CCTD UKSW kembali melanjutkan seri kursus epistemologi dan metodologi. Pada 13 Mei 2022, pukul 14.00-16.00 WIB, Thomas A. Tjaya, Ph.D sebagai pemateri membawa materi dengan pendekatan dialog, membuat para peserta terlibat aktif dalam sessi ke-7 ini. Topik epistemologi dan metodologi fenomenologi disajikan dengan menarik dan penuh diskusi antar pemateri dan peserta.
Bagaimana kita melihat dan memahami realitas diluar kita? Menurut Husserl kita tidak bisa memahami realitas diluar diri kita, apabila realitas tidak menampakan diri pada subyek. Husserl mengembalikan proses mendapatkan pengetahuan ke asal mula pengalaman untuk mendapatkan pengetahuan, yakni benda-benda yang ada diamati. Pengamat diminta kembali pada benda-benda yang akan membantu kita untuk mendapatkan pengalaman dalam melahirkan pengetahuan. Pada akhirnya obyek merupakan apa yang menampakkan diri pada kesadaran manusia. Hal inilah yang melahirkan pendekatan fenomenologi. Karena fenomen merupakan apa yang menampakkan diri pada kesadaran manusia. Dalam kesadaran tersebut membentuk perspektif terhadap benda yang dilihatnya.
Menurut Husserl, Nomena merupakan intensional dari kesadaran kita saat berhadapan dengan realitas. Dalam intensionalitas tersebut hanya akan didekati oleh satu aspek saja, dan bukan melihat secara keseluruan. Dalam fenomenologi membutuhkan sikap alamiah dari realitas yang ada diluar sana. Jadi siapa pun yang meneliti dan mengamati dunia, maka ia melihat dunia yang tetap sama dan tidak berubah. Untuk itu hindari diri dari membuat asumsi yang membuang sikap alamiah. Sikap alamiah dapat dilihat secara spesifik dengan membuat pengurungan (epoche-bracketing) untuk melihat realitas alamiah secara rinci. Contoh sikap alamiah adalah dengan melihat dunia sebagaimana apa adanya. Walaupun ada asumsi saat mengamati realitas. Namun diupayakan sikap alamiah dalam melihat realitas. Misal jika kita memandang sebuah benda dari depan, maka diupayakan mengungkapkan ralitas didepan yang dilihat. Bagian belakang yang tidak terlihat, tidak perlu diungkapkan. Karena akan bias dan mengandung banyak asumsi. Jadi sikap alamiah berupaya melihat realitas sebagaimana yang tampak.
Fenomenologi membutuhkan tanggungjawab dalam memahami realitas, sehingga kebenaran tidak direduksi.
Dawkins dalam The Selfish Gene dan The God Delusion yang telah dibahas dan didiskusikan oleh CCTD-UKSW tahun 2020, mengatakan bahwa moralitas diwariskan oleh gen, dan dapat ditemukan jejaknya melalui evolusi. Atas dasar itu, Dawkins, Yuval Harari dan teman-temannya yang disebut sebagai saintisme menyimpulkan bahwa agama dan Tuhan tidak diperlukan sebab alasan-alasan moral tidak lagi membutuhkanya.
Dua buku sebelumnya yang saya ringkaskan serta komentari di wal FB saya membahas dari aspek psikologi kognitif (juga pendekatan evolusi), dan merujuk berbagai hasil penelitian untuk menunjukkan bahwa “jejak evolusi kognitif” juga dapat membuktikan tempat produksi “gejala-gejala religius” dalam syaraf-syaraf otak kita. Zat-zat dopamin, epinefrin, endorfin, dan oksitosin dalam neuron kita dapat memproduksi “rasa syukur dan terberkati,” sehingga tidak memerlukan agama dan tuhan.
Jadi, saintisme di evolusi biologi maupun evolusi kognitif mengklaim telah menemukan “titik penyebab” manusia primitif menghadirkan tuhan dan moralitas, namun meleset dalam mengekspresikannya. Kemelesetan terjadi karena belum memiliki cukup pengetahuan, sehingga menyembah obyek abstrak yang tak dikenalinnya. Kini pengetahuan telah menemukan data empirik yang berlimpah sehingga dapat menjelaskannya.
Banyak pertanyaan filosofis dapat muncul di sini. Namun, sebelum masuk ke situ kita masih membutuhkan penjelasan lebih lengkap dan rinci terkait dengan klaim-klaim saintisme tersebut. Misalnya, terkait evolusi biologi, dimana dan bagaimana moralitas “tertanam” dalam DNA, lalu mewariskannya secara turun temurun? Apakah sejak bibit bersama semua makluk yang disebut the Last Universal Common Ancestor (LUCA)? Kalau demikian, apakah tumbuhan juga mewarisi moralitas? Apa kaitan logik antara proses evolusi dan persoalan moral? Apakah moralitas adalah hasil adaptasi atau Exaptasi? Dan pertanyaan lain yang dapat berkembang dalam diskusi.
Untuk itu CCTD-UKSW kembali melaksanakan nisbah iman dan ilmu via zoom. Diskusi akan difasilitasi oleh Jubhar Christian Mangimbulude, PhD, dari Universitas Halmahera. Pak Jubar memperoleh gelar Master of Science dalam bidang Mikrobiologi Lingkungan dari Vrije Universiteit Amsterdam The Netherlands, kemudian gelar Philosophy of Doctor (Ph.D) dalam Bidang Environmental Biotechnology dari Microbial Cell Physiology Department, Earth and Life Sciences Faculty, juga dari Vrije Universiteit. Beliau juga pernah menjadi Dekan Fakultas Biologi UKSW, lalu Rektor Uniera.
Dalam dialektika webinar tersebut tampaklah ada proses perubahan dari evolusi makro (yang hanya memperhatikan karakteristik dan perilaku makluk hidup) menuju pada evolusi mikro (perubahan pada gen, hormon dan kinerja otak).
Proses perubahan tersebut disebabkan oleh konektivitas antara gen dengan lingkungan diluar dirinya. gen berkompetisi untuk menjadi pemenang, namun dalam beberapa konteks gen berkolarborasi atau bekerjasama dengan lingkungan diluarnya. Proses evolusi yang harusnya bersifat selfish, pada pengamatan mikro tampak terjadi kerjasama.
Selain itu, evolusi biologi juga disebabkan oleh berbagai pengaruh dalam lingkungan bumi. faktor materi dan imaterial juga mempengaruhi proses evolusi. Yang dimaksud dengan imaterial adalah instrumen lain yang belum diketahui dan belum dapat didefenisikan.
Dialektika dalam diskusi terjadi secara menarik. Apakah intelektual dapat diwariskan? sebagaimana moral juga apakah dapat diwariskan?
Pencarianku yang barangkali tidak akan tuntas selesai adalah mencari jawaban SIAPA MANUSIA? Ketika kuliah ada 9 teori manusia yang kupelajari secara intensif dalam kaitan dengan bangun landasan metode bimbingan dan konseling. Yang membingungkan adalah teori-teori itu ada yang bertentangan idenya. Argumentasi yang kupelajari masih sebatas di tataran filsafat dan barangkali psikologi sosial.
Perhatianku pada elemen fisik/fisiologi ketika aktif urus HIV dan kesehatan reproduksi perempuan. Studi mandiri yang membawaku belajar tentang neuroscience. Beruntung lagi ada diskusi dengan spesialis yang riset hubungan kekebalan tubuh dengan stres. Studi ini nuntunku untuk melihat hubungan antar dimensi manusia.
Webinar yang baru berlangsung dari Pusat Studi Pengembangan Berpikir Kritis UKSW terkait dengan pertanyaan tentang apakah evolusi mewariskan moralitas, memberi stimulus penting padaku. Pemberi materi seorang biolog yang S-1nya dari UKSW dan sekarang ada di Halmahera. Tema ini penting bagi Pak Jubhar barangkali karena beliau masuk ranah perdamaian dalam aksi.
Charles Darwin bertanya:”Moralitas itu hasil proses evolusi biologi atau kebudayaan?”. Meski pertanyaan itu telah berusia beberapa abad namun hingga sekarang belum bisa dijawab tuntas. Namun telah bisa dijawab sebagian.
Interpretasiku setelah ikuti webinar itu adalah moralitas ada di semua dimensi manusia (fisik, psikis, sosial dan spiritual) yang berinteraksi secara aktif, kontektual dan situasional. Otak yang terlibat saja ada 6. Pak Jubhar menyatakan dengan merujuk Cowel bahwa moralitas membutuhkan interaksi antara beberapa daerah otak yang terpisah tetapi terhubung.
Otak manusia yang disebut korteks memainkan peran penting. Dari bacaanku yang lain menyatakan bahwa pertumbuhan otak manusia hingga usia 25 tahun. Pertumbuhan otak manusia ini mudah diganggu dan menjadi rusak atau cacat oleh narkoba dan kimiawi lain. Pecandu narkoba yang begitu tega pada orangtua dengan menjuali barang-barang keluarga dan lakukan manipulasi, aku pahami dari rusaknya korteks oleh proses ketidakseimbangan hormon yang ada.
Hormon oksitosi dan serotonin disebut Pak Jubhar sebagai elemen moralitas manusia. Pahamlah aku tentang keterkaitan hormon dengan perilaku kesetiaan dan ketenangan pikiran yang dihasilkan oleh meditasi. Juga mulai bisa lihat hubungan hati nurani dengan dimensi lain.
Manusia berproses berubah terus. Gen manusia yang sebelumnya egois dan kompetitif kemudian sekarang mulai berubah butuh kolaborasi. Kebutuhan berkolaborasi ini tentu penjelasannya tidak tunggal. Banyak elemen dimensi manusia yang terhubung secara micro maupun makro yang memungkinkan terjadi. Kolaborasi bisa jadi mantera untuk manusia bertahan hidup untuk masa kini dan yang akan datang. Siapa yang telah menyadari gerakannya? Aku sudah sadari gerakannya dan berpretensi untuk bisa menjelaskan.
Dari segi perkembangan studi yang kutekuni adalah aku mulai dari teori-teori yang kupertanyakan terus dalam praktek tentang siapa manusia. Beruntung sekali bahwa praktek kerjaku bisa menoleh pada ilmu lain seperti fisiologi, filsafat, sosiologi, antropologi, spiritualitas, ekonomi dan politik. Jawaban dari pencarianku semoga bisa kutuliskan sebagai sumbanganku pada bidang Bimbingan dan Konseling. Meski secara formal jalur itu tak bisa kumasuki namun ruang untuk hadir di dunia pendidikan melalui kacamata psikologi tetap kumiliki. Revolusi industri 4.0 yang memungkinkan peranku diakomodir dengan cara unik. Semoga bisa kutuntaskan perjalanan ini.
Tulisan ini ditulis dan di-share 21 Maret 2021 oleh Esthi Susanti Hudiono diaplikasi Facebook.
Hari ini (15/12/2020), CCTD UKSW melaksanakan diskusi buku dengan judul “The Magic of Reality“. Buku ini ditulis oleh Richard Dawkins yang merupakan seorang Neo Ateisme dan memuja Natural Science. Dalam diskusi yang dimulai pukul 11.00 wib dan berakhir 12.49 WIB, diikuti oleh 41 orang peserta yang terdiri dari dosen dan mahasiswa di lingkungan UKSW.
Dengan menggunakan media Google Meet, Semuel S. Lusi berhasil membedah dan mengkritisi buku “The Magic of Reality,” serta mendialektikakan karya ini dengan posisi iman dan agama, yang merupakan bentuk pengetahuan intersubyektif.
Membaca Richard Dawkins melalui dua karyanya, The God Delusion (2006) dan The Magic of Reality (2011) secara sepintas terkesan sebagai membaca penulis yang berbeda. Yang pertama aroma kampanye ideologisnya menyengat: agresif dan provokatif. Sementara yang kedua bernada lembut, persuasif dan edukatif memetakan esensi realitas secara menarik sehingga memudahkan pemahaman. Jelas, karya yang kedua menyasar kalangan awam yang lebih luas, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Dilengkapi gambar-gambar ilustrasi penyajiannya sangat apik dan mengalir. Namun, sejatinya bila diperiksa secara cermat, tujuannya khas Dawkins, yaitu kampanye misi the New Atheist (the-NA) melalui sains. Itulah sebabnya, perlu membacanya secara kritis agar dapat memahami bagian yang memberi insigth, tanpa kehilangan kekritisan atas “daya rusaknya,” terutama terkait iman.
Melalui karya ini sejumlah hal perlu dipahami ulang tentang Dawkins (dan pendekatan positivisme /sains), yang dengan demikian juga perlu menyadari implikasi-implikasinya.
Secara sistematis, buku ini terbagi dalam 12 bab. Namun, mudah dipetakan hanya dalam dua bagian. Pada bagian pertama Dawkins nampaknya terlebih dahulu berupaya memurnikan realitas dari berbagai polusi atau bayangan realitas-realitas palsu. Tema ini dibahas tuntas di Bab 1, seakan sebagai fondasi bagi keseluruhan bangunan penalaran buku ini. Untuk memastikan pilar-pilar bangunanya kokoh, Dawkins ingin memastikan menanamkan pemahaman yang jelas dan terukur tentang realitas sejati. Benar, bahwa sikap saintis adalah berpikiran terbuka terhadap apapun, misalnya kemungkinan adanya hantu, tuhan, malaikat, pocong, alien, mujizat, dan lainnya. Tetapi, satu-satunya alasan benar untuk percaya bahwa sesuatu itu ada yaitu jika tersedia bukti yang bisa diobservasi dengan panca indera kita. Tanpa bukti kita tidak bisa mengklaim sesuatu itu ada atau tidak ada.
Bagian kedua, pembahasan berbagai “contoh kasus.” Setelah memurnikan realitas dan memperjelas apa itu relitas sejati, Dawkins menukik lebih dalam dengan mengangkat tema-tema popular yang biasa muncul dari perdebatan “sains-iman” sebagai contoh kasus. Melalui contoh-contoh itu Dawkins hendak menunjukkan bagaimana realitas sejati dan realitas palsu perlu dibedakan dan dipisahkan. Bagaimana sesuatu dipahami dengan akal untuk memastikan adanya itu, dan dibedakan dari penjelasan-penjelasan irasional yang menawarkan realitas palsu. Bagian kedua ini terdistribusi dalam 11 bab (yang saya sebut sebagai contoh-contoh kasus), meliputi, antara lain: Siapakah Manusia Pertama? Mengapa terdapat banyak jenis makluk hidup? Dari apa segala sesuatu terbuat? Bagaimana permulaan segala sesuatu? Apa itu Matahari? Apa itu Pelangi? Apa itu Keajaiban/mujizat? Dan sebagainya.
Setelah memberikan peta untuk memudahkan memahami buku ini, saya hendak melanjutkan dengan mengajak pembaca memasuki wawasan-wawasan Dawkins. Saya tidak memasukinya dengan cara memulai dari titik start (awal) lalu secara ketat mengikuti setiap bab berturut-turut sampai ke penutup. Karena sudah ada peta, saya ingin mengajak pembaca menjelajahi secara bebas dari dan ke titik mana pun, lalu memberikan catatan di bagian tertentu bila saya anggap perlu. Di bagian akhir saya akan memberi tanggapan secara spesifik sesuai tujuan pembahasan buku ini.
Dawkins mengawali dengan menjelaskan bagaimana hakikat dari realitas dan bagaimana diperiksa serta diuji hingga benar-benar dibuktikan keberadaannya. Misalnya, memahami galaksi-galaksi (gugusan-gugusan bintang) yang jumlahnya milyaran, yang jaraknya juga jutaan bahkan milyaran tahun cahaya dari posisi kita. Bagaimana itu bisa dipastikan, ditangkap oleh panca indera, khususnya indera penglihatan? Juga bakteri-bakteri atau virus yang sangat kecil, atau gelombang radio yang menghasilkan siaran jarak jauh. Bagaimana bisa membuktikan realitas macam itu? Ataukah itu hanya bualan para ilmuan? Semua itu dimungkinkan karena manusia menciptakan alat bantu teknologi, misalnya teleskop, mikroskop, dan sebagainya. Teleskop raksasa Hubble atau James Webb, misalnya, yang diposisikan di luar angkasa, dapat menjangkaukan “penglihatan” kita pada jarak hingga 12-an milyar tahun cahaya. Dan, terbuka diperiksa kebenaran itu oleh siapa pun dengan menggunakan alat yang sama. Artinya, melalui alat bantu semua yang disebutkan dapat dibuktikan adanya, sehingga sama sekali bukan mengada-ada. Itu disebut realitas sejati sebab bisa diperiksa dan dibuktikan.
Demikian pula, untuk membuktikan realitas bakteri atau elektron, lantaran super kecil sehingga tidak dapat diamati dengan mata telanjang, dibutuhkan teknologi untuk memperbesar obyek hingga ratusan bahkan ribuan kali. Di sini para ahli menggunakan mikroskop. Dengan alat bantu itu dapat diperlihatkan keberadaan bakteri dan elektron. Karena itu, realitas bakteri-bakteri super kecil tidak dapat disangkal sebab adanya itu dapat ditunjukkan.
Disaat realitas tidak dapat ditangkap langsung oleh panca indera atau perangkat bantu (teknologi), para ilmuan menciptakan model. Model itu bisa berupa rumus matematika, rumus fisika, kimia, atau bahkan sebuah skema. Sebuah model yang dibuat akan terus menerus diuji sampai dipastikan dapat mempresentasikan realitas sebenarnya.
Model bisa juga replika yang terbuat dari kayu atau plastik, atau berupa simulasi di komputer. Para ilmuan mencermati model dengan teliti dan memprediksi apa yang seharusnya dilihat, didengar atau dirasakan. Apabila pemodelannya benar maka apa yang diprediksi benar-benar akan terjadi. Artinya model itu benar-benar mewakili realitas. Tetapi apabila prediksinya salah model tersebut ditolak, atau dimodifikasi lalu diuji lagi. Contoh: kita tahu bahwa gen (unit keturunan) terbuat dari bahan yang disebut DNA. Saintis tahu tentang DNA dan cara kerjanya, tetapi “orang awam” tidak dapat melihat detail seperti apa DNA itu, bahkan dengan mikroskop yang canggih sekali pun. Hampir semua yang diketahui tentang DNA datang secara tidak langsung dari pemodelan yang berulang-ulang diuji lalu disempurnakan sehingga dapat dipresentasikan. Dengan demikian, para ilmuan dengan mudah menjelaskannya kepada publik sehingga dipahami sebagai realitas. Dalam hal ini kita perlu berterimakasih kepada Watson dan Crick yang berjasa membuat penemuan dengan memodelkan DNA sehingga dikenali sebagaimana adanya hari ini.
Sihir Realitas: Realitas Natural vs Supernatural
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa realitas bersifat bendawi (materi /fisika/positivistik) dalam pengertian dapat ditunjuk ini dan itunya. Dan, wajah realitas, seperti tatanan bintang dan benda-benda ruang angkasa, DNA, gunung berpuncak salju, samudera biru, atom, quark, bakteri, dan sebagainya, selalu indah, memukau, karenanya memicu keingintahuan yang lebih besar. Itu yang disebut oleh Dawkins sebagai magic (sihir). Realitas sejati selalu menyihir lantaran terlalu indah dan memikat itu. Tapi, Dawkins mengingatkan perlu dibedakan dari realitas-realitas palsu, yang juga memukau namun bukanlah realitas sebenarnya karena tidak dapat dibuktikan.
Dawkins membedakan tiga jenis realitas yang memukau (menyihir), sebagaimana dimaksud dalam judul bukunya, the Magic of Reality. Pertama; sihir supernatural, yang disebutnya ditemukan dalam mitos dan dongeng. Contoh: lampu aladin, kisah-kisah J.K.Rowling, dongeng, mitos, mujizat dalam agama, dan sebagainya. Realitas supernatural menurut Dawkins tidak pernah bisa memberi penjelasan yang benar tentang hal-hal yang kita lihat di dunia dan alam semesta di sekitar kita. Penjelasan supernatural tentang sesuatu sama sekali tidak menjelaskan apa-apa, dan buruknya lagi mengesampingkan kemungkinan apa pun yang pernah dijelaskan. Sesuatu yang “supernatural” nampaknya harus secara definisi berada di luar jangkauan penjelasan alami (natural), di luar jangkauan sains dan metode ilmiah mapan, teruji, dan yang bertanggung jawab atas kemajuan besar dalam pengetahuan yang telah kita nikmati selama 400 tahun terakhir ini. Penjelasan supernatural mengabaikan semua capaian sains.
Di sini kita perlu memberi catatan. Pertama, tidak benar kalau dikatakan “yang supernatural” selalu diluar jangkauan penjelasan sains. Terutama, terkait kepercayaan iman (agama) Kristen, sejauh yang saya tahu, tidak sedikit yang dapat dijelaskan secara saintifik. Kedua, nampaknya Dawkins menyamaratakan begitu saja semua gradasi dalam realitas supernatural, misalnya dongeng, mitos, iman. Penyamaan ini merupakan penyederhanaan berlebihan (over simplification). Dongeng dan mitos misanya, memang tidak memiliki metodologi dan tidak memerlukan bukti. Tetapi, agama memiliki metodologi, bahkan banyak bukti fisik yang bisa diuji secara saintifik, dalam pengertian “bisa ditunjuk ini itunya.” Terbelahnya laut Teberau (laut merah) sehingga menyelamatkan bangsa Yahudi, sebaliknya menenggelamkan para pengejar yaitu Fiarun dan pasukannya terbukti dengan penemuan bangkai kereta tempur di dasar Teberau, bersama tulang belulang manusia dan kuda, dan usianya terkonfirmasi sesuai perkiraan waktu kejadian supernatural itu. Kelahiran, kematian dan kebangkitan Yesus juga terkonfirmasi melalui bukti-bukti historis, seperti yang diargumentasikan oleh John C.Lennox (Gunning for God: Why the New Atheists are Missing the Target), juga John F.Hought (God and the New Atheism).
Kedua: sihir panggung, yaitu yang dimainkan oleh para pesulap. Sebuah sapu tangan berubah menjadi kelinci atau burung merpati, telur menjadi burung, potongan-potongan kertas menjadi kupu-kupu dan sebagainya. Sihir jenis ini juga memukau dan benar-benar terjadi di depan mata kepala kita. Namun, sifatnya trik atau tipuan semata dengan tujuan menghibur. Para pesulap kredibel akan menginformasikan kepada penonton, bahwa apa yang dilakukannya itu hanya trik dan bukan karena ada kekuatan supernatural yang bekerja mencipta mujizat itu.
Ketiga; sihir puitis, yang disebutkan sebagai posisi favorit Dawkins. Inilah realitas sejati. Ketika mendengar alunan musik lalu hati terharu hingga meneteskan air mata, membaca penggalan puisi yang menyentuh, atau menatap penuh kekaguman kepada alam raya yang megah dan tertata. Itulah sihir realitas. Realitas sebagaimana telah dijelaskan di awal merupakan contoh realitas natural yang menimbulkan sihir puitis.
Menarik, misalnya ketika membahas “Manusia Pertama.” Secara impresif Dawkins mulai dengan berbagai penjelasan supernatural, antara lain dari kitab Kejadian, yang menyebutkan dewa (sebutan Dawkins) menciptakan manusia pertama dari debu, lalu dinamainya Adam, yang berarti manusia. Istrinya Hawa, diciptakan dari tulang rusuk Adam. Keduanya melanggar perintah dewa lalu diusir dari taman eden. Narasi itu disamakan dengan sejumlah dongeng, misalnuya dewa Moinee di Tasmania yang mencipta manusia pertama bernama Parlevar, yang awalnya memiliki ekor seperti Kanguru. Demikian pula orang Ibrani di Timur Tengah memiliki dongeng yang sama tentang dewa mereka yang menciptakan Adam.
Penjelasan natural sangat berbeda. Berbagai fosil di bebatuan diperiksa, untuk menemukan rantai evolusi manusia. Berdasarkan bukti-bukti fosil, juga dengan membandinhgkan DNA, dapat disusun secara rinci urutan atau tahapan evolusi mulai dari diri Anda terus ke belakang sampai ke “moyang paling pertama.” Secara mengesankan Dawkins meminta kita membayangkan (disebutnya: melakukan ekspreimen pikiran) di mulai dari diri sendiri. Ambil potret Anda ukuran kartu pos lalu letakkan di satu titik, kemudian potret orang tua Anda diletakkan di urutan berikutnya, lalu kakek Anda, buyut Anda, dan seterusnya dan seterusnya. Sampai urutan ke 185 juta, yang menurutnya susunan urutan potret itu akan mencapai panjang 40km, Anda akan menemukan bahwa buyut Anda adalah seekor ikan (hal.51-52). (Saya kira ini sebuah eksperiman pikiran yang juga memukau, tidak kalah dengan sulap profesional: ikan menjadi manusia??!!). Sayang, tidak ada penjelasan lagi, darimana ikan itu berasal? Mengapa penulusuran rantai evolusi berhenti di ikan? Apakah semua manusia berasal dari ikan yangsama, atau ada juga yang ber-buyutkan ikan lain, atau makluk lain? Untuk mencapai moyang pertama itu, Anda telah melewati moyang lainnya yang lebih mudah. Misalkan menelusuri moyang buyut Anda dengan menggunakan mesin waktu (ingat! Anda sedang meluncur dari masa depan menuju masa lalu), pada tahapan 6 juta tahun dari sekarang Anda akan bertemu moyang monyet atau simpanse Anda, lalu meluncur ke waktu yang lebih awal, terus menerus hingga bertemu moyang ikan Anda. Tentu, ini pengalaman mendebarkan! Dawkins mengakhiri Bab ini dengan kesimpulan mengharukan: “silsilah keluarga Anda tidak hanya mencakup sepupu yang terlihat jelas seperti simpanse dan monyet, tetapi juga tikus, kerbau, iguana, walabi, siput, dandelion, elang emas, jamur, paus, wombat, dan bakteri. Semuanya sepupu kita. Semuanya. Bukankah itu pemikiran yang jauh lebih indah daripada mitos apa pun? Dan hal yang paling menakjubkan dari semuanya adalah kita tahu dengan pasti bahwa itu benar” (hal.52).
Apa yang perlu Dipahami Ulang, dan Bagaimana Menanggapinya?
Sains tidak dapat dihalangi untuk menguji hipotesis tuhan, menguji kebenaran ada tidaknya Yesus historis, tentang penciptaan, usia alam semesta (planet bumi), bahkan klaim agama dan tuhan sebagai penghadir cinta kasih, perdamaian, dan sebagainya. Semua itu dapat diuji secara saintifik. Bila pun berdasarkan uji-uji sains disimpulkan bahwa Tuhan tidak ada, cinta kasih dan moralitas hanyalah bagian dari strategi survival (penjelasan non teistik), dan sebaginya, tetaplah itu sah secara saintifik. Ukuran sahih tidak sahihnya kesimpulan harus dalam ukuran metode saintifik.
Tetapi Iman tidak dapat digantungkan semata-mata kepada pembuktian sains. Ini disebabkan karena Iman dan Sains memiliki klaim ontologis yang berbeda. Pun, sains butuh bukti observasional, tetapi iman melampaui bukti-bukti material dan lebih menekankan pada aspek percaya. Meski demikian, iman bukan mengendors sikap percaya buta dan anti sains. Tomas menuntut bukti kebangkitan Yesus, dan Yesus memberikannya sambil mengingatkan, bahwa lebih berbahagia orang beriman tanpa bukti. Bukan iman buta yang dimaksud Yesus. Peringatan itu terkait pengajaran-Nya bahwa Ia akan disalibkan, mati, dan dikuburkan, tetapi akan bangkitpada hari ketiga. Sebagai murid, Tomas sudah berulang-ulang mendengar pengajaran itu, pun berulang-ulang mengalami mujizat-mujizat yang dilakukan Gurunya. Jadi, Tomas sudah memiliki pengetahuan dan mengalami –artinya sudah banyak lembar bukti empirik di “catatan survei lapangannya,” namun masih kurang percaya. Itulah poin dari kritik keras Yesus, tidak hanya kepada Tomas tetapi juga kepada semua murid, masing-masing dalam kasus berbeda yang menunjukkan kurangnya iman. Apakah komentar Yesus itu mengimplisitkan sikap anti sains? Sama sekali tidak. Sebab, Yesus mempersilahkan Tomas memeriksa bukti yang diinginkannya. Hanya saja, Yesus perlu mengingatkan bahwa iman seharusnya tidak lagi memerlukan bukti baru, sebab telah banyak bukti di masa lalu. Bukan hanya ketika bersama Yesus itu, melainkan nubuatan-nubuatan para nabi ribuan tahun sebelumnya. Kalau semua bukti itu dikumpulkan dan dijejer tentu tidak sedikit. Karenanya kritik “kurang beriman” itu terkait erat dengan misi-Nya di bumi yaitu memastikan para murid memiliki iman agar tidak tergantung pada kehadiran fisik (material) Yesus.
Ada ruang antara Sains dan Iman yang overlapping. Yakobus mengatakan, “iman tanpa perbuatan adalah mati” menjadi rujukan penting (Yakobus 2:17 dan 18). Artinya, sains dan iman beririsan di level aksiologi (etika), sehingga sains dapat menguji iman pada level perbuatan (empirik). Sebab, secara saintifik Iman hanya bisa diuji dan dibuktikan di level perbuatan. Tanpa perbuatan, iman sudah mati. Di sini, iman (agama) dapat mempersilahkan sains mengopreasikan metodenya menguji “buah iman” di level praktik hidup. Hasil kerja sains akan bermanfaat bagi iman untuk memperbaharui (menyempurnakan) praktik hidup agar sesuai dengan apa yang diimani atau diajarkan oleh ideal agama. Bahasa sains tentu saja, dapat berupa kesimpulan, bahwa “Tuhan tidak ada lantaran tidak terbukti melalui sikap dan tindakan praktis pemeluknya” (bentuk argumen yang digunakan filsuf ateis Bertrand Russell dalam karyanya Why I am Not A Christian). Iman tidak perlu risau dengan bahasa penyimpulan dari pengujian hipotetik itu, sebab itu memang bahasa khas sains.
Di sisi lain, iman dapat memicu pencarian sains. Hipotesis tuhan dirancang untuk diuji, justru karena Iman memberi tahu adanya bentuk realitas bernama Tuhan. Iman juga memberi tahu ada Penciptaan sebagai awal ruang waktu, dan berdasarkan itu sains melakukan berbagai eksperimen untuk membuktikannya. Sains lalu terus terlibat dalam proses eksplorasi yang memungkinkan tercapainya banyak kemajuan. Ketika belum ada hasil tidaklah bisa disimpulkan secara terburu-buru sebagai ketiadaan penciptaan. Sains mungkin perlu kerja lebih keras, butuh revolusi metode, teknologi yang lebih canggih, kepekaan lebih tinggi, dan sebagainya. Dengan demikian, sebuah “realitas iman” memicu pencarian saintifik, bahkan penerobosan dalam penciptaan teknologi sebagai alat bantu untuk memacu terobosan-terobosan dan eksplorasi sains.
Penolakan terhadap proposal NOMA (Non Overlapping Magistrare) dari Stephen Jay Gould oleh Richard Dawkins dengan demikian dapat juga dipahami. Sebagaimana diketahui, banyak pengkritik menggunakan NOMA untuk mendebat Dawkins, namun dalam Bab 2 TGD, Dawkins menolak NOMA dengan argumen bahwa semua klaim agama yang bersifat empirik harus diuji oleh sains. Seolah dunia empirik merupakan wilayah otonom yang menjadi otoritas sains, sehingga (si)apa pun yang memasukinya harus diinvestigasi oleh sains sebagaimana kritik Nietzsche. Ini catatan penting untuk argumen Dawkins. Jenis-jenis klaim empirik agama, seperti terjadinya air bah, terbelahnya laut merah, kehadiran Yesus yang melakukan berbagai keajaiban, dan sebagainya disebut Dawkins harus diuji sains.
Pemateri berpendapat argumen Dawkins patut dipertimbangkan. Implikasi logisnya, diperlukan pemodelan baru untuk relasi sains dan iman, yang menurut saya seharusnya POMA (Partially Overlapping Magistrare), dimana terdapat “arsiran realitas” antara kedua magistrare. Di bidang itulah sains dan agama seharusnya terikat pada persekutuan mencari dan menegakkan kebenaran. Proposal POMA sebenarnya pertamakali diusulkan Alister McGrath dalam karyanya The Dawkins Delusion, Atheist Fundamentalism and the denial of the divine (2007), namun belum memberikan isi apa-apa kecuali menyebutkan posibilitasnya. Sebagai penegasan, hal terkait yang perlu dipahami ulang adalah bahwa sains juga mengases kebenaran intersubyektif dan subyektif. Kebenaran intersubyektif termasuk didalamnya kebenaran agama, ideologis, mitologi, kearifan-kearifan lokal, dan sejenisnya. Sementara, kebenaran subyketif seperti sastra, puisi, seni ukir, lukis, pahat, patung, dan sebagainya. Dua jenis realitas yang sebelumnya dipahami sebagai bukan bagian dari realitas saintifik, atau setidaknya dianggap sebagai area terlarang bagi sains (dalam ungkapan Dawkins di TMR sebagai realitas supernatural). Implikasi dari “perluasan area sains” ini, metode-metode saintifik memerlukan pengembangan. Bidang epistemologi perlu modifikasi agar cakupannya dapat memasuki area realitas intersubyektif dan subyektif serta mengasesnya. Upaya obyektivikasi “yang subyektif” membutuhkan revolusi metode agar dapat melakukan pengujian dan pembuktian saintifik atas “yang subyek” atau “yang supernatural.” Apakah dimungkinkan adanya POMA dari tiga magsitrare, yaitu sains, agama (iman), dan seni? Artinya, terdapat irisan tiga bidang? Itu membutuhkan studi yang lebih komprehensif. Tetapi pastinya, cakupan Filsafat Ilmu membutuhkan banyak “modivikasi” guna mengakomodir cakupan-cakupan baru yang berkembang di dunia (realitas) sains.
Kesimpulan dan Catatan
Lensa sains memberi kita jenis realitas yang dapat diperiksa. Penuh pesona dan menjanjikan kepastian. Hasil identifikasi / temuan realitas sains sangat bermanfaat bagi pengambilan keputusan. Sebab, sebuah keputusan membutuhkan basis data. Mengingat, kita adalah makluk temporal, kebenaran sains tidak memerlukan kebenaran lintas ruang waktu, bahkan memikirkan kemungkinan logis adanya realitas diluar ruang waktu. Kebenaran sains adalah kebenaran ruang waktu, dan bahkan dapat berubah di ruang dan waktu lainnya. Saya sebut, “kekinian” dalam metafora, bila kita hendak berkendaraan jauh lintas kota, misalnya dari Salatiga ke Jakarta, sains merupakan lampu jarak pendek untuk menerangi jalan di depan mata agar kita tahu dan pastikan melaju di atas bodi jalan yang benar, yakni menuju tujuan yang diinginkan. Kendaraan kita tidak membutuhkan lampu penerang jarak jauh yang langsung menyorot ke titik (kota) tujuan sebab hal itu tidak diperlukan dalam keputusan aktual kita. Dengan kata lain, sains melayani kebutuhan aktual kita sebagai makluk temporal.
Mitos-mitos di zaman dulu, bahkan hingga kini masih hidup dan berperan di sejumlah komunitas karena dijadikan pegangan. Keberadaan Mitos, yang menjadi rujukan kebenaran intersubyketif, hakikatnya bukan sebagai “kitab kebenaran,” tetapi kalau mau diuji oleh sains seharusnya tidak ada keberatan. Apa pun hasil pengujian saintifik tidak memberi pengaruh apa-apa selain “pengetahuan baru,” sebab mitos ada di situ untuk maksud mengawal nilai-nilai moral dan memandu perilaku etis. Sama halnya dengan ideologi negara, seperti Pancasila, Liberalisme, Komunisme, dan sebagainya. Metode sains dapat melakukan pengujian atau pembuktian di level praksisnya, tetapi kesimpulan-kesimpulan sains hanya sekadar mengkontribusikan pengetahuan yang dapat berfungsi mengefektifkan “perbaikan perilaku” dalam rangka konservasi penguatan ideologi. Pembuktian sains tidak akan menghilangkan ideologi hanya karena ideologi tidak memiliki realitas natural sebagaimana dituntut sains.
Artinya, tidak ada alasan mengabsolutkan realitas natural/puitis/sains sebagai satu-satunya kebenaran. Mengapa sains harus memutuskan secara final sesuatu, hanya lantaran tidak (belum) dapat diobservasi atau tidak memenuhi sayarat-syarat yang diinginkannya? Mengapa tidak dipikirkan, bahwa sains, karena bagaimana pun bekerja mengandalkan alat (teknologi) untuk menemukan realitas yang tak terjangkau mata telanjang, membutuhkan alat baru dengan sensitivitas yang lebih tinggi? Dengan kata lain, kesimpulan-kesimpulan sains, sejauh dikaitkan dengan hal-hal yang disebutnya super-natural, seharusnya disebut sebagai kesimpulan sementara; tepat karena sifat temporalitasnya itu.
Meski di awal saya telah sebutkan karya Dawkins ini cukup ramah dan persuasif, sekurang-kurangnya tidak provokatif, saya perlu ingatkan agar cukup berhati-hati memposisikan dan memahaminya. Setiap bab membahas “sebuah tema atau satu bentuk realitas,” misalnya tentang matahari, edar planet, manusia pertama, dan lainnya. Untuk memperlihatkan perbedaan ekstrim, pembahasan selalu diawali dengan mitos (realitas supernatural) terkait tema atau “obyek” yang dibahas. Setelah itu, barulah dikemukakan hasil-hasil pembuktian ilmiah untuk menunjukkan posisi “unggul” dari realitas natural. Dengan cara itu Dawkins dengan mudah menggiring pemahaman ke ke-tidak-masuk-akal-an penjelasan supernatural. Saya perlu mengingatkan agar hati-hati karena secara halus, dengan membenturkan keduanya Dawkins mengarahkan kesimpulan pembaca kepada tujuan sebenarnya (sebagaimana di The God Delusion dan karyanya yang kain), yaitu penolakan atas semua penjelasan non saintifik. Misi Dawkins adalah menghantar manusia kepada kebenaran tunggal sains, dan melepaskan semua kebenaran apapun yang non saintifik.
Ini terbukti di Bab 12, ketika membahas Keajaiban (Miracles). Di sini, misalnya Dawkins “memperolok-olok” kisah Alkitab tentang perjamuan di Kana, dimana Yesus merubah air menjadi anggur. Ia menyamakan narasi itu dengan dongeng “labu menjadi pangeran” dalam cerita Cinderella, atau sulap sapu tangan menjadi kelinci, yang seungguhnya hanyalah tipuan (trik) untuk menghibur. Prinsipnya, Dawkins menegaskan bahwa semua narasi “mujizat” dalam kisah dongeng (termasuk agama) berasal dari rumor, kisah menurut orang, diwariskan turun temurun sehingga tidak dibuktikan kebenarannya. Di sini Dawkins membuat kesimpulan yang bias. Merujuk apa yang pernah diungkapkan John Lennox, juga John Haught dalam berbagai debat, ketika bukti-bukti atau argumen saintifik terkait “keajaiban Alkitab” diajukan, Dawkins tetap ngotot dan mengabaikan begitu saja semua “argumen teologis.” Lantaran itulah, Lennox menyebut Dawkins sebagai bukan ateis melainkan anti-teis, dan Haught menyebutnya dengan new-puritanism (puritanisme ateis).
Dawkins menutup mata terhadap metode penelitian teologi. Naskah-naskah kuno diteliti, dipelajari, baik yang berasal dari sumber-sumber Kristen maupun sumber-sumber non Kristen. Termasuk melacak mitos-mitos yang berkembang di sekitar masa terjadinya “mujizat,” konteks sekitarnya, sumber-sumber dari pemerintah atau otoritas legal, juga benda-benda arkeologi peninggalan terkait atau di era yang sama. Semua dipelajari, dibanding-bandingkan, dikonstruksi untuk mencapai kesimpulan. Sebagaimana saintis umumnya, tidak semua peneliti di bidang teologi itu berstatus teistik. Mengabaikan semua fakta ilmiah dari para “peneliti teologi” itu, Dawkins menyederhanakan situasi dengan menyamakan begitu saja “mujizat teologis” dengan dongeng dan sulap di panggung hiburan. Dawkins tidak paham, bahwa bahkan dalam metode-metode penelitian teologi, dapat dengan ketat membedakan ajaran teologi dari dongeng-dongeng lokal, ajaran agama pagan, juga filsafat. Teologi memiliki mekanisme saintifik untuk menjamin autentisitas narasi dan keakuratan bukti-bukti arkelologis. Mungkin tidak (belum) lengkap, namun ada “metode uji” yang sangat ketat sehingga sama sekali jauh dari “realitas dongeng.”
Melalui buku ini, dapat disimpulkan Dawkins mengingatkan kita untuk berpikir dan bernalar secara ketat. Jangan mudah mempercayai sesuatu yang belum bisa dibuktikan adanya. Carilah penjelasan rasional terbaik, dan pencarian itu tidak boleh berhenti di suatu titik kesimpulan melainkan selalu terbuka kepada bukti-bukti terbaru. Dan, itu sikap saintis sejati. Sayangnya, Dawkins telah mengunci pintu-pintu pencarian dengan fiksasi yang cenderung dogmatis.
Karya ini patut dihargai karena memberi pencerahan terkait kerja sains dan suksesnya menyingkap realitas. Tetapi, juga kita perlu kritis terhadap pendekatan yang digunakannya, baik secara metodologis maupun filosofis. Secara metodologis Dawkins menggunakan pendekatan saintifik berbasiskan positivisme dimana realitas diandaikan bersifat materi (natural), lalu dibenturkan dengan pendekatan (yang disebutnya) supernatural. Di atas meja bedah saintifik tentu saja “premis-premis” iman tidak dapat dibuktikan. Dan, menurut saya itu wajar saja. Itu tidak berarti iman tidak diperlukan atau irelevan. Realitas natural atau keputusan sains bukanlah satu-satunya jalan kebenaran. Sains tidak memiliki otoritas untuk mengadili jenis realitas lainnya, misalnya metafisika seperti iman dan bentuk-bentuk lainnya, sama halnya dengan iman tidak memiliki otoritas untuk mengadili sains. Keduanya dapat bertumbuh bersama, dan saling belajar untuk memperkaya perspektif masing-masing. Namun, jelas bagi kita bahwa ada ruang dimana keduanya beririsan, misalnya di aksiologi, namun berbeda (tetapi tidak sepenuhnya bertentangan) di basis ontologi. Lantaran itu, tentu saja keduanya memiliki epsitemologi yang berbeda untuk menelusuri jalan akses ke ontologi masing-masing.
Itulah sebabnya, mendukung Alister McGrath saya usulkan POMA (Partially Overlapping Magistrare). Dengan demikian, cakupan Filsafat Ilmu di UKSW juga perlu kita tinjau lagi. Siapkah kita?
Kampanye global dari New Atheist (NA) yang sangat ambisius dan agresif adalah agar orang meninggalkan agama dan Tuhan. NA atau saintisme menjanjikan “surga” baru yang rasional, damai, dan lebih bermoral tanpa tuhan. Tidak hanya melalui debat-debat terbuka, wawancara dengan tokoh agama atau kreasionis (seperti rutin dilakukan Dawkins), para NA juga menyerang lewat karya (buku).Semenjak terbitnya the God Delusion (2006) karya biolog Oxford, Richard Dawkins, seakan menciptakan permainan berbalas pantun antara New Atheist (NA) atau saintisme dan Agama (Kreasionis) melalui karya. Kelompok terakhir ini “didukung” para pengkritik NA yang kebanyakan ilmuan kredibel berpandangan sekular atheis atau agnostik. “Permainan intelek khas tradisional Indonesia” itu ditandai dengan karya-karya bertema delusi (atau terasosiasi dengannya) secara berbalasan. Ada The Dawkins DELUSION? Atheist Fundamentalism and the Denial of the Divine (2007) oleh Alister E. McGrath and Joanna Collicutt McGrath, kemudian Devil Science Delusion: Asking the Big Questions in Culture of Easy Answers (2007) karya Curtis Wise. Tahun 2009 David Berlinski menerbitkan The Devil’s Delusion: Atheism and Its Scientific Pretensions. Dari kubu NA lahir the Christian Delusion sebagai kumpulan tulisan belasan ilmuan, diedit oleh John W.Loftus (2010). Masih banyak karya senada yang tidak bertema delusi tetapi isinya dalam rangka berbalas pantun itu.Kalau karya-karya delusi kubu NA selalu menyerang dan menjelekkan agama serta mengkampanyekan “surga ateisme,” maka dari pihak satunya cenderung bertahan. Umumnya hanya berupaya menjawab tantangan atau mencoba mematahkan argumen-argumen penyerang sambil menunjukkan ideal-ideal ajaran moral agama yang sama sekali diabaikan debaters NA. NA dianggap hanya mencuplik momen-momen kegelapan agama tetapi mengabaikan kekayaan moral dan formasi kemanusiaan yang ditanamkan agama sepanjang peradaban manusia.
Tahun 2012 Rupert Sheldrake, seorang yang telah menjadi ateis sejak masa remaja, namun kembali menjadi teis di masa kematangan kariernya ketika berada di India, menerbitkan The Science Delusion: Freeing the Spirit of Enquiry. Dari judulnya sudah tergambarkan integritas seorang intelektual yang memiliki otoritas keilmuan. Reputasinya meyakinkan. Ia aktif di berbagai komunitas ilmiah, antara lain Society for Experimental Biology, Society for Scientific Exploration, Zoological Society, Cambridge Philosophical Society, dan the Institute of Noetic Sciences. Ia juga pernah bekerja sebagai ahli biokimia di Universitas Cambridge, ahli fisiologi tanaman di Institut Penelitian Tanaman Internasional untuk Daerah Tropis Semi-Kering di India, dan menjadi profesor tamu di sejumlah universitas terkemuka.
Dalam karya ini Sheldrake dengan jujur menunjukkan bahwa dalam sains pun terdapat andaian-andaian filosofis yang taken for granted. Argumen ini nampaknya hendak mengatakan kepada saintisme (dalam sebutannya: fisikisme / materialisme eliminatif), bahwa aspek-aspek delusional tidak hanya monopoli agama seperti dituduhkan. Tetapi, tujuan utama buku ini bukanlah membela agama ataupun menyerang NA, melainkan menyelamatkan sains dari bahaya dogmatisasi, sebagaimana ditegaskannya di Kata Pengantar: “I have written this book because I believe that the sciences will be more exciting and engaging when they move beyond the dogmas that restrict free enquiry and imprison imaginations.”Sifat sejati sains adalah semangat penyelidikan (inquiry) yang berpikiran terbuka. Sheldrake menegaskan idealnya sains adalah proses, bukan posisi atau sistem kepercayaan. Sains inovatif terjadi ketika para ilmuwan merasa bebas untuk mengajukan pertanyaan baru dan membangun teori baru. Mengutip Thomas Kuhn melalui The Structure of Scientific Revolutions(1962) yang berpendapat bahwa dalam periode sains “normal,” kebanyakan ilmuwan berbagi model realitas dan cara mengajukan pertanyaan, yang dia sebut sebagai paradigma.
Secara meyakinkan Sheldrake mengindetifikasi sepuluh bentuk dogmatisasi sains, yang dibahasnya masing-masing dalam bab khusus. Ia memulai dengan mengulas sukses sains yang mengkontribusikan perkembangan manusia dalam berbagai aspek kehidupan melalui dua cara, yaitu teknologi dan obat-obatan. Revolusi industri dan revolusi sains jalan beriringan menciptakan sejarah dan mengarahkan peradaban, dimulai di abad ke-17. Horison pengetahuan pun berkembang sedemikian pesat, mulai dari partikel materi yang paling mikroskopis hingga keluar ruang yang maha luas dengan ratusan miliar galaksi di alam semesta yang juga terus berkembang.
Namun, nampaknya capaian mendasar yang mencengangkan itu perlahan berubah menjadi kredo. Setelah mencapai puncak sukses, sejak dua dekade terakhir di abad 21 ini, ketika pengaruh sains telah menyebar ke seluruh dunia dan meresapi semua aspek kehidupan sehingga manfaatnya nampak tak terbantahkan lagi, masalah justru mengganggu dari dalam. Kebanyakan ilmuwan menikmati zona nyaman lalu meyakini begitu saja, bahwa semua masalah pasti akan terselesaikan dengan lebih banyak penelitian dan penyelidikan melalui metode-metode yang sudah mapan. Sheldrake berargumen bahwa sains telah ditahan (mengalami kelesuan / malaise) oleh asumsi berabad-abad yang telah mengeras menjadi dogma. Itulah yang disebutnya sebagai delusi sains modern.
Delusi ilmiah terbesar adalah bahwa Sains seolah sudah mengetahui jawaban, dan hanya detailnya yang masih butuh waktu untuk diselesaikan. Bahkan, argumen yang meng-hipotesis-kan Tuhan pun diyakini hanya menunggu waktu untuk membuktikan ketiadaan tuhan. Dan, ironisnya itu sudah diperlakukan sebagai “fakta ilmiah.” Ilmu pengetahuan kontemporer juga didasarkan pada klaim bahwa semua realitas bersifat material atau fisik, dan diluar itu tidak ada realitas lagi. Misalnya, kesadaran diyakini sebagai semata-mata produk sampingan dari aktivitas fisik otak; Evolusi tidak memiliki tujuan; Tuhan hanya ada sebagai ide dalam pikiran manusia, dan karenanya hanya ada dalam kepala manusia.
Menurut Sheldrake, keyakinan itu kuat bukan karena para ilmuwan memikirkannya secara kritis, melainkan karena mereka tidak memikirkannya. Fakta-fakta sains cukup nyata. Pun, teknik yang digunakan para ilmuwan serta teknologi yang didasarkan padanya. Namun, sistem kepercayaan yang mengatur pemikiran ilmiah konvensional adalah tindakan keimanan yang didasarkan pada ideologi abad kesembilan belas. Tidaklah mengherankan bila Karl Popper menyebut pendirian para ilmuan tersebut sebagai “promissory materialism” lantaran temuan-temuan mereka sebenarnya masih didasarkan pada perlunya “penerbitan surat perjanjian untuk penemuan yang belum ada.” Artinya, mengasumsikan sebuah “bukti” yang masih berupa janji.Kesepuluh “kredo ilmiah” yang dibahas sebagai keyakinan pokok dan delusi itu oleh Sheldrake dirubah menjadi pertanyaan. Dengan mempresentasikan ragam hasil penelitian, uji lab dan testimoni, dapat ditampilkan fakta bahwa apa yang dijadikan fondasi sains seharusnya terbuka untuk dipertanyakan secara kritis dan diselidiki berbagai kemungkinan lain.
Pertama; “ilmuan meyakini begitu saja bahwa segala sesuatu pada dasarnya bersifat mekanis.” Anjing, misalnya, tidak lebih dari mekanisme kompleks dan bukan organisme hidup yang memiliki tujuan sendiri. Bahkan, oleh Richard Dawkins manusia disebut sebagai mesin, yaitu “robot yang lamban” (lumbering robots), dengan otak sebagai komputer yang diprogram secara genetik. Sains atau ilmuan tidak pernah mengajukan jenis pertanyaan (agar diselidiki kebenarannya), “apakah alam bersifat mekanis?” Sebelum abad ke-17, alam semesta dipahami sebagai organisme hidup, yang muncul melalui ajaran-ajaran filosofis, sistem kepercayaan dan sebagainya. Namun, revolusi sains mencabut “jiwa semesta” dan menggantikannya dengan sistem mekanik.
Kedua; “kredo ilmiah bahwa semua materi tidak sadar.” Materi tidak memiliki kehidupan batin atau subjektivitas atau sudut pandang. Bahkan kesadaran manusia diyakini sebagai ilusi yang dihasilkan oleh aktivitas material otak semata. Mengapa tidak pernah dipertanyakan, apakah semua materi tidak sadar?
Ketiga; “jumlah total materi dan energi selalu sama.” Ya, ini terkait hukum kekekalan materi dan energi. Hukum ini menjamin keabadian fundamental dalam dunia yang selalu berubah. Tetapi hukum ini dirumuskan sebelum Model Standar Kosmologi ditetapkan. Kebanyakan fisikawan sekarang percaya bahwa alam semesta mengandung sejumlah besar “materi gelap,” yang sifatnya benar-benar tidak jelas. Materi dan energi gelap membentuk sebagian besar massa alam semesta (sekitar 96 persen), sedangkan materi normal dan energi (yang terselidiki) hanya membentuk sekitar empat persen. Bagaimana materi gelap dan energi berhubungan dengan materi dan energi biasa? Dan apakah medan energi titik-nol, juga dikenal sebagai ruang hampa kuantum? Benarkah hukum kekekalan massa teruji dalam “fakta” realitas energi dan materi gelap dominan yang bahkan tak bisa dibayangkan?
Keempat; kredo bahwa “hukum alam ditetapkan, jumlahnya pada hari ini sama seperti pada awalnya, dan akan tetap sama selamanya.” Jelas ini adalah asumsi teoritis, bukan observasi empiris. Berdasarkan dua atau tiga ratus tahun penelitian di bumi, bagaimana kita bisa yakin bahwa hukum selalu sama dan akan selalu sama, di mana saja? Problem semantik mungkin perlu dipertimbangkan, karena konsep “hukum alam” itu sendiri bersifat antroposentrik, yang justru mengandaikan Tuhan. Lagi pula, bila “hukum sudah fixed,” bukankah keputusan itu mendahului proses dan perkembangan evolusi?
Kelima; doktrin bahwa “alam tidak memiliki tujuan, dan evolusi tidak memiliki arah.” Benarkah? Dalam perspektif mekanik, itu mudah dipahami. Tetapi, bahkan sebuah mobil atau komputer beroperasi seturut tujuan tertentu, yaitu tujuan manusia? Berbeda dengan seekor kuda yang, meski dalam hal tertentu diarahkan oleh tali kekang, dapat pula menentukan sendiri tujuannya. Lagi pula, bukankah setiap makluk, misalnya, berkembang menuju “ideal-ideal” tertentu? Sheldrake mengutip biolog E. S. Russell lewat karyanya The Directiveness of Organic Activities (1945) yang menteorikan adanya tujuan pada organisme hidup. Disamping pandangan ahli lainnya, termasuk para filsuf seperti Aristoteles, Descartes dan sebagainya yang secara prinsip mendukung “teori tujuan.”
Pada akhirnya Sheldrake menyimpulkan bahwa penolakan materialis terhadap tujuan evolusi bukan didasarkan pada bukti melainkan berupa asumsi semata. Kaum materialis terpaksa mengaitkan kreativitas evolusioner dengan faktor kebetulan atas dasar ideologis.Keenam; “semua warisan biologis adalah materi, dibawa dalam materi genetik, DNA, dan dalam struktur materi lainnya.” Benarkah tidak ada warisan diluar materi? Bukankah pewarisan-perwarisan norma, perilaku dan sifat mudah diamati tanpa bisa dikaitkan dengan aspek material dari agen?
Ketujuh: “pikiran ada di dalam kepala dan tidak lain semata-mata merupakan aktivitas otak”. Saat melihat sebuah pohon, gambaran dari pohon yang Anda lihat bukanlah “di luar sana” sebagaimana di tempat yang terlihat itu, melainkan di dalam kepala (otak) Anda. Apakah ini fakta ilmiah, atau asumsi teoretis?
Kedelapan; “kenangan disimpan sebagai jejak material di otak dan dihapuskan saat kematian.” Sheldrake antara lain menunjukkan kegigihan ilmuan materialis meneliti otak untuk menemukan “tempat menyimpan memori.” Selama hampir seratus tahun tidak menemukan hasil, namun para ilmuan tetap ngotot, bahwa ini hanya masalah waktu. Jika membutuhkan waktu 100 tahun lagi, siapa diantara kita yang akan mem-verifikasinya? Kalau bukan dogmatis, mengapa tidak membuka ruang penyelidikan ke “hipotesis alternatif?”
Kesembilan; fenomena yang tidak dapat dijelaskan seperti telepati adalah ilusi. Benarkah semua fenomena harus bisa dijelaskan secara saintifik? Di sini Sheldrake mengajukan berbagai hasil penelitian (percobaan) dan testimoni terkait pengalaman de ja vu, pre-kognisi, telepati dan sejenisnya, yang secara saintifik konvensional tidak dapat dibuktikan. Tidak saja terjadi pada manusia melainkan juga hewan, yang dapat memperlihatkan perilaku tertentu yang menunjuk pada “akan terjadinya sesuatu” di waktu dekat. Berbagai pengujian di laboratorium psikologi dapat membuktikannya, namun sains materialistik tetap menganggapnya ilusi. Jenis hewan seperti anjing, kucing, kuda yang memiliki hubungan dekat dengan tuannya, dalam banyak pengujian, menunjukkan kemampuan “membaca niat tuannya,” bahkan sekalipun ketika dipisahkan jarak.
Kesepuluh; kredo bahwa “pengobatan mekanis adalah satu-satunya jenis yang benar-benar manjur.” Ambil saja contoh hasil pengujian Irving Kirsch yang membandingkan penggunaan antidepresan dan psikoterapi dalam menangani pasien depresi dan schizophrenia. Kesimpulannya, perbandingan langsung pada efek jangka pendek dari psikoterapi bekerja sebaik antidepresan. Namun, psikoterapi terlihat lebih baik ketika dinilai efektivitas jangka panjangnya, karena pasien yang dulunya depresi jauh lebih mungkin kambuh dan menjadi depresi lagi setelah pengobatan dengan antidepresan, daripada setelah psikoterapi. Banyak contoh lain, seperti efektifitas pengobatan alternatif, apukuntur, teknik pengobatan dan obat Cina dan sejenisnya. Namun pengobatan mekanis tetap diyakini yang terbaik tanpa kemauan mempertanyakannya.Itulah sepuluh kredo sains yang disebut delusif. Bagi saya, kritikan Sheldrake sangat menohok ke jantung saintisme. Ia menghantam fondasi dan pilar-pilar penopang utamanya, yaitu materialisme. Sebagaiamana diketahui, filsafat materialisme yang beriringan dengan ateisme mendominasi sains abad ke-19. Positivisme sebagai ujung tombaknya mens-tandarkan metode pengujian ilmiah secara ketat. Namun, proposisi fundamental sebagai satu-satunya realitas ini membutuhkan pengujian dihadapan ragam perspektif, paradigma, dan sistem pengetahuan. Positivisme yang bersumber dari rasionalisme barat berjumpa dengan perspektif timur yang lebih menekankan pada “kepekaan intuisi dan emosi” dalam memahami realitas. Di sini realitas non materi lebih mendominasi dibanding materi sehingga penjelasan lebih terbuka dan kaya. Ruang penyeledikan lebih luas dan menantang.Sebagai implikasi logis dari “pemujaan materialesme,” diterima juga secara taken for granted “mesin raksasa” peninggalan Newton yang mendasari paradigma alam mekanistik. Segala sesuatu diyakini begitu saja sebagai “sistem mekanik” yang dapat diotak-atik dan dimanipulasi untuk mendapatkan hasil sebagaimana diinginkan. Bahwa, dengan mencuplik sebuah momen kecil dari realitas dapat merepresentasi keseluruhannya. Reduksi realitas tak terhindarkan. Disinilah, pertanyaaan kritis perlu diajukan, sikap terbuka perlu didorong agar mempertimbangkan paradigma-paradigma baru, melakukan penyelidikan dan menemukan pandangan-pandangan baru yang lebih komprehensif. Di sini aktivitas keilmiahan menjadi lebih menantang dan menggairahkan.
Pada akhirnya, dengan membongkar fondasi sains yang sebenarnya bersifat asumtif dan delusional dalam hal-hal yang diyakini begitu saja, Sheldrake tidak saja menyindir secara tajam saintsme Dawkins dan teman-temannya (tetapi tidak hanya mereka), melainkan terutama menunjukkan kemungkinan-kemungkinan logis untuk dipertimbangkan ulang “tetapan-tetapan saintifik” dan dijelajahi. Sains tidak boleh terjebak dalam paradigma filsafat dan pengetahuan abad 19, lalu mendogmatisasinya sehingga menutup mata terhadap kekayaan “wajah” realitas disekitarnya, yang juga sudah banyak didukung temuan-temuan, hasil-hasil pengujian, dan pengalaman (serta pengetahuan) kolektif. Membebaskan sains dari cenkeraman dogma dan delusi itulah visi utama buku ini.Bagaimana pun, agama secara hakiki memang harus dogmatis. Tidak demikian dengan sains. Dogmatisasi sains merupakan tindakan membunuh sains. Tetapi, dogmatisasi harus diatasi dengan membongkarnya agar sains kembali ke “fitrah,” melayari samudera pencarian (inquiry) yang maha luas dengan bebas dan riang, bukan dengan meninggalkan sains! (Semuel S. Lusi)
CCTD UKSW melaksanakan webinar sebagai bagian dalam melaksanakan program dialektika iman dan ilmu. Adapun webinar dengan tema ” Membedah Pemikiran Dawkins dalam Ragam Perspektif,” dilaksanakan tanggal 13 November 2020 pukul 17.00-19.00 wib, via Zoom Clouds meeting dan live channel Yuotube UKSW. Webinar ini diikuti oleh dosen dan mahasiswa UKSw, serta beberapa peserta dari luar UKSW.Pembicara yang dihadirkan dalam webinar ini mewakili tiga cara pandang terhadap ilmu pengetahuan, yakni: 1) Dr. Suwarto Adi (Dosen teologi UKSW/ memandang dari perspektif teologi); 2) Drs. Agna S. Krave, M.Sc.,Ph.D (Dosen Biologi/ memandang dari perspektif evolusi dan biologi); 3) Semuel S. Lusi (CCTD UKSW/ memandang dari perspektif filsafat). Buku God Delusion karya Richard Dawkins memang dibuka dengan pengalaman masa kecil dia, yang kurang berani menyatakan pendapatnya tentang agama dan Tuhan kepada orang tuanya. Dalam logika dia, agama dan Tuhan itu tidak bersesuaian dengan ilmu pengetahuan, yang sangat bertumpu pada rasionalitas. Sementara, mungkin pada masa kanak-kanaknya, Dawkins kuatir kalau mendialogkan iman dan ilmu, atau Tuhan dan pengetahuan secara terbuka dengan orang tuanya akan mendapat larangan. Sikap demikian yang kemudian dikritik Dawkins, agama lalu menjadikan anak-anak berpikir tahayul. Selain itu, buku ini juga hendak mempersoalkan tentang Tuhan, yang selalu dikaitkan dengan (kekuatan) supranatural. Tuhan yang bersifat personal pun dalam perspektif Alkitab bagi dia tidak mencerminkan Tuhan yang sesungguhnya. Tuhan yang supranatural itu, menurutnya, tidak logis. Sebab, itu tidak bisa dicerna akal manusia. Sementara, Tuhan Alkitab juga baginya tidak masuk akal, karena mencerminkan hal-hal yang bertentangan dengan logikanya, yang terbatas. Karena Tuhan Alkitab itu, menurutnya, penuh dengan kekerasan, penuh hal-hal yang tidak sesuai nalar umum manusia. Dawkins secara tegas menyatakan bahwa ateis yang dimaksud di sini adalah seseorang yang percaya tidak ada intelegen kreatif supranatural melampaui dunia fisik dan dunia alam. Selain alam semesta yang bisa diobervasi, tidak ada jiwa yang keluar dari tubuh dan tidak ada keajaiban, keculai fenomena alam yang (bersifat) indrawi yang tidak kita pahami (Dawkins 2006, 14 dst). Bahkan, ketika Einstein membuat pernyataan: “Saya tidak mencoba membayangkan Allah personal; pada struktur semesta hal itu cukup menakjubkan, sejauh hal itu membiarkan indra kita yang tak memadai mengapresiasinya” (Dawkins 2006, 11), buru-buru dia “membela” bahwa Einstein tidak mempunyai iman agawami. Apa yang dia ungkapkan harus dibedakan dengan iman agama supranatural, karena dia tidak pernah menyebutkan nama Tuhan (Dawkins 2006, 13). Berdasarkan pemikiran Einstein itulah, kemudian Dawkins membuat pembedaan antara agama Einstein, yang bersifat naturalis dengan agama supranatural –yang tak bisa dijangkau akal, atau tahayul. Agama yang terakhir itulah yang disebutnya sebagai igauan, khayalan, delusional. Katanya, “By ‘religion’ Einstein meant something entirely different from what is conventionally meant. As I continue to clarify the distinction between supernatural religion on the one hand and Einsteinian religion on the other, bear in mind that I am calling only supernatural gods delusional” (Dawkins 2006, 15). Bagi Dawkins, agama supranatural tidaklah harus dipercaya. Karena itu, hal-hal yang di luar akal mesti ditolak. Keajaiban, sebagai bagian dari agama supranatural, hanya igauan saja. Dengan dasar itulah, judul bukunya disebut The God Delusion. Sebab, pada dasarnya, agama seperti itu tidak akan memberi pengaruh apa-apa dalam hidup manusia. Namun, bukan agama seperti itu yang dianut oleh sebagian besar manusia. Tuhan yang bersifat personal itulah yang diyakininya. Selanjutnya, dia mulai membuat tiga jenis keyakinan pada Tuhan yang bersifat personal: Deisme (Tuhan menciptakan dunia, lalu mundur dari kehidupan manusia), Theisme (setelah mencipta, Tuhan masih terlibat dalam kehidupan manusia), dan Pantheisme (Tuhan hadir dalam segala sesuatu yang ada di dunia ini: manusia, alam, benda-benda, dan sebagainya). Bermula dari sinilah, Dawkins membuat kritik yang tajam terhadap Tuhan personal tersebut. Itulah yang membuatnya, walau dia paham terhadap konsep ke-Tuhan-an, menganut ateisme. Atau, berdasarkan pemikiran logika dan ilmu pengetahuan yang dia hayati, dia membuat pernyataan bahwa tidak ada Tuhan dalam keyakinan (hidup)nya. Apalagi, berdasarkan kitab-kitab, khususnya Kristen, diperlihatkan bahwa Tuhan itu sepertinya kontradiktif. Atau, karena terlalu posesif, Tuhan membuat hidup manusia tidak bebas. Orang mesti terikat pada ritus-ritus dan ajaran-ajaran yang “membelenggu” hidupnya. Demikian juga Yesus. Baginya, Yesus itu tidak lebih baik dari Tuhan dalam PL. Yesus mengajarkan menolak kekerasan, namun sekaligus menerima kekerasan sebagai bentuk penebusan. Mengikuti logika Freud, pengorbanan Yesus, itu adalah sado-masokisme. Membiarkan dirinya didera penderitaan dan kekerasan demi kebahagiaan orang lain. Bahkan, sebelum itu dia menjelaskan bahwa hampir pasti Tuhan itu tidak ada. Apa dasarnya? Pada bagian sebelumnya, Dawkins sudah berusaha menjelaskan bahwa argumen yang mendukung keberadaan Tuhan itu adalah non-sense: mulai dari penjelasan teologis (akan dibahas tersendiri); penjelasan keindahan karya manusia dan semesta –datang dari siapakah karya musik, puisi, dan lainnya yang indah, kecuali dari Tuhan; pengalaman personal –nanti akan saya kaitkan dengan pemikiran Rahner; pemikiran Kitab Suci –menurut perspektif ilmu pengetahuan, berbagai sumber penulisan itu seringkali bertolak belakang, dan pemikiran teologis. Yang pada ujung akhirnya, Dawkins bilang bahwa Tuhan hampir tidak ada. Dia kembali menegaskan: “A designer God cannot be used to explain organized complexity because any God capable of designing anything would have to be complex enough to demand the same kind of explanation in his own right. God presents an infinite regress from which he cannot help us to escape. This argument, as I shall show in the next chapter, demonstrates that God, though not technically disprovable, is very very improbable indeed.” Artinya, kalau dunia ini mengalami kemunduran, hal itu menjelaskan bahwa Tuhan sebetulnya hampir tidak ada (Dawkins 2006, 109). Dawkins menjelaskan fenomena kelahiran agama. Atau, lebih spesifik, dia membahas apa akar utama agama. Berdasarkan teori Darwin tentang evolusi, Dawkins menjelaskan bahwa agama itu lahir sebagai produk sampingan proses kehidupan dan seleksi alam yang akan melahirkan orang yang kuat yang bisa beradaptasi dengan alam. Artinya, orang-orang yang kalah, atau mereka yang tidak atau kurang rasional, melalui proses seleksi, akan menyandarkan hidupnya pada sesuatu yang non-rasional, supranatural, yang disebut Tuhan. Jadi, agama itu adalah ekspresi kegagalan, ketakutan, kecemasan. Akibat “kalah” dalam persaingan orang melarikan diri dalam agama. Inilah penjelasannya bahwa agama adalah produk sampingan peristiwa sosial (Dawkins 2006, 200-202). Apakah ada kemiripan antara agama dengan moral? Kalau iya, di mana titik temunya? Kalau tidak, apa bedanya moral dan agama? Apakah untuk menjadi orang baik, agama diperlukan? Dawkins, sekali lagi, mendasarkan pada teori evolusi Darwin menjelaskan moralitas -yang dinilai lebih dulu ada dibanding agama—juga produk samping dari seleksi alam. Bagaimana penjelasannya, kita ikuti bagian berikut. Berdasarkan penelitian yang dikutip dari Hause dan Singer, Dawkins menjelaskan bahwa ketika berada dalam situasi sulit yang membutuhkan keputusan etis penting, tidak ditemukan ada perbedaan signifikan antara mereka yang beragama dengan yang ateis. Dalam kasus menyelamatkan orang, misalnya, orang selalu melakukan kalkulasi “mengorbankan sedikit” untuk “menyelamatkan orang banyak”. Artinya, keputusan moral tidak berkaitan dengan keyakinan agama, tetapi dengan kesadaran moral –versi Kant—dan tugas absolut seseorang untuk berbuat baik berdasarkan kebebasan. Karena itu, Dawkins berkesimpulan: “Kita tidak membutuhkan Tuhan untuk menjadi baik atau jahat” (Dawkins 2006, 226). Ujung akhirnya, Dawkins menyarankan supaya anak-anak tidak dipaksa “menelan” ajaran orang tuanya tentang Tuhan dan Agama. Karena, menurutnya, memaksa atau mendorong anak-anak memiliki iman adalah pelecehan (Dawkins 2006, 315). Mereka sesungguhnya belum berpikir tentang inti iman itu seperti apa. Mengutip Nicholas Humphrey, lebih lanjut Dawkins menyatakan: “Pendidikan agama dan moral, khususnya anak-anak yang diterima di rumah, di mana orang tua dibebaskan –bahkan diharapkan—menentukan bagi anak-anak mereka apa yang dinilai sebagai kebenaran dan kepalsuan, benar dan salah” (Dawkins 2006, 326) adalah kekaliruan. Di sinilah awal mula pemaksaan keyakinan terjadi. Selanjutnya, dia menegaskan bahwa “Berkaitan dengan hal itu, orang tua tidak mempunyai izin yang diberikan Tuhan (God-given licence) untuk menanamkan atau membentuk anak-anak mereka (sesuai pilihan mereka), bagaimanapun caranya: tidak ada hak untuk membatasi wawasan (horizons) pengetahuan anak-anak mereka, untuk mendidiknya dalam suatu atmosfer ajaran dan tahayul, atau memaksa mereka mengikuti jalan sempit dan sulit atas keyakinan mereka” (Dawkins 2006, 326). Baginya, iman haruslah rasional, dan pendidikan menjadi kunci penting. Jangan sampai pendidikan menjadikan anak-anak mengembangkan pikiran tahayul dan tidak rasional. Intinya, Dawkins menghendaki: “We want children to know why it is they believe what they believe and to defend it” (Dawkins 2006, 337) Webinar ini menarik, karena ketiga pembicara berupaya membongkar pemikiran Dawkins, dan meletakannya dalam kacamata iman. Ketiga pembicara bersepakat bahwa dalam melihat iman dan ilmu harus menggunakan metode atau pisah bedah ilmiah yang tepat. Dawkins salah menggunakan pisah bedah ini, dan memaksakan mengkaji posisi iman dari perspektif ilmu pengetahuan modern. Beberapa peserta dalam diskusi ini juga ikut mempertanyakan alur pikir Dawkins dan pengujian pisau bedah yang digunakan untuk menyerang agama.Pada akhirnya Dawkins menyerang agama dengan pisau sains, namun ia tidak memahami cara kerja sains dalam menunjukan objektivitas iman. Ia hanya menggunakannya tanpa menjadi seorang saintifik yang menggunakan pisau tersebut secara tepat.
Tanggal 20 Mei 2020 pukul 10.00-12.00 wib, CCTD UKSW melaksanakan diskusi buku online. Diskusi ini menggunakan aplikasi Zoom Clouds Meeting. Buku yang didiskusikan adalah karya Noval Harari dengan judul “Homo Deus: masa depan umat manusia.” Buku ini menarik untuk didiskusikan, karena mengarahkan peradaban pada dunia algoritma dan enginering.Dalam kegiatan bedah buku tersebut, pembedah yakni Semuel S. Lusi membedah Homo Deus dari perspektif filsafat kritis. Pembedah mengkritisi Harari yang adalah sejarawan yang tak berdialektika dengan sejarah agama, spiritualitas dan theologia. Buku dikritisi sekaligus dilihat keunggulannya. Dunia ilmu termasuk dunia seni di Indonesia memerlukan elemen kritik dan kritis untuk jadi dinamo perkembangan. Perkembangan ilmu dan seni yang kontekstual untuk Indonesia sangat diperlukan.Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 50 orang dosen dan beberapa mahasiswa UKSW. Dialektika antara peserta diskusi dan pembedah sangat menarik untuk melihat manusia masa depan yang diproyeksikan oleh Harari.Dengan melakukan diskusi buku seperti ini, maka akan memunculkan paradigma baru dalam memahami realitas di masa depan. Sekaligus membuka ruang inovasi dan kreativitas untuk menempatkan diri sebagai entitas yang bertanggungjawab dalam perkembangan dunia ilmu pengetahuan.