Epistemologi & Metodologi Empirisisme Hume

Kursus epistemologi dan metodologi segera memasuki sesi keempat (dari 10 sesi). Di sesi pertama Dr.Setyo Wibowo membawa kita ke permulaan aktivitas epistemologi oleh para pemikir Yunani antik. Merekalah yang meletakkan dasar bagi kegiatan berpikir ilmiah dan merintis apa yang kemudian kita kenal sebagai epistemologi. Pun, para pemikir Yunani telah berspekulasi tentang esensi realitas. Melalui Demokritus, misalnya, Sains modern telah mewarisi atom sebagai “inti realitas,” juga teorema Pytagoras, kosmologi Aristotelian (dan Ptolomeus), Geometri Platonian, dan sebagainya. Bahkan, skeptisme nihilisme telah lahir melalui gagasan Gorgias diabad ke-5 SM.

Sekitar 2000 tahun kemudian setelah melalui lorong remang 1000 tahun abad pertengahan, munculah Rene Descartes di panggung peradaban dengan mendeklarasikan Rasionalisme. Melalui metode kesangsian radikal, ia mentahbiskan rasio/nalar sebagai “satu-satunya jalan” menuju pengetahuan. Indera bisa menipu karenanya tidak bisa menjadi pegangan kokoh bagi pengetahuan. Meski demikian, seperti kita pahami melalui presentasi Dr.Karlina Supelli, sains telah membuktikan bahwa rasio tidak tahan uji, dan melaluinya kepastian pengetahuan tidak terjamin.

David Hume (dan emperis lainnya seperti John Locke dan Barkley) kemudian memperkenalkan metode skeptisme (radikal). Metode ini menolak rasionalisme, karena bagi mereka yang nyata ada adalah apa yang bisa kita alami secara langsung. Pengalaman (emperia)lah jalan menuju pengetahuan, bukan rasio. David Hume, sebagai salah satu arsitek utama emperisme sesungguhnya terobsesi dengan emperisme Isaac Newton, yaitu bertitiktolak dari gejala. Bahwa gejala mendorong pengamatan dan pengalaman lalu menjadi awal pencarian pengetahuan.

Guna memperlihatkan perbedaan antara rasionalisme dan emperisme, Dr. A. Widyarsono memberikan analogi yang menarik, yaitu dengan menjawab pertanyaan, “bagaimana sebuah pohon diketahui sebagai pohon?” Rasionalisme akan menjawab, “oh, di dalam pikiran kita sudah ada ide tentang pohon (innate ideas), sehingga ketika melihat pohon di sana kita segera ketahui itu sebagai pohon.” Tetapi, sebaliknya jawaban emperisme adalah, “ide tentang pohon muncul didalam pikiran kita, sesudah kita melihat atau meraba pohon di luar diri kita.”

Dari pemahaman di atas terlihat rasionalisme dan emperisme terkait secara oposisional. Keduanya mengklaim jalannya sendiri, apakah benda ada terlebih dahulu atau ide tentang benda yang terlebih dahulu ada? Perbedaan ontologis ini dengan sendirinya menjadi penciri perbedaan epistemologis keduanya. Hakikatnya, tidak seperti rasionalisme yang mengusung rasio atau nalar, emperisme meletakkan jalan pengetahuan melalui daya sensorik dari sistem pengindraan manusia.

Maka, jelas proyek emperisme Hume melawan gagasan ide bawaan yang diusung rasionalisme. Juga menyerang pemikiran religius, termasuk kaum emperis yang masih percaya pada substansi (yang bersifat metafisik). Dengan kata lain, secara luas empersime menolak sepenuhnya metafisika.

Bagi emperisisme Hume, pengetahuan harus dibangun di atas pengalaman dan pengamatan yang ketat. Apapun yang tidak mengacu ke fakta dan pengalaman harus ditolak. Itulah sebabnya, gagasan keabadian jiwa, atau argumen untuk membuktikan eksistensi Tuhan sama sekali ditolak.

Bahkan, pada pandangan Hume kausalitas bersifat metafisik sehingga tidak dapat dibuktikan. Kita tidak dapat mengamatinya. Apa yang dianggap kausal hanyalah prediksi atas dasar prinsip asosiasi yang dimungkinkan karena lebih ditopang oleh “pengaharapan” ketimbang fakta obyektif yang bisa dialami. Prinsip asosiasi ini membawa kita melampaui pengamatan indrawi.

Bila seekor kucing ditabrak mobil lalu mati, kita tidak dapat mengatakan bahwa kucing mati oleh sebab tertabrak. Antara “mobil yang menabrak” dengan “kucing yang mati” hanyalah dua kejadian yang berurutan atau beruntun. Itulah fakta pengamatan, sebab memang yang dilihat oleh “saksi mata” hanyalah mulanya ada kejadian mobil menabrak, kemudian diikuti kucing mati.

Ini tentu membawa implikasi luas, misalnya pada kasus-kasus hukum. Bila seorang memberi kesaksian di pengadilan, bahwa ia menyaksikan “Si A dibunuh oleh si B dengan pistol” maka dalam pandangan Hume, si saksi mata telah bersaksi melampaui fakta indrawinya. Fakta sesungguhnya yang bisa diamati indra adalah, terjadi penembakan pistol oleh si B lalu diikuti kejadian si A meninggal.” Apakah si A meninggal disebabkan oleh peluru yang digelontorkan dari pistol si B sama sekali tidak dapat diamati dalam sebuah hubungan sebab akibat. Bukankah si A bisa saja meninggal karena faktor lain sebelum peluru mengenainya? Misalnya, serangan jantung? Intinya, kaitan atau proses sebab-akibat antara penembakan dan kematian tidak dapat diamati.

Itulah sebabnya skeptisme Hume dianggap radikal, karena bahkan ia mengatakan bahwa kita hanya bisa memprediksi besok matahari akan terbit di timur, tetapi tidak bisa memastikannya. Faktanya kita tidak atau belum mengalami hari esok sehingga tidak bisa membuat kesimpulan atas apa yang belum dialami. Kita hanya mungkin menprediskinya berdasarkan pengalaman sebelumnya, namun sebuah prediksi tentu bukanlah fakta. Kita juga bisa mengharapkan besok matahari terbit (di timur), tetapi pengharapan juga bukan fakta, bukan?

Sebagai runtun logis dari skeptisme radikalnya, Hume menegaskan tidak mungkin mencapai kepastian pengetahuan. Dengan bertopang pada pengalaman inderawi, Hume meyakini pengalaman yang menjadi fondasi pengetahuan itu sendiri tidak dapat memberi kepastian, melainkan ‘sekadar” probabilities. Artinya, semua pengetahuan yang kita miliki hanyalah berupa kemungkinan-kemungkinan yang bisa mendekati kepastian.

Pun, kita pahami bahwa penemuan sains menunjukkan realitas dapat melampaui fakta-fakta pengamatan seperti yang diidealkan Hume dan kaum empersime. Kepastian matematik, misalnya. Juga, banyak fakta hanya dapat dikonfigurasi melalui model abstrak atau formula matematik guna mensimplifikasi realitas agar bisa dipahami. Dan, kitapun tahu model dan formula bukanlah fakta sebagaimana “apa adanya”, bahkan bukan didasarkan atas sesuatu yang bisa disebut “fakta,” alih-alih “fakta teralami?”

Dengan demikian, baik rasionalisme maupun empersime belum dapat memberi kepastian pengetahuan. Artinya, baik kesangsian radikal rasionalisme maupun skeptisme radikal emperisme belum dapat memberikan kepastian pengetahuan.

Link sessi 3: