Sebagian warga akademik mungkin cukup akrab dengan TMT (𝗧𝗵𝗿𝗲𝗲 𝗠𝗶𝗻𝘂𝘁𝗲 𝗧𝗵𝗲𝘀𝗶𝘀). Sebuah inovasi yang diintroduksi oleh University of Quensland sekitar 2008/2009. Inovasi ini memberi kesempatan kepada para peneliti, umumnya mahasiswa magister dan doktoral untuk mempresentasikan hasil riset mereka, hanya dalam waktu 3 menit. Ini tantangan yang tidak mudah. Bayangkan, membuat presentasi hasil riset yang mungkin ratusan halaman hanya dalam waktu sesingkat itu. Kompetensi utama yang dibutuhkan untuk itu tidak saja penguasaan materi, tetapi juga kemampuan membuat media (infografis, mindmap dan sejenisnya) serta me-manage waktu. Dalam hal ini kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien juga dibutuhkan.
Hingga hari ini TMT telah diadopsi di ratusan universitas berbagai negara, baik Asia Pasifik, Eropa maupun Amerika. Di Indonesia terekam FISIPOL UGM yang pertama kali menyelenggarakannya di tahun 2021, dengan menyertakan juga mahasiswa S1 dan S2. Dirancang sebagai event kompetisi membuat even ini “bergengsi,” dan menantang. Dampaknya akan luar biasa sebab dapat memproduksi “presenter-presenter sains” yang mumpuni. Karenanya, TMT memang sangat sesuai untuk mahasiswa-mahasiswa tahun terakhir, apalagi untuk mahasiswa magister dan doktoral sehingga selayaknya dilihat sebagai “hal yang tak terhindarkan.”
Tetapi, bukankah mahasiswa tahun pertama di bangku kuliah juga membutuhkan keterampilan mengkomunikasikan pengetahuan? Bahkan, mungkin lebih membutuhkannya, mengingat hampir semua proses pembelajaran di kampus melibatkan keterampilan menulis dan presentasi? Tentu saja, ini mempersyaratkan kemampuan dasar terkait literasi ilmiah (memahami proses dan cara-cara kerja ilmiah), kemudian baru mengkomunikasikannya. Dimulai dari lingkungan terbatas pada diskusi-diskusi kelompok, diskusi kelas, lalu ke lingkungan lebih luas seiring perkembangan tingkat kematangan dalam “produksi” pengetahuan. Itulah sebabnya kompetensi-kompetensi ini sudah seharusnya dikuasai, setidaknya dipahami sejak ditahun pertama.
Pusat Pengembangan Pemikiran Kritis (CCTD) UKSW sebagai pengelola MDU Berpikir Kritis mengamati, bahwa kebutuhan mempersiapkan mahasiswa tahun pertama agar memiliki literasi ilmiah merupakan prasyarat penting. Jamak dikeluhkan para dosen bahwa mahasiswa kurang kritis, bermentalitas copas (plagiasi), punya kemampuan menulis dan presentasi (komunikasi) yang lemah. Sayangnya, bertahun-tahun kendala ini hanya menjadi keluhan, tanpa intervensi atau terobosan untuk memberi solusi.
Itulah sebabnya CCTD UKSW melalui kuliah Berpikir Kritis memutuskan merancang silabus untuk memberikan literasi ilmiah kepada mahasiswa tahun pertama, dengan menekankan pada latihan keterampilan menulis (Critcal Writing) dan keterampilan presentasi (Critical Speaking). Artinya, hasil-hasil “latihan memahami dan memproduksi pengetahuan” harus diikuti kemampuan mempresentasikannya dalam bentuk tulisan maupun verbal.
Sebagai Tugas Akhir Semester (TAS), mahasiswa diminta menulis esai lalu membuat presentasi verbal. Kedua tugas ini merupakan bagian dari penilaian TAS. Melalui proses pelatihan dan pendampingan, mahasiswa diminta mempersiapkan presentasi dalam bentuk MINDMAP atau INFOGRAFIS, dengan durasi maksimal 5 menit. Itulah sebabnya, kami namai FMP (𝐅𝐢𝐯𝐞 𝐌𝐢𝐧𝐮𝐭𝐞 𝐏𝐫𝐞𝐬𝐞𝐧𝐭𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧). Kalau TMT diperuntukkan bagi para “presenter sains professional,” maka FMP diadakan untuk para pemula sehingga sifatnya sebagai forum latihan saja. Karena itu, kelak standar-standar penilaiannya (bila hendak dijadikan ajang kompetisi) disesuaikan sesuai levelnya itu.
TAS dapat dipresentasikan secara langsung maupun recorded. Mahasiswa diberi kebebasan memilih. Bagi yang ingin merekam sendiri dapat meng-uploadnya di youtube channel pribadi lalu menyerahkan link-nya. Sedangkan, bagi yang ingin presentasi langsung, disediakan forum untuk live streaming di youtube channel CCTD UKSW, .
Pada sesi perdana ini dilaksanakan 8-9 Desember 2022. Mahasiswa yang mengikuti presentasi live sebanyak 43 peserta. Jumlah yang melampaui ekspektasi kami. Berkolaborasi dengan Ruang Saling Silang (RSS) presentasi live diadakan di café rumah Kolega (Grogol, Salatiga).
Setelah presentasi, tim membuat evauasi keseluruhan untuk lebih mempersiapkan session berikutnya. Tetapi, terutama adalah juga dijadikan bahan masukan untuk menyempurnakan materi (konten), media, pendekatan, maupun metode belajar-mengajar di kelas. Seperti dapat Anda lihat di gambar-gambar lampiran, hasil-hasil disain mindmap atau infografis cukup kreatif. Perform mereka juga tidak mengecewakan, bahkan dapat memberikan alasan untuk kita optimis dan berharap banyak di masa depan.
Semoga, dengan hadirnya FMP ini membuat mahasiswa UKSW di tahun pertama memiliki keterampilan dasar yang membantunya berproses secara mulus dan lancar. Bahkan berkontribusi dalam pembentukan kultur akademik, tidak hanya untuk kepentingan jangka pendek tetapi juga jangka panjang. Untuk kepentingan di kampus. Kedua keterampilan dasar yaitu menulis (critical writing) dan presentasi (critical speaking) akan membantunya mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dan membantu mahasiswa menalar produk intelektual mereka. Kedua keterampilan itu juga akan sangat dibutuhkan di dunia kerja (karier), bahkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sebab menulis dan presentasi (komunikasi) merupakan life skill.
CCTD UKSW kembali melanjutkan seri kursus epistemologi dan metodologi. Pada 13 Mei 2022, pukul 14.00-16.00 WIB, Thomas A. Tjaya, Ph.D sebagai pemateri membawa materi dengan pendekatan dialog, membuat para peserta terlibat aktif dalam sessi ke-7 ini. Topik epistemologi dan metodologi fenomenologi disajikan dengan menarik dan penuh diskusi antar pemateri dan peserta.
Bagaimana kita melihat dan memahami realitas diluar kita? Menurut Husserl kita tidak bisa memahami realitas diluar diri kita, apabila realitas tidak menampakan diri pada subyek. Husserl mengembalikan proses mendapatkan pengetahuan ke asal mula pengalaman untuk mendapatkan pengetahuan, yakni benda-benda yang ada diamati. Pengamat diminta kembali pada benda-benda yang akan membantu kita untuk mendapatkan pengalaman dalam melahirkan pengetahuan. Pada akhirnya obyek merupakan apa yang menampakkan diri pada kesadaran manusia. Hal inilah yang melahirkan pendekatan fenomenologi. Karena fenomen merupakan apa yang menampakkan diri pada kesadaran manusia. Dalam kesadaran tersebut membentuk perspektif terhadap benda yang dilihatnya.
Menurut Husserl, Nomena merupakan intensional dari kesadaran kita saat berhadapan dengan realitas. Dalam intensionalitas tersebut hanya akan didekati oleh satu aspek saja, dan bukan melihat secara keseluruan. Dalam fenomenologi membutuhkan sikap alamiah dari realitas yang ada diluar sana. Jadi siapa pun yang meneliti dan mengamati dunia, maka ia melihat dunia yang tetap sama dan tidak berubah. Untuk itu hindari diri dari membuat asumsi yang membuang sikap alamiah. Sikap alamiah dapat dilihat secara spesifik dengan membuat pengurungan (epoche-bracketing) untuk melihat realitas alamiah secara rinci. Contoh sikap alamiah adalah dengan melihat dunia sebagaimana apa adanya. Walaupun ada asumsi saat mengamati realitas. Namun diupayakan sikap alamiah dalam melihat realitas. Misal jika kita memandang sebuah benda dari depan, maka diupayakan mengungkapkan ralitas didepan yang dilihat. Bagian belakang yang tidak terlihat, tidak perlu diungkapkan. Karena akan bias dan mengandung banyak asumsi. Jadi sikap alamiah berupaya melihat realitas sebagaimana yang tampak.
Fenomenologi membutuhkan tanggungjawab dalam memahami realitas, sehingga kebenaran tidak direduksi.
JUDUL BUKU: New Atheism: Critical Perspectives and Contemporary Debates (Sophia Studies in Cross-cultural Philosophy of Traditions and Cultures. Volume 21). Springer International Publishing. EDITORS: Christopher R. Cotter, Philip Andrew Quadrio, Jonathan Tuckett. TAHUN TERBIT: 2017. Chapter 4: Epistemic Vices in Public Debate: The Case of ‘New Atheism’
Pada tulisan-1 saya telah membahas Chapter 3 yang ditulis oleh Christopher R. Cotter dibawah judul “New Atheism, Open-Mindedness, and Critical Thinking.” Seperti sudah saya tunjukkan kesimpulan Cotter tegas bahwa, disebabkan the-NA tidak open-minded maka tidak dapat disebut sebagai critical thinkers. Pada tulisan-2 ini saya bahas paparan Ian James Kidd di Chapter 4 (hal.50-68) tentang “kebajikan epistemik,” masih dalam kaitannya dengan the New Atheism (the-NA).
Kebajikan epistemik adalah sebuah konsep yang menghubungkan antara karakter dan penyelidikan ilmiah (proses ilmiah). Dalam praktiknya, pembahasan kebajikan epistemik dapat melibatkan juga identifikasi bukan hanya kebajikan melainkan juga keburukan (kejahatan) epistemik. Kebajikan epistemik mencakup sikap-sikap keingintahuan (kuriositas), kerendah-hatian (intellectual humility), kejujuran dan keberanian (intellectual integrity & courage), termasuk kolaborasi dalam melakukan penyilidikan ilmiah, berdebat, berteori, dan sebagainya. Sebaliknya, kejahatan epistemik meliputi sikap arogansi, dogmatis, ketidakjujuran, ketidakadilan (unfairnes) dan ketidaksensitifan epistemik.
Sebagaimana diketahui, banyak kalangan telah mengritik (terkadang terkesan menuduh) the-NA melakukan kejahatan epistemik. Melalui tulisan ini, Kidd hendak menguji apakah kritik-kritik yang dihujamkan kepada the-NA itu benar? Untuk melakukan analisis Kidd menggunakan konsep kebajikan epistemik sebagai indikator, khususnya arogansi dan dogmatisme.
Kidd merangkum berbagai kritik (atau tuduhan) kepada the-NA. Cimino dan Christopher Smith menyebutkan the-NA biasanya “kontroversial dan memecah belah, bersemangat dan agresif’ dengan cara yang mengikis peluang untuk musyawarah dan pertukaran rasional” (2010, 152). Richard Harries mengeluhkan the-NA memainkan “nada dominan, kebenaran intelektual, serta cenderung menghalangi perdebatan” (2010, xi). McGrath dan McGrath berkomentar bahwa sulit menulis tanggapan untuk The God Delusion dan menyebutnya sebagai “kumpulan factoids nyaman yang terlalu dilebih-lebihkan untuk mencapai dampak maksimum dan longgar sehingga sulit dimaknai sebagai argumen (2007, 13). Semua keluhan dan kritik di atas merupakan gejala dari kejahatan epistemik (misalnya, orang yang memiliki kejujuran intelektual tidak melebih-lebihkan). Di sini ciri-ciri dokmatis dan arogansi terlihat jelas.
Pada tulisan-1 saya juga telah menyebut, antaralain John Lennox yang pernah dua kali berdebat dengan Richard Dawkins menyatakan the-NA mengabaikan semua bukti-bukti yang dikemukakan untuk menjawap tuduhan mereka atas penganut agama. Lennox lalu menyebut the-NA bukan ateis melainkan anti-teis. Kritik lainnya adalah bahwa semua tuduhan the-NA tentang agama dan tuhan sama sekali tidak menggambarkan “wajah agama dan Tuhan” yang dianut kaum agamawan. Namun, semua itu seolah dianggap “angin lalu” oleh the-NA.
Secara metodologis Kidd akan mengkonsultasikan antara “pernyataan dan sikap the-NA” dengan “kritik dan tanggapan” para pengkritik. Teknisnya tak terhindarkan untuk memunculkan sumber-sumber rujukan, tetapi saya hanya mempresentasikan beberapa seperti di atas sekadar agar membantu memahami bagaimana Kidd tiba pada kesimpulan tulisannya. Juga, masih akan terlihat muncul ketika Kidd melakukan analisis. Konsep yang digunakan untuk mengkalibrasi “kedua pihak” adalah norma epistemik, yang tentu elemen intinya adalah kebajikan epistemik dengan berbagai cakupan sebagaimana telah dibahas di awal tulisan (lihat paragraf ke-2).
Konsep dan metodenya merujuk dua pakar kebajikan epistemik, Robert C. Roberts dan W. Jay Wood melalui karya mereka, Intellectual Virtues: An Essay in Regulative Epistemology (2007). Roberts dan Wood menjelaskan bahwa kesombongan epistemik dipahami sebagai “disposisi termotivasi untuk menyimpulkan secara ilegal beberapa hak dari keunggulan seseorang terhadap orang lain,” misalnya dengan menilai diri sendiri berhak atas status istimewa, perlakuan, atau hak berdasarkan superioritas intelektual atau sosial mereka. Dengan cermat Roberts dan Wood menandai dua spektrum kesombongan, yaitu yang lemah dan kuat. Mereka menilai bahwa orang-orang yang sangat sombonglah (kuat) yang benar-benar pantas diberi label “kesombongan,” disebabkan kesombongan mereka menyertakan penolakan terhadap koreksi (2007, 245–246).
Apakah the-NA sombong secara epistemik? Kidd mengaku analisisnya belum bisa memberi jawaban pasti, namun mungkin saja jawabannya, DIAFIRMASI! Menurutnya tuduhan arogansi epistemik terhadap the-NA kemungkinan besar berhasil sebab tiga komponen inti (rasa superioritas, hak kepemilikan, dan pembebasan-inferral) semuanya hadir dalam citra diri the-NA, juga dalam perilaku dan sikap yang mereka tunjukkan.
Kecenderungan the-NA yang menetapkan dan menegaskan konsepsi tentang hakikat keyakinan religius tanpa berkonsultasi dengan literatur teologis, filosofis, dan sosial yang relevan dapat ditafsir sebagai kesombongan epistemik, khususnya hak untuk mempertahankan iman. Ketergantungan the-NA pada catatan sejarah hubungan antara sains dan agama yang oleh sejarawan disebut Model Konflik juga diajukan sebagai contoh pendukung. Model ini sudah usang di studi agama, meski diakui masih popular.
Usang karena dianggap lebih melayani polemik ketimbang tujuan analitis, disamping dianggap mengaburkan kompleksitas hubungan antara sains dan agama. Alasan lainnya, tugas mengembangkan dan memperdebatkan hubungan antara sains dan agama membutuhkan keterampilan historis yang cermat dan disiplin serta kepekaan historiografis. Sayangnya, tidak ada seorang pun anggota the-NA yang bisa membuktikannya.
Konsep lain terkait kebajikan epistemik adalah sikap dogmatis. Penganut dogmatis “dengan sengaja berpaling dari wawasan kedalam kekuatan keberatan lawan bicara,” dan sebaliknya “menyerukan argumen bantuannya bahwa dia tahu atau setengah tahu untuk mengelak” (Roberts dan Wood 2007, 195). Dalam kasus seperti ini debat tidak dapat mengalami kemajuan. Sebabnya karena argumen yang buruk diulang-ulang sementara argumen baik (dari lawan debat) diabaikan dan disingkirkan (lihat Kidd 2015, 2017). The-NA menggunakan pemecatan, polemik, dan ejekan, menciptakan lingkungan sosial dan epistemik yang tidak nyaman, menimbulkan ketegangan dan konflik; dan karenanya merongrong penyelidikan kolektif/kolaboratif . Contoh yang umum adalah kecenderungan the-NA yang terus-menerus merendahkan orang-orang beragama, yang dalam kata-kata Dawkins sendiri, “korban” dari “virus akalbudi” (2006, 216–218), atau Sam Harris menggambarkan teologi Kristen sebagai “kisah kutu buku laki-laki yang menyebarluaskan kepura-puraan moral”'(2011, 5, 48).
Bagi saya, Kidd terlalu hati-hati, atau barangkali tidak punya intellectual courage (meski saya tidak menemukan alasannya) untuk menyimpulkan secara tegas, bahwa the-NA memang melakukan epistemic vice, oposisi dari kebajikan epistemik. Kidd menganjurkan perlunya kajian pelengkap dari perspektif konteks sosial dari “frasa-frasa yang digunakan the-NA yang menjadi sumber kritik.” Bukti kehati-hatian Kidd bisa dilihat sebagai bentuk kejujuran intelektual di sisi lain.
Kesimpulan Kidd berdasarkan pendekatan kajian epistemologi kebajikan (virtue epistemology) terkesan kabur, yaitu hanya “the-NA rentan terhadap tuduhan kejahatan epistemik, dalam hal ini arogansi dan dokmatisme epistemik.” Sebaliknya, Kidd mengingatkan potensi para pengkritik the-NA terjebak melakukan serangan ad hominem (menyerang karakter dan bukan argumen) yang merupakan bentuk falasi dalam debat. Bila, dengan menggunakan sumber-sumber epistemologi kebajikan analisis Kidd tidak ditujukan membuat kesimpulan melainkan hanya mengartikulasikan “suasana debat kedua pihak,” saya pun menganggap artikulasi Kidd tidak cukup kuat, dan cenderung mencari titik moderat.
Padahal semua contoh kasus dan bentuk-bentuk kritik atau keluhan sebagai sumberdaya analisis yang digunakan Kidd sangat berlimpah sehingga sulit menghindari sebuah kesimpulan tegas. Sekali lagi, menurut saya kesimpulan seharusnya sangat tegas, “bahwa the-NA jauh dari sikap kebajikan epistemik, atau melakukan kejahatan epistemik.” Bagi mereka yang sering membaca buku-buku the-NA maupun para pengkritiknya, membaca tulisan Kidd bagaikan mengikuti debat langsung (secara live) antara kedua pihak. Karenanya tidak asing dengan bukti-bukti yang digunakan Kidd dalam analisisnya.
Tetapi, pembahasan Kidd menyadarkan kita untuk mempertimbangkan memasukkan “kebajikan epistemik” sebagai elemen penting dalam membangun kebajikan intelektual (intellectual traits). Sebagai tahapan tertinggi dalam piramida pengetahuan, kiranya kebaijkan epsitemik memperkaya rumusan (dan harapannya performa) kebajikan intelektual dalam bangunan sistem atau kosmologi pengetahuan kita, khususnya melalui model pengembangan pemikiran kritis (critical thinking).
Dari tulisan Kidd, kita juga belajar untuk berhati-hati dalam membuat kesimpulan. Tetapi, jangan sampai kehati-hatian membuat kita mengabaikan kekayaan evidence. Hasrat untuk bersikap moderat merupakan jebakan lainnya!
Tulisan ini ditulis dan di-share 22 Mei 2021 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.
Filsafat ilmu melalui Ibu Karlina berhasil mengkatagorikan berbagai macam realitas tempat kerja ilmu. Selama ini yang saya pahami adalah ada ranah teori dan lapangan. Di mana lapangan ini adalah area aksi untuk atasi masalah besar yang ada. Lapangan dalam perspektif HIV, perempuan, anak, kemiskinan, seni, etnisitas dengan nilai kesetaraan inilah yang kurenangi. Kekerasan dan diskriminasi sebagai pemandu untuk membaca situasi dan kondisi. Untuk ini saya dapat julukan aktivis dan atau praktisi.
Terus terang saja saya bingung dan bertanya terus dengan katagori yang dilekatkan pada saya. Mengapa? Karena pada dasarnya saya juga masuk area teori. Teori-teori dan kerangka konseptual yang ada saya terapkan dan saya pertanyakan kepersisannya. Pendek kata saya jadi observer partisipatif dalam kerja yang mau lakukan perubahan. Katagori intelektual saya sematkan sendiri karena pada dasarnya saya adalah seorang peneliti manusia. Ketika kusematkan katagori ini lalu aku dapat julukan intelektual publik yang dibedakan dengan intelektual kampus. Soal intelektual publik dan kampus akan saya bahas di kesempatan lain.
Kali ini saya mau bahas beda aktivis dengan praktisi yang masuki realitas aktual. Realitas aktual yang kumasuki dengan juga masuk realitas eksperimen (ini yang luput dari pengamatan orang lain tentang diri saya).
Kerja aktivis bisa terkait dengan ideologi idealis seperti perempuan, gender, hak asasi manusia dan kemanusiaan. Ruang yang dimasuki aktivis adalah ruang yang digugat dan mau diubah. Karena itu kerjanya bisa tak ikuti sistem dan norma yang berlaku. Perubahan sosial adalah tujuannya. Semangatnya ubah bukan beradaptasi. Ini yang membuat aktivis punya wajah garang dan tak simpatik serta punya bias dari semangat pokoke.
Sedang kerja praktisi ikuti sistem yang ada dan ambil posisi sebagai pelaku yang melayani kebutuhan pasar. Praktisi berurusan dengan bayaran dan pasar. Kata profesional adalah jadi penggerak. Ada semangat mengubah berdasarkan harapan konsumen. Karena mengabdi pada pasar maka muncul problem dalam kaitan dengan brand yang pentingkan kemasan ketimbang isi. Barangkali juga tak berurusan dengan ketulusan.
Tulisan ini ditulis dan di-share 18 April 2021 oleh Esthi Susanti Hudiono diaplikasi Facebook.
Hakikat Filsafat Manusia (FM) adalah mempelajari manusia seada-adanya sebagai manusia. Itulah sebabnya, kajian FM dimulai dengan melihat manusia dalam kesamaan dengan pengada-pengada lainnya seperti batu, kayu, laut, planet, galaksi, kuda, monyet dan sebagainya. Setelah memahami kesamaannya, kajian FM akan masuk lagi ke level yang lebih spesifik malampaui sekadar pengada, yaitu sebagai pengada hidup (living being). Sebagai living being, manusia memiliki kesamaan ciri dengan hewan dan tumbuhan. Itulah yang presentasikan oleh Dr. Thomas Hidya Tjaya pada kursus Filsafat 2020.
Disamping kesamaan ciri, living being juga memiliki kesamaan kodrat. Pertama; kemampuan untuk menyempurnakan diri sendiri (autoperfektif), yaitu tumbuh, mengembangkan diri, mengerti sesuatu, mengambil keputusan, dsb. Kemampuan ini menunjukkan bahwa pengada hidup memiliki kesatuan substansial (substantial unity) yang membuatnya selalu bersifat identik dengan dirinya sejak kelahiran hingga kematiannya. Kedua; kesatuan substantial juga bersifat dinamis dan menstrukturkan. Hal ini memampukan pengada hidup yang sekompleks manusia dapat bernafas, bergerak, mendengarkan, belajar, dan sebagainya.
Ketiga; kesatuan substantial bersifat natural (bukan artifisial) yaitu sudah dimiliki oleh pengada hidup sejak awal dan menstrukturkannya sejak awal (bukan hasil penggabungan). Pengada hidup juga dimungkinkan memiliki kesadaran (sampai batas tertentu), yang menyebabkannya hadir pada dirinya sendiri demi penyempurnaan diri.
Keempat; kesatuan substantial bersifat subjektif (terkait dengan subjek), yaitu menyangkut sebuah “aku” (the I). Kesatuan substansial ini dialami sebagai subjek atau aku, tidak dapat direduksikan sebagai objek atau alat apapun. Sifat lainnya adalah kompleks, dimana pengada hidup terdiri atas berbagai bagian yang tergantung pada satu sama lain, namun memiliki suatu konfigurasi yang khas sehingga dapat memenuhi suatu fungsi tertentu.
Kodrat kelima dari pengada hidup adalah suatu substansi natural yang tersusun dari tubuh dan jiwa, dari keseluruhan yang berorgan dan kesatuan fundamental, dari suatu struktur inderawi dan subjektivitas metainderawi.
Jadi, living being memiliki kesamaan ciri juga kesamaan kodrat. Sejauh ini, manusia sebagai manusia belum bisa dibedakan dengan jelas dari pengada hidup lainnya, kecuali pada kompleksitas dan semacam gradasi, misalnya pada tubuh dan jiwa. Semua makluk hidup memiliki tubuh dan jiwa, namun pada manusia kompleksitas dan gradasinya lebih tinggi. Struktur ontologis pengada hidup ini belum menunjukkan perbedaan khas pada manusia yang membuatnya disebut manusia.
Manusia tentu memiliki perbedaan dari pengada hidup. Itulah fokus kajian dari FM, yaitu mempelajari struktur ontologis manusia. Struktur ontologis manusia mencakup empat lapis. Lapis terluar adalah TUBUH, kemudian JIWA, lalu HATI, dan akhirnya yang menjadi inti atau jatidirinya, yaitu ROH.
Apa yang telah jelaskan oleh Dr.Thomas Hidya Tjaya pada pertemuan kedua, 8 April 2021 adalah dua lapis terluar, yaitu Tubuh dan Jiwa, disamping menjelaskan kesamaan kodratnya dengan pengada hidup lainnya. Pada kedua lapisan terluar memang juga dimilki pengada lain, namun berbeda pada komplekasitas, performa dan gradasi-gradasi tertentu.
Membahas Tubuh, Romo Thomas merujuk metafisika Thomas Aquinas, agere sequitur esse (action follows being), yang mengandung asumsi bahwa pengada hanya dapat melakukan kegiatan tertentu apabila terdapat basis ontologis memadai dalam struktur pengada tersebut. Artinya, melalui “aksi” atau kegiatan dan fungsi yang dilakukannya dapat menggambarkan “being”nya sebagai basis ontologis yang memungkinkan aksinya. Dipicu oleh pertanyaan peserta (pak Poedji Soesila), romo Thomas menjelaskan ketika Yohanes Pembaptis mengirim muridnya menanyai Yesus, “apakah Engkau adalah Mesias yang kami nantikan, atau kami harus menantikan orang lain,” Yesus meminta murid-murid itu kembali kepada Yohanes dan memberi jawab: “kamu telah melihat orang lumpuh berjalan, orang buta melihat, bahkan orang mati dibangkitkan.” Jawaban itu menunjuk “aksi-Nya” sebagai indikasi yang menegaskan “being-Nya,” yang seolah-olah masih diragukan. Pembuktian “aksi” menghapus semua keraguan.
Secara umum Tubuh manusia menempati ruang dalam dunia, memiliki bentuk material tertentu, dapat diukur dan dihitung, dan terikat pada perubahan dan waktu. Tubuh memiliki kumpulan organ yang memungkinkan untuk memperbarui dan memproduksi diri. Juga, tubuh manusia diperlengkapi pancaindera yang membuatnya sadar akan lingkungannya serta bereaksi secara afektif.
Manusia juga memiliki kekhasan tubuh dibanding maklhuk lain, yaitu posisi tegak. Posisi tegak ini membuat manusia mampu melihat benda-benda dari atas, dan sekaligus menunjukkan dan memudahkan peningkatan aktivitas roh. Berkat kombinasi kevertikalan dengan kesadaran dan peralatan, “wajah manusia dibebaskan dari segala fungsi kealatan, penyerangan, atau pertahanan. Wajah, mulut, lidah, bibir, semuanya tersiapkan bagi perkataan atau bahkan sebelum perkataan, bagi mimik dan ekspresi. Wajah bercahaya dan mengambil rupa pribadi…yang disebut ‘engkau’; seorang pribadi, yang terletak dalam hubungan gratuitas.”
Dapat disimpulkan bahwa melalui aksi, Tubuh mengekspresikan “being-nya.” Itu berarti “being” bersifat potensil dan hanya bisa diaktualisasi lewat aksi. Aksi yang mempet atau macet akan menutupi atau menghalangi being. Dengan demikian, aksi sebagai fungsi tubuh untuk mengaktifkan being. Pada hewan, bentuk-bentuk aksinya terbatas, sebatas untuk menjalani kehidupan tetapi pada manusia dimungkinkan bentuk-bentuk aksi yang kompleks, yang terus berkembang, yang menggambarkan being yang berbeda dengan hewan dan tumbuhan.
Di lapis berikutnya terdapat Jiwa. Jiwa merupakan kesatuan substansial mencakup prinsip-prinsip dasar yang membuat manusia hidup. Di masa lalu, manusia primitif menganggap darah sebagai “jiwa” yaitu penentu hidup. Orang terluka lalu keluar darah yang banyak akan membuatnya mati. Juga, nafas dianggap sebagai jiwa karena menjadi menentu hidup.
Platon membedakan tubuh dari jiwa dan menganggap jiwa lebih unggul dari tubuh. Jiwa adalah substansi yang mendahului tubuh (eksistensi). Jiwa seolah lebih agung dan lebih esensial dari tubuh. Bahkan, tubuh dianggap sebagai “asing” dimana jiwa terjebak didalamnya, lalu menginisiasi kebebasan dari “perangkap” tubuh itu.
Aristoteles, murid Platon setuju bahwa jiwa dan tubuh berbeda, namun menganggapnya satu substansi. Sebab, menurut Aristoteles tidak bisa ada tubuh tanpa jiwa, sebaliknya tidak ada jiwa tanpa tubuh. Berbeda dengan Platon, Aristoteles meyakini eksistensi (tubuh) mendahului substansi namun tidak dapat dipisahkan. Masuk dalam kategori jiwa adalah aktivits mental intelektual. Jiwa sebagai tempat beradanya akal budi, yang membuat manusia dapat berpikir serta merasakan. Jiwa merupakan unsur batiniah yang tak terlihat, yang mencakup pikiran, emosi dan kehendak. Dengan itu manusia dapat berpikir, merasakan (misalnya mengasishi), dan membuat pilihan-pilihan.
Masih dua lapisan dalam struktur ontologis manusia yang belum sempat dibahas, yaitu Hati dan Roh. Harapannya, di bulan Juni atau Juli CCTD-UKSW kembali mengadakan webinar bersama romo Thomas Hidya Tjaya untuk menuntaskannya.
Semoga dengan memahami “being” sebagai manusia seada-adanya manusia dapat memandu kita untuk “merancang aksi” yang sesuai guna membuktikan hakikat kita. Sebab “aksi” adalah representasi dari being atau substansi atau hakikat kita sebagai manusia. Aksi yang tidak memadai akan mereduksi hakikat kemanusiaan kita!
Legasi Pak Probowinoto di bidang pendidikan dirumuskan dalam kata pempahlawanan yang dilontarkan oleh Pak Willi. Pempahlawanan yang berarti berproses terus. Pak Willi menghidupi filosofi pendidikan dari Bapak Notohamidjojo yang jadi rektor pertama UKSW. Rektor yang direkrut Pak Probowinoto ketika dirikan UKSW.
Kata kunci untuk pempahlawanan Pak Probowinoto adalah dekolonialisasi gereja dan integrasi orang-orang Kristen ke dalam Indonesia. Beliau hadir aktif, bebas dan berani di detik-detik kritis dengan memimpin orang-orang Kristen untuk lakukan transformasi. Beliau bergerak di antara lembaga Kristen dan kelompok kebangsaan. Karena itu ada yang sebut diri Pak Probowinoto sebagai pelintas batas. Batas-batas lama dibongkar untuk disesuaikan dengan format Indonesia. Pak Probowinoto telah membuat sejarah yang memungkinkan jalan Indonesia Kristen Protestan dibuat.
Karena itu proyek Pak Probowinoto adalah proyek menjadi terus hingga sekarang. Peran terbesar Pak Probowinoto adalah dalam semangat mendirikan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi melalui yayasan yang didirikan. Pak Probowinoto mengambil posisi king maker. Beliau yang pilih para pelaksana yang dikenali yang mungkinkan komunikasi dari hati ke hati terjadi. Legasi Pak Probowonoto ada pada garis kesinambungan yang dijaga oleh para pelaksana yang antara lain oleh rektor-rektor yang ada. Para rektor ini sendiri telah mengembangkan yang ada sebagai jawaban atas situasi dan kondisi yang ada.
Rektor UKSW harus bicara soal pendidikan karena keberadaan awalnya adalah memproduksi guru melalui perguruan tinggi bukan lalui program pintas. Karena itu tidaklah salah jika Pak Willi dan Pak Neil membicarakan filosofi pendidikan.
Kehadiran beliau akhirnya berhasil mengkonsolidasikan ide dan semangat yang ada. Pak Willi yang menginterpretasikan legasi Pak Probowinoto menyebutkan GURU PENELITI. Selama ini yang kita kenali adalah GURU PENGAJAR. Guru pengajar ini akan dan menjadi ketinggalan jaman dan barangkali akan tak terlalu terpakai oleh revolusi industri 4.0. Meski tak terucap oleh Pak Neil namun saya menangkap semangat yang sama untuk dosen. Pak Neil juga menghendaki DOSEN PENELITI.
Salah satu alasan saya tak ragu gabung UKSW dengan tinggalkan pekerjaan lama adalah tulisan Pak Neil tentang peran UKSW dalam memproduksi pengetahuan. Peran pengecer ilmu pengetahuan yang jadi jati diri mayoritas yang ada ini berani diubah. Untuk jadi memproduksi ilmu pengetahuan, jalan yang ditempuh melalui 2 cara. Pertama melalui dunia ide melalui filsafat kritis yang dikelola oleh Pusat Studi Pengembangan Berpikir Kritis. Kedua melalui riset yang digalangkan terus. Refleksi dan riset yang berdialektika dalam kenyataan di dunia global ini jadi kunci dan jadi kompas.
Kunci yang terbaca melalui renungan dan pengalaman. Secara ajaib PERJUMPAAN lintas generasi dari orang-orang yang dibesarkan UKSW telah terjadi. Jika memungkinkan maka mencetak mahasiswa peneliti adalah panggilan jaman. Guru pengajar jika ingin bertahan hidup maka harus jadi guru fasilitator. Fasilitator untuk murid/mahasiswa berjiwa peneliti diri, orang lain dan lingkungan melalui refleksi dan riset. Untuk ini barangkali harus membongkar mind set soal penelitian yang ribet dan mahal. Bekerja/melakukan sambil meneliti adalah model yang telah digali dan memungkinkan untuk dilakukan.
Tulisan ini ditulis dan di-share 28 Maret 2021 oleh Esthi Susanti Hudiono diaplikasi Facebook.
J. Anderson Thomson, Jr., MD with Clare Aukofer (2011). Why we Believe in God(s): A Concise Guide to the Science of Faith. Virginia: Pitchstone Publishing Charlottesville .
The New Atheis (the-NA) dan berbagai karya bernada “perang terhadap agama” menyembul dari tumpukan beling pecahan kaca dan puing-puing kehancuran gedung kembar WTC, September 2002. Bagaikan bayi yang lahir prematur karena tercekik tekanan tragedi, mereka mewarisi semangat balas dendam akut. The-NA menawarkan sebuah “surga saintisme,” namun dengan cara penuh provokasi dan agresifitas menyerang agama yang diyakini mengandung virus mematikan. Buku ini adalah salah satu diantara banyak karya yang lahir dalam situasi chaotik itu.
Matthew, anak lelaki Anderson Thomson termasuk satu diantara ribuan korban tabrakan pesawat di gedung kembar 11 September 2002. Sebagai praktisi psikologi forensik Thomson terbiasa menangani “kasus-kasus kerja otak yang menyediakan alasan bagi sebuah tindakan,” sebagaimana halnya mengapa orang rela korbankan diri demi membunuh orang lain. Goresan luka bathin yang mendalam dari agama dalam persitiwa yang merenggut nyawa putranya itu terlihat, antara lain dalam halaman persembahan, yaitu kepada Jack cucunya, dengan harapan “he will grow up in a world freer of religion’s destructiveness.”
Thomson juga terlibat di Yayasan Richard Dawkins for Reason and Science sebagai Pengawas. Boleh dikatakan, Yayasan ini menjadi dapur memasak berbagai gagasan dan teori apologetik melawan agama. Tema karya-karya Thomson sekitar psikologi evolusioner dan eksplorasi basis kognitif dan evolusioner dari keyakinan religius. Ia mengembangkan teori tentang asal-usul kognitif dari keyakinan agama (the cognitive origins of religious belief), dan kerap menjadi pembicara utama di konferensi-konferensi ateis seperti American Atheists dan Atheist Alliance International.
Dalam sebuah wawancara dengan Austin American-Statesman, ia berkata, “ada konflik besar yang tidak dapat didamaikan antara sains dan agama. Agama adalah kosmologi, biologi, dan antropologi asli umat manusia. Agama memberikan penjelasan tentang asal mula dunia, kehidupan, dan manusia. Sains sekarang memberi kita penjelasan yang semakin lengkap untuk tiga besar itu.” Pernyataan ini membawa pada kesimpulan, sebagaimana khas pada gaya berpikir the-NA, “agama tidak dibutuhkan lagi sebab sains sudah menjelaskan segalanya dengan lebih tepat dan meyakinkan.”
Buku ini mengupas teori penulisnya, yaitu agama (kepercayaan) sebagai hasil kerja kognitif. Dengan metode pembuktian psikologi evolusioner, Thomson hendak meyakinkan pembaca akan kebenaran teorinya, dan berharap disebarluaskan agar menggantikan (menghapus) harapan kosong agama yang tidak saja delusional melainkan juga mengandung kekuatan destruktif yang mengancam kemanusiaan dan kehidupan. Seperti diungkapkannya dalam bagian Pengantar, buku ini sebagai bentuk kecintaan pada sains, yang juga “cahaya dari karya-karya dan perjuangan intelek the four horsmen.” Dua hal yang, menurut saya, bertentangan!
Saya sengaja mengawali komentar atas karya ini dengan mengupas perspektif (point of view) penulis agar memudahkan pembaca memahami (membayangkan) isi buku ini. Prinsipnya, Thomson adalah bagian dari the-NA. Dengan mengetahui POV penulis kita dapat menempatkan buku ini secara fair sekaligus menyikapinnya secara kritis.
Anda tidak usah terkecoh, misalnya dengan nama anaknya, Matthew, yang terasosiasi dengan penulis injil pertama. Bahkan judul-judul Bab mengambil dari frasa-frasa Alkitab, yang tentu akrab bagi pembaca berlatar Kristen, seperti “In the Beginning Was the Word,” “Our Daily Bread,” “Deliver Us from Evil,” “Thy Will Be Done”, “Lest Ye Be Judged, dan sebagainya. Tentu saja obyek dan subyek dalam pembahasan judul-judul itu dibalik sebagaimana khas pada “permainan kata” The-NA. Tapi bentuk sabotase ini lebih menggambarkan kelicikan untuk menggantikan Tuhan dengan “tuhan” ciptaan saintisme. Ini memperkuat keyakinan saya sejauh ini, bahwa the-NA terlihat tidak bisa berpikir tanpa merujuk pada Alkitab (frasa-frasa Penciptaan).
Buku yang diberi Kata Pengantar oleh Ricahrd Dawkins ini terdiri dari 10 bab. Meski demikian, tesis utamanya terdapat pada bab 8, yang dijuduli “Wherever Two or More of You Are Gathered.” Judul yang dicuplik dari frasa Alkitab (lihat Matius 20:18) memang sengaja, seperti terlihat dari pujian Dawkins, namun digunakan untuk kepentingan evolusi kognitif, yakni bahwa munculnya agama semata-mata sebagai mekanisme pertahanan diri dengan cara menciptakan dan merawat semangat sosial (kebersamaan) sebagaimana diteorikannya. Sebagai tema sentral, dapat dengan mudah dikaitkan dengan bab-bab sebelum maupun sesudahnya.
Baiklah kita masuk ke argumen utama untuk memahami isi buku ini.
Memperkuat teori selfis gen dari Dawkins, Thomson menegaskan bahwa agama mengeksploitasi emosi kerabat. Eksploitasi emosi kerabat digunakan, misalnya untuk perekrutan dan pelatihan pelaku bom bunuh diri atas nama “persaudaraan seagama” dan tuhan. Para perekrut dan pelatih karismatik menciptkan sel-sel kerabat fiktif atas nama agama, lalu mendapatkan para martir yang diiming-iming juga dengan tiket surga, tempat dimana mereka segera memuaskan fantasi seksualnya bersama puluhan bidadari.
Tentu yang dimaksud di sana adalah kelompok teroris yang sejauh ini mengatasnamakan Islam. Tetapi bukan hanya itu. Semangat persaudaraan seagama juga ada dalam semua agama, termasuk Kristen, Yahudi, Hindu, Budha dan sebagainya.
Agama tentu memiliki sejarah. Tetapi pasti diciptakan untuk menghadapi tantangan dan kompleksitas pada masanya, ketika pengetahuan belum dikenali. Proses yang lama itu berulang-ulang dan turun temurun akhirnya dapat dilacak jejak evolusinya pada sistem kognitif.
Bentuk-bentuk ritual, pemujaan, tari-tarian, puji-pujian kepada dewa yang tidak kelihatan tidak lebih sebagai mekanisme sosial untuk pertahanan diri. Bila dilacak, perilaku ini ditemukan dalam pusat syaraf yang memproduksi semacam “perasaan barsama yang dipersatukan,” baik oleh semangat untuk memupuk keberanian dan membunuh rasa cemas dan takut, semangat mencintai, maupun semangat memusuhi. Jadi, kekuatannya pada konsolidasi solidaritas. Thomson akan mencontohkan puji-pujian koor di kalangan Kristen, dimana dia pun pernah menjadi anggota, atau melakukan puji-pujian secara berulang-ulang maka akan terbentuk kebersamaan yang solid, rasa percaya diri, dan seolah mendapatkan “curahan anugerah” dari dewa. Padahal, proses berulang itu memicu sebuah “titik” di jejaring syaraf yang segera memproduksi “sel kesenangan dan keriangan.”
Konsep psikologinya disebut Neurotransmiter monoamine (NM). NM memiliki ragam bentuk seperti dopamin, epinefrin, endorfin, oksitosin, dan sebagainya. Dopamin umumnya dikaitkan dengan kesenangan. Area otak manusia sangat berlimpah akan dopamin, yang disebut juga nukleus accumbens. Dopamin akan menyala dan dipenuhi kegembiraan ketika merespons rangsangan tertentu, seperti makanan favorit, seks, opium dan sejenisnya. Itulah yang memicu respons “lakukan lagi, dan lagi, dan lagi,” semacam ketagihan akut karena menikmati “suasana kesenangan.”
NM epinefrin dan norepinefrin umumnya dikenal sebagai adrenalin dan noradrenalin. Adrenalin meningkatkan detak jantung, membuat kita merasa cemas, memfokuskan perhatian, dan menyebabkan berkeringat. Tetapi juga dapat memberikan ledakan kekuatan temporal yang diluar kebiasaan. Bahkan, terkadang memungkinkan prestasi fisik tak masuk akal, seperti seorang ibu dapat membunuh singa yang manerkam anaknya, atau seseorang mampu melompati pagar setinggi dua meter ketika dikejar anjing atau penjahat.
Endorfin juga memainkan peran vital sebagai zat kimia saraf yang sangat penting bagi agama. Ia merupakan candu internal atau disebut juga “morfin endogen.” Fungsi utamanya adalah memblokir rasa sakit saat cedera terjadi, yang diproduksi ketika berolahraga, sedang bergembira, tawa, mendengar musik kesukaan, orgasme, dan sebagainya. Perempuan yang melahirkan mengalami produksi endrofin memadai sehingga ia dapat “melupakan” rasa sakit, bahkan tergantikan keriangan begitu melihat bayi yang dilahirkannya.
Cukup mengherankan, Thomson merasa takjub perihal bagaimana nenek moyang kita bisa menemukan kombinasi aktivitas sejenis ritual, pemujaan dan sejenisnya, yang dapat merangsang dan meningkatkan serotonin, dopamin, epinefrin, norepinefrin, oksitosin, dan endorfin, lalu menciptakan aktivitas otak yang unik. Baginya, itulah kunci memahami tempat abadi ritual di semua budaya (hal 64). Jadi, meski tidak dapat menjelaskan bagaimana “kembinasi itu ditemukan oleh nenek moyang kita yang masih primitif,” ia mengakui temuan canggih itu menjelaskan kepada kita hal penting terkait fenomena beragama.
Jadi ringkasnya, perasaan terberkati, rasa syukur, dan lainnya yang diatribusikan sebagai “pengalaman spiritual” oleh penganut agama sesungguhnya hanyalah “aktifnya” area-area tertentu di pusat syaraf, yang kemudian memproduski zat-zat yang menyalakan spiritualitas kita. Karena itu, bukanlah disebabkan karena ada dewa di luar sana. Kalau demikian, bagaiaman dengan tuhan? Diamana tuhan dalam kerja-kerja neuron?
Menurut teorinya, tuhan terdapat dalam aktivitas lobus temporal (temporal lobes). Itulah “titik tuhan” (god-spot) atau god-module. Para pengidap epilepsi dilaporkan paling sering mendapatkan pengalaman spiritual lantaran kondisi lobus temporalnya yang mudah teraktivasi. Atas dasar teori inilah Michael Persinger, seorang psikolog di universitas Laurentian Kanada di era 1980-an bereksperimen dengan membuat “helm tuhan.” Orang ditempatkan di ruangan gelap dan sunyi, penglihatan dan persepsi suara diblokir, dan helm yang secara magnetis menstimulasi lobus temporal ditempatkan di atas kepala. Pemakai helm akan mendapatkan “pengalaman spiritual” ketika titik itu terpicu. Sebuah sumber yang pernah saya baca menyebutkan bahwa Richard Dawkins pernah mencoba helm buatan Persinger ini, namun nampak tidak memuaskannya.
Sejumlah tokoh spiritual (agama), oleh Thomson disebutkan kemungkinan mengidap epilepsi. Sekali lagi, “kemungkinan!???” Beberapa yang disebut adalah rasul Paulus, yang menurutnya kemungkinan mengalami serangan epilepsi ketika dalam perjalanan ke Damaskus (yang dalam Alkitab disebut sebagai titik balik pertobatannya karena mengalami perjumpaan dengan Yesus Kristus). Lalu, sejumlah pendiri dan pemimpin dari berbagai agama dunia juga kerap dirawat karena epilepsi lobus temporal, seperti Santa Teresa dari Avila, Feodor Dostoevsky, Marcel Proust, dan lainnya.
Tentu, terhadap argumen ini tidak mudah diferivikasi. Apakah semua orang yang melaporkan mengalami pengalaman spiritual mengidap epilepsi? Mengingat apa yang dialami Paulus juga dilaporkan dialami lebih banyak orang di Alkitab, apakah semuanya mungkin korban epilepsi semata? Tentu, sains di masa kini mudah membuktikannya.
Bagaimana asal usul moralitas? Apakah moralitas benar-benar bersumber dari Tuhan atau agama? Pertanyaan ini dijawab di Bab VII, yang diberi judul “Thy Will be Done” (Jadilah Kehendak Mu). Dengan mengutip sejumlah eksperimen Thomson menyimpulkan bahwa moralitas (sikap baik buruk), bahkan sikap adil itu sudah melekat sejak lahir.
Salah satunya yang dirujuk adalah eksperimen profesor psikologi Yale, Paul Bloom dan timnya. Experimen ini menemukan bahwa bayi berusia tiga bulan sudah memiliki perasaan bawaan tentang benar dan salah, baik dan buruk, bahkan adil dan tidak adil. Para bayi diperlihatkan wayang yang sedang mendaki gunung. Ada wayang lain yang menghalangi pendakian, sementara lainnya lagi berusaha menolong wayang yang dihalangi. Para bayi meniru wayang penolong dan menjauhi wayang penghalang.
Michael Tomasello, psikolog perkembangan yang menjadi pengarah Institut Max Planck untuk Antropologi Evolusi di Leipzig, Jerman juga melakukan eksperimen serupa. Penelitian terhadap kapasitas bawaan anak-anak itu menyimpulkan bahwa manusia dilahirkan altruis yang kemudian baru mulai belajar dan mempelajari cara mengenali kepentingan pribadinya. Thomson menyebutnya sebagai moral dasar. Mengikuti moral dasar menurutnya jauh lebih bermoral, ketimbang mengikuti moral agama yang dimanipulasi sehingga jauh dari perihal bermoral.
Saya perlu memberi catatan, bahwa kesimpulan penelitian ini tentu berbeda dengan Jean Piaget (1896-1980). Sebagai peneliti di bidang psikologi perkembangan, melalui eksperimennya Piaget berkesimpulan bahwa anak-anak di usia dini belum mampu berpikir logis sehingga cenderung masih berpikir untuk diri sendiri (egosentris). Sikap adil dan alturis (seperti disebut Tomosello) baru ada sebagai capaian dari berpikir dan bersikap rasional. Itupun tidak sepenuhnya karena setiap orang berkecenderungan egosentris atau sosio-centris dan harus berupaya keras untuk mengatasinya, yakni dengan mengembangkan daya kritis guna mencapai fair-minded thinker.
Secara keseluruhan, karya ini bagus. Sebagai pakar psikologi forensik dan terutama mengembangkan penelitian di sekitar evolusi kognitif terkait religiusitas, Thomson (dan Clare) menjelaskan secara ringkas dan padat hasil-hasil riset panjang terkait fenomena beragama. Tidak banyak informasi baru sesungguhnya, namun cukup memperkaya wawasan. Saya sendiri mensyukurinya dan tidak melihat “daya sengatnya” kepada hal ber-Tuhan dan beragama.
Dalam karya James W. Jones, Can Science Explain Religion? The Cognitive Science Debate (2016) yang sudah saya tulis di wall saya sebelumnya, telah ditunjukkan bahwa “sains kognitif” memang mampu menjelaskan secara teknis titik-titik kognitif yang mengaktivasi pengalaman religius, moralitas, dan hal terkait lain yang biasa diatrtibusikan kepada agama dan Tuhan. Karya ini tentu tergolong sebagai salah satunya.
Tetapi, pertanyaannya adalah, lalu apa? Jones berargumen bahwa temuan-temuan kognitif itu tidak menjelaskan apa-apa tentang memgapa orang percaya Tuhan, mengapa alam semesta ada, bagaimana segala sesuatu bermula dan sebagainya. Mampu menjelaskan “titik-titik pemicu dalam syaraf” yang menyebabkan orang mengalami tuhan, tidak sama dengan menjelaskan mengapa orang percaya Tuhan, bukan?
Selain mendukung argumen Jones, saya ingin berkomentar dengan sebuah narasi lain.
Andaikan sebentuk kehidupan menemukan habitatnya dalam seperangkat komputer. Makluk super kecil sejenis bakteri yang bahkan belum bisa terekam oleh teknologi. Mereka mengembangkan kehidupan dan pada suatu saat juga peradaban. Hingga di satu titik waktu, beberapa dari antara koloni itu mengembangkan alat dan riset, lalu menjelaskan bahwa koloni mereka hidup pada situasi yang sangat cocok (fine tunning), dan seandainya ada sedikit saja kemelesetan maka kehidupan tidak dimungkinkan. Mereka juga berterori, bahwa sangat sulit membayangkan adanya kehidupan lain di luar sana.
Muncul pertanyaan dari anggota kelompok lain, mungkinkah situasi “dunia dan koloni kita” diciptakan? Para cerdik pandai di antara makluk itu mengatakan, mustahil! Segala sesuatu sebab yang memungkinkan eksistensi telah dan akan dapat dijelaskan secara persisi.
Maka, demikianlah koloni super kecil itu meneruskan kehidupan dalam perangkat komputer, dalam keyakinan bahwa di luarnya tidak ada benda lain, juga tidak mungkin ada kehidupan!
Tulisan ini ditulis dan di-share 14 Maret 2021 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.
Sampai dengan hari ini, dari sekian banyak proses tracking dan laporan mutasi genetik yang menghasilkan varian-varian SARS-CoV2, tampaknya tidak ada satupun varian baru yang terlapor berasal dari Indonesia? Apakah tidak ada varian baru yang muncul di Indonesia? Mungkin begitu, mungkin juga tidak demikian.
Mengapa bisa tidak demikian, alias ada kemungkinan muncul varian SARS-CoV2 di Indonesia tetapi tidak terdeteksi dan karenanya tidak ada laporannya? Kemungkinan karena masih rendah jumlah riset genome sequencing SARS CoV2 (SARS2) di Indonesia yang mendeteksi varian baru. Jika saya tidak keliru ingat data di GISAID, merujuk Gunadi et al (2020), saat itu baru ada 60 hasil sequencing dari Indonesia. Sedangkan di data GISAID total, tercatat sudah ada 445 genomes dari Indonesia saat ini, artinya secara total nasional sudah lumayan (walau di tingkat institusi yang melakukan riset jumlah yang dikerjakan tetap sedikit). Sebagai bandingan, dari Brazil tercatat sudah ada 2901 genomes di database GISAID. India (3871), Denmark (3103), Irlandia (2746), Mexico (826), dan Senegal (234).
Lalu, kalau sudah ada 445 genomes mengapa tidak ada deteksi varian baru di Indonesia? Saya tidak tahu persisnya mengapa. Para peneliti di bidang biomolekuler yang tepat menjawabnya. Namun, mungkin riset kita baru sampai pada mendeteksi apakah varian tertentu (dhi. D614G) dari existing variants, sudah beredar di Indonesia. Misalnya, riset UGM yang membuktikan bahwa pada sampel-sampel swab penderita Covid-19 di DIY dan Jateng yang dilakukan whole genome sequencing, terdeteksi varian D614G sebagai yang dominan (75%, terdeteksi pada 3 dari 4 sampel yang diuji UGM).
Jika begitu, apakah kondisi itu membenarkan sikap saya bahwa kita belum cukup memberi fokus perhatian pada pengembangan basis sains dalam penanganan Covid-19? Sebagai perbandingan, jika melihat link video yang saya sertakan di bawah untuk memahami pekerjaa genome sequencing yang dilakukan di Inggris, saat di Inggris terjadi lonjakan pertambahan kasus baru yang tinggi, mereka langsung menduga terjadinya mutasi genetik dan segera melakukan genome sequencing terhadap sampel-sampel swab yang diambil. Dengan infrastruktur pendukung riset genome sequencing sebagaimana ditunjukkan dalam video itu, kita juga menjadi tahu mengapa di negara-negara maju seperti Inggris genome sequencing menjadi “relatif mudah” dikerjakan, diproses pada skala yang lebih besar, untuk memberi basis kesimpulan yang lebih solid. Jika demikian, yang saya bayangkan adalah di lab-lab yang mengerjakan genome sequencing di Indonesia, alatnya terlalu sederhana dan terbatas kapasitasnya. Dan, lembaga yang memiliki genome sequencer juga sangat terbatas. Tidakkah dengan melihat kondisi seperti itu, pemerintah Indonesia tidak tergerak hatinya untuk bertindak mengintervensi? Misalnya, buatlah laboratorium massif di Kemenkes dengan peralatan yang mumpuni agar proses genome sequencing bisa dinaikkan skalanya secara signifikan. Atau, bantulah lembaga-lembaga riset untuk melalui hibah peralatan-peralatan riset. Mungkin negara sudah perlu memiliki lembaga semacam National Institute of Health (NIH) di AS yang membawahi bidang-bidang riset strategis di bidang kesehatan. Apa yang NIH kerjakan dalam menangani sejumlah epidemi sebelum Covid-19 telah memberi mereka basis yang cukup dalam merespon pandemi Covid-19 (walaupun sempat ditingkahi gaya kepemimpinan Presiden Trump). Dalam hal serupa, kepada Menko Perekonomian selaku Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, UKSW bagaimanapun telah mengusulkan diberdirikannya lembaga pelaksana surveilans, audit, dan intervensi kesehatan masyarakat yang di beberapa negara dinamakan center for disease control (and prevention), CDC. CDC di negara seperti Taiwan telah menjadi otoritas penting dalam penanganan epidemi seperti Covid-19.
Lebih dari itu, jika dari pemberitaan-pemberitaan global hari ini kita pahami bahwa varian-varian baru SARS2 makin resisten terhadap vaksin, apa yang tampak makin dibutuhkan adalah penguatan basis sains untuk memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan fenomena-fenomena baru seperti Covid-19 ini, agar solusi-solusinya pun duduk di atas basis sains yang makin solid. Oleh karena itu, pembangunan sektor risetlah yang kita perlu diperkuat untuk menjadi basis respon penanganan Covid-19 yang lebih solid, juga untuk menghadapi apapun epidemi atau penyakit-penyakit menular atau non-menular yang bersifat deadly.
Beberapa messages saya belakangan ini berposisi sebagai penekanan dan penekanan kembali, untuk menegaskan mengapa negara ini perlu membangun kapasitas sektor pengetahuan, yang mestinya akan memerkuat sektor-sektor aplikasinya.
Tulisan ini ditulis dan di-share 14 Februari 2021 oleh Neil S. Rupidara, Ph.D diaplikasi Facebook.
Survei ini dilakukan oleh Pusat Pengembangan Pemikiran Kritis UKSW sejak November 2019-Maret 2020. Survei disebarkan kepada para Dosen, juga Mahasiswa UKSW. Untuk dosen dilakukan wawancara langsung dengan kombinasi pertanyaan tertutup dan terbuka. Wawancara dilakukan oleh 11 Mahasiswa yang telah dilatih sebelumnya. Sementara, survei untuk mahasiswa dikirim secara online melalui email oleh BTSI.
Survei ditujukan untuk mendapatkan “gambaran kasar” bagaimana tampilan (ragaan) Pemikiran Kritis di UKSW, baik dikalangan Dosen maupun Mahasiswa. Metode yang digunakan adalah eksploratif. Untuk dosen yang diwawancarai secara langsung sejak November 2019 hingga Maret 2020 ketika “tatap muka” harus terhenti lantaran Covid-19, jumlah yang berhasil diwawancari /mengisi questioner sebanyak 86 orang dari berbagai Fakultas.
Wawancara dilakukan secara acak, karena pengambilan sampel menggunakan kriteria tunggal yaitu “dosen UKSW.” Itulah sebabnya survei ini tidak mewakili kondisi sebenarnya, melainkan sekadar memberi gambaran kasar. Terdapat 14 pertanyaan yang diajukan (11 pertanyaan tertutup, 3 pertanyaan terbuka). Dari 86 questioner yang terisi, dapat digambarkan sebagai berikut:
1. IDENTITAS RESPONDEN: Berdasarkan Pendidikan Terakhir: S1 = 2%; S2 = 52%; S3 = 28%
2. Apakah pemikiran kritis menjadi TUJUAN UTAMA PEMBELAJARAN di kelas?
Tujuan pertanyaan ini untuk mengetahui persepsi dosen tentang pentingnya pemikiran kritis dalam proses belajar/mengajar di UKSW. 9% menyatakan tidak setuju dan ragu-ragu. Disini para dosen memahami dan menyadari bahwa sebagai Pendidikan Tinggi, tujuan dari pendidikan adalah membentuk kemandirian mahasiswa dalam berpikir.
3. Apakah Anda termasuk Pemikir Kritis? Ternyata 24% dosen ragu-ragu sementara 1% mengakui tidak berpikir kritis. 75% mengaku berpikir kritis.
Dua pertanyaan lanjutan dan terbuka menguji validitas jawaban reponden. Pertama, responden diminta memilih sejumalah kata/frasa yang terasosiasi dengan pemikiran kritis, sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Richard Paul dan Linda Elder. Frasa-farasa dimaksud adalah: raional/bernalar, evidence based, sikap intelek dan etis, kriteria penalaran dan terukur, serta standar intelektual.
Hasilnya cukup meyakinkan. Dari total yang setuju sebagai pemikir kritis, 89,2% secara tepat mengaitkan CT dengan kata bernalar, 86,1 mengaitkanya dengan “evidence based,” 73,8% mengaitkanya dengan “sikap intelek dan etis,” 83% dengan “curiousity,” 43% dengan “standar intelektual,” 72,3% mengatikannya dengan “kriteria penalaran dan terukur,” serta 64,6% mengatikannya dengan “sikap jujur dan rendah hati.”
Kedua; uji validasi melalui definisi. Definisi yang dijadikan acuan adalah yang mencakup makna terkait dengan frasa/terma-terma sebagaimana disebutkan pada bagian Pertama di atas. Berdasarkan kriteria ini hanya 46% (29 dari 63 responden) yang menjawab dengan tepat. Kebanyakan memberikan definisi yang terlalu longgar dan kurang tegas, seperti berpikir obyektif, out of the box, berorienatsi pada solusi, dan sejenisnya.
Hal menarik dari definisi responden yang terkait tegori sebagai “pemikir kritis” ini antara lain, ada yang mengaitkan pemikiran kritis dengan berolah ilmu dalam semangat takut Tuhan (3 responden). Disebut menarik karena selain memberikan definisi yang tepat juga mengaitkan denagn “visi dan misi” UKSW. 10 dari 23 reponden (43,4%) yang menjawab ragu-ragu dan bukan pemikir kritis memberikan definsi yang tepat. 86% mengaitkan definisinya dengan terma “bernalar” 95,7% dengan “evidence based,” 82,6 dengan “sikap intelek dan etis,” 69,6% dengan “curiousity,” 39,1% dengan “standar intelek,” 69,6% dengan “kriteria penalaran,” 56,5% mengaitkannya dengan “sikpa rendah hati dan jujur.”
Profile keseluruhan (total responden) berdasarkan definisi yang diberikan dapat dilihat sebagai berikut: Bernalar (rasional) 87.6%, Evidence based 90.9%, Sikap intelek & etis 78.2%, Curiousity 76.3%, Standar intelek 37.%, Kriteria Penalaran 70.95%, dan Sikap rendah hati & jujur 60.55%. Data ini memperlihatkan optimisme. Namun perlu dipertimbangkan juga data lain. Selain memilih kata-kata (terma atau frasa) yang sesuai (terasosiasi) dengan makna Critical Thinking, juga ada responden yang ikut memilih frasa yang lemah, tidak terkait bahkan bertentangan dengan Critical Thinking, misalnya: jago berdebat, cerdas, banyak akal, pandai berbicara, dan banyak pengalaman. Dari total yang setuju sebagai pemikir kritis, 38,1% (24 dari 63) memilih juga kata-kata yang lemah atau tidak terasosiasi dengan CT sebagaimana dimaksud di atas. Sementara, responden yang tidak setuju atau ragu-ragu terdapat 26% yang masuk kategori ini. Apakah bila “kelompok yang tidak tegas” ini diabaikan, sisanya dapat disimpulkan sebagai “berpikir kritis?” Prosentasinya mencapai 45,3% atau 39 dari 86. Nampaknya masih perlu menggali informasi lainnya agar memastikan kesimpulan ini. Misalnya, melalui wawancara mendalam (indepth), mempelajari silabus, dan lainnya yang dapat diduga memperkuat kesimpulan. “Validasi” sikap kritis dari reponden yang setuju sebagai “pemikir kritis” dapat dilakukan dengan mengkonsultasikan dengan jawabannya atas dua pertanyaan lain, yaitu (1) dalam proses belajar mengajar dan berdiskusi Anda selalu berpikir dengan tujuan yang jelas, merujuk data dan teori, serta bersikap terbuka terhadap pemikiran yang berbeda. (2) dalam berdiskusi dan berdebat, Anda selalu berupaya mempertahankan argumentasi dan mencari pembenaran agar tidak dipermalukan di depan umum. Responden dianggap konsisten (sebagai pemikir kritis) apabila jawaban untuk pertanyaan (1) adalah “Setuju” dan untuk (2) Tidak setuju dan atau ragu-ragu. Berdasarkan asumsi ini, diperoleh data 87.3% (55 dari 63) dapat dikategorikan sebagai konsisten. Akhirnya, bila dianalisis secara total, terdapat 31.40% (27 dari 86) memberikan jawaban yang secara konsisten menunjukkan persespinya sebagai “pemikir kritis.” Angka ini diperoleh dengan mengamati konsitensi jawaban atas semua pertanyaan terkait pemikiran Kritis hingga definisi yang diberikan oleh responden. 4. Apakah mahasiswa UKSW, khususnya yang Anda ajar di kelas termasuk berpikir kritis?
Tujuan pertanyaan ini adalah untuk mengetahui persepsi dosen tentang kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang diajarnya. Yang dibutuhkan adalah gambaran kasar/gambaran umum, sebab tentu banyak mahasiswa dan banyak kelas yang diampu. Ternyata hanya 35% yang setuju kalau mahasiswanya berpikir kritis, sementara yang ragu-ragu mencapai 50%.mahasiswanya berpikir kritis, sementara yang tidak setuju mencapai 15%.Dengan data ini menunjukan bahwa dosen menemukan didalam kelas tidak semua mahasiswa bisa berpikir kritis. Jika diakumulasi keraguan dan ketidak setujuan dosen, maka 65 % mahasiswa di dalam kelas tidak termasuk berpikir kritis.
5. Bagi yang setuju Mahasiswa berpikir kritis, bila diprosentasikan, berapa jumlah mahasiswa yang berpikir kritis?
Kebanyakan (> 50%) = 24% ; Sebagian (31-50%) = 41% ; Sedikit (10-30%) = 29% ; Kurang (< 10%) = 6%
Dari 35% responden yang setuju mahasiwa yang diajar di kelas berpikir kritis, yang menyebut kebanyakan mahaswa berpikir kritis hanya 24%, yang menyebut jumlha mahasiswa kritis kurang dari 10% sebanyak 6%.
6. Apakah pemikiran Kritis diterapkan dalam semua aspek kehidupan?
1. Berpikir; 2. Membaca; 3. Berbicara; 4. Menulis; 5. Mendengar; 6. Menukang/karya seni; 7. Semua aspek kehidupan 85% memahaminya dengan benar, yaitu pemikiran kritis dapat diterapkan dalam semua aspek kehidupan. Ada pula responden yang mencentang semua pilihan, namun men-skip pilihan “Bertani.” Sementara ada responden yang cukup memilih option 7, yang berarti telah mewakili semua alternatif yang tersedia.
8. Apakah pembelajaran dalam kelas, untuk mata kuliah apapun, langsung maupun tidak bertujuan membuat mahasiswa lebih kritis dalam mata kuliah tersebut?
Dari data ini menunjukan bahwa dosen yakin (94%) bahwa pembelajaran dalam kelas membuat mahasiswa lebih kritis. Hanya 6% responden yang kurang yakin adanya korelasi antara aktivitas mengajar dalam kelas, bisa meningkatkan kekritisan mahasiswa.
9. Apaklah Anda merencanakan metode / pembelajaran di kelas untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa? 88% menyatakan merancangkan metode mengajar untuk meningkatkan kemampuan berpikir mahasiswa. Namun, dari jumlah itu hanya 32,9 yang menjawab pertanyaan terbuka dengan menjelaskan metodenya. Antara lain, dirancangkan dalam Silabi, meminta umpan balik, problem based, kerja lapangan, tugas mandiri, studi kasus, pengajuan pertanyaan HOTS, latih teorema, mini riset, dan review paper.
10. Apakah kebenaran bersifat OBYEKTIF dan UNIVERSAL?
20% tidak setuju, dan 24% ragu-ragu. “Hanya” 56% yang berpendapat bahwa kebenaran bersifat obyektif & universal.
Profile TIDAK SETUJU & RAGU-RAGU menyebar di semua Fakultas, kecuali FTEK (100% setuju). 25% reponden FSM memilih ragu-ragu. Responden Fteol dan FH sebagian besar (65% dan 70%) tidak setuju dan ragu-ragu. Semua responden (100%) FEB & FBS menyatakan tidak setuju dan ragu-ragu.
11. Apakah IMAN dan ILMU dapat bekerja sama dan saling memperkuat untuk meningkatkan pengetahuan dan peradaban? 96% dosen setuju, sementara 4% ragu-ragu akan kerjasama Iman dan Ilmu. Dengan demikiarn ada sekitar 96% responden yang menggunakan moral dan etika dalam pengembangan keilmuan.
12. Apakah Pemikiran Kritis dapat mendukung pencapaian Visi dan Misi UKSW? Mendukung pencapaian komunitas creative minority? 94% setuju bahwa dengan berpikir kritis maka VISI dan Misi UKSW akan tercipta lewat terbentuknya creative minority.
13. Bagaimana kondisi pemikiran kritis di UKSW?
75% KURANG / MEMPRIHATINKAN ; 20% TIDAK BERPENDAPAT ; 5% BAIK
Hari ini (15/12/2020), CCTD UKSW melaksanakan diskusi buku dengan judul “The Magic of Reality“. Buku ini ditulis oleh Richard Dawkins yang merupakan seorang Neo Ateisme dan memuja Natural Science. Dalam diskusi yang dimulai pukul 11.00 wib dan berakhir 12.49 WIB, diikuti oleh 41 orang peserta yang terdiri dari dosen dan mahasiswa di lingkungan UKSW.
Dengan menggunakan media Google Meet, Semuel S. Lusi berhasil membedah dan mengkritisi buku “The Magic of Reality,” serta mendialektikakan karya ini dengan posisi iman dan agama, yang merupakan bentuk pengetahuan intersubyektif.
Membaca Richard Dawkins melalui dua karyanya, The God Delusion (2006) dan The Magic of Reality (2011) secara sepintas terkesan sebagai membaca penulis yang berbeda. Yang pertama aroma kampanye ideologisnya menyengat: agresif dan provokatif. Sementara yang kedua bernada lembut, persuasif dan edukatif memetakan esensi realitas secara menarik sehingga memudahkan pemahaman. Jelas, karya yang kedua menyasar kalangan awam yang lebih luas, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Dilengkapi gambar-gambar ilustrasi penyajiannya sangat apik dan mengalir. Namun, sejatinya bila diperiksa secara cermat, tujuannya khas Dawkins, yaitu kampanye misi the New Atheist (the-NA) melalui sains. Itulah sebabnya, perlu membacanya secara kritis agar dapat memahami bagian yang memberi insigth, tanpa kehilangan kekritisan atas “daya rusaknya,” terutama terkait iman.
Melalui karya ini sejumlah hal perlu dipahami ulang tentang Dawkins (dan pendekatan positivisme /sains), yang dengan demikian juga perlu menyadari implikasi-implikasinya.
Secara sistematis, buku ini terbagi dalam 12 bab. Namun, mudah dipetakan hanya dalam dua bagian. Pada bagian pertama Dawkins nampaknya terlebih dahulu berupaya memurnikan realitas dari berbagai polusi atau bayangan realitas-realitas palsu. Tema ini dibahas tuntas di Bab 1, seakan sebagai fondasi bagi keseluruhan bangunan penalaran buku ini. Untuk memastikan pilar-pilar bangunanya kokoh, Dawkins ingin memastikan menanamkan pemahaman yang jelas dan terukur tentang realitas sejati. Benar, bahwa sikap saintis adalah berpikiran terbuka terhadap apapun, misalnya kemungkinan adanya hantu, tuhan, malaikat, pocong, alien, mujizat, dan lainnya. Tetapi, satu-satunya alasan benar untuk percaya bahwa sesuatu itu ada yaitu jika tersedia bukti yang bisa diobservasi dengan panca indera kita. Tanpa bukti kita tidak bisa mengklaim sesuatu itu ada atau tidak ada.
Bagian kedua, pembahasan berbagai “contoh kasus.” Setelah memurnikan realitas dan memperjelas apa itu relitas sejati, Dawkins menukik lebih dalam dengan mengangkat tema-tema popular yang biasa muncul dari perdebatan “sains-iman” sebagai contoh kasus. Melalui contoh-contoh itu Dawkins hendak menunjukkan bagaimana realitas sejati dan realitas palsu perlu dibedakan dan dipisahkan. Bagaimana sesuatu dipahami dengan akal untuk memastikan adanya itu, dan dibedakan dari penjelasan-penjelasan irasional yang menawarkan realitas palsu. Bagian kedua ini terdistribusi dalam 11 bab (yang saya sebut sebagai contoh-contoh kasus), meliputi, antara lain: Siapakah Manusia Pertama? Mengapa terdapat banyak jenis makluk hidup? Dari apa segala sesuatu terbuat? Bagaimana permulaan segala sesuatu? Apa itu Matahari? Apa itu Pelangi? Apa itu Keajaiban/mujizat? Dan sebagainya.
Setelah memberikan peta untuk memudahkan memahami buku ini, saya hendak melanjutkan dengan mengajak pembaca memasuki wawasan-wawasan Dawkins. Saya tidak memasukinya dengan cara memulai dari titik start (awal) lalu secara ketat mengikuti setiap bab berturut-turut sampai ke penutup. Karena sudah ada peta, saya ingin mengajak pembaca menjelajahi secara bebas dari dan ke titik mana pun, lalu memberikan catatan di bagian tertentu bila saya anggap perlu. Di bagian akhir saya akan memberi tanggapan secara spesifik sesuai tujuan pembahasan buku ini.
Dawkins mengawali dengan menjelaskan bagaimana hakikat dari realitas dan bagaimana diperiksa serta diuji hingga benar-benar dibuktikan keberadaannya. Misalnya, memahami galaksi-galaksi (gugusan-gugusan bintang) yang jumlahnya milyaran, yang jaraknya juga jutaan bahkan milyaran tahun cahaya dari posisi kita. Bagaimana itu bisa dipastikan, ditangkap oleh panca indera, khususnya indera penglihatan? Juga bakteri-bakteri atau virus yang sangat kecil, atau gelombang radio yang menghasilkan siaran jarak jauh. Bagaimana bisa membuktikan realitas macam itu? Ataukah itu hanya bualan para ilmuan? Semua itu dimungkinkan karena manusia menciptakan alat bantu teknologi, misalnya teleskop, mikroskop, dan sebagainya. Teleskop raksasa Hubble atau James Webb, misalnya, yang diposisikan di luar angkasa, dapat menjangkaukan “penglihatan” kita pada jarak hingga 12-an milyar tahun cahaya. Dan, terbuka diperiksa kebenaran itu oleh siapa pun dengan menggunakan alat yang sama. Artinya, melalui alat bantu semua yang disebutkan dapat dibuktikan adanya, sehingga sama sekali bukan mengada-ada. Itu disebut realitas sejati sebab bisa diperiksa dan dibuktikan.
Demikian pula, untuk membuktikan realitas bakteri atau elektron, lantaran super kecil sehingga tidak dapat diamati dengan mata telanjang, dibutuhkan teknologi untuk memperbesar obyek hingga ratusan bahkan ribuan kali. Di sini para ahli menggunakan mikroskop. Dengan alat bantu itu dapat diperlihatkan keberadaan bakteri dan elektron. Karena itu, realitas bakteri-bakteri super kecil tidak dapat disangkal sebab adanya itu dapat ditunjukkan.
Disaat realitas tidak dapat ditangkap langsung oleh panca indera atau perangkat bantu (teknologi), para ilmuan menciptakan model. Model itu bisa berupa rumus matematika, rumus fisika, kimia, atau bahkan sebuah skema. Sebuah model yang dibuat akan terus menerus diuji sampai dipastikan dapat mempresentasikan realitas sebenarnya.
Model bisa juga replika yang terbuat dari kayu atau plastik, atau berupa simulasi di komputer. Para ilmuan mencermati model dengan teliti dan memprediksi apa yang seharusnya dilihat, didengar atau dirasakan. Apabila pemodelannya benar maka apa yang diprediksi benar-benar akan terjadi. Artinya model itu benar-benar mewakili realitas. Tetapi apabila prediksinya salah model tersebut ditolak, atau dimodifikasi lalu diuji lagi. Contoh: kita tahu bahwa gen (unit keturunan) terbuat dari bahan yang disebut DNA. Saintis tahu tentang DNA dan cara kerjanya, tetapi “orang awam” tidak dapat melihat detail seperti apa DNA itu, bahkan dengan mikroskop yang canggih sekali pun. Hampir semua yang diketahui tentang DNA datang secara tidak langsung dari pemodelan yang berulang-ulang diuji lalu disempurnakan sehingga dapat dipresentasikan. Dengan demikian, para ilmuan dengan mudah menjelaskannya kepada publik sehingga dipahami sebagai realitas. Dalam hal ini kita perlu berterimakasih kepada Watson dan Crick yang berjasa membuat penemuan dengan memodelkan DNA sehingga dikenali sebagaimana adanya hari ini.
Sihir Realitas: Realitas Natural vs Supernatural
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa realitas bersifat bendawi (materi /fisika/positivistik) dalam pengertian dapat ditunjuk ini dan itunya. Dan, wajah realitas, seperti tatanan bintang dan benda-benda ruang angkasa, DNA, gunung berpuncak salju, samudera biru, atom, quark, bakteri, dan sebagainya, selalu indah, memukau, karenanya memicu keingintahuan yang lebih besar. Itu yang disebut oleh Dawkins sebagai magic (sihir). Realitas sejati selalu menyihir lantaran terlalu indah dan memikat itu. Tapi, Dawkins mengingatkan perlu dibedakan dari realitas-realitas palsu, yang juga memukau namun bukanlah realitas sebenarnya karena tidak dapat dibuktikan.
Dawkins membedakan tiga jenis realitas yang memukau (menyihir), sebagaimana dimaksud dalam judul bukunya, the Magic of Reality. Pertama; sihir supernatural, yang disebutnya ditemukan dalam mitos dan dongeng. Contoh: lampu aladin, kisah-kisah J.K.Rowling, dongeng, mitos, mujizat dalam agama, dan sebagainya. Realitas supernatural menurut Dawkins tidak pernah bisa memberi penjelasan yang benar tentang hal-hal yang kita lihat di dunia dan alam semesta di sekitar kita. Penjelasan supernatural tentang sesuatu sama sekali tidak menjelaskan apa-apa, dan buruknya lagi mengesampingkan kemungkinan apa pun yang pernah dijelaskan. Sesuatu yang “supernatural” nampaknya harus secara definisi berada di luar jangkauan penjelasan alami (natural), di luar jangkauan sains dan metode ilmiah mapan, teruji, dan yang bertanggung jawab atas kemajuan besar dalam pengetahuan yang telah kita nikmati selama 400 tahun terakhir ini. Penjelasan supernatural mengabaikan semua capaian sains.
Di sini kita perlu memberi catatan. Pertama, tidak benar kalau dikatakan “yang supernatural” selalu diluar jangkauan penjelasan sains. Terutama, terkait kepercayaan iman (agama) Kristen, sejauh yang saya tahu, tidak sedikit yang dapat dijelaskan secara saintifik. Kedua, nampaknya Dawkins menyamaratakan begitu saja semua gradasi dalam realitas supernatural, misalnya dongeng, mitos, iman. Penyamaan ini merupakan penyederhanaan berlebihan (over simplification). Dongeng dan mitos misanya, memang tidak memiliki metodologi dan tidak memerlukan bukti. Tetapi, agama memiliki metodologi, bahkan banyak bukti fisik yang bisa diuji secara saintifik, dalam pengertian “bisa ditunjuk ini itunya.” Terbelahnya laut Teberau (laut merah) sehingga menyelamatkan bangsa Yahudi, sebaliknya menenggelamkan para pengejar yaitu Fiarun dan pasukannya terbukti dengan penemuan bangkai kereta tempur di dasar Teberau, bersama tulang belulang manusia dan kuda, dan usianya terkonfirmasi sesuai perkiraan waktu kejadian supernatural itu. Kelahiran, kematian dan kebangkitan Yesus juga terkonfirmasi melalui bukti-bukti historis, seperti yang diargumentasikan oleh John C.Lennox (Gunning for God: Why the New Atheists are Missing the Target), juga John F.Hought (God and the New Atheism).
Kedua: sihir panggung, yaitu yang dimainkan oleh para pesulap. Sebuah sapu tangan berubah menjadi kelinci atau burung merpati, telur menjadi burung, potongan-potongan kertas menjadi kupu-kupu dan sebagainya. Sihir jenis ini juga memukau dan benar-benar terjadi di depan mata kepala kita. Namun, sifatnya trik atau tipuan semata dengan tujuan menghibur. Para pesulap kredibel akan menginformasikan kepada penonton, bahwa apa yang dilakukannya itu hanya trik dan bukan karena ada kekuatan supernatural yang bekerja mencipta mujizat itu.
Ketiga; sihir puitis, yang disebutkan sebagai posisi favorit Dawkins. Inilah realitas sejati. Ketika mendengar alunan musik lalu hati terharu hingga meneteskan air mata, membaca penggalan puisi yang menyentuh, atau menatap penuh kekaguman kepada alam raya yang megah dan tertata. Itulah sihir realitas. Realitas sebagaimana telah dijelaskan di awal merupakan contoh realitas natural yang menimbulkan sihir puitis.
Menarik, misalnya ketika membahas “Manusia Pertama.” Secara impresif Dawkins mulai dengan berbagai penjelasan supernatural, antara lain dari kitab Kejadian, yang menyebutkan dewa (sebutan Dawkins) menciptakan manusia pertama dari debu, lalu dinamainya Adam, yang berarti manusia. Istrinya Hawa, diciptakan dari tulang rusuk Adam. Keduanya melanggar perintah dewa lalu diusir dari taman eden. Narasi itu disamakan dengan sejumlah dongeng, misalnuya dewa Moinee di Tasmania yang mencipta manusia pertama bernama Parlevar, yang awalnya memiliki ekor seperti Kanguru. Demikian pula orang Ibrani di Timur Tengah memiliki dongeng yang sama tentang dewa mereka yang menciptakan Adam.
Penjelasan natural sangat berbeda. Berbagai fosil di bebatuan diperiksa, untuk menemukan rantai evolusi manusia. Berdasarkan bukti-bukti fosil, juga dengan membandinhgkan DNA, dapat disusun secara rinci urutan atau tahapan evolusi mulai dari diri Anda terus ke belakang sampai ke “moyang paling pertama.” Secara mengesankan Dawkins meminta kita membayangkan (disebutnya: melakukan ekspreimen pikiran) di mulai dari diri sendiri. Ambil potret Anda ukuran kartu pos lalu letakkan di satu titik, kemudian potret orang tua Anda diletakkan di urutan berikutnya, lalu kakek Anda, buyut Anda, dan seterusnya dan seterusnya. Sampai urutan ke 185 juta, yang menurutnya susunan urutan potret itu akan mencapai panjang 40km, Anda akan menemukan bahwa buyut Anda adalah seekor ikan (hal.51-52). (Saya kira ini sebuah eksperiman pikiran yang juga memukau, tidak kalah dengan sulap profesional: ikan menjadi manusia??!!). Sayang, tidak ada penjelasan lagi, darimana ikan itu berasal? Mengapa penulusuran rantai evolusi berhenti di ikan? Apakah semua manusia berasal dari ikan yangsama, atau ada juga yang ber-buyutkan ikan lain, atau makluk lain? Untuk mencapai moyang pertama itu, Anda telah melewati moyang lainnya yang lebih mudah. Misalkan menelusuri moyang buyut Anda dengan menggunakan mesin waktu (ingat! Anda sedang meluncur dari masa depan menuju masa lalu), pada tahapan 6 juta tahun dari sekarang Anda akan bertemu moyang monyet atau simpanse Anda, lalu meluncur ke waktu yang lebih awal, terus menerus hingga bertemu moyang ikan Anda. Tentu, ini pengalaman mendebarkan! Dawkins mengakhiri Bab ini dengan kesimpulan mengharukan: “silsilah keluarga Anda tidak hanya mencakup sepupu yang terlihat jelas seperti simpanse dan monyet, tetapi juga tikus, kerbau, iguana, walabi, siput, dandelion, elang emas, jamur, paus, wombat, dan bakteri. Semuanya sepupu kita. Semuanya. Bukankah itu pemikiran yang jauh lebih indah daripada mitos apa pun? Dan hal yang paling menakjubkan dari semuanya adalah kita tahu dengan pasti bahwa itu benar” (hal.52).
Apa yang perlu Dipahami Ulang, dan Bagaimana Menanggapinya?
Sains tidak dapat dihalangi untuk menguji hipotesis tuhan, menguji kebenaran ada tidaknya Yesus historis, tentang penciptaan, usia alam semesta (planet bumi), bahkan klaim agama dan tuhan sebagai penghadir cinta kasih, perdamaian, dan sebagainya. Semua itu dapat diuji secara saintifik. Bila pun berdasarkan uji-uji sains disimpulkan bahwa Tuhan tidak ada, cinta kasih dan moralitas hanyalah bagian dari strategi survival (penjelasan non teistik), dan sebaginya, tetaplah itu sah secara saintifik. Ukuran sahih tidak sahihnya kesimpulan harus dalam ukuran metode saintifik.
Tetapi Iman tidak dapat digantungkan semata-mata kepada pembuktian sains. Ini disebabkan karena Iman dan Sains memiliki klaim ontologis yang berbeda. Pun, sains butuh bukti observasional, tetapi iman melampaui bukti-bukti material dan lebih menekankan pada aspek percaya. Meski demikian, iman bukan mengendors sikap percaya buta dan anti sains. Tomas menuntut bukti kebangkitan Yesus, dan Yesus memberikannya sambil mengingatkan, bahwa lebih berbahagia orang beriman tanpa bukti. Bukan iman buta yang dimaksud Yesus. Peringatan itu terkait pengajaran-Nya bahwa Ia akan disalibkan, mati, dan dikuburkan, tetapi akan bangkitpada hari ketiga. Sebagai murid, Tomas sudah berulang-ulang mendengar pengajaran itu, pun berulang-ulang mengalami mujizat-mujizat yang dilakukan Gurunya. Jadi, Tomas sudah memiliki pengetahuan dan mengalami –artinya sudah banyak lembar bukti empirik di “catatan survei lapangannya,” namun masih kurang percaya. Itulah poin dari kritik keras Yesus, tidak hanya kepada Tomas tetapi juga kepada semua murid, masing-masing dalam kasus berbeda yang menunjukkan kurangnya iman. Apakah komentar Yesus itu mengimplisitkan sikap anti sains? Sama sekali tidak. Sebab, Yesus mempersilahkan Tomas memeriksa bukti yang diinginkannya. Hanya saja, Yesus perlu mengingatkan bahwa iman seharusnya tidak lagi memerlukan bukti baru, sebab telah banyak bukti di masa lalu. Bukan hanya ketika bersama Yesus itu, melainkan nubuatan-nubuatan para nabi ribuan tahun sebelumnya. Kalau semua bukti itu dikumpulkan dan dijejer tentu tidak sedikit. Karenanya kritik “kurang beriman” itu terkait erat dengan misi-Nya di bumi yaitu memastikan para murid memiliki iman agar tidak tergantung pada kehadiran fisik (material) Yesus.
Ada ruang antara Sains dan Iman yang overlapping. Yakobus mengatakan, “iman tanpa perbuatan adalah mati” menjadi rujukan penting (Yakobus 2:17 dan 18). Artinya, sains dan iman beririsan di level aksiologi (etika), sehingga sains dapat menguji iman pada level perbuatan (empirik). Sebab, secara saintifik Iman hanya bisa diuji dan dibuktikan di level perbuatan. Tanpa perbuatan, iman sudah mati. Di sini, iman (agama) dapat mempersilahkan sains mengopreasikan metodenya menguji “buah iman” di level praktik hidup. Hasil kerja sains akan bermanfaat bagi iman untuk memperbaharui (menyempurnakan) praktik hidup agar sesuai dengan apa yang diimani atau diajarkan oleh ideal agama. Bahasa sains tentu saja, dapat berupa kesimpulan, bahwa “Tuhan tidak ada lantaran tidak terbukti melalui sikap dan tindakan praktis pemeluknya” (bentuk argumen yang digunakan filsuf ateis Bertrand Russell dalam karyanya Why I am Not A Christian). Iman tidak perlu risau dengan bahasa penyimpulan dari pengujian hipotetik itu, sebab itu memang bahasa khas sains.
Di sisi lain, iman dapat memicu pencarian sains. Hipotesis tuhan dirancang untuk diuji, justru karena Iman memberi tahu adanya bentuk realitas bernama Tuhan. Iman juga memberi tahu ada Penciptaan sebagai awal ruang waktu, dan berdasarkan itu sains melakukan berbagai eksperimen untuk membuktikannya. Sains lalu terus terlibat dalam proses eksplorasi yang memungkinkan tercapainya banyak kemajuan. Ketika belum ada hasil tidaklah bisa disimpulkan secara terburu-buru sebagai ketiadaan penciptaan. Sains mungkin perlu kerja lebih keras, butuh revolusi metode, teknologi yang lebih canggih, kepekaan lebih tinggi, dan sebagainya. Dengan demikian, sebuah “realitas iman” memicu pencarian saintifik, bahkan penerobosan dalam penciptaan teknologi sebagai alat bantu untuk memacu terobosan-terobosan dan eksplorasi sains.
Penolakan terhadap proposal NOMA (Non Overlapping Magistrare) dari Stephen Jay Gould oleh Richard Dawkins dengan demikian dapat juga dipahami. Sebagaimana diketahui, banyak pengkritik menggunakan NOMA untuk mendebat Dawkins, namun dalam Bab 2 TGD, Dawkins menolak NOMA dengan argumen bahwa semua klaim agama yang bersifat empirik harus diuji oleh sains. Seolah dunia empirik merupakan wilayah otonom yang menjadi otoritas sains, sehingga (si)apa pun yang memasukinya harus diinvestigasi oleh sains sebagaimana kritik Nietzsche. Ini catatan penting untuk argumen Dawkins. Jenis-jenis klaim empirik agama, seperti terjadinya air bah, terbelahnya laut merah, kehadiran Yesus yang melakukan berbagai keajaiban, dan sebagainya disebut Dawkins harus diuji sains.
Pemateri berpendapat argumen Dawkins patut dipertimbangkan. Implikasi logisnya, diperlukan pemodelan baru untuk relasi sains dan iman, yang menurut saya seharusnya POMA (Partially Overlapping Magistrare), dimana terdapat “arsiran realitas” antara kedua magistrare. Di bidang itulah sains dan agama seharusnya terikat pada persekutuan mencari dan menegakkan kebenaran. Proposal POMA sebenarnya pertamakali diusulkan Alister McGrath dalam karyanya The Dawkins Delusion, Atheist Fundamentalism and the denial of the divine (2007), namun belum memberikan isi apa-apa kecuali menyebutkan posibilitasnya. Sebagai penegasan, hal terkait yang perlu dipahami ulang adalah bahwa sains juga mengases kebenaran intersubyektif dan subyektif. Kebenaran intersubyektif termasuk didalamnya kebenaran agama, ideologis, mitologi, kearifan-kearifan lokal, dan sejenisnya. Sementara, kebenaran subyketif seperti sastra, puisi, seni ukir, lukis, pahat, patung, dan sebagainya. Dua jenis realitas yang sebelumnya dipahami sebagai bukan bagian dari realitas saintifik, atau setidaknya dianggap sebagai area terlarang bagi sains (dalam ungkapan Dawkins di TMR sebagai realitas supernatural). Implikasi dari “perluasan area sains” ini, metode-metode saintifik memerlukan pengembangan. Bidang epistemologi perlu modifikasi agar cakupannya dapat memasuki area realitas intersubyektif dan subyektif serta mengasesnya. Upaya obyektivikasi “yang subyektif” membutuhkan revolusi metode agar dapat melakukan pengujian dan pembuktian saintifik atas “yang subyek” atau “yang supernatural.” Apakah dimungkinkan adanya POMA dari tiga magsitrare, yaitu sains, agama (iman), dan seni? Artinya, terdapat irisan tiga bidang? Itu membutuhkan studi yang lebih komprehensif. Tetapi pastinya, cakupan Filsafat Ilmu membutuhkan banyak “modivikasi” guna mengakomodir cakupan-cakupan baru yang berkembang di dunia (realitas) sains.
Kesimpulan dan Catatan
Lensa sains memberi kita jenis realitas yang dapat diperiksa. Penuh pesona dan menjanjikan kepastian. Hasil identifikasi / temuan realitas sains sangat bermanfaat bagi pengambilan keputusan. Sebab, sebuah keputusan membutuhkan basis data. Mengingat, kita adalah makluk temporal, kebenaran sains tidak memerlukan kebenaran lintas ruang waktu, bahkan memikirkan kemungkinan logis adanya realitas diluar ruang waktu. Kebenaran sains adalah kebenaran ruang waktu, dan bahkan dapat berubah di ruang dan waktu lainnya. Saya sebut, “kekinian” dalam metafora, bila kita hendak berkendaraan jauh lintas kota, misalnya dari Salatiga ke Jakarta, sains merupakan lampu jarak pendek untuk menerangi jalan di depan mata agar kita tahu dan pastikan melaju di atas bodi jalan yang benar, yakni menuju tujuan yang diinginkan. Kendaraan kita tidak membutuhkan lampu penerang jarak jauh yang langsung menyorot ke titik (kota) tujuan sebab hal itu tidak diperlukan dalam keputusan aktual kita. Dengan kata lain, sains melayani kebutuhan aktual kita sebagai makluk temporal.
Mitos-mitos di zaman dulu, bahkan hingga kini masih hidup dan berperan di sejumlah komunitas karena dijadikan pegangan. Keberadaan Mitos, yang menjadi rujukan kebenaran intersubyketif, hakikatnya bukan sebagai “kitab kebenaran,” tetapi kalau mau diuji oleh sains seharusnya tidak ada keberatan. Apa pun hasil pengujian saintifik tidak memberi pengaruh apa-apa selain “pengetahuan baru,” sebab mitos ada di situ untuk maksud mengawal nilai-nilai moral dan memandu perilaku etis. Sama halnya dengan ideologi negara, seperti Pancasila, Liberalisme, Komunisme, dan sebagainya. Metode sains dapat melakukan pengujian atau pembuktian di level praksisnya, tetapi kesimpulan-kesimpulan sains hanya sekadar mengkontribusikan pengetahuan yang dapat berfungsi mengefektifkan “perbaikan perilaku” dalam rangka konservasi penguatan ideologi. Pembuktian sains tidak akan menghilangkan ideologi hanya karena ideologi tidak memiliki realitas natural sebagaimana dituntut sains.
Artinya, tidak ada alasan mengabsolutkan realitas natural/puitis/sains sebagai satu-satunya kebenaran. Mengapa sains harus memutuskan secara final sesuatu, hanya lantaran tidak (belum) dapat diobservasi atau tidak memenuhi sayarat-syarat yang diinginkannya? Mengapa tidak dipikirkan, bahwa sains, karena bagaimana pun bekerja mengandalkan alat (teknologi) untuk menemukan realitas yang tak terjangkau mata telanjang, membutuhkan alat baru dengan sensitivitas yang lebih tinggi? Dengan kata lain, kesimpulan-kesimpulan sains, sejauh dikaitkan dengan hal-hal yang disebutnya super-natural, seharusnya disebut sebagai kesimpulan sementara; tepat karena sifat temporalitasnya itu.
Meski di awal saya telah sebutkan karya Dawkins ini cukup ramah dan persuasif, sekurang-kurangnya tidak provokatif, saya perlu ingatkan agar cukup berhati-hati memposisikan dan memahaminya. Setiap bab membahas “sebuah tema atau satu bentuk realitas,” misalnya tentang matahari, edar planet, manusia pertama, dan lainnya. Untuk memperlihatkan perbedaan ekstrim, pembahasan selalu diawali dengan mitos (realitas supernatural) terkait tema atau “obyek” yang dibahas. Setelah itu, barulah dikemukakan hasil-hasil pembuktian ilmiah untuk menunjukkan posisi “unggul” dari realitas natural. Dengan cara itu Dawkins dengan mudah menggiring pemahaman ke ke-tidak-masuk-akal-an penjelasan supernatural. Saya perlu mengingatkan agar hati-hati karena secara halus, dengan membenturkan keduanya Dawkins mengarahkan kesimpulan pembaca kepada tujuan sebenarnya (sebagaimana di The God Delusion dan karyanya yang kain), yaitu penolakan atas semua penjelasan non saintifik. Misi Dawkins adalah menghantar manusia kepada kebenaran tunggal sains, dan melepaskan semua kebenaran apapun yang non saintifik.
Ini terbukti di Bab 12, ketika membahas Keajaiban (Miracles). Di sini, misalnya Dawkins “memperolok-olok” kisah Alkitab tentang perjamuan di Kana, dimana Yesus merubah air menjadi anggur. Ia menyamakan narasi itu dengan dongeng “labu menjadi pangeran” dalam cerita Cinderella, atau sulap sapu tangan menjadi kelinci, yang seungguhnya hanyalah tipuan (trik) untuk menghibur. Prinsipnya, Dawkins menegaskan bahwa semua narasi “mujizat” dalam kisah dongeng (termasuk agama) berasal dari rumor, kisah menurut orang, diwariskan turun temurun sehingga tidak dibuktikan kebenarannya. Di sini Dawkins membuat kesimpulan yang bias. Merujuk apa yang pernah diungkapkan John Lennox, juga John Haught dalam berbagai debat, ketika bukti-bukti atau argumen saintifik terkait “keajaiban Alkitab” diajukan, Dawkins tetap ngotot dan mengabaikan begitu saja semua “argumen teologis.” Lantaran itulah, Lennox menyebut Dawkins sebagai bukan ateis melainkan anti-teis, dan Haught menyebutnya dengan new-puritanism (puritanisme ateis).
Dawkins menutup mata terhadap metode penelitian teologi. Naskah-naskah kuno diteliti, dipelajari, baik yang berasal dari sumber-sumber Kristen maupun sumber-sumber non Kristen. Termasuk melacak mitos-mitos yang berkembang di sekitar masa terjadinya “mujizat,” konteks sekitarnya, sumber-sumber dari pemerintah atau otoritas legal, juga benda-benda arkeologi peninggalan terkait atau di era yang sama. Semua dipelajari, dibanding-bandingkan, dikonstruksi untuk mencapai kesimpulan. Sebagaimana saintis umumnya, tidak semua peneliti di bidang teologi itu berstatus teistik. Mengabaikan semua fakta ilmiah dari para “peneliti teologi” itu, Dawkins menyederhanakan situasi dengan menyamakan begitu saja “mujizat teologis” dengan dongeng dan sulap di panggung hiburan. Dawkins tidak paham, bahwa bahkan dalam metode-metode penelitian teologi, dapat dengan ketat membedakan ajaran teologi dari dongeng-dongeng lokal, ajaran agama pagan, juga filsafat. Teologi memiliki mekanisme saintifik untuk menjamin autentisitas narasi dan keakuratan bukti-bukti arkelologis. Mungkin tidak (belum) lengkap, namun ada “metode uji” yang sangat ketat sehingga sama sekali jauh dari “realitas dongeng.”
Melalui buku ini, dapat disimpulkan Dawkins mengingatkan kita untuk berpikir dan bernalar secara ketat. Jangan mudah mempercayai sesuatu yang belum bisa dibuktikan adanya. Carilah penjelasan rasional terbaik, dan pencarian itu tidak boleh berhenti di suatu titik kesimpulan melainkan selalu terbuka kepada bukti-bukti terbaru. Dan, itu sikap saintis sejati. Sayangnya, Dawkins telah mengunci pintu-pintu pencarian dengan fiksasi yang cenderung dogmatis.
Karya ini patut dihargai karena memberi pencerahan terkait kerja sains dan suksesnya menyingkap realitas. Tetapi, juga kita perlu kritis terhadap pendekatan yang digunakannya, baik secara metodologis maupun filosofis. Secara metodologis Dawkins menggunakan pendekatan saintifik berbasiskan positivisme dimana realitas diandaikan bersifat materi (natural), lalu dibenturkan dengan pendekatan (yang disebutnya) supernatural. Di atas meja bedah saintifik tentu saja “premis-premis” iman tidak dapat dibuktikan. Dan, menurut saya itu wajar saja. Itu tidak berarti iman tidak diperlukan atau irelevan. Realitas natural atau keputusan sains bukanlah satu-satunya jalan kebenaran. Sains tidak memiliki otoritas untuk mengadili jenis realitas lainnya, misalnya metafisika seperti iman dan bentuk-bentuk lainnya, sama halnya dengan iman tidak memiliki otoritas untuk mengadili sains. Keduanya dapat bertumbuh bersama, dan saling belajar untuk memperkaya perspektif masing-masing. Namun, jelas bagi kita bahwa ada ruang dimana keduanya beririsan, misalnya di aksiologi, namun berbeda (tetapi tidak sepenuhnya bertentangan) di basis ontologi. Lantaran itu, tentu saja keduanya memiliki epsitemologi yang berbeda untuk menelusuri jalan akses ke ontologi masing-masing.
Itulah sebabnya, mendukung Alister McGrath saya usulkan POMA (Partially Overlapping Magistrare). Dengan demikian, cakupan Filsafat Ilmu di UKSW juga perlu kita tinjau lagi. Siapkah kita?