalnya.

Sebuah langkah revolusioner yang patut diperhatikan adalah sejak 2020 pemerintah Cina melakukan apa yang disebut dengan “de-administrasi universitas” (de-administration of universities). Demi meningkatkan kualitas akademik universitas, pemerintah memutuskan mengambil peran minimal, lebih sebagai PENGARAH daripada intervensi langsung dalam kehidupan akademik universitas. Pada saat yang sama pemerintah terus mendorong peningkatan dalam internasionalisasi universitas riset Cina. Itu berdampak pada lonjakan jumlah kerja sama Cina-asing yang menghasilkan masuknya kampus-kampus luar negeri di tanah Tiongkok, sebaliknya Cina juga mendirikan kampus-kampus di negara lain. Semua ini merupakan indikasi yang jelas dari reformasi dan pembukaan kerjasama internasional sekaligus eksperimen terhadap kurikulum pendidikan liberal arts Cina.

Sebut saja, misalnya dari Eropa seperti University of Nottingham Ningbo China (UNNC) didirikan pada tahun 2004 dan resmi dibuka pada tahun 2006 sebagai universitas asing pertama di Cina. Kini termasuk dalam 1% dari universitas terbaik dunia. Konon, Malaysia, Inggris dan Cina memiliki kesepakatan untuk pertukaran pelajar selama 1 tahun di UNNC.

Di Peking University terdapat Standford Center disingkat SCPKU (Standford Center at Peking University) yang fokus membangun jaringan akademik dan pendidikan di seluruh Asia Timur. SCPKU menawarkan ruang kolaboratif, kantor, layanan dukungan acara, dan pendanaan untuk penelitian dan pendidikan yang inovatif, menyatukan para peneliti mapan dan generasi baru sarjana muda untuk menciptakan pusat pertukaran dan kolaborasi intelektual. Kita masih bisa menyebut lainnya, seperti Harvard Center Shanghai, dan juga Yale University yang membangun kolaborasi dengan universitas-universitas China dalam isu-isu kesehatan, perubahan iklim, pendidikan, dan supremasi hukum.

Sebaliknya, universitas Cina yang dibuka di luar negeri seperti Universitas Fudan yang berbasis di Shanghai mendirikan universitas di Budapest (VOA Indonesia, 14/5/2021). Meski memicu banyak kekhawatiran di Eropa akan bahaya kampanye komunisme melalui pendidikan, upaya Fudan masuk Eropa menunjukkan hasil kerja keras Cina meng-internasionalisasi pendidikannya. Universitas Tsinghua juga mendirikan kampus di Seattle, yang disebut sebagai Pertukaran Inovasi Global, karena menjalankan program gelar master untuk mendorong penelitian tentang teknologi baru. Masih ada rencana Cina membuka di Malaysia, dan negara lainnya. Di Indonesia dalam kerjasama dengan Tsinghua University Southeast Asia Center dan MIT Sloan School of Management berkolaborasi dalam pengembangan pengajaran, penelitian dan pendidikan tinggi di UID Bali Campus. Kampus UID BC yang akan diresmikan akhir 2022 bertepatan dengan pertemuan G20 berdiri berdampingan dengan TechPark yang terdiri dari bangunan-bangunan yang melambangkan nilai-nilai kearifan lokal Bali Tri Hita Karana.

Ketika universitas-universitas Cina mulai naik peringkat global, perdebatan meningkat terkait model universitas seperti apa yang terbaik untuk masa depan. Bagi Postiglione, sebuah model pendidikan tinggi Tiongkok tidak hanya mungkin, melainkan diperlukan jika sistem universitas Tiongkok ingin meraih pengaruh global. Dan, semangat ini akan dibantu oleh keterlibatan kritis dengan model seni liberal dan ilmu pengetahuan di pendidikan tinggi. Paling tidak, dengan itu kebangkitan Cina akan membawa akademi global menuju pemahaman yang lebih baik tentang warisan sejarah dan nilai-nilai budaya Cina.

Guna meraih impian go global, pemerintah Cina mencanangkan tiga proyek yang saling terkait dan sustainable, yaitu 211 Project, 985 Project dan C9 League. Melalui ketiga proyek ini pemerintah banyak berinvestasi di lembaga-lembaga elit dengan tujuan menciptakan universitas yang kompetitif secara internasional.

Proyek 211 dicanangkan tahun 1995 memberikan dukungan keuangan ekstra untuk 112 universitas yang dipilih untuk menjadi ujung tombak pembangunan ekonomi nasional, dengan dua tujuan yaitu meningkatkan standar akademik internasional pada akhir abad ke-21, serta untuk mendukung universitas dalam peningkatan standar dan kapasitas penelitian. Semua universitas dalam proyek ini tergolong dalam peringkat tinggi, baik di Cina maupun peringkat dunia. Universitas-universitas ini didukung pemerintah untuk memiliki peralatan pengajaran terbaik dan diakui secara internasional, juga agar penelitian-penelitiannya dapat berjalan masif. Project ini juga menjadi jalan bagi Cina untuk menerapkan strategi dalam membangun negara melalui sains, pendidikan dan implementasi proyek-proyek strategis nasional.

Sedangkan proyek 985 dijalankan tahun 1998 bertujuan mengubah 40 institusi terbaik menjadi universitas kelas dunia. Institusi unggulan—seperti Peking dan Tsinghua di Beijing, serta Fudan dan Jiaotong di Shanghai—mulai berebut posisi di peringkat universitas dunia. Universitas-universitas Cina telah naik ke peringkat teratas dengan secara besar-besaran meningkatkan rangking mereka dalam publikasi ilmiah global. Tujuan lain proyek 985 adalah mempromosikan kerja sama dan pertukaran internasional serta menarik minat siswa internasional untuk belajar di Cina.

Terakhir, pada tahun 2009 pemerintah resmi memulai proyek C9 League, yang dibentuk dari sembilan universitas bergengsi pada project 985. Tujuannya adalah menciptakan grup elit universitas sehingga dapat menarik siswa di seluruh dunia untuk belajar di Cina sekaligus berbagi sumber daya. Anggota universitas dari program ini menerima dukungan dan pendanaan substansial dari pemerintah nasional dan lokal Tiongkok. C9 League menampung setidaknya 3% dari penelitian Tiongkok, menerima 10% dari anggaran penelitian nasional dan menghasilkan 20% makalah akademis nasional, serta menyumbang 30% total kutipan. Mereka juga menjadi prioritas dalam hibah dan hak istimewa yang diberikan oleh negara. Saat ini, kesembilan universitas di C9 League diisi oleh univeritas yang memiliki tingkat publikasi paling tinggi di China dan terdaftar sebagai universitas dengan peringkat terbaik di dunia berdasarkan QS World dan Times Higher Education. Masuk dalam C9 Laegue adalah Peking University, Tsinghua, Fudan, Shanghai Jiao Tong, Nanjing, University of Science and Technology of China, Zhejiang, Xi’an Jiao Tong University, dan Harbin Institute of Technology.

Ada beberapa perkembangan baru di sekitar 2014, 2016/17 dan 2021. Namun, sifatnya sebagai kelanjutan dari proyek-proyek di atas sehingga memberi gambaran bagaimana komitmen kuat dan konsitensi pemerintah membangun kualitas dan internasionalisasi pendidikan di Cina.

Sebut saja, misalnya The College of Future Technology (CFT) yang didirikan di Universitas Peking pada 22 Juni 2021. Tujuannya menciptakan pemimpin industri di bidang teknologi pencegahan dan pengendalian kesehatan dan penyakit di masa depan. Dengan demikian, fokus pada pengembangan teknologi untuk kepentingan sosial dan ekonomi. CFT melakukan kemitraan industri-akademisi dan proyek-proyek besar nasional, mengumpulkan sumber daya dari lembaga penelitian translasi dan perusahaan teknologi tinggi, mengeksplorasi model untuk inovasi kolaboratif, dan menghasilkan bakat multi-disiplin yang didorong oleh semangat berinovasi.

Juga, Oktober 2021 pemerintah Cina melalui otoritas pendidikan telah menetapkan 12 universitas top untuk membangun “sekolah teknologi masa depan” (schools of future technology) yang diperuntukkan sebagai pembangkit tenaga sains dan teknologi global. Sasaran utamanya untuk menumbuhkan bakat terkemuka dalam teknologi mutakhir dalam 10 hingga 15 tahun ke depan. Melansir Chinadaily.com (5/6/21), kementerian pendidikan menjelaskan bahwa sekolah teknologi masa depan ini akan mengeksplorasi kerja sama lintas disiplin yang substantif di antara berbagai bidang akademik dan mode untuk menumbuhkan pemimpin dalam inovasi terkait teknologi masa depan.

Terakhir, the Advanced Innovation Center for Future Education Beijing Normal University (AICFE BNU) telah memprakarsai program penelitian “Future School 2030” dengan maksud mengeksplorasi tujuan, implementasi kurikulum, mode pengajaran, metode pembelajaran, manajemen sekolah dan aspek lain dari sekolah masa depan, dan ini memimpin perkembangan pendidikan masa depan. Tahapanya telah dimulai sejak 2016, dan pada akhirnya dapat disusun serangkaian buku bertema “Pendidikan Masa Depan”, untuk memprediksi, dari tiga perspektif pendidik, peserta didik dan pengaruh pendidikan, perubahan pendidikan masa depan, pola dan tren perkembangan, dan mengeksplorasi solusi prospektif atasnya.

Seiring berkembangnya kepemimpinan China di seluruh dunia, sistem pendidikan tinggi makin terbuka dan universitas-universtas di Cina semakin terlibat secara internasional. Hal ini ditandai antara lain dengan Universitas Stanford yang telah mendirikan pusat di Universitas Peking guna memperluas peran dalam pendidikan dan penelitian global, termasuk program ilmu sosial yang berbagi ide tentang perubahan sosial. Ratusan usaha patungan dengan luar negeri dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Cina telah disetujui. Ratusan Institut Konfusianisme untuk studi bahasa dan budaya Tiongkok juga sudah didirikan oleh pemerintah Tiongkok di tanah asing. Pun, mendirikan dua kampus universitas Cina di luar negeri, satu di Seattle, AS, dan satu di Malaysia. Jumlah mahasiswa internasional yang datang ke Cina terus meningkat, seperti halnya jumlah mahasiswa Cina yang berangkat ke luar negeri.

Penulis mencatat pada 2013 terdapat 1060 usaha patungan asing-China yang disetujui di pendidikan tinggi melibatkan 450.000 siswa. Ini diatur oleh Undang-undang tahun 2003 tentang usaha patungan pendidikan sehingga membuka pintu bagi ratusan kemitraan antara universitas Cina dan asing. Reformasi terus berlangsung di universitas-universitas top Cina untuk beradaptasi dan berinovasi pada model pendidikan tinggi liberal di luar negeri. Perhatian terus diberikan untuk memastikan apakah kampus kemitraan asing dapat memiliki dampak signifikan pada sistem pendidikan tinggi Cina, disebabkan kolaborasi dan kemitraan merupakan laboratorium untuk format inovatif di perguruan tinggi.

Dalam sejumlah kasus, universitas asing telah melangkah lebih jauh dan mendirikan kampus penuh di Cina. Universitas Nottingham memiliki kampus di Ningbo; Shanghai Jiaotong dan University of Michigan menjalankan institute teknik di Shanghai; Xi’an Jiaotong dan Universitas Liverpool mendirikan universitas independen di Suzhou. Tahun 2013 New York University yang telah memiliki program studi luar negeri di sepuluh negara membuka kampus baru di Shanghai bersama East China Normal University, yang mengadakan kelas-kelas terpadu dalam humaniora dan ilmu-ilmu sosial dengan jumlah siswa Cina dan asing yang seimbang. Duke University juga telah mendirikan kampus di Kunshan dalam kemitraan dengan Universitas Wuhan. Universitas Amerika lainnya dengan aspirasi serupa termasuk Universitas Kean dan Universitas Montana.

Persoalan lain pun mengemuka. Munculnya usaha patungan menghidupkan kewaspadaan, bagaimana dengan kedaulatan pendidikan tinggi di Cina? Seorang sarjana berpengaruh dari pendidikan tinggi Cina disebut-sebut telah memperingatkan bahwa mengizinkan entitas asing memegang mayoritas (lebih dari 51%) kepemilikan institusional dapat menyebabkan “infiltrasi nilai-nilai dan budaya Barat yang bertentangan dengan keadaan Cina saat ini” Wakil Direktur Komisi Pendidikan Shanghai, Zhang Minxuan, menegaskan bahwa usaha asing Tiongkok dalam menjalankan lembaga pendidikan harus “memastikan kedaulatan dan kepentingan publik Tiongkok tidak dirugikan.”

Untuk itu diharapkan setidaknya setengah dari dewan direksi harus warga negara Cina. Zhang Li dari Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa komitmen Tiongkok untuk menyediakan akses ke pasar pendidikan lebih besar daripada negara berkembang lainnya dan oleh karena itu, “kita harus menjaga kedaulatan pendidikan Tiongkok, melindungi keamanan nasional, dan membimbing program-program semacam itu ke arah yang benar.”

Namun demikian, kampus asing telah mengalami peningkatan jumlah otonomi dengan sedikit campur tangan dari kampus tuan rumah sejak undang-undang tahun 2003 tentang kerjasama Tiongkok-asing diterbitkan. Mereka tetap harus mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh dinas pendidikan tingkat Provinsi yang melakukan kontrol substansial atas penerimaan siswa dan masalah keuangan.

Sebuah penegasan perlu saya berikan sebelum menyimpulkan apa yang bisa kita pelajari dari pegalaman Cina. Bahwa, dalam upaya meraih visi besarnya menjadi pemimpin dunia dalam sains dan teknologi, Cina jelas mengandalkan pendekatan seni liberal. Selain bisa dilihat dalam kurikulum dari dua belas college yang didirikan sebagai “school of future technology” yang semuanya berbasis interdisipliner, juga bisa dilihat dalam “Repelita ke 14” (2020-2025) terkait pendidikan dan rencana bidang penelitiannya. Antara lain misalnya, pengembangan penelitian di bidang kecerdasan buatan dan AI, teknologi informasi quantum, sirkuit terpadu, rekayasa genetika, ilmu kehidupan dan kesehatan, teknologi kedirgantaraan, eksplorasi bumi dan laut dalam, serta penelitian dasar dan interdisipliner. Ini disebabkan rancangan pendidikan Cina ditopang oleh semangat kolaborasi, internasionalisasi dan kedaulatan pendidikan (ciri budaya konfusiuisme), maka model liberal arts benar-benar dijadikan kerangka filosofis pendidikan nasional. Dan, target ambisius Cina adalah mencapai kepemimpinan global di bidang-bidang utama sains dan teknologi seperti disebutkan di atas mulai tahun 2025.

Cina juga sudah mengantisipasi kalau Amerika akan “membalas” ketika merasa hegemoninya terganggu oleh capaian Cina, yaitu dengan membentuk tim ahli dari bidang sains, sosial dan humaniora untuk mendiskusikan apa yang mungkin akan dilakukan Amerika serta bagaimana menghadapinya. Dengan semangat kolaborasi, Cina lebih mengutamakan kerjasama dengan negara manapun, termasuk dengan Amerika. Itulah sebabnya, Cina nampaknya ingin mengantisipasi segala hal yang bisa timbul di masa depan terkait dengan “rancangan strategis dan terukurnya” menjadi pemimpin dunia.

Apa yang Kita Pelajari?

Kerapkali Cina diopinikan sebagai negara non demokrasi, tetapi Cina sendiri menganggap telah menerapkan demokrasi dalam konteks nasionalnya. Bagi Deng Xiping, demokrasi tidak harus melalui DPR (perwakilan), karena penduduk Cina lebih dari 1 milyar. Demokrasi bisa beroperasi efektif melalui partai tunggal. Terlepas dari perbedaan cara pandang, nampaknya sistem pemerintahan Cina menjadi jauh lebih efektif dibanding negara mana pun. Efektif dalam pengertian memacu kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya, dengan dukungan penuh dari semua elemen masyarakat. Apa yang diputuskan oleh PKC (partai Komunis) dan Presiden secara serentak dapat dieksekusi tanpa debat-debat parlemen atau debat kusir di masyarakat yang menyedot banyak energi tanpa hasil positif.

Dalam negara demokrasi seperti Indonesia (dengan embel-embel Pancasila dibelakangnya), seharusnya pemerintahan efektif dapat juga tercipta. Kata kuncinya di penegakan aturan/undang-undang. Salah kaprah di masyarakat menganggap demokrasi seolah adalah “kebebasan tanpa batas,” padahal demokrasi mengandaikan penegakan undang-undang. Demokrasi tidak sama dengan keliaran dan anarkisme. Dengan penegakan aturan, pemerintah dapat mengendalikan sepenuhnya arah dan laju pembangunan strategis di berbagai bidang, termasuk pendidikan.

Visi pemerintah di bidang Pendidikan dan arah pengembangan teknologi menjadi prasyarat penting. Pemerintah perlu punya peta jalan (road map) berkaitan dengan pendidikan dan teknologi masa depan. Investasi pemerintah Cina dalam bidang EdTech tidak tanggung-tanggung, bahkan dijadikan prioritas paling utama. Pengorganisasiannya diawali dari pemetaan universitas-universitas terbaik. Kemudian diberi tugas membangun college dibidang teknologi tertentu, misalnya kedirgantaraan, informasi kuantum, bio-molekuler, big data dan AI, rekayasa genetika, dan sebagainya. Namun, semua sekolah-sekolah teknologi itu tetap menggunakan pendekatan interdisipliner.

Kebijakan anggaran pemerintah di bidang pendidikan juga perlu dialokasikan secara efektif. Agar fokus, pemerintah bisa memilih, misalnya 20 “universitas terbaik nasional” untuk dikembangkan. Kepada 20 universitas ini diberikan “hak istmewa” dalam alokasi anggaran pengajaran, penelitian dan membangun kolaborasi internasional. Bidang-bidang pengembangannya adalah teknologi, literasi saintifik dan riset-riset intensif yang menarget masuk dalam rangking 100 universitas terbaik Asia, misalnya dalam 10 tahun ke depan. Sambil jalan, mulai tahun kelima ke-20 universitas ini sudah harus berkolaborasi dengan 20 univerisitas “terbaik nasional” lainnya dengan target membuatnya naik peringkat, setidaknya ke 300 Asia.

Tetapi, yang perlu diingat adalah, integrasi nilai-nilai dan budaya lokal (nasional) perlu dilakukan agar pengembangan pendidikan nasional berjalan berbarengan dengan penguatan ideologi dan karakter bangsa. Ideologi dan karakter bangsa merupakan fungsi dari revitalisasi fungsi-fungsi budaya, kearifan dan pengetahuan-pengetahuan lokal. Komponen ini harus terintegrasi dalam strategi pengembangan pendidikan nasional.

Kolobaorasi internasional untuk “membangun pendidikan Cina” tidak hanya soal kerjasama dengan ahli dan institusi luar negeri. Pemerintah Cina mengundang anak-anak negeri yang telah sukses memiliki keahlian dan bekerja di luar negeri untuk kembali membangun negeri. Biro khusus di keimigrasian dibentuk untuk menanganinya. Pun, bagi mereka yang tidak bisa kembali, dicarikan jalan keluar agar mereka bisa berbagi talenta demi pengembangan resousces nasional di Cina. Sharing talenta ini ditujukan untuk menaikkan taraf dan peringkat kualitas keahlian SDM nasional.

Saya ingin mengakhiri pembahasan ini dengan mengusulkan universitas-universitas di Indonesia membangun kerjasama dengan universitas-universitas di Cina. Secara de vacto sudah banyak lembaga pendidikan, baik sekolah, pendidikan tinggi (seperti UGM), pesantren maupun individu yang berkolaborasi dan belajar di /dari Cina. Saat ini juga sudah banyak universitas luar negeri yang masuk ke Indonesia. Pemerintah perlu mempersiapkan regulasi (mungkin Undang-undang) yang mengatur syarat-syarat kerjasama agar kerjasama antar universitas, termasuk dengan Cina tidak merugikan dari segi nilai-nilai budaya, ideologi dan keamanan. Dengan regulasi itu, kerjasama dapat mendorong inovasi, kreativitas, saling tukar pengetahuan, keahlian dan kearifan demi pengembangan dalam banyak hal tanpa melibatkan pertarungan ideologis / politik didalamnya. Persaingan politik dan ideologi harus bisa dipisahkan dari pendidikan dan pengembangan sumberdaya nasional.

Visi besar dibalik pengembangan sumberdaya pendidikan nasional adalah membangun manusia (warga negara) dan kemanusiaan global (warga dunia). Seperti Cina, kita pun bisa mencerdaskan bangsa sekaligus berkolaborasi dan berkontribusi secara internasional. Dan, dasarnya adalah pendidikan humanitas berbasis pendekatan inter-displin, multi-disiplin dan trans-disiplin.

Dalam hal ini, pimpinan periode ini dengan Rektor Neil S.Rupidara, PhD., telah mengambil langkah strategis untuk mereposisi UKSW ke dalam model pendidikan humanitas sebagaimana rancangan awalnya. Dengan menghadirkan MDU 20 SKS, sejak Angkatan 2021/2022 semua mahasiswa dari berbagai latar kejuruan wajib belajar fisika dasar, biologi untuk keseharian, kimia dasar, antropologi, filsafat (berpikir kritis), seni dan sastra, entrepreneurship, dan sejenisnya.

Pun, pendirian prodi studi humanitas sedang dalam proses pengusulan, kiranya prodi ini menjadi “laboratorium” untuk pendekatan pembelajaran humanitas dengan basis inter, multi, dan trans-disiplin. Melalui prodi ini, kodivikasi pengetahuan lokal menjadi fokus, mengintegrasikan persepktif Timur, Barat dan Nusantara, serta kolaborasi dengan berbagai sumber pengetahuan, kearifan dan perspektif. Menjalin kolaborasi dengan Cina tentu saja dimungkinkan, sebagaimana juga dengan negara lain, seperti Hong Kong, Taiwan, Amerika, Eropa, Australia dan lainnya.

Tulisan ini ditulis dan di-share 4 Februari 2022 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/real.self.9

CINA PUNYA MODEL PENDIDIKAN SAINS & SENI LIBERAL, APA YANG BISA KITA PELAJARI? (1)

Melanjutkan pembahasan buku “Experiences in Liberal Arts and Science Education from America, Europe, and Asia A Dialogue across Continents” di postingan saya sebelumnya (15 Januari 2022), pada kesempatan ini saya ingin fokus di chapter 2 yang khusus membahas pendidikan liberal arts di Cina. Lantaran terdapat kemiripan konteks, saya asumsikan Indonesia bisa banyak belajar dari Cina.

Misalnya soal perbedaan budaya (dengan Eropa dan Amerika tempat pendidikan liberal modern berkembang dan berasal), perbedaan ideologi politik, dan dalam hal ini, bagaimana nilai-nilai kultural dan pengetahuan khas Cina yang telah teruji dan lestari selama ribuan tahun itu diramu sebagai bahan dasar mendisain sendiri “model pendidikan liberal arts-nya.” Apa yang membuatnya berhasil, dan pada akhirnya apakah juga terkait dengan revolusi sains dan teknologi di Cina yang berkembang begitu cepat dan pesat sehingga membuat “iri” negara lain, termasuk Amerika.

Menunjuk kesamaan konteks di atas, saya berpendapat bahwa Indoensia perlu belajar dari Cina, dengan asumsi kita akan mengadopsi model pendidikan liberal arts. Ada sejumlah indikasi yang meyakinkan saya bahwa Indonesia sedang dalam proses itu. Dihilangkannya sistem penjurusan di SLTA (IPA/IPS dan Bahasa) merupakan salahsatu indikasi. Sebelumnya, telah dihilangkan sistem ujian nasional (exam meritocracy) digantikan dengan “asesmen kompetensi” (talent meritocracy??). Lainnya adalah konsep Belajar Merdeka Kampus Merdeka (BMKM), yang setidaknya secara konsep mengatribusi wawasan liberal education. Indikasi terkahir yang ingin saya sebut adalah kecenderungan yang kuat negara-negara besar di Asia mengadopsi model liberal, selain Cina (termasuk Hong Kong), yaitu Jepang, India, Taiwan, dan Korea Selatan. Kita tahu bahwa Hong Kong dan India sebelumnya lebih berorientasi ke Inggris yang “menganut pendidikan spesifik/ keahlian” namun juga sudah mengadopsi liberal arts.

Dengan fokus pada chapter 2, saya tidak seperti biasanya sekadar membuat ringkasan bab melainkan juga mencoba membahasnya. Pembahasan saya mendasarkan pada “kesamaan konteks” kedua negara, dan menggunakan “data” strategi Cina mengelolanya, lalu mengidentifikasi isu-isu penting apa yang bisa kita pelajari untuk membangun pendidikan liberal arts di Indonesia, lebih khusus apa yang telah dan mungkin bisa dilakukan oleh UKSW.

Chapter ini ditulis oleh Gerard Postiglione, dan dijuduli “China’s Search for Its Liberal Arts and Sciences Model.” Postiglione adalah Ketua Profesor Pendidikan Tinggi dan Wakil Dekan untuk Penelitian di Fakultas Pendidikan, Universitas Hong Kong. Dengan memperkenalkannya, saya ingin mengatakan bahwa Postiglione tidak saja ahli pendidikan liberal arts, melainkan juga “orang dalam” yang menulis apa yang merupakan bidang kepakaran profesionalnya.

Postiglione memperkenalkan tokoh kunci (meski bukan satu-satunya dan bukan yang pertama) dibalik masuknya pendidikan liberal arts ke Cina (melalui Hong Kong), yaitu Woo Chia Wei. Wei adalah Profesor Fisika, tamatan Amerika (Georgetown College dan Washington University), dan menjadi pendiri sekaligus presiden pertama Hong Kong University of Science and Technology (HKUST) yang berdiri 1991. Sebelum ke Hong Kong ia telah berkarier di sejumlah universitas Amerika, seperti San Francisco State University, Northwestern University, dan University of California San Diego. Bahkan, tahun 1983 ketika masih berusia 45 tahun Wei terpilih menjadi President of San Fransisco State University.

Woo Chia Wei menunjukkan keunggulan seni liberal dalam pendidikan sarjana Amerika dan menerapkannya di HKUST. Dengan demikian HKUST menjadi katalis dalam transisi universitas gaya Inggris Hong Kong dari program studi tiga tahun yang sangat terspesialisasi menjadi program yang diperluas (general/seni liberal) untuk gelar sarjana. Kurikulum inti seni liberal dan ilmu pengetahuan ditambahkan sehingga semua siswa wajib mengambilnya terlepas dari spesialisasi mereka. Terobosan ini lalu menarik minat universitas-universitas di Cina daratan karena dianggap sebagai contoh seni liberal Barat yang diintegrasikan ke dalam universitas-universitas di Cina.

Kurikulum inti umum (liberal arts) HKUST terdiri dari empat bidang penyelidikan, yaitu Teknologi dan Literasi Ilmiah, Humaniora, Isu Global, dan China: Budaya, Negara, dan Masyarakat. Secara umum kurikulum ini bertujuan mengembangkan pemikiran kritis, kemampuan mengatasi situasi baru, keterampilan komunikasi dan kolaborasi, antar budaya pemahaman dan kewarganegaraan global, dan kepemimpinan dan advokasi untuk perbaikan kondisi manusia. Sementara sasaran spesifiknya adalah untuk memungkinkan siswa mengembangkan perspektif yang lebih luas dan pemahaman kritis tentang hubungan kompleks antara masalah dalam kehidupan sehari-hari; menumbuhkan kemampuan siswa untuk menavigasi persamaan dan perbedaan antara budaya mereka sendiri dengan budaya lain; untuk memungkinkan siswa berpartisipasi penuh sebagai individu dan warga negara dalam komunitas global, regional, dan lokal; dan untuk memungkinkan keterampilan intelektual, kolaboratif, dan komunikasi yang akan lebih ditingkatkan dalam studi disiplin siswa, dan, pada gilirannya, berkontribusi pada kualitas hidup mereka setelah lulus (Universitas Hong Kong 2015).

Sejak awal Cina telah menunjukkan minat pada pendidikan, dan orientasinya ke Amerika. Tetapi intensitasnya makin menguat pasca Revolusi 1949 yang menandai berkuasanya Partai Komunis di Cina. Minat awal pada tradisi pendidikan seni liberal ini tidak saja sebagai subjek penelitian tetapi juga sebagai “metode,” lantaran diyakini akan dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dengan cara-cara inovatif.

Postiglione mengutip Vogel yang menceritakan kisah panggilan telepon dari Presiden Deng Xiaoping kepada Presiden Jimmy Carter di suatu pagi buta (pukul 3:00 pagi (waktu Washington) di tahun 1978. Deng menginginkan persetujuan untuk mengirim segera ratusan orang Cina belajar di universitas-universitas Amerika, dan akan diikuti ribuan dalam beberapa tahun berikutnya. Dibawah kepemimpinan Deng Xiaoping telah dicanangkan bahwa Cina perlu memiliki ribuan ilmuwan berbakat bertaraf dunia. Deng yakin bahwa reformasi ekonomi Cina dan keterbukaan terhadap dunia luar mengharuskan penyiapan ilmuwan kelas dunia.

Sasaran besar dibaliknya adalah bahwa Cina ingin mendiversifikasi sistem pendidikan tingginya, membangun universitas kelas dunia, memperkuat ekonomi pengetahuannya, dan mengambil peran yang lebih besar dalam pendidikan tinggi internasional. Ini sebuah visi besar yang terlihat ambisius.

Postiglione menyaksikan bahwa dua puluh tahun setelah telpon Deng kepada Carter itu, komitmen Cina pada visi pendidikan makin konkrit. Tahun 1998 di Aula Besar Rakyat ia menghadiri pidato Presiden Jiang Zemin yang menegaskan tujuan Cina adalah untuk mendirikan universitas-universitas kelas dunia. Itu berarti membutuhkan identifikasi institusi tingkat atas dan paket dukungan finansial besar untuk memperkuat infrastruktur dan kapasitas akademik. Hanya dua tahun sejak pidato itu, Postiglione mengamati investasi besar-besaran dalam infrastruktur universitas, konsolidasi institusi dan perluasan pendaftaran, perombakan manajemen sains dan teknologi, reformasi pengajaran universitas, pengenalan lebih banyak buku teks asing, dan seruan untuk memperbaiki preferensi sains berbasis seni liberal.

Di tahap ini, persoalan dasar yang dicoba dijawab juga adalah, bagaimana tradisi budaya asli Tiongkok ikut membentuk model pendidikan tinggi yang khas? Pada saat yang sama, Cina ingin membawa universitas-universitasnya go global dan memposisikannya di deretan universitas terbaik baik dunia!

Cina paham bahwa kemampuan universitas Amerika menarik dan menghasilkan terobosan ilmiah dan kemajuan teknologi terkait dengan penekanan pada kreativitas, inovasi, dan kewirausahaan. Qian Xuesen, bapak ilmu roket Tiongkok ketika itu mengingatkan bahwa universitas-universitas di Cina gagal mendorong kreativitas, keluasan multidisiplin, dan pemikiran inovatif, yang justru menjadi kebutuhan Cina. Juga, bahwa pencapaian seperti itu di universitas-universitas Amerika tidak akan mungkin terjadi tanpa otonomi institusional dan kebebasan akademik. Meskipun nampaknya bukan sifat sistem universitas Cina untuk menetapkan itu sebagai prioritas utama, jelas ada pengakuan bahwa reformasi signifikan sangat diperlukan. Baik mantan Perdana Menteri Zhu Rongji maupun Wen Jiabao mengakui daya saing ekonomi Cina bergantung pada pengembangan pemikiran yang lebih kreatif dan mandiri.

Berhadapan dengan visi besar memajukan pendidikan Cina, bahkan target Cina menjadi pemimpin dunia di bidang sains dan teknologi di tahun 2035, ideologi Marxisme (terutama Komunisme yang secara umum diopinikan “tertutup”), semangat go global dan nilai budaya Konfusianisme yang kental, bagaimana Cina membangun model pendidikannya? Apalagi, jelas model yang dipilihnya adalah pendidikan liberal arts, padahal ia juga berhadapan dengan tantangan menginovasi semua strategi membangun riset teknologi masa depan yang futuristik?

Pertanyaan-pertanyaan di atas akan saya jawab di tulisan berikut, namun saya ingin merumuskan sejumlah poin penting yang telah dibahas, yang menurut saya diperlukan, sebelum kita masuk ke isu pentingnya yaitu, “bagaimana Cina menciptakan model Pendidikan liberalnya?”

Pertama; terdapat visi besar untuk membangun ekonomi Cina dan berpartisipasi dalam kepemimpinan global, dimulai dengan reformasi pendidikan. Visi ini disadari hanya bisa terelasisasi melalui jenis pendidikan yang dapat mendorong kerativitas dan inovasi untuk menciptakan teknologi tinggi dan mengembangkan pengetahuan.

Kedua; untuk mendukung poin pertama di atas perlu dibangun infrastruktur Pendidikan secara masif, mulai dari reformasi struktur, alokasi pendanaan, pengiriman mahasiswa untuk kuliah di luar negeri (terutama Amerika dan Eropa).

Ketiga; secara politik terdapat konsitensi dan sustainabilitas meski terjadi pergantian presiden. Bahkan sejak era sebelumnya, berlanjut setelah Revolusi 1949, dibawah pemerintahan Partai Komunis visi untuk memajukan negara Cina melalui Pendidikan tetap konsiten. Setiap presiden melanjutkan capaian presiden sebelumnya sehingga secara konsisten dan terukur capaian-capaian mudah dievaluasi dan terus dikembangkan.

Tulisan ini ditulis dan di-share 2 Februari 2022 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/real.self.9

Diskusi buku “In Defence of a Liberal Education.”

CCTD UKSW kembali melaksanakan diskusi buku di hari Jumat, 21 Januari 2022 pukul 16.00 WIB -selesai. Diskusi ini dilakukan secara daring dengan pembedah buku, yakni Semuel S. Lusi.

Pembedah menyampaikan latar belakang keterbutuhan akan pendidikan yang membebaskan dalam dunia yang cepat berubah saat ini. Negara di berbagai belahan dunia, berupaya mencari metode dan pendekatan yang tepat dalam dunia pendidikan, untuk menghasilkan generasi penerus yang kreatif, kritis dan inovatif, serta memiliki internalisasi nilai-nilai identitas budaya yang mumpuni.

Fareed Zakaria, seorang penulis dan jurnalis yang sangat terkenal menceritakan bagaimana pendidikan yang membebaskan (liberal education) membebaskan dirinya dalam melihat dunia ini. Fareed Zakaria merupakan kolumnis di The Wasington Post, serta seorang pembawa acara di CNN, mengungkapkan bahwa kebebasan menghantarnya memiliki perpektif yang luas dan dapat bertahan dalam dunia yang cepat berubah.

Menurut Fareed dalam bukunya “in Defence of a Liberal Education”, diawal abad 21 ini model pendidikan liberal arts yang sebenarnya sempat memudar kembali menguat.

Model yang memiliki sejarah panjang, diawali di Yunani sekitar abad 5 SM berhasil dilanjutkan selama kejayaan Romawi. Penyelenggaraannya di istana-istana, biara-biara dan katedral. Selama era skolastik menjadi model, hingga muncul universitas-universitras mula-mula di Maroko, Mesir, Italy, Inggris dan akhisnya sampai Amerika.

Kurikulum dasarnya adalah gramar, logika dan retorika (trivium) lalu aritmetika, geometri,musik dan astronomi (quadrivium). Inti dari kedua dasar kurikulum ini adalah membangun kemampuan observasi realitas dalam kawasan ruang waktu (quadrivium), lalu ditata/disistematisasikan dan dikomunikasikan (rhetorika). Model ini bertahan melintasi berbagai ujian zaman, memasuki era kejayaan di abad renaisans. Menyebar dan menjadi model di Eropa kemudian di Amerika.

Sayangnya, paska revolusi industri secara perlahan mulai memudar lantaran orientasi pendidikan secara umum lebih memberi prioritas kepada pendidikan keahlian spesifik untuk menjawab kebutuhan industri. Model research university muncul di Jerman sebagai “jalan tengah” yang mengintegrasikan riset dan pelatiah keahlian, sehingga sampai diakomodasi di Amerika.

Di abad 19 ciri pendidikan Amerika didominasi model liberal arts. Model ini disebutkan menyebabkan pendidikan Amerika memiliki ciri “unggul” yang membuat iri bangsa lain. Tetapi, rupanya berbagai krisis dan tekanan menyebabkan keberpihakan pemerintah pada mata kuliah liberal arts di berbagai universitas menurun. Bahkan di sejumlah provinsi ditiadakan. Nampaknya ini mengakibatkan terdeteksinya semacam penurunan generasi Amerika. Banyak tuntutan untuk pendidikan liberal arts dikembalikan. Rupanya tren penurunan juga dirasakan di Eropa, yang telah lebih dahulu meninggalkan liberal arts. Di awal abad 21, tren pendidikan liberal arts kembali menguat. Mulai dari Amerika, Eropa Australia, bahkan Asia. Di Asia, terutama Cina, India, Jepang, Korea Selatan cukup gencar menggelorakannya.

Diakhir pemaparan hasil bedahnya, Semuel S. Lusi menyayangkan, bahwa di Indonesia tidak terlihat tanda-tanda adanya kesadaran akan pentingnya pendidikan liberal arts. Dalam buku ini. Fareed menunjukkan bagaimana banyak tokoh berjuang untuk mengembalikan pendidikan liberal arts sebagai model di Amerika. Dan sangat memungkinkan Indonesia menerapkan model tersebut, dengan menyesuaikan dengan konteksnya, sebagaimana dilakukan Singapura, Cina dan India.

Untuk dapat menonton secara lengkap pemaparan materi, dapat dilihat di video berikut.

Webinar: Pendidikan Berbasis Liberal Arts

Pada tanggal 23 Oktober 2020 pukul 17.00-19.00 WIB telah dilangsungkan webinar melalui aplikasi Zoom Clouds meeting dan chanel Youtube UKSW. Webinar tersebut mengangkat topik “Pendidikan berbasis liberal arts”. Dengan menghadirkan pembicara, yakni : 1) Dr. Iwan Setiawan (Permbatu Rektor 1 UKSW); 2) Dr. Titik Susilowati Prabawa (Dekan Fakultas Inter Disipliner UKSW); 3) Dr. Agastya Rama Listya (Dosen Progdi Seni musik FBS UKSW); 4) Ricky Arnold Nggili (peneliti Pusat Pengembangan Pemikiran Kritis UKSW). Keempat pembicara ini memaparkan peluang liberal arts sebagai sebuah pendekatan yang relevan dalam pendidikan di era saat ini. Dari pengalaman yang diamati oleh Dr. Iwan Setiawan menyajikan implementasi Liberal Arts di universitas-universitas besar dunia. Dr. Titik Susilowati Prabawa menjelaskan tentang interdisipliner dan interkoneksi antar berbagai disiplin ilmu, dalam memahami realitas dan pengetahuan. Dr. Agastya Rama Listya memaparkan bahwa UKSW secara filosofis telah mendasarkan pendidikannya pada Liberal Arts, dan Liberal Arts mempengaruhi kehidupan warga kampus di UKSW. Ricky Arnold Nggili menjelaskan bahwa dengan Liberal Arts, pemikiran kritis akan semakin terasah, karena ada dialektika ilmiah yang berfokus pada kebenaran ilmu pengertahuan.    Dalam sessi diskusi, Liberal Arts sebagai metode membebaskan para civitas akademika dari penjajahan administrasi pendidikan sangat diperlukan. Untuk itu perlu sebuah sistem pendidikan yang lebih mengedepankan proses pencaharian kebenaran dan dialektika antar disiplin ilmu. Dengan demikian akan melahirkan inteletual-intelektual yang bertanggung jawab dan penuh inisiatif dalam mencari solusi dalam mengatasi masalah tiap zaman.   Pertanyaan paling menantang keingintahuan terkait penerapan Liberal Arts (LA) adalah, mengapa negara-negara Asia yang langganan mendapat rangking tinggi dalam even-even olimpiade sains tidak menghasilkan ilmuwan, wirausahawan, penemu, pencipta, dan pebisnis kreatif di dunia? Mengapa mereka tidak memiliki semacam google, facebook, apple, Silicon Valley, Bill Gates, Mark Zuckerberg, Warren Buffett, dan lainnya? Mengapa siswa Amerika, Swedia, Israel yang jarang menempati rangking terbaik di PISA (Program for International Student Assessment), justru menciptakan perusahaan-perusahaan inovatif, memiliki sumberdaya manusia kreatif, langganan penerima Nobel, penemu dan pembuat terobosoan-terobosan? Ambil saja contoh di PISA 2018 (dipublis 2019), rangking pertama hingga keempat dikuasai negara-negara Asia, berturut-turut China, Singapore, Makau, dan Hong Kong (Amerika urutan ke-13). Diselenggarakan sejak tahun 2000 secara tiga tahunan, Amerika tidak pernah menempati rangking 10 besar. PISA “menguji” sistem pendidikan dari berbagai negara dalam tiga bidang, yaitu literasi matematika, sains dan literasi baca.   Jack Ma menyimpulkan persoalannya terletak pada sistem pendidikan yang hanya menekankan pada pedagogi dan pengajaran dalam kelas. Namun, gagal dalam hal “menumbuhkan budaya dan kecerdasan emosional anak, yakni dengan memberikan pengalaman bermain (menikmati kesenangan) dan bereksperimen.” Ditekankannya juga bahwa pendidikan yang mengenalkan budaya sendiri serta mendorong pembelajaran di luar kelas sebagai cara menanamkan daya inovasi dan kreativitas. Dan, hal itu tidak dilakukan dalam pendidikan China. Penjelasan dari mantan Menteri Pendidikan dan menteri senior Singapura, Tharman Shanmugaratnam juga sangat membantu memahami duduk soalnya. Menurutnya, baik Amerika maupun Singapura menerapkan sistem meritokrasi. Hanya saja, Amerika menggunakan meritokrasi bakat (talent meritocracy) sementara Singapura meritokrasi ujian (exam meritocracy). Dalam exam meritocracy ada elemen-elemen kunci yang tidak dapat diuji dengan baik, yaitu kreativitas, keingintahuan, rasa petualangan, dan ambisi. Lain dari itu, Amerika memiliki budaya belajar yang menantang kearifan konvensional, sementara Singapura tidak memilikinya. Jawaban ini, kiranya mewakili “wajah pendidikan Asia,” meski saya tidak cukup tega menyandingkan sistem pendidikan Indonesia dengan China dan Singapura!   Dalam karya Fared Zakaria mempresentasikan hasil-hasil riset, pengamatan yang subtil dan eksplorasi pengalaman berbagai universitas dan pemimpin dunia terkait pendidikan Liberal Arts. Banyak contoh diambil dari Yale-NUS College di Singapura, yang disebutnya sebagai “yang terbaik di dunia” lantaran mengkolaborasikan dua world view timur dan barat. Saya mencoba membuat intisari dan catatan dari hasil mencerna gagasan dari karya yang menjadi bestseller di New York Times ini. Sejumlah informasi penting dari buku ini saya gunakan untuk menegaskan tujuan dari tulisan ini, yaitu “Mengapa perlu Liberal Arts.”    Pendidikan pada awalnya bersifat fungsional semata, berupa latihan-latihan untuk kepentingan survival, seperti mengasah keterampilan memanah, berperang, bertani, berburuh,bertarung dan sebagainya. Barulah di era Socrates (470 – 399 BC) pendidikan diorientasikan untuk mencari kebenaran dan keutamaan hidup (arête). Murid-muridnya, Platon dan Aristoteles meneruskan ajaran sang guru. Socrates hidup di saat sistem demokrasi sedang di puncak kejayaannya karena sudah sejak abad ke-5 Yunani telah bereksperimen dengan sistem pemerintahan polis itu. Pendidikan dengan sendirinya perlu disesuaikan sebab tidak lagi cukup hanya memiliki keterampilan hidup, melainkan perlu mencakup upaya pemberdayaan agar masyarakat ikut mengelola polis. Kaum Sofis yang seangkatan dengan Socrates perlu dicatat memiliki kontribusi besar dalam upaya pemberdayaan dan literasi politik warga, yang berkontribusi mendorong kemerdekaan berekspresi dalam kehidupan demokrasi polis, terlepas dari “ajaran sesatnya” yang membuatnya beroposisi dengan Socrates. Hubungan antara pendidikan dengan kebebasan atau kemerdekaan menjadi kebutuhan. Kelak, dibawah emperium Romawi model ini dirumuskan sebagai pendidikan liberal karena menunjuk pendidikan bagi orang merdeka. Demokrasi mengandaikan manusia-manusia bebas agar dapat leluasa memberi kontribusi bagi kemajuan polis.    Isocrates (436–338 BC), seorang orator ulung dan penulis di era itu mendukung pencarian arête ala Socrates, namun bersama pengikutnya juga percaya bahwa orang dapat mencapai kebajikan sekaligus mencari nafkah dengan mempelajari seni retorika, bahasa, dan moralitas. Disinilah dualitas dalam pendidikan menjadi lebih nyata, yaitu disatu sisi ditujukan untuk mencari kebenaran hakiki, tetapi disisi lain memenuhi kebutuhan materil untuk hidup. Kelak Cicero (Marcus Tullius Cicero) yang hidup di abad pertama Masehi (106 BC-43 M) dicatat dalam sejarah sebagai orang pertama yang menggunakan istilah artes liberales. Frasa itu digunakan karena ia ingin menggabungkan antara pencarian kebenaran dengan retorika, yang dianggapnya sebagai keterampilan yang sangat berguna). Pada abad pertama inilah pendidikan dengan pendekatan dualistik diformalkan, yang dirangkum menjadi apa yang kemudian dikenal sebagai “tujuh liberal arts,” dimana kurikulum dikelompokkan menjadi sains dan humaniora, teroretis dan praktis, filosofis dan praxis.   Di abad pertengahan yang berlangsung antara 400-an hingga 1400-an Masehi, dibawah dominasi para ulama, pendulum pendidikan lebih fokus kepada kebenaran teologis, sehingga pemikiran-pemikiran teoretis-filosofis meredub. Akal takluk dibawah otoritas teologi. Pencarian kebenaran selalu dalam kaitan dengan kebenaran teologis, dan semakin ke ujung upaya harmonisasi antara kebenaran agama dan akal mengemuka. Melalui pemikiran, misalnya Albertus Magnus (yang dijuluki Doktor Magnus dan Doktor Universalis), Ibnu Rushyd, Don Scotus, Thomas Aquinos dan lainnya, terlihat kebenaran teologis dan kebenaran akal mengalami kalibrasi. Pendidikan formal atau universitas muncul di era Scolastik, diawali dari Universitas Al-Karaouine di Maroko (859 Masehi), Al Azhar di Mesir (970), Universitas Bologna di Italia (1088), Universitas Paris (1096), lalu Oxford (1096) dan Cambridge (1209) di Inggris. Meski pendidikan tinggi ini mengajarkan filsafat, teologi, kedokteran, hukum dan lainnya, namun teologi jelas mendominasi. Kebenaran-kebenaran lain adalah dalam rangka mendukung kebenaran teologi.    Abad ke-14 di Italia terbit fajar renaissance yang menandai beakhirnya malam panjang abad kegelapan (pertengahan). Timbangan formula pendidikan mengalami tekanan baru. Ada kesadaran bahwa pendidikan universitas telah sangat terspesialisasi. Para cendikiawan dan penulis ingin mengembalikan pendidikan gaya Eropa ke akarnya pada kebudayaan Yunani dan Romawi. Mereka ingin ‘membersihkan’ pendidikan dari jejak Scolastik yang terlalu memberi tekanan pada teologi (kristen), lalu menggantikannya dengan filsafat, seni, sastra dan sejarah klasik. Ini menandai kebangkitan kembali humanisme yang kemudian mewarnai pendidikan dan bahkan kebudayaan Eropa. Dengan kata lain, renaisance telah mengembalikan pendidikan ke akarnya, yaitu artes liberales.    Perguruan tinggi residensial kemudian menjadi model karena diyakini memiliki “kualitas plus” dalam upaya meningkatkan pengalaman pendidikan liberal di luar kurikulum. Bermula dari Inggris lalu menyebar ke seluruh Eropa, kemudian ke Amerika. Gambarannya, bangunan dengan halaman terbuka di tengahnya dan asrama mahasiswa di sekitarnya. Terdapat aula tempat para siswa bertemu untuk kegiatan bersama, ada kapel untuk beribadat dan doa, lalu perpustakaan tempat membaca. Di negeri paman Sam, Harvard dan Yale misalnya, paling pertama mengadopsi model residensial. Jadi, kampus berasrama dimaksudkan agar mengkondisikan optimalsasi pembelajaran pendidikan tinggi dengan pendekatan liberal arts. Bahkan, Yale-NUS yang baru berdiri 2013 pun memilih menggunakan model residensial yang sudah ditinggalkan di banyak universitas perintis liberal arts.    Di pertengahan abad ke-17 industrialisasi mengguncang Eropa, dimulai di Inggris. Sektor kerja dan sektor nafkah mengalami revolusi yang memberi dampak berskala luas. Kebutuhan mengelola mesin industri sangat kuat memutar orientasi pendidikan, yang dampaknya terasakan hingga hari ini. Dalam sejarah, salah satu tonggak penting yang dirujuk adalah ketika ditengah gempuran teknologi dan perkembangan ekonomi di awal abad ke-18, universitas Yale mengeluarkan laporan 1828 yang intinya mempertahankan model pendidikan liberal. Laporan Yale menjelaskan inti pendidikan liberal sebagai: “tidak mengajarkan sesuatu yang khas pada salah satu profesi; melainkan meletakkan dasar yang sama bagi semua profesi.” Dalam ungkapan lain yang popular saat itu, “liberal arts melatih pikiran untuk berpikir, dan bukan mengisi pikiran dengan konten tertentu saja.”   Awal abad ke-20 banyak imigran memasuki Amerika. Gelombang imigran yang terus berdatangan ini menciptakan kekhawatiran di sejumlah kalangan, terutama cendikiawan dan tentu saja politisi. Nilai-nilai Amerika dikhawatirkan terancam luntur. Tahun 1920 John Erskine, seorang profesor bahasa Inggris dari universitas Colombia disebut sebagai yang pertamakali menawarkan kursus dua tahun yang disebut General Honors. Tujuan Erskine adalah ”membekali kaum muda dari latar belakang yang berbeda dengan budaya yang sama, sesuatu yang menurutnya sudah tipis di Amerika Serikat,” dan menurutnya cara terbaik untuk menjadi benar-benar terpelajar adalah dengan membenamkan diri mahasiwa dalam karya-karya besar di masa lalu.    Tekanan LA adalah pada kemampuan berpikir. Tetapi, harus juga disadari bahwa untuk mengaktifkan kegiatan berpikir Anda perlu lakukan dengan menulis. Aktivitas menulis akan mengaktivasi pemikiran, dan terlatih dalam menulis akan membuat Anda terlatih dalam berpikir. Disamping menulis, berbicara (berorasi dan berdiskusi), atau lebih tepatnya kemampuan memberikan penjelasan tentang hasil-hasil eksperimen ilmiah, dan meneliti merupakan cara simultan mengaktifkan pemikiran. Kegiatan-kegiatan seminar dengan demikian penting karena dengan itu mahasiswa belajar membaca, membedah, menganalisis, dan menyimpulkan, yang hasilnya lalu ditulis dan didiskusikan atau dipresentasikan. Di era serba digital ini, kemampuan berbicara menjadi faktor kunci dalam ekspresi diri, baik untuk kepentingan pekerjaan maupun kepentingan pengembangan diri. Kekuatan ketiga dari LA menurut Zakaria adalah mengajari mahasiswa cara belajar. Dengan semua aktivitas di atas, mahasiswa terlatih dan terbiasakan dengan kultur belajar yang kemudian menjadi gaya hidup.    Sebuah analogi dari Thomas Cech, ahli kimia pemenang Nobel dan lulusan Liberal Arts klasik dari Grinnell College mungkin membantu. Dianalogikan sebagai jenis olahraga, seorang atlet melakukan latihan yang tidak terkait bidang permainanya saja. Demikian juga mahasiswa perlu mempelajari bidang diluar fokus akademiknya. “Pelatihan silang dapat melatih kelompok otot utama lebih efektif daripada menghabiskan jumlah waktu yang sama untuk berolahraga dalam olahraga yang diminati,” tulis Cech.    Zakaria sebagai alumni Yale dan pendukung program buku ini banyak menjadikan Yale-NUS sebagai model. Asal tahu saja, tahun 2011 Yale dan NUS bekerja sama membangun sebuah universitas berbasis Liberal Arts berlokasi di Singapura. Kolaborasi pengalaman ke dua universitas adalah juga kolaborasi kultur barat dan timur, menjadikan Yale-NUS sebagai model pendidikan LA yang paling maju. Alasannya, selain kolaborasi dua kultur, juga Yale-NUS memasukan “filsafat dan sastra timur” dalam kurikulum. Dibuka pada tahun ajaran 2013, mahasiswa angkatan pertama datang dari 26 negara berjumlah 157 orang. Keunggulannya tentu saja bukan hanya karena telah mengkolaborasikan dua pandangan dunia (world views), tetapi juga kolaborasi kompleks antara para pakar berbeda keahlian, pengalaman, dan mengakomodasi konteks multikulturalisme dalam kurikulum. Model ini membuat Yale-NUS paling siap menghadapi tantangan abad 21.    Di India, Ashoka University dan Nalanda University telah membuka kelas Liberal Arts mulai tahun 2014, juga Universitas Azim Premji dan Mahindra United World College. Kurikulumnya mengangkat kembali warisan kuno filsafat, sastra, sains, dan etika India, tetapi dalam bentuk seni dan sains liberal modern. Di Jepang Universitas Tokyo telah mendahului membuka Liberal Arts di tahun 2004, diikuti Universitas Waseda.    Amerika mungkin contoh yang bagus soal penerapan Liberal Arts. Dalam berbagai kompetisi internasional dan PISA, capaian para siswa Amerika mengecewakan. Rangking-rangking terbaik didominasi mahasiswa Asia. Namun, dalam hal inovasi Amerika tidak terkalahkan. Silicon Valley adalah sebuah ikon inovasi dunia. Israel dan Swedia juga termasuk memiliki daya inovasi tinggi, namun, seperti Amerika keduanya tidak mencetak rangking dalam PISA. Beberapa ciri menonjol, di ketiga negara tersebut budaya kerja tidak hierarkis menekankan pada meritokrasi (prestasi), terutama tentu saja talent meritocracy, bukan exam meritocracy (exam-dominated curricula ) seperti di Asia. Ciri lain terletak pada sifat masyarakatnya yang percaya diri, terbuka, dan mudah menerima ide-ide baru yang menantang.    Jika Thomas Jefferson, pendiri Virginia University yang berbasis LA menyebut tujuan LA adalah menjamin berlangsungnya demokrasi, maka Benjamin Franklin merumuskannya secara lebih umum, yaitu sebagai “jalan menuju pelayanan umat manusia.” Baik Jefferson maupun Franklim mantan presiden Amerika bertolak dari asumsi yang berbeda, namun relevansinya masih sesuai hingga hari ini. Mentalitas pasar telah membentuk budaya transaksional yang menggeser demokrasi. Bahkan di lembaga-lembaga yang berfungsi merawat dan menjalankan demorasi terjebak dalam proses-proses politik berbasiskan transaksi kepentingan. Dan, dunia pendidikan tidak pernah didisain untuk menciptakan masyarakat demokratis, sebailknya melayani kebutuhan pasar. Disini visi pendidikan liberal arts Jefferson membantu kita merawat keberlanjutan budaya demokrasi, sebelum dimutilasi dan dikuburkan oleh budaya pasar yang sangat ekspansif. Sudut pandang Franklin melihat kecenderungan memudarnya semangat kolektif dan solidaritas kemanusiaan. Dunia yang semakin kering solidaritas membutuhkan sistem pendidikan yang mengkultivasi jiwa pelayanan. Dan, kedua visi tersebut menjadi roh dari pendidikan liberal arts.    Bagi yang masih ragukan kontribusi LA terhadap keahlian spesifik ada baiknya belajar dari eksperimen Dr.Irwin Braverman dari the Yale Medical School. Ketika tahun 1998 dia mengajar mahasiswa kedokteran ia menemukan bahwa kekuatan observasi dan diagnosis mereka lemah. Solusi barunya adalah membawa mereka ke galeri seni. Bekerja sama dengan Linda Friedlander, kurator dari Yale Center for British Art merancang tutorial visual untuk seratus mahasiswa. Mahasiswa diminta meneliti lukisan, memaksa mereka membongkar lapisan-lapisan detail dan makna dalam sebuah karya seni yang baik. Braverman temukan mahasiswa menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik dalam diagnosis setelah mengambil kelas itu. Keberhasilan tersebut lalu diikuti dua puluh sekolah kedokteran lainnya.    Data lainnya yang sangat meyakinkan, tahun 2013 American Association of Colleges and Universities mempublikasikan survei yang menunjukkan bahwa 74 persen pemberi kerja akan merekomendasikan pendidikan liberal kepada mahasiswa sebagai cara terbaik untuk mempersiapkan ekonomi global saat ini. Mantan CEO Seagram Company Edgar Bronfman memberi satu nasihat kepada mahasiswa yang ingin sukses dalam bisnis: “dapatkan gelar seni liberal. Menurut pengalaman saya, gelar seni liberal adalah faktor terpenting dalam membentuk individu menjadi orang yang menarik dan tertarik yang dapat menentukan jalannya sendiri di masa depan.” Almarhum Steve Jobs dan Mark Zukerberg juga akan memberikan nasehat yang mirip, mengingat di latar sukses mereka ditopang oleh kompetensi liberal arts yang kental.    Dalam rancangan mengadopsi pendidikan LA, ada baiknya mempertimbangkan nasehat Drew G.Faust, wanita pertama yang menjadi presiden Universitas Harvard (ke-28), bahwa pendidikan liberal harus memberi orang keterampilan “yang akan membantu mereka bersiap untuk pekerjaan keenam, bukan pekerjaan pertama mereka.” Sarjana LA sulit mendapatkan pekerjaan pertama lantaran pasar kerja belum memiliki formula untuk formasi itu. Apa yang dilakukan di Stanford mungkin perlu ditiru, yaitu memanfaatkan jaringan alumni untuk memberikan kesempatan kerja pertama. Pekerjaan pertama biasanya menjadi pembuktian, bahwa sarjana LA memiliki daya adaptasi dan inovasi yang “tahn uji di berbagai medan,” dan secara konsiten dapat memberikan kontribusi positif dalam berbagai perubahan situasi. Perlu dicatat, bahwa nampaknya judul buku “In Defense of a Liberal Education” menggambarkan semacam kegalauan intelektual penulis melihat kecenderungan dukungan terhadap pendidikan LA di Eropa dan Amerika mulai menurun. Secara umum, kebijakan keuangan negara lebih berpihak kepada pendidikan vokasi/kejuruan karena dianggap dapat memberikan hasil nyata dan terukur. Tetapi, juga tidak sedikit praktisi pendidikan, cendikiawan, pengusaha, juga universitas yang dengan gigih ingin tetap mempertahankan LA. Termasuk Yale, yang dengan cerdas dan bijak berkolaborasi dengan NUS membangun Yale-NUS College. Pendidikan berbasis LA juga mulai dikembangkan oleh perguruan tinggi di negara-negara Asia, seperti Singapura, Jepang, Korea, India, Filipina, Taiwan, dan lainnya.    Komentar Michael S. Roth, presiden Wesleyan University yang menghadiri pembukaan kampus liberal arts Yale-NUS sebagaimana ditulisnya dalam artikel berjudul “American Liberal Education Is Happening in Singapore” di The Atlantic (16/10/2015). Roth menyebut Yale-NUS College sebagai “like a timely rain.” Roth sendiri mengutip Pericles Lewis, pendiri dan presiden Yale-NUS dalam sambutannya di acara pembukaan itu. Frasa itu juga dikutip Lewis dari filsuf Confucian, Mencius yang menjelaskan “kekuatan pendidikan yang mentransformasi” sebagai “like a timely rain,” hujan yang turun sebelum waktunya. Rantai kebajikan itu sendiri sangat khas artes liberales (dalam ungkapan filsuf Yunani klasik, Cicero).    Apakah di Indonesia kita akan segera mentransformasi sistem pendidikan kita? Apakah konsep “Kampus Merdeka” hendak menavigasi sistem pendidikan, sekurangnya pendidikan tinggi di Indonesia untuk terlibat menciptakan “hujan sebelum waktunya,” atau hanya merdeka dalam mengkampanyekannya, namun tetap terbelenggu dalam labirin kerumitan birokrasi yang memerosotkan pendidikan kita? Setidaknya, untuk menemukan model terbaik, adalah bijak bila pemerintah membuka ruang seluas-luasnya bagi masing-masing Perguruan Tinggi untuk menerjemahkan konsep yang khas liberal arts itu. Dengan demikian, kita akan mendapatkan banyak model dengan corak-corak yang unik sebagai awal untuk memenemukan model pendidikan “yang khas Indonesia.”