MEMPERTIMBANGKAN POSTHUMANISTIC EDUCATION

Kuliah kelas Filsafat Pendidikan di Bachelor of International Primary Education (BIPE PGSD) FKIP UKSW diakhiri dengan membahas tema yang relatif baru dan belum populer: Posthumanistic Education. Mahasiswa dibagikan bahan bacaan yang sama, yaitu tulisan Stefan Herbrechter berjudul Posthumanist Education?, yang merupakan chapter terakhir dari International Handbook of Philosophy of Education (Volume 1) yang dieditori Paul Smeyers. Tugasnya mengidentifikasi purpose, konsep, informasi dan kesimpulan penulis, lalu membuat tanggapan. Dari 18 mahasiswa yang mengerjakan tugas sebagian besar memberi tanggapan positif.

Apa yang menonjol dari tulisan Herbretchter sehingga mendapatkan “applaus” mahasiswa nampaknya adalah, gagasan egaliterian dalam posthumanisme. Disebabkan kontribusi dalam sebuah international handbook (apalagi philosophy!) bukanlah untuk “pembaca awam” melainkan pembaca “level ahli/advance,” maka didalamnya tidak dijelaskan secara detil historisitas, asumsi-asumsi filosofis dan terutama implikasinya. Itulah sebabnya, saya perlu menjelaskannya agar sikap dan tanggapan mahasiswa benar-benar duduk di atas pemahaman yang memadai. Jadi, tidak dimaksudkan untuk memengaruhi sikap mahasiswa, apalagi mengubahkannya, melainkan memperkaya informasinya.

Sebagaimana diketahui, spirit pendidikan yang arah perkembangannya dari Barat baru mengalami modernisasi paska renaisanse. Renaisanse sebagai bentuk “pemberontakan halus” atas filsafat (dan sistem Pendidikan) abad pertengahan mendeklarasikan kebangkitan humanisme klasik. Di sini pusat orbit pengetahuan yang sebelumnya berpusar pada “kebenaran wahyu” atau teologi/Tuhan berganti poros ke manusia. Manusia menjadi pusat edar baru, yang berarti orientasi “theos” berganti dengan antropos.

Pendidikan terus berkembang, dipicu berbagai hasil penjelajahan, temuan (invensi), inovasi dan sebagainya, makin menempatkan manusia di pusat orbit pengetahuan. Alam semesta dan keberadaannya menjadi obyek sementara manusia berposisi subyek. Kebermaknaan alam ditentukan oleh subyek, yang artinya interpretasi atas eksistensi dunia (alam dan isinya) tergantung pada manusia si pemaham.

Setelah pengetahuan makin bertambah, inovasi berkembang pesat, teknologi membawa manusia mengeksplorasi sampai ke tingkat antar galaxi. Juga, berkat bantuan teknologi manusia dapat meneropong hingga ke realitas super mikro di level atom bahkan nano. Di sini manusia mengalami “percepatan evolusi.”

Tidak bisa disangkal manusia akhirnya tergantung pada teknologi. Sebagai akibat ketergantungan yang makin tinggi, manusia nampaknya berevolusi menjadi setengah teknologis, atau dalam ungkapan Michael R. Heim manusia telah “kawin” dengan teknologi. Cyborg mungkin sementara ini menjadi contoh yang bisa dirujuk, namun berbagai eksperimen yang sedang dan akan terus dilakukan membawa hubungan manusia-teknologi ke level yang sulit dibayangkan. Deux ex machina ala Anthony Levandowski, homo deus (Yuval Harari), posthuman, dan sejenisnya merupakan ungkapan dengan rujuk makna yang sama, meski berangkat dari asumsi yang berbeda, yaitu “berakhirnya” species manusia. Tepatnya, makluk baru yang tercipta adalah “yang melampaui manusia biasa/manusia lama.”

Determinasi antropos atau manusia atas alam juga telah membawa akibat-akibat fatal pada problem lingkungan dan sustainabilitas kehidupan. Manusia menyebut diri sebagai ciptaan istimewa dan memiliki hak prerogatif untuk “menentukan nasib” alam, baik benda atau makhluk hidup dan benda mati. Semua makhluk diluar manusia diinterpretasi berderajat rendah dan manusia berkuasa atasnya.

Pendidikan dan teknologi makin memperkuat dominasi manusia. “Kultur dominasi” ini dilestarikan, bahkan dikembangkan oleh institusi pendidikan, yang karenanya seolah menjadi institusi pengkader generasi penguasa alam. Dan, implikasinya sebagaimana kita ketahui, terjadinya pengrusakan lingkungan, terganggunya keseimbangan alam, rusaknya habitat sejumlah besar makhluk, pemanasan global, dan sejenisnya. Species manusia sendiri terancam punah oleh ulahnya sendiri.

Atas dunia yang “sudah rusak dan makin condong ke tidak layak huni” itu lahir banyak bentuk respons, mulai dari yang bersifat filosofis, teoretik (saintifik), maupun praktis. Elon Musk dan teman-temannya menginvestasikan sebagaian besar kekayaan mereka untuk mencari “bumi baru untuk dihuni.” Mereka melarikan diri dari bumi yang telah ikut mereka rusak. Para ahli dan pemerhati lingkungan menyeru dan giat berkampanye tanpa kenal lelah untuk menghentikan kerasukan pengrusakan bumi. Namun, suara mereka seperti teriakan keras menabrak dinding gua.

Ketika manusia sudah menjadi setengah teknologi (melampaui manusia biasa), sementara alam makin rusak, model pendidikan macam apa yang lebih relevan? Tidak saja pendidikan untuk “makhluk-teknologis (homo faber),” melainkan juga pendidikan untuk memulihkan alam? Di titik inilah pendidikan posthumanisme lahir menawarkan solusi.

Deklarasi posthumanisme duduk di atas fakta-fakta capaian saintifik yang menakjubkan. Kematian bisa ditunda, bahkan ada optimisme ke hidup abadi dan tetap awet muda lewat teknologi regenerasi sel. Manusia dapat bertualang lintas planet dan sedang dalam proses persiapan ekspansi keluar bumi. Sebagian besar organ manusia dapat digantikan oleh alat/bahan yang lebih fleksibel, alot, kuat dan kokoh. Pembelajaran di kelas-kelas maupun penyelenggaraan pendidikan pada umumnya, hampir pasti tidak mungkin tanpa teknologi. Semua ini menjadi basis validasi eksistensial bagi posthumanisme.

Tesis dasar posthumanisme dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, prinsip egalitarian. Posthumanisme melucuti status istimewa manusia dan menempatkannya sejajar dengan hewan-hewan, bahkan benda-benda lainnya. Animalitas manusia dipertegas supaya setara dengan hewan-hewan dan makhluk hidup lain.

Dalam karyanya Companion Species Manifesto: Dog, People and Otherness (2003), Donna Haraway menyebutkan manusia dan anjing tidak ada perbedaan. Anjing hanyalah metafora untuk menjelaskan hubungan manusia dengan makhluk hidup lain sebagai hubungan subyek-subyek (bukan subyek-obyek). Haraway menyebutnya sebagai hubungan intersubjectivity, dimana relasi di antara keduanya saling mempengaruhi. Apa yang dilakukan oleh sebuah spesies akan memengaruhi spesies lainnya.

Posthumanis lain, Martin Holbraad bergerak lebih jauh dengan mengatakan bukan saja makhluk melainkan benda juga memiliki relasi setara dengan manusia. Rusaknya sebuah benda dapat memengaruhi benda atau makhluk lain yang memiliki relasi langsung dengan benda tersebut.

Kedua; gugatan terhadap dominasi antoroposentrisme. Sebagai implikasi dari tesis pertama di atas, maka semua institusi yang memberikan legitimasi pada dominasi antropos, termasuk pendidikan harus diredisain. Katakanlah, harus dibersihkan dari motif-motif monopoli kuasa dan dominasi.

Ketiga; paling mendasar adalah bahwa posthumanisme merombak kerangka pikir lama yang sangat humanistik dengan kerangka baru dimana manusia tidak ada lagi di “pusat semesta.” Tidak ada lagi subyek tunggal di alam semesta baru ciptaan posthumanisme, melainkan semua menjadi subyek. Secara filosofis, ini kritik tajam dijantung modernime, bahkan posmodernisme yang memberi monopoli atau posisi istimewa kepada subyek atau individualitas.

Pertanyaannya, bagaimana implikasinya terhadap disain pendidikan? Bagaiamna kurikulum? Posthumanisme memandang Pendidikan (sekolah) selama ini mencetak manusia sebagai mesin antropologis (Agamben, 2004) dengan berbagai hak istimewa untuk berkuasa semena-mena dan mendominasi. Apa yang disebut peradaban –yang dibentuk dan diasah melalui Pendidikan– tidak lain penaklukan terhadap animalitas manusia. Ini berasal dari klaim sepihak manusia makluk istimewa dibanding hewan. Dalam wacana posthumanis kita bukanlah “makhluk” manusia tetapi “binatang” manusia, atau bahkan mesin manusiawi. Dengan demikian, Pendidikan bukan untuk membentuk peradaban humanis, melainkan peradaban posthumanis dimana semua makluk menjadi setara dan saling belajar, saling tergantung (terkoneksi).

Ini membawa implikasi yang luas. Dalam produksi berbagai kebutuhan manusia, tidak boleh menggunakan bahan-bahan dasar dari kulit, tulang atau organ lainnya dari binatang dan tumbuhan. Berbagai jenis permainan, seperti football, volley ball, dan apapun yang berbahankan kulit binatang tidak boleh ada lagi. Kertas yang bahan dasarnya dari bubuk kayu juga tidak bisa digunakan.

Studi kurikulum dalam Pendidikan posthumanisme mempertanyakan apa arti hubungan hidup antar spesies dalam pembelajaran. Snaza, et. al dalam Toward a Posthumanist Education (Journal of Curriculum Theorizing, Volume 30, Number 2, 2014) mengutip Mark Rowlands, yang mengklaim bahwa dia belajar lebih banyak dari serigala Brenin daripada dari pendidikannya di Oxford. Rowlands mengatakan bahwa hidup dengan hewan liar, serigala, memaksa kita bertanya, “bisakah hewan manusia memahami hewan liar selain manusia?”

Studi kurikulum menuntut banyak perhatian pada komunikasi lintas spesies, dan sebagaimana ditunjukkan Haraway yang saya kutib di paragraph awal, perhatian dapat dimulai dengan hewan pendamping kita sendiri seperti anjing. Atau dengan hewan yang ada di sekolah (Pedersen, 2009). Bagi posthumanis, ketika melakukannya harus diingat bahwa kita adalah hewan dan tidak ada garis etika/politik/ yang kuat memisahkan antara “kita” dan “mereka.” Melalui Pendidikan posthumanis manusia dilatih dan mendorong diri sendiri untuk tidak berpikir secara antroposentris.

Posthumanisme, terutama melalaui Pendidikan berorientasi menghadirkan sebuah realitas (social) baru. Realitas dimana ada kesetaraan antara semua binatang (termnasuk manusia), juga dengan benda-benda. Dalam realitas baru itu tidak ada kekuatan supernatural, entah apapun sebutannya: tuhan, roh, hantu, malaikat atau apapun. Yang ada hanyalah binatang atau makhluk hidup dan makhluk tak hidup, penghuni planet bumi.

Ahli teori sastra dan budaya Amerika Ihab Hassan, yang didaku sebagai orang pertama yang memperkenalkan konsep posthumanisme di dunia akademik menegaskan: “Tidak ada yang supernatural dalam proses yang membawa kita ke budaya posthumanis. Proses itu terutama bergantung pada masuknya pikiran manusia ke dalam alam dan sejarah, pada dematerialisasi kehidupan dan konseptualisasi keberadaan.” (Hassan 1977: 835).

Pada prinsipnya kurikulum dan pembelajaran dalam Pendidikan posthumanisme harus bisa mengekspresikan relasionalitas multispesies dan etika kepedulian terhadap manusia maupun nonmanusia. Konsep-konsep lain yang akan diakrabi adalah trans-spesies, keadilan sosio-material intra-generasi, dan sebagainya.

Sekadar contoh, Karin Murris (Reconfiguring Educational Relationality in Education: a Response to Gert Biesta) menjelaskan apa yang dilakukannya di kelas. Ketika membahas tema relasionalitas pendidikan yang berpusat pada siswa, guru dan ‘post-modern’ ia menggunakan metodologi posthuman difraksi Karen Barad. Metodologi ini menghasilkan relasionalitas intra-aktif dengan membaca tiga figur yang sudah dikenal satu sama lain, yaitu bidan, ikan pari, dan tubuh hamil. Teori dan praktik pendidikan baru yang dihasilkan adalah “superposisi” ikan pari hamil — sebuah rekonfigurasi pendidik yang mengacaukan binari penghasil tenaga, seperti guru/peserta didik, orang dewasa/anak, individu/ masyarakat. Konfigurasi ulang ikan pari yang hamil dimaksudkan untuk membuat kita berpikir secara berbeda tentang perbedaan, subjek yang mengetahui dan menciptakan intra-relasionalitas yang lebih egaliter antara pelajar dan pendidik melalui pergeseran subjektivitas.

Posthumanisme bukanlah berakhirnya manusia sebagai species, melainkan menggambarkan sebuah capaian baru manusia dalam kolaborasinya dengan teknologi. Apabila di era modern tuhan dibunuh maka di era kontemporer ini manusia pun dibunuh. Terbunuhnya tuhan dan manusia bukanlah oleh makhluk super sejenis alien ala fiksi ilmiah hollywood, melainkan oleh manusia itu sendiri. Dibalik itu terdapat impian kuat “menjadi tuhan” ala homo deus, tetapi juga tersembunyi ambisi mencaplok dan mendominasi dengan bertopeng pada capaian teknologi dan kerusakan alam. Siapa kelompok yang paling berkepentingan dengan itu?

Meski demikian, posthumanisme memberikan visi ekologis yang kuat dan relevan bagi sustainablitas kehidupan. Mungkin terkesan ekstrim, tetapi belajar dari gerakan-gerakan kesadaran lingkungan yang belum mencapai hasil memuaskan, gagasan revolusioner posthumanisme patut dipertimbangkan. Tentu, dengan memahami implikasinya yang luas pada relasi antara makluk, dasar ajaran etis, agama, politik, ekonomi dan hampir semua aspek kehidupan.

Siapkah kita dengan posthumanistic education?

Tulisan ini ditulis dan di-share 2 Desember 2021 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/real.self.9

CREATIVE MINORITY DAN AUTOPOESIS SEBAGAI EPISTEMOLOGI TRANSFORMASI.

Autopoesis adalah sebuah elemen penting dalam teori sistem yang dikembangkan oleh Niklas Luhmann. Kata itu berasal dari dua terma Latin, yaitu auto (berarti sendiri) dan poesis (berarti mencipta, memproduksi, menghasilkan). Artinya, sebuah sistem (baik alam maupun sosial) memiliki semacam daya internal untuk menciptakan dirinya, terlepas dari lingkungan eksternal. Dalam teori sistem Luhmann, masyarakat (sebagai sistem) mampu bertumbuh, memulihkan dan mereprodusksi diri sendiri dalam keseimbangan interaksi dengan lingkungan. Sistem selalu mendapat input dari lingkungan, namun memiliki daya internal memproses input untuk hidup, berproduksi dan berkontribusi bagi lingkuangan.

Dalam perspektif sosial, masyarakat, kebudayaan/peradaban, organisasi, institusi, unit bisnis, negara, keluarga, bahkan diri (self) merupakan sebuah sistem. Disini autopoesis dapat diinstrumentasi sebagai tools untuk transformasi (menciptakan perubahan terencana). Tetapi juga digunakan, sekadar sebagai “alat metodologis” untuk memahami sebuah transformasi atau perubahan.

Pada sistem sosial pengamatan tentu fokus di level aktor atau para pelaku/perancang/insiator. Oleh sejarawan Inggris, Arnold Toynbee, para aktor inilah yang disebut sebagai “creative minority.” Studi Toynbee dalam karya masterpiece-nya A Study of History menunjukkan, bahwa jatuh-bangkitnya sebuah peradaban lebih ditentukan oleh “derajad kemampuan menata daya-daya internal” oleh para aktor. Musuh atau kekuatan penghancur dari luar (eksternal) bukanlah faktor utama penyebab ambruknya atau hancurnya sistem (peradaban).

Sejak era kuno kita telah mengetahui kebesaran peradaban Sumeria, Mesir Kuno, Babilonia, Persia, Sparta, Yunani (Athena), Romawi, dan sebagainya. Di benua Amerika misalnya kita ketahui antara lain kebudayaan Maya, Inca, dan Aztek yang jejak kebesarannya masih bisa disaksikan hingga hari ini. Di wilayah Nusantara mungkin bisa disebutkan Sriwijaya dan Majapahit yang memiliki wilayah kekuasaan luas sampai Serawak, Brunai, Saludung (di Filipina), Johor, Selangor, Singapura, Kamboja, Thailand dan lainnya. Tetapi, dari peradaban-peradaban yang pernah mencapai era keemasan itu, mengapa ada yang terus bertahan sementara lainnya hilang lenyap dan hanya meninggalkan nama dan sedikit jejak?

Arnold Toynbee mengidentifikasi peran sentral dari para aktor yang disebutnya jenius kreatif (the Creative Genius). Para jenius kreatif inilah yang menentukan bangkitnya peradaban (dari era primitif, atau ketika peradaban yang telah terbentuk hendak mengalami fase kejatuhan). Bahkan membuat sebuah peradaban bertahan dan terus bertumbuh atau bertransformasi. Ada semacam formula yang bekerja, yaitu ketika menghadapi tantangan atau perubahan besar, para jenius ini menarik diri dan mempersiapkan “sistem terapi sosialnya.” Ketika sudah siap, mereka masuk kembali ke arena dan menghidupkan berbagai energi internal untuk bangkit. Energi sosial-internal ini disebut juga sebagai dimensi spritual dari peradaban (bisa juga masyarakat atau organisasi).

Toynbee mencontohkan beberapa yang tetap menonjol dan kuat di tengah jatuh bangunnya banyak peradaban yang pernah berjaya. Athena di awal abad ke-8 SM, ketika menghadapi ledakan penduduk (disebut sebagai the Malthusian challenge) tidak ikut-ikutan dengan polis tetangga seperti Sparta dan Syria yang merespons dengan mengkolonialisasi kota-kota tetangga untuk strategi transmigrasi dan pengembangan wilayah. Athena seolah pasif dan tenang selama dua abad, tetapi yang terjadi adalah mengkonsolidasi kekuatan internalnya, menata institusi tradisionalnya agar bisa menjawab kebutuhan jaman yang sedang berubah.

Di abad ke-5, Athena telah bangkit dan kembali memasuki arena sebagai polis yang kuat, dengan kesejahteraan ekonomi yang tinggi memungkinkannya memikirkan, mengintrodusir dan membangun sistem demokrasi pemerintahan. Setidaknya selama dua abad (abad ke-5 hingga abad ke-3) Athena memainkan peran dominan, sebelum Alexander Agung dari Makedonia menaklukannya di permulaan abad ke-2.

Namun, apakah dia benar-benar lenyap? Tidak! Athena telah menjadikan sistem pendidikan, sestem politik, dan filsafatnya sebagai “ikon universal,” sehingga Romawi yang mengambilalih arena sebagai kekuatan baru dunia secara politik dan militer, kenyataannya secara budaya sudah terlanjur menjadi “helenis” (sebutan lain untuk Yunani/Athena).

Romawi muncul sebagai kekuatan baru penguasa dunia. Ia dihantam oleh bangsa Barbar dari Andalusia, juga kekuatan Islam di abad pertengahan. Para jenius kreatif Romawi telah menanamkan “roh budayanya” melalui agama (Kristen) dan pendidikan. Itulah sebabnya, meski secara politik militer mengalami pukulan kemunduran, bahkan ketika era pencerahan membobol “fondasi agama” yang menopang peradaban Romawi, secara tradisi Romawi tetap berkembang. Lewat penaklukan, Inggris Raya, Perancis dan Spanyol telah terlebih dahulu di-italia-nisasi (Romawinisasi). Itulah sebabnya, Toynbee menyebutkan, bahwa jatuhnya Romawi dan Helenis hanya menandai bangkitnya peradaban Barat (Eropa), yang telah lebih dahulu mengalami “Italianisasi.” Kebangkitan peradaban Inggris misalnya di abad ke-13 dan 14, disebut sebagai “menuangkan anggur baru dalam botol lama renaisance Italia,” misalnya melalui transfigurasi prinsip parlemen yang disebut sebagai “sekadar” tour de force yang menakjubkan.

Di Asia kita bisa menyebut peradaban Cina, India dan Sriwijaya/Majapahit. Nilai-nilai dan “budaya tao,” tradisi beladiri, filosofi hidup, pengetahuan lokal (local knowledge) dan kearifan diwariskan secara turun temurun dan masih berbinar hingga hari ini. Gencarnya terpaan budaya Barat (asing umumnya) melalui pop, rock dan bahkan sistem modern seperti pendidikan, politik, dan sistem ekonomi tidak memudarkan keagungan nilai-nilai warisan para jenius Nusantara itu.

Pun, budaya hindu-budha peninggalan Majapahit-Sriwijaya telah tertanam dalam praktik hidup orang Jawa, Kalimantan, dan Indonesia umumnya. Meski dikepung oleh “sistem modern,” bahkan dengan sistem kepercayaan baik dari Barat maupun Timur Tengah yang menjadi agama mayoritas, nilai-nilai hasil karya jenius kreatif hindu-budha Nusantara tak bisa pupus.

Saya dengan sengaja menyebut hindu-budha Nusantara karena mencoba berspekulasi bahwa mungkin saja, Hindu-Budha dimaksud bukan berasal dari India atau negara lain, melainkan karya jenius nenek moyang kita, yang memang punya “frekuensi” sama dengan Hindu-Budha dari luar. Bagaimana menjelaskan praktik agama-agama lokal hampir di seluruh suku bangsa Indonesia yang “beciri budhis-hindus,” padahal tidak semua memiliki kontak langsung dengan India? Semua itu telah menjadi energi budaya (sosal) yang diatasnya bangunan kebangsaan Indonesia didirikan. Artinya Indonesia modern telah sukses mengakomodasi dan menata nilai-nilai luhur warisan nenek moyang Nusantara ini sebagai basis kehidupan berbangsa, terartikulasi dalam motto bineka tunggal ika, lambang garuda, sistem gotong royong, musyawarah mufakat (sebagai sistem demokrasi khas), dan sebagainya.

Secara fungsional, para jenius creative dalam sistem juga memainkan fungsi kunci membangun lingkungan. Artinya, sistem yang telah tertata energinya sehingga lebih solid, sehat dan efetif beroperasi dengan sendirinya berkontribusi positif bagi lingkungan di mana ia berada. Sistem yang sehat tentu mengkontribusikan manfaat besar pada lingkungan, sebagaimana ia mengimput sumberdaya dari lingkungan. Autopoesis bekerja dalam sistem yang terbuka sekaligus tertutup. Terbuka untuk menyerap dan mendistribusi energi, tetapi juga tertutup untuk mempertahankan ciri keuinkan identitasnya.

Toynbee memetaforakan creative minority sebagai fungsi “garam.” Toynbee menunjuk, misalnya, industrialisasi dan demokrasi dibangkitkan oleh minoritas kreatif Barat yang disebutnya “calon garam dunia” (would-be Western Salt of the Earth). Sayangnya, Toynbee mendeteksi telah kehilangan citarasa dan dalam bahaya dikarenakan “massa besar tubuh Barat tetap tawar” (the great mass of the Western body social has remained unsalted). Sumber lain menyebutkan, bahwa Eropa dan Amerika di hari-hari ini, bahkan sesungguhnya sejak abad ke-19 sudah sangat membutuhkan peran para minoritas kreatif. Peradaban Eropa dan Amerika diidentifikasi telah mengalami kemunduran atau kejatuhan, paska meninggalkan “fondasi nilai” yang menjadi penopang peradabannya.

Penting juga memperhatikan peringatan Toynbee. Ketika mayoritas tak kreatif mendominasi, sementara minoritas kreatif telah jatuh ke dalam kreatif dominan, lalu terbelah ke dalam proletariat yang menandai disintegrasi sosial, maka pertanda peradaban telah menuju kejatuhan. Disintegrasi terjadi, selain karena para genius creative telah “beralih peran,” juga karena “nilai-nilai inti” yang menjadi “roh” peradaban telah menjadi “tawar” sehingga tidak lagi memiliki citarasa! Apakah itu yang benar-benar sedang terjadi di Eropa dan Amerika? Sebaliknya, peradaban Cina yang cukup lama “mengundurkan diri,” kini maju kembali ke arena dengan energi internal tertata sehingga menjadi kekuatan baru yang menakjubkan?

Bagaimana pula dengan Indonesia? Bagaimana dengan UKSW?

Dalam pandangan saya, Indonesia selalu dalam tantangan keras “interaksi sistem” dengan kekuatan dari luar, baik Eropa maupun Timur Tengah. Toynbee mengingatkan peran penting “agama universal dan filosofinya (the universal religion and its philosophy)” dalam membentuk peradaban, terutama ketika para proletariat gagal menata energi internal sistem. Harus diperhatikan di sini, konsep “agama universal,” yang dalam penafsiran saya merujuk agama dengan nilai-nilai ajaran dan filosofi terbuka (inklusif) sehingga dapat menjadi kekuatan konsolidatif bagi diversitas internal sistem.

Eropa dan Amerika berhasil menggunakan skenario ini dan menciptakan kemajuan peradaban setidaknya selama beberapa abad. Namun, sejumlah sumber menyebutkan adanya kecenderungan telah bergeser dari dasar bangunan peradabannya.

Lantaran semua “agama-agama formal” di Indonesia berasal dari luar, saya cenderung melihatnya mengandung sifat farmakon: obat sekaligus racun. Tekanan yang kuat dari elemen-elemen puritan yang mendapatkan simpati dan dukungan dari unsur-unsur internal berpotensi menggeser pilar penopang peradaban sebagai bangsa. Memahami peranan autopoesis sistem, kerja-kerja kelembagaan maupun para jenius creatif yang terpanggil, sebaiklnya fokus menata nilai-nilai lokal Nusantara sebagai rahim atau hulu bagi produksi nilai-nilai kebangsaan. Dengan demikian, fungsi obat dari agama-agama impor bisa lebih berlipat manfaatnya ketimbang “racunnya.”

Sementara, UKSW melalui kepemimpinan saat ini berupaya “menata kembali” nilai-nilai inti sebagai bahan dasar merancang skenario transformasi ke masa depan. Barangkali tahapan “with·draw” berjalan berbarengan dengan operasi sistem. Ini disebabkan karena tidak ada tekanan eksternal yang sedemikian kuat sehingga memaksakan tahap ini sebagaimana diindikasikan dalam studi Toynbee. Tetapi, pasti tidak terhindarkan mengalami “pelambanan” sebagai akibat alokasi energi untuk penataan internal itu. Penataan internal membutuhkan energi besar sebab para jenius creative atau para aktor harus menghadapi tatanan lama yang mungkin sejumlah elemen-elemenya sudah berkarat, rapuh, rentan atau memuai.

Di sini membutuhkan juga keberanian apabila ternyata ada organ sistem yang sudah seharusnya diamputasi lantaran mengidap kangker, penyumbatan aliran darah atau disfungsi dan sejenisnya. Tetapi, ini juga tidak mudah dan membutuhkan kearifan sebab kalau tidak cukup arif dan hati-hati akan dapat menciptakan goncangan dan ketidakseimbangan yang pasti mengganggu stabilan dan kinerja sistem.

Tulisan ini ditulis dan di-share 28 November 2021 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/real.self.9

Core ideology menghidupi UKSW dari awal, saat ini dan dimasa depan

Satya Wacana tidak hanya hidup untuk satu kurun waktu dalam sebuah ruang, namun hidup dalam ruang dan waktu yang terus berkembang. Karena organisasi merupakan sebuah organ dinamis yang terus berkembang. Menurut Webber, organisasi merupakan sebuah mesin yang memiliki orang-orang yang berkompeten yang terus bekerja dan bergerak. Ahli teori organisasi lainnya, mengungkapkan bahwa organisasi merupakan sebuah makluk hidup yang mampu untuk bergerak secara otonom. Dengan demikian, organisasi terus bertumbuh dan berkembang, karena memiliki mekanisme dan organisme yang terus membuatnya hidup. Dalam organisasi terdapat nilai-nilai yang menghidupinya. UKSW memiliki nilai yang terus membentuk orang-orang didalamnya, agar mampu terus berkarya ditengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai ini akan dihidupi ketengah-tengah tiap akademisi UKSW sebagai wawasan yang hidup dalam tiap individu manusia UKSW. Pada akhirnya wawasan ini akan digenerasikan kepada penerus berikutnya, bahkan lingkungan yang lebih luas.

UKSW sejak tahun 1956 telah memiliki nilai dan pada akhirnya membentuk para akademisi didalamnya. Orang-orang dalam UKSW memiliki dua karakter, yakni karakter individu dan karakter nilai UKSW. Pada saat datang di UKSW, setiap individu perlu mengenal karakter UKSW. Hal ini akan menyebabkan perkawinan karakter individu dan UKSW, yang pada akhirnya membantu setiap individu mampu hidup dalam lingkungan akademis UKSW, dan membentuk manusia satya wacana.

Sekelompok peneliti di Amerika Serikat, seperti Jim Collis penulis buku manajemen bisnis, Jerry Poras dari Stanford University, dan beberapa peneliti lainnya, yang tergabung dalam sebuah penelitian, menunjukan sejumlah perusahaan visioner yang kuat ideologinya. Menurut Collins dan Poras, sebuah organisasi yang visioner harus memiliki core ideology. Hal ini mereka temukan dalam 18 perusahaan besar di Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan ini kuat dan visioner karena memiliki ideology yang kuat, dan dalam ideologi teresebut ada  core values dan core purpose. Selain itu ada gerak mekanisme dalam perusahaan-perusahaan tersebut yang terus menggerakan basis-basis nilai dalam organisasi, yang terus berdialektika dengan lingkungan.

Core ideology  merupakan karakter abadi, yang merekatkan kehidupan bersama sebagai sebuah organisasi. Walaupun dalam rentang ruang dan waktu terjadi perubahan kepemimpinan, system manajemen, teknologi dan hal lainnya, namun karakter organisasi tetap tinggal dalam aktivitas organisasi. Inilah core ideology. Didalam core ideology ada yang namanya core values. Hal ini merupakan nilai-nilai inti dan penting dalam organisasi. Core values adalah nilai-nilai prinsip yang menjadi panduan bagi tiap individu dalam bergerak. Perusahaan-perusahaan seperti Merck, Nordstrom dan Sony tidak hanya menempatkan keuntungan sebagai nilai utama, tapi juga menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai core values perusahaan. Nilai-nilai ini menghantar perusahaan-perusahaan tersebut ke masa depan dengan nilai yang adil dan visioner. Selanjutnya dalam core ideology ada juga yang namanya core purpose. Core purpose merupakan misi dari organisasi. Core purpose merupakan jiwa dari organisasi atau maksud dari organisasi tersebut berdiri dari para pendirinya. Dengan memikirkan kembali core purpose, maka kita melihat kembali maksud dari para pendahulu untuk membangun sebuah organisasi. Ada niatan besar yang melampaui zaman dari para pendiri saat mendirikan sebuah organiasi. Misalnya perusahaan Merck memiliki misi untuk melestarikan dan meningkatkan kehidupan manusia. Hewlett Parkard memiliki misi untuk berkontribusi pada kesejateraan dan kemajuan umat manusia. Demikian juga Sony memiliki misi untuk memberikan kegembiraan bagi kemajuan kemanusiaan. Ketiga perusahaan ini memiliki core purpose untuk membuat mekanisme perusahaan mereka terus dinamis dalam gerakan yang dikendalikan oleh lingkungan, namun memiliki visi dan misi yang konstan.

Visi yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan ini dikenal dengan konsep Big, Hairy, Audacious Goals. Visi merupakan pikiran-pikiran besar yang menstimulasi perkembangan kinerja organisasi. Didalam kehidupan organisasi harus ada keseimbangan antara mekanisme untuk menggerakan perusahaan dan aktivitas perusahaan dalam menanggapi perubahan lingkungan. Hal ini dengan maksud untuk menjaga keseimbangan gerakan organisasi dalam dunia yang terus berubah. Banyak organisasi bisnis dan institusi lainnya yang memiliki Big, Hairy, Audacious Goals, seperti Ford dengan mimpinya ingin melakukan demokratisasi mobil, Wallmart bermimpi untuk memiliki $125 miliar ditahun 2000, Nike ingin menghancurkan Adidas, Stanford ingin menjadi Harvard di bagian barat Amerika, dan Watkins-Johnson ingin menjadi perusahaan yang dihormati seperti Hewlett Packard. Perusahaan-perusahaan ini memiliki mimpi besar dalam bergerak dalam lingkungan yang terus berubah. Mimpi ini menjadi penyeimbang gerakan mereka yang dinamis, sehingga tidak tergerus dan hilang dalam perubahan.

Lalu bagaimana dengan UKSW? UKSW sudah ada sejak 1955 dalam beberapa pertemuan persiapan yang dilakukan di Semarang dan Salatiga. Orang-orang yang terlibat dalam proses tersebut yakni Pdt. Basuki Probowinoto, Ds Tan Ik Hay, Ds MAruli PAsaibu, selain itu ada juga intelektual Belanda seperti Jack Van der Waals. Pdt. Probowinoto sebagai inisator awal, berpikir bahwa kaum Kristen yang juga telah telibat dalam perjuangan kemerdekaan, harus berpartisipasi dalam kemerdekaan dengan memiliki sebuah universitas. Universitas ini akan melatih para pemuda untuk mengisi kemerdekaan Indonesia. Karena bangsa yang baru merdeka ini, membutuhkan pendidikan yang baik. Maka beliau mengajar para pendiri lainnya untuk mendirikan sebuah universitas Kristen yang didukung oleh banyak dewan Gereja atau Sinode dari seluruh Indonesia. Universitas ini akan mengawal Republik yang baru lahir ini untuk mendidik generasi muda Indonesia, dan pergumulan yang dihadapi ditahun itu adalah mempersiapkan para guru. Bangsa Indonesia membutuhkan guru-guru untuk melahirkan para intelektual untuk masa depan Indonesia. Itulah alasan dari UKSW lahir sebagai sebuah universitas. UKSW lahir ditengah Indonesia merdeka dan mengisi kemerdekaan. Hingga pada tahun 1956 dilakukan pembukaan UKSW yang namanya waktu itu Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia, di hotel Kaloka Salatiga. Saat itu Rektor pertama UKSW, Oeripan Notohamidjojo memberikan pidato pembukaan dengan judul “Menyegani Tuhan merupakan pangkal pengetahuan (Amsal 1:7).” UKSW diletakan oleh Rektor pertama dalam pondasi takut akan Tuhan. Maka asas pertama di UKSW adalah kedaulatan Tuhan di akui.  Selanjutnya pada 30 November 1956 (tanggal resmi lahirnya UKSW), Notohamidjojo berpidato tentang tugas-tugas universitas dimasa peralihan. Tugas-tugas ini merupakan misi dan maksud dari universitas ini berdiri. Selanjutnya pada tahun 1959, UKSW menjadi universitas dengan menghadirkan fakultas yakni ekonomi dan hukum. Lalu pada tahun 1962 berdiri fakultas ilmu hayat, 1967 fakultas elektro, 1968 fakultas pertanian, 1969 fakultas teologi. Pada tahun 1981, saat usia 25 tahun UKSW menggumuli kembali misinya dalam tema “Dalam Tuhan usahamu tidak sia-sia.” Jadi UKSW ini lahir dengan banyak pergumulan, hingga 1981 ada perenungan untuk memaknai perkembangan UKSW. Selanjutnya UKSW terus berkembang, dari meminjam ruang-ruang kelas perkuliahan, hingga membeli lahan untuk membangun gedung sendiri untuk perkuliahan (yakni gedung A dan B), dan terus berkembang menjadi UKSW ditahun 2021.

UKSW menempatkan asas utama dalam gerakan perubahannya adalah pengakuan bahwa dalam Tuhan ada pengetahuan (Sovereignitas). UKSW sudah diberikan titik pijak untuk melihat realitas dan memelihara pengetahuan. Titik pijak tersebut adalah pengakuan akan kedaulatan Tuhan. Tuhan yang mencipta dan membuat kita semua berkenan dalam alam semesta. Karena Tuhan yang membuat alam semesta ini dengan sempurna, maka ada bahasa-bahasa universal yang sama, seperti Matematika, Fisika, Kimia dan lainnya. Bahasa-bahasa tersebut merupakan norma-norma yang Tuhan berikan, untuk itu kita harus mengakui dan tunduk juga pada norma-nomra tersebut dan berdialektika dalam bahasa tersebut (Normativitas). Selain itu ada asas aktualitas, karena manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terus berkembang (Aktualitas). Asas yang terakhir adalah UKSW harus juga relevan dan berdampak bagi masyarakat dengan seperangkat ilmu dan teknologinya (Sosiabilitas).

Selanjutnya Notohamidjojo juga menempatkan Catur Rupa sebagai tugas UKSW. Catur Rupa ini merupakan tanggungjawab yang harus dijalankan oleh UKSW. Adapun tugas UKSW yakni: 1) Memelihara dan mengembangkan ilmu, mencari kebenaran berdaulat, yang mentransendesikan manusia, bangsa, dan negara; 2) Mendidik para student menjadi pengabdi kebenaran menurut syarat-syarat yang kami taati; 3) Mendidik pemimpin-pemimpin akademis; 4) Melanjutkan kebudayaan (transmission of culture).

Untuk menjalankan aktivitasnya sehari-hari, UKSW harus berjalan dengan nilai-nilai. Nilai-nilai ini harus tampak dalam dinamika UKSW. Nilai-nilai itu adalah kejujuran, kekhidmatan, kerendahan hati, kebenaran, keadilan dan kasih.

Dari core purpose dan core values diatas, maka dirumuskanlah  visi universitas. Notohamidjojo menyatakan bahwa universitas adalah sebuah persekutuan ilmiah tingkat tinggi (UNIVERSITAS SCIENTIARUM). Universitas harus menjadi persekutuan antara para dosen dan mahasiswa yang membentuk creative minority. Universitas harus terus membina kepemimpinan. Universitas harus menjadi radar dan pemantau perubahan. Universitas harus menjadi pelayan profetik, yang membawa pesan-pesan ke banyak orang.

Dengan core ideology diatas maka diharapkan pada tahun 2057, UKSW sudah menjadi universitas yang terbaik di kawasan Asia. UKSW harus melahirkan pengetahuan dan transformasi teknologi bagi masyrakat dunia, agar hidup seimbang bagi alam raya. Untuk menuju 2025, maka pada tahun 2022 UKSW harus masuk dalam percaturan pendidikan di Asia tenggara dengan banyak perannya.

Disini kita telah melihat perubahan yang telah terjadi dari masa lalu, masa sekarang dan mungkin kita akan melihatnya dimasa datang. Perubahan ini diwarnai dengan berbagai pembaharuan. Pembaharuan mindset, manajemen, proses, strategi, dan lainnya, yang duduk diatas nilai-nilai yang telah dibangun oleh pendiri UKSW. Sebuah transformasi yang luar biasa.

Kondisi hari ini UKSW, sebagai kelanjutan dari perkembangan UKSW yakni ditahun 2021, UKSW telah terakreditas Institusi A dan sedang proses untuk menuju Unggul. Ditahun 2020, UKSW berada diperingkat 54 klasterisasi perguruan tinggi nasional, dan ditahun yang sama berada dalam peringkat 29 kemahasiswaan nasional. Selanjutnya pada tahun 2021, Webometrics sebuah institusi pemeringkatan internasional yang sudah diakui dalam survei pemeringkatan universitas-universitas di dunia, memasukan UKSW dalam peringkat 18 universitas terbaik di Indonesia, dan peringkat 1 PTS di Jawa tengah. UKSW juga sudah masuk dalam anggota ACUCA executive committee(Association of Christian Universities and Colleges in Asia).

Bagaimanakah UKSW dimasa depan? UKSW harus bergerak ke extraordinary move. UKSW harus bergerak dari good ke great. UKSW harus bisa melakukan lompatan besar menuju masa depan. Kita akan melihat wajah UKSW yang berbeda ditahun 2057, tapi dengan karakter dan nilai yang tetap.

*Tulisan ini bersumber dari pemaparan materi visi dan misi UKSW oleh Rektor UKSW, Neil S. Rupidara, SE.,M.Sc.,Ph.D, dalam kegiatan Orientasi Mahasiswa Baru UKSW 2021

Dari PPKM Darurat hingga PPKM Level 4: Pemerintah Harus Evaluasi Kritis Kinerja Sistem Pengendalian Pandemi Covid-19

PPKM Level 4/Darurat bagaimanapun harus dinilai tidak mencapai targetnya. 3 Juli pemerintah mulai memberlakukan PPKM Darurat di Jawa dan Bali, pada 48 Kota/Kabupaten yang berada pada level assessment 4 (ditambah 74 Kota/Kab assesment level 3). Sistem ini diberlakukan hingga 20 Juli, sehingga berdurasi 3 minggu. Targetnya adalah menurunkan angka penyebaran harian kembali ke level di bawah 10.000 (Kompas, 1 Juli). Pada posisi 3 Juli, angka penyebaran per hari telah berada pada 27.913. Dan, pada posisi 20 Juli, angka penyebaran berada pada 38.325, dengan angka tertinggi terjadi pada 15 Juli, 56.757. Merujuk trend data, apa yang terjadi adalah kenaikan angka penyebaran tampak sudah tidak bisa dikendalikan lagi oleh PPKM Darurat. Pertanyaannya, apakah PPKM Darurat tidak efektif?

Menjawab ini tentu tidak mudah. Apa yang terjadi adalah fakta. Menilai efektivitas kebijakan PPKM dengan hasil yang seperti itu belum akan menunjukkan in-efektivitasnya dalam situasi yang sudah kadung berposisi sulit dikendalikan. Pertanyaannya, kalau PPKM Darurat tidak diterapkan, apa yang mungkin terjadi di saat ini? Ini ruang jawaban yang cukup spekulatif. Dengan sudah sedemikian rupa menekan tingkat mobilitas dan interaksi sosial di ruang-ruang publik tetapi angka penyebaran tetap saja cenderung meningkat, bisa jadi tanpa PPKM Darurat angka penyebaran lebih menggila, melonjak drastis. Namun, target PPKM Darurat, menurunkan angka penyebaran ke bawah 10.000, jelas berposisi tidak tercapai. Dalam kondisi seperti itu, pemerintah harusnya melakukan evaluasi kritis dan menyeluruh, mengapa kondisinya demikian. Apalagi, dengan perpanjangan PPKM Darurat menjadi PPKM Level 4 dari 20 Juli ke 26 Juli, lalu ditambah lagi ke 2 Agustus, angka penyebaran yang menjadi target PPKM Darurat tetap tidak tercapai. Apa yang salah?

Kami mencoba melakukan sedikit kajian atas situasi itu. Video ini diambil pada 23 Juli, hanya 3 hari setelah PPKM Darurat berakhir dam diganti dengan PPKM Level 4. Telah ada trend penurunan pada angka penyebaran Covid-19 secara nasional. Namun, ada juga gejala lonjakan terlihat di saat itu dan memang di 2 minggu periode pelaksanaan PPKM Level 4 pun tampak fluktuasi angka penyebaran per hari. Ini tanda bahwa sistem tidak cukup robust mengendalikan penyebaran Covid-19. Perluasan PPKM Level 4 ke luar Jawa dan Bali pun tampak menunjukkan kedodorannya sistem ini dalam hal pengendalian, karena trend di daerah-daerah perluasan PPKM Level 4 pun menunjukkan peningkatan. Angka kematian juga terus bergerak naik, mencapai level record harian baru hari lepas hari. So what has gone wrong? Pemerintah tidak bisa menjalankan sistem tanpa evaluasi kritis. Kebocoran sistem terus dan terus terjadi. Costs untuk mengoperasikan sistem ini tidak kecil, dengan hasil yang menunjukkan kebocoran-kebocoran, perlu ada identifikasi sangat jeli apa yang menyebabkan sistem ini tidak cukup efektif. Dalam konteks itulah kami mencoba menstimulasi evaluasi kritis itu.

Evaluasi kami, mekanisme-mekanisme penyebaran Covid-19 tetap bergerak tanpa bisa dihentikan oleh PPKM Darurat/Level 4. Mengapa? Karena contact tracing yang dilakukan di satgas-satgas Covid-19 di level paling rendah masih gagal mendeteksi dan menghentikan penyebaran, paling tidak selalu terlambat dibanding penyebaran itu sendiri. Jika ini tetap tidak bisa dikoreksi, kita mungkin akan terus berada dalam situasi ini, kecuali akan datang obat ampuh mengatasi Covid-19 sehingga menjadi tidak membahayakan lagi. Sudah 1,5 tahun lebih kita berhadapan dengan pandemi ini tetapi sistem pengendalian Covid-19 kita tidak menjadi semakin tangguh. Bagi saya, problemnya ada di kemampuan contact tracing. Sejak Covid-19 menyebar di Indonesia di 2020, posisi saya adalah meminta pemerintah membangun sistem dan pelaksanaan contact tracing yang solid. Saran disampaikan kepada unsur pemerintahan kota Salatiga, provinsi Jateng. Contact tracing pun kami lakukan sejak kasus #1 dan #2 Salatiga yang notabene adalah warga UKSW, demikian juga pada kasus-kasus lanjutan yang terjadi pada warga UKSW. Mengatasi penyakit menular yang bisa menciptakan epidemi atau pandemi seperti ini kuncinya ada di contact tracing. “Case investigation and contact tracing …, is a key strategy for preventing further spread of Covid-19,” sebuah pernyataan dari CDC USA. Negara-negara dengan kemampuan tracing yang mumpuni masih bisa mengendalikan penyebaran Covid-19 di negaranya, misalnya New Zealand, Hong Kong, dan Taiwan. Namun, contact tracing bukan fokus perhatian kita selama ini. Sejak awal, pihak-pihak tertentu terlalu terfokus pada kapasitas testing, sekalipun ada persoalan juga di situ pada fase-fase awal pandemi. Belakangan, fokus bergeser ke vaksinasi yang diharapkan menjadi game changer. Dalam hal vaksinasi, saat ini proporsi penduduk yang fully vaccinated (2 suntikan) masih berada di bawah 10%. Sedangkan yang sudah menerima minimal 1 suntikan baru berada di sekitar 20%. Dengan jumlah penduduk yang besar dan dengan sikap (awal) masyarakat yang tidak solid tentang vaksin, plus kompetisi global dalam mendapatkan vaksin, kecepatan melakukan vaksinasi yang ditempatkan sebagai solusi utama ini justru menjadi salah satu titik persoalan. Namun, belakangan kita tahu bahwa terjadi akselerasi signifikan. Namun, posisi Indonesia masih jauh dari harapan herd immunity. Belum lagi, efektivitas vaksin di depan varian-varian baru telah dikhawatirkan sejak beberapa bulan lalu. Inipun sudah kami ingatkan, setelah memelajari fenomena yang terjadi di Afrika Selatan yang menunjukkan efektivitas vaksin-vaksin tertekan ketika berhadapan dengan varian beta. Bahwa vaksin masih dapat melindungi dalam hal menekan tingkat keparahan, hospitalisasi, dan kematian, kita harus keep our eyes terhadap dinamika relasi new variants and vaccines, untuk menguji apakah kesimpulan kita akan tetap sama. Dalam hal ini, tidak sedikit ahli epidemiologi yang telah menyampaikan peringatan mereka akan kemampauan SARS CoV2 dalam mengatasi antibodi (antibody dependent enhancement). Tentu kita berharap hal-hal yang baik, termasuk manfaat vaksinasi. Namun suara-suara peringatan itu harus tetap kita dengar sehingga membawa kita pada posisi kehati-hatian yang tinggi. Wawasan itu juga penting dalam menstimulasi pemikiran mencari solusi-solusi pendukung, di luar vaksinasi.

Di samping sikap konsisten untuk mendukung vaksinasi sebagai program utama pemerintah dalam memerangi Covid-19, kita harus juga mengingatkan pemerintah untuk menyiapkan langkah-langkah pendukung. Saran ini bukan baru bagi UKSW. Kepada Menko Perekonomian saran itu telah kami sampaikan di bulan April. Namun, ini harus terus diingatkan kepada pemerintah. Jika Presiden Jokowi pernah mengajak kita untuk hidup dengan kenyataan Covid-19 ada di sekeliling kita, maka pandangan beliau ini tidak akan mungkin berjalan jika tidak tersedia obat-obatan penawar Covid-19 di sekeliling kita. Jika demikian, pemerintah seharusnya tidak bergantung begitu besar, apalagi satu-satunya, kepada vaksin sebagai strategi atau mekanisme pencegahan. Lihat dan belajarlah dari apa yang terjadi di Israel, Inggris, Amerika. Lebih rendahkan skala vaksinasi mereka dari kita? Vaksinasi mereka jauh lebih tinggi daripada kita! Namun, mereka sedang mencermati sungguh-sungguh dinamika macam apa yang sedang berlangsung antara vaccines dan new variants, terutama varian delta. Pemerintah sudah harus memerlengkapi strategi hidup di masa pandemi ini dengan berbagai cara, termasuk menjamin ketersediaan obat-obatan yang dapat mengobati penderita Covid-19. Kita tentu tidak ingin keadaan seperti ini berjalan tanpa kepastian akan berakhir.

Untuk masuk ke visi hidup bersama Covid-19, kita tahu bahwa di saat-saat penyebaran Covid-19 bergerak di angka yang tinggi, rumah-rumah sakit tidak mampu lagi menampung pasien Covid-19. Tidak hanya beds kurang, ruang-ruang ICU khususnya tidak cukup. Padahal, jumlah pasien dengan tingkat keparahan tinggi meningkat. Ventilator tidak cukup. Supplai oksigen pun tidak cukup. Banyak pasien yang akhirnya merawat diri atau dirawat di rumah, sebagian tanpa peralatan dan obat-obat memadai. Dulu, besar propors mereka yang tidak bergejala atau ringan gejala-gejalanya. Dengan varian delta, keadaan berubah. Lebih banyak pasien bergejala berat. Tidak sedikit yang mengalami penurunan saturasi oksigen secara relatif cepat. Padahal, mereka dirawat di rumah. Mereka tidak cukup teredukasi dalam situasi seperti itu, bagaimana berhadapan dengan Covid-19. Sejumlah orang karenanya didapati meninggal di rumah. Sebagian lagi sempat dilarikan ke rumah sakit saat saturasi oksigen telah jatuh cukup rendah dan terlambat untuk dapat ditolong. Dalam keadaan-keadaan seperti itu, di mana kapasitas rumah sakit tidak mencukupi dan banyak yang dirawat di rumah, mestinya pemerintah harus pastikan tersedianya obat-obatan di pasar obat.

Dalam konteks itu, ada obat seperti Ivermectin yang melalui penelitian ilmiah dan uji klinis di negara lain disebutkan efektif mencegah dan mengatasi SARS CoV2. Sebagai obat esensial dalam terapi parasit, obat ini murah dan efektif. Seharusnya obat seperti ini juga dijamin tersedia di apotik-apotik sehingga mudah diakses masyarakat. Namun, alih-alih tersedia di apotik-apotik, kontroversi di seputar Ivermectin membuat obat ini justru langka di pasaran. Ini relatif berbeda dengan di banyak negara lain yang bagaimanapun masih menyediakan Ivermectin, kecuali di beberapa negara yang otoritas kesehatannya melarang penggunaan Ivermectin. Di Indonesia kita tahu bahwa, beberapa pihak telah dengan keberanian etisnya menggunakan Ivermectin untuk menolong pasien Covid-19. Hasilnya dilaporkan membantu percepatan kesembuhan. Harus dicatat, tidak pakai Ivermectin keadaan toh sudah sulit, angka kematian karena Covid-19 terus meningkat. Pakai Ivermectin masih dipersoalkan pemenuhan protokol uji klinisnya. Dalam situasi dilematis seperti itu, tidakkah kita dapat menempatkan prioritas etis untuk terlebih dahulu menyelamatkan nyawa orang? Kepentingan kemanusiaan harus berada di atas yang lain. Toh Ivermectin sejauh ini terbukti merupakan salah satu obat teraman setelah pemakaian selama 40 tahun. Oleh karena itu, jika kita memasuki ruang keputusan etis, maka persoalan tidak mudah dilihat secara hitam putih. Keputusan etis tidak bisa ditempatkan seolah kita berada dalam situasi normal. Oleh karena itu, pemerintah dan kaum profesi kedokteran harus bergumul keras dalam situasi etis seperti ini, apa prioritas utamanya. Persoalan lain di wilayah ini yakni ketika belakangan telah disetujui untuk dilakukan uji klinis, Ivermectin justru menghilang dari pasaran. Harga melambung sehingga harus diintervensi melalui penetapan harga eceran tertinggi. Dalam keadaan darurat seperti ini, masih saja ada pihak yang hendak bermain-main mencari keuntungan besar. Harusnya pemerintah segera mengejar dan menangkap dan mengadili mereka yang bertindak anti-kemanusiaan seperti itu.

Dalam situasi yang tidak mudah, masyarakat bagaimanapun harus melakukan tugas di bagiannya. Di samping harus konsekuen mematuhi protokol 3 atau 5 M, masyarakat sedapat mungkin dapat memerlengkapi dirinya dengan berbagai bentuk langkah terapi atau pengobatan alternatif. Minuman atau kapsul sambiloto tersedia cukup mudah di pasaran. Pertahanan diri harus berlapis-lapis.

Itu adalah sebagian pokok evaluasi atas perjalanan PPKM Darurat/Level 4, terutama melihat perkembangan sampai pada 23 Juli. Kami mendorong pemerintah untuk menilik secara kritis faktor-faktor yang dapat menjelaskan mengapa PPKM Darurat/Level 4 belum bisa menekan angka penyebaran ke level di bawah 10.000, sebagai target pemerintah. Mestinya ada hal yang tidak berjalan baik, dan saya tetap konsisten menunjuk persoalan ada pada contact tracing dan langkah cepat pasca untuk mengisolasi pihak-pihak yang terdeteksi berada dalam rantai-rantai interaksi penyebab penyebaran atau berpotensi terinfeksi Covid-19. Jika kita bisa perkuat sisi itu, saya cukup yakin kita bisa mendapati penyebaran Covid-19 akan konsisten kita tekan dan kendalikan di level terendah yang bisa kita capai. Semoga.Salam sehat untuk kita semua.

Tulisan ini ditulis dan di-share 31 Juli 2021 oleh Neil Samuel Rupidara diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/neil.rupidara

BERJUMPA DENGAN ALBERT CAMUS MELALUI NARA SUMBER DARI BASIS

Dua hari lalu tema webinar ulang tahun majalah Basis ke-70 adalah Albert Camus dan Pandemi. Pembicara tema ini adalah Prof. Dr. A. Sudiarja dengan penanggap Dr. A Setyo Wibowo. Moderator webinar ini adalah Yulius Tandyanto, M. Fil. Tema webinar diumumkan berjudul “Albert Camus dn Pandemi”. Oleh Pak Sudiarja jadi tema “Absurditas dan Pemberontakan”. Tema ini dibicarakan berdasarkan 2 novel Albert Camus yang tunjukkan perkembangan pikiran Albert Camus tentang asurditas. Berangkat dengan deskripsi Pak Sudiarja melalui novel tentang absurditas dalam novel pertama. Lalu di novel kedua Albert Camus memberi jalan keluar atasi asurditas dengan lakukan pemberontakan pribadi. Mengapa Albert Camus terkait dengan pandemi? Novel berjudul Sampar memaparkan pandemi sampar yang terjadi di Aljazair. Suasananya memang mirip dengan pandemi Covid 19 yang berhasil menampilkan wajah manusia dengan aneka perilaku absurdnya.

Albert Camus aku pelajari dengan serius pada saat menulis tentang N.H. Dini untuk buku “Perempuan-Perempuan Menggugat, Literasi Rupa Sejarah Perempuan Indonesia”. Sebanyak kurang lebih 33 novelnya kukejar untuk kumiliki. Sayang hanya beberapa yang kubaca antara lain adalah Sebuah Kapal dan terjermahan novel Albert Camus. Pertanyaanku adalah mengapa N.H. Dini menterjemahkan novel Albert Camus padahal dia bukan seorang penerjemah? Karier sebagai penerjemah tidak kutemui. Waktu mengkaji N.H. Dini, aku berhasil menemukan psiko-sosial dinamika jiwa N.H. Dini. Hanya saat itu aku belum menemukan perjumpaan batin N.H. Dini dengan Albert Camus.

Uraian Pak Sudiarja tentang Albert Camus membantuku menemukan perjumpaan itu. Pak Sudiarja menganalisis bahwa filsafat absurditas muncul dari pikiran Albert Camus yang dipicu oleh pengalaman hidupnya yang getir. Ia penduduk jajahan Prancis di Aljazair di mana ayah meninggal ketika masih kecil. Ibunya kemungkinan buta huruf dan miskin. Entah bagaimana Albert Camus bisa pindah ke Prancis dan kemudian bersahabat dengan Jean Paul Sartre. Keduanya masuk partai komunis. Persahabatan ini pecah kemungkinan karena Albert Camus meninggalkan komunisme dan Camus tidak percaya pada revolusi setelah tahu bahwa komunisme menjadi diktator proletariat yang membelokkan teori Karl Marx.

Lalu Albert Camus percaya pada pemberontakan pribadi dalam melawan absurditas hidup.

Pak Sudiarja membahas Albert Camus berdasarkan 2 novel yang telah telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Kedua novel ini telah kubaca. Kedua novel itu adalah L`Etranger (Terasing) yang terbit pada tahun 1942 dan La Peste (Sampar) yang terbit pada tahun 1947. Albert Camus menulis novel, essay dan naskah drama (menyukai teater). Albert Camus sulit dikatagorikan karena ia menampakkan diri sebagai eksistensialis namun menolak disebut sebagai eksistensialis dan mengaku sebagai atheis. Albert Camus pemenang nobel price untuk katagori sastra.

Refleksi yang sungguh menarik yang dibahas Pak Sudiarja. Katanya Albert Camus tidak memberi definisi atas absurditasnya. Dari paparannya disimpulkan bahwa hidup seharian itu sendiri adalah absurd (tak masuk akal dan tak bermakna). Untuk mengatasi ketidakmaknaan hidup bagi Albert Camus adalah menerima dan menghadapi dengan berani melalui pemberontakan. Ia menolak pilihan masuk ke dalam agama dengan “membunuh dirinya sendiri” dan menyerahkan diri pada Tuhan. Dengan demikian hidup menjadi tak absurd lagi. Meski hidup tak bermakna namun Albert Camus menolak bunuh diri. Ada tulisannya tentang bunuh diri filsafat ketika filsuf menghilangkan absurditas hidup. Barangkali ia kritik Soren Kierkergaard yang memilih bersikap dan bertindak berani dengan percaya pada Tuhan. Keberanian Albert Camus tidak ditunjukkan dengan beriman tetapi jadi atheis dan mencintai hidup. Albert Camus dipengaruhi antara lain oleh Friedrich Nietzche.

Pak Setyo Wibowo menanggapi Pak Sudiarja dengan memberi gambaran absurd dengan contoh perannya sebagai dosen yang setiap semester melakukan hal yang sama. Contoh ini kemudian dikaitkan dengan cerita Sisyphus yang dikutuk dewa membawa batu ke gunung lalu dijatuhkan kemudian diangkat lagi untuk dibawa ke puncak gunung. Tanggap Pak Setyo bahwa barangkali yang membuat Bahagia adalah proses menuju ke puncak gunung itu meski absurd rutinitas yang dilakukan.

Aku perlu waktu lama merenung percakapan ini untuk memahami Albert Camus. Kemudian aku menemukan kemiripan latar hidup N.H. Dini yang dilahirkan dengan kultur Jawa Semarang yang bertindak tak langsung dan pandai sebunyikan perasaan dalam rangka menghormati orang lain. Dengan latar hidup ini lalu N.H. Dini kawin dengan diplomat Perancis yang dibesarkan dengan kultur yang berbeda secara serius. N.H. Dini kemudian hadapi absurditas hidup di Prancis. Terpapar pada suasana kolonial dengan relasi “tuan dan bawahan” dialami oleh Albert Camus dan N.H. Dini. Dalam kekosongan makna dan kebingungannya lalu N.H. berjumpa dengan pikiran Albert Camus yang ajarkan lakukan pemberontakan. Pemberontakan di level pribadi yang cocok dengan kultur Jawanya. Karena itu N.H. Dini kemudian memberontak dengan caranya yang berakhir dengan perceraian. N.H. Dini kemudian dalam analisisku bahwa ia berhasil melakukan transformasi kejawaannya dengan memasukkan kultur barat yang individualistik. Jadilah N.H. Dini yang tampilkan wajah Jawa dan Prancis. Ia menolak disebut feminis sebagaimana Albert Camus menolak untuk disebut eksistensialis.

Pemberontakan terhadap absurditas hidup seharian ini adalah pesan penting yang disampaikan Albert Camus. Hanya pada setiap orang tema pemberontakannya bisa berbeda. Konteks hidup masing-masing orang yang membedakan. N.H. Dini memberontakan terhadap “ketidakhormatan” suaminya dengan caranya. Pak Setyo Wibowo dengan caranya sendiri melawan rutinitas mengajar. Lalu pada diriku apa yang kuberontaki? Dari refleksi yang kulakukan adalah aku memberontak terhadap ketidakbenaran dan ketidakadilan kronis yang menimpaku. Pemberontakankupun juga bukan pemberontakan frontal. Bisa memberontak secara frontal ketika sudah tersudut sampai tak bisa bergerak. Jika masih bisa berkelit maka aku memilih berkelit. Jadi aku punya banyak wajah pemberontakan atas ketidakmasuk-akalan dan rasa ketidakkeadilan yang kualami. Relasi menjadi punya gradasi dan level yang begitu rumit bagiku.

Nah ada yang tak sepaham aku dengan Albert Camus yakni terletak pada penolakan terhadap transendensi diri ke yang absolut. Padaku justru transendensi diri ke yang absolut yang kulakukan ini menjadi sumber inner powerku dalam menghadapi hidup yang absurd oleh feodalisme, patriarki, kapitalisme, demokrasi yang tak terlalu tunduk pada hukum dan hak asasi manusia. Aku tidak lari ke hedonisme dengan umbar nafsu fisik dan psikis. Aku jadi pelaku “akestis” moderat karena kenikmatan duniapun tak kutolak sepenuhnya. Cara ini membuat hidupku bahagia. Yang sama lain dengan Albert Camus adalah jalani hidup dengan bertanggung jawab dan bisa terima misteri hidup dengan hanya jalani dengan penuh tanggung jawab. Jadi aku berspiritualitas bukan dengan dasar takut dan putus asa tetapi atas dasar pilihan rasional. Yang kemudian setelah dijalani ternyata memang ada sesuatu yang indah dan surprise terjadi.

Pelajaran yang bisa dipetik dari Albert Camus dalam hadapi covid 19 adalah terima absurditas yang terjadi dengan tetap bertanggungjawab menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain. Caranya adalah ikuti pembelajaran yang diberikan pakar dan sesama. Lalu bersolider dengan sesama dengan peduli atas keselamatan sekeliling dengan memberikan apa yang bisa diberikan. Covid 19 harus dihadapi dengan berani namun waspada. Kematian yang absurd di depan mata kita. Lalu? Terima, hadapi dengan berani dan waspada. Konyol kalau kita memberontak terhadap virus yang ada dengan tak pedulikan cara hadapinya. Yang kita berontaki adalah ketakutan yang ditimbulkan oleh makhluk tak kasad mata itu.

Selamat ulang tahun Basis. Semoga tetap menemani pembaca dengan pikiran-pikiran pemicu yang mencerahkan. Tabik.

Tulisan ini ditulis dan di-share7 Juli 2021 oleh Esthi Susanti Hudiono diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/profile.php?id=1376597700

PENERAPAN IVR DI DUNIA PENDIDIKAN: KELAS “EKOWISATA”

Judul buku: Agumented Reality &Virtuality: the Power of AR and VR in BusinessEditor: M. Claudia tom Dieck & Timothy Jung. Springer Nature Switzerland AG 2019Chapter/Part 4: “AR/VR IN EDUCATION”

Tulisan pertama dari seri ini saya membuat ringkasan atas tulisan Diana Andone and Mark Frydenberg berjudul “Creating Virtual Reality in a Business and Technology Educational Context“. Kemudian tulisan kedua saya membuat ringkasan tulisan Paula Hodgson.dkk bertema “Immersive Virtual Reality (IVR) in Higher Education: Development and Implementation.” Seperti sudah disampaikan, Hodgson, dkk., fokuskan penelitian pada penerapan IVR dalam kelas untuk dua matakuliah, yaitu “Farmakologi dan Terapi” serta “Memahami Ekowisata.”

Pada tulisan kedua saya telah membahas hasil percobaan di kelas Farmakologi dan Terapi,” karena itu tulisan ini masih sebagai lanjutan untuk membahas hasil eksperimen di luar ruang, yaitu “Memahami Ekowisata.” Disamping itu, saya akan tunjukkan bagaimana hasil evaluasi atas eksperimen penerapan IVR di kedua kelas kuliah tersebut.

Disebabkan mata kuliah “Memahami Ekowisata” hanya dua SKS padahal perlu ada karyawisata sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran selain kuliah dan ceramah tamu, maka hanya dimungkinkan sekali karyawisata setiap semester. Itulah sebabnya kunjungan lapangan virtual sangat membantu menghadirkan paparan yang lebih luas ke situs-situs ekowisata lain sehingga memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mendapatkan pengetahuan tambahan yang lebih kaya terkait destinasi lain tanpa harus melakukan perkunjungan sebenarnya. Dengan kata lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dengan melakukan lebih dari satu karyawisata, yaitu secara aktual (kunjungan sebenarnya) dan secara virtual (telepresence).

Kunjungan lapangan virtual dilakukan di Lai Chi Wo, yang telah diproduksi berdasarkan lingkungan aktual (nyata) di bulan Juni 2017. Lai Chi Wo merupakan sebuah desa hijau dan tenang yang telah berusia 300-an tahun. Untuk “produksi faktual” itu, pertemuan awal membahas rute dan fokus field trip virtual. Lokasi syuting oleh kru film dan staf pengajar telah diatur. Pengeditan film dilakukan setelah perjalanan, dan hotspot dengan gambar tambahan dan informasi sejarah atau detil informasi penting lainnya diberikan oleh dosen untuk ditambahkan ke situs pendidikan berbasis video 360°. Dilengkapi juga dengan penanda tur agar memudahkan mahasiswa menavigasi dari satu lokasi ke lokasi berikutnya. Uji coba dilakukan melibatkan beberapa mahasiswa di kelas pengajaran yang sama untuk mengumpulkan umpan balik perihal melihat dengan perangkat seluler yang berbeda dan komentar mereka tentang peningkatan prototipe.

Materi VR digunakan dalam kelas kuliah yang diikuti lebih dari lima puluh mahasiswa. Sesi dua SKS (2 jam) dibagi, dimana satu jam pertama pemberian pemahaman konsep ekowisata disampaikan dalam format kuliah tamu oleh narasumber dari Departemen Pertanian, Perikanan dan Konservasi. Satu jam berikutnya barulah penyampaian sesi VR.

Sebelum kelas kuliah dimulai para mahasiswa diberi instruksi untuk membawa komputer notebook atau mengunduh video terlebih dahulu ke ponsel cerdas mereka. Buku catatan yang digunakan oleh dosen juga sudah dilengkapi dengan rekaman video VR sebelum kelas. Dosen mengawali dengan membuat penemuan terpandu dalam pelajaran, mengilustrasikan tur virtual dengan proyektor di layar. Para mahasiswa juga dapat melihat ulang situs virtual sewaktu-waktu melalui link yang sudah diberikan.

Dosen menunjukkan VR dengan tampilan layar depan, sementara mahasiswa melihat situs, baik dengan komputer notebook atau tablet mereka sendiri, maupun menggunakan headset VR yang terkoneksi ke smartphone. Dosen berjalan melalui beberapa pos pemeriksaan untuk mengilustrasikan cara mengamati, sementara mahasiswa mengamati dari smartphone masing-masing. Mereka kemudian diberi waktu untuk bekerja dalam kelompok kecil untuk menjalani sisa tur virtual dengan perangkat digital, mengikuti penanda (petunjuk) tur, lalu membahas pertanyaan dan masalah yang berkaitan dengan ekowisata. Tujuannya agar mengasah keterampilan berpikir kritis serta memahami perspektif yang berbeda saat melihat video 360° beresolusi tinggi, juga memahami informasi penting dalam video.

Platform VR diatur untuk memberikan kesempatan alternatif bagi mahasiswa mengalami dan mempelajari lingkungan di Lai Chi Wo tanpa kunjungan lapangan sebenarnya. Hal ini dimaksudkan untuk melatih keterampilan observasi dan kesadaran kritis mahasiswa, sekaligus mempersiapkan mereka untuk melakukan field trip ke lokasi-lokasi yang berbeda.

Bagaimana hasil evaluasi terhadap eksperimen penerapan IVR di kedua kelas (“Farmokologi dan Terapi” serta kelas “Memahami Ekowisata”)? Bagaimana penilaian mahasiswa yang mengikuti kelas-kelas tersebut?

Sembilan item evaluasi dibuat dalam bentuk pernyataan, lalu mahasiswa diminta memberikan sikap/persepsinya, mulai dari sikap SANGAT SETUJU hingga SANGAT TIDAK SETUJU. Karena ada dua kelas dengan karakteristik berbeda maka jenis dan jumlah pertanyaan/pernyataan evaluasi juga berbeda.

Kelas Farmokologi & Terapi diajukan tiga pernyataan. Pertama; Saya waspada terhadap manajemen non farmasi (misalnya tanggapan pasien) di klinik VR. Terhadap pernyataan ini 41% menyatakan sangat setuju, 29% setuju, 27% agak setuju dan sisanya netral. Kedua; Diskusi kasus VR dapat meningkatkan minat belajar saya. 15% sangat setuju, 65% setuju, 9% agak setuju dan sisanya netral serta agak tidak setuju. Ketiga; Saya merasa bahwa saya lebih siap untuk praktik klinis di tahun terakhir dengan pengalaman klinik VR. 9% sangat setuju, 50% setuju dan 27% agak setuju dan sisanya netral. Artinya sebagian besar (lebih dari 95%) responden menunjukkan sikap positif.

Evaluasi di kelas “Memahami Ekologi” menggunakan enam pernyataan.

1). Jejak VR memungkinkan saya untuk memvisualisasikan situs (sangat setuju 41%, setuju 29%, agak setuju 27%, sisanya netral)

2). Saya menikmati headset IVR untuk melihat jejak (sangat setuju 15%, setuju 65%, agak setuju 9%, sisanya netral dan agak tidak setuju)

3). Saya menikmati tablet/web IVR untuk melihat jejak (sangat setuju 9%, setuju 50%, agak setuju 27%, sisanya netral dan agak tidak setuju, bahkan 3% tidak setuju)

4). Saya tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang situs jejak VR setelah kelas (SANGAT SETUJU 18%, setuju 35%, agak setuju 18%, 24% netral dan 6% SANGAT TIDAK SETUJU)

5). Saya mempertimbangkan untuk mengunjungi Lai Chi Wo di waktu saya sendiri (sangat setuju 24%, setuju 24%, agak setuju 24%, netral 29%)

6). Saya menghargai pengalaman VR sebagai bagian dari studi universitas saya (SANGAT SETUJU 35%, setuju 44%, agak setuju 18%, SANGAT TIDAK SETUJU 6%)

Kalau diperhatikan sikap negatif (agak tidak setuju hingga sangat tidak setuju) terdapat di pernyataan 3, 4 dan 6. Tidak ada penjelasan alasannya, namun dapat dilihat pernyataan nomor 3 lebih terkait “kenyamanan mengenakan alat/tablet.” Tetapi jelas bagi kita bahwa sebagian besar partisipan menunjukkan sikap positif.

Patut diperhatikan pembahasan atas eksperimen ini. Untuk pembelajaran menggunakan VR/IVR mahasiswa menggunakan smartphone atau komputer notebook yang membutuhkan persiapan. Bukan sekadar soal smartphone dan notebook (misalnya dengan spek standar minimal tertentu), melainkan terutama karena mereka akan menonton video VR yang berkualitas tinggi dengan headset VR untuk pengalaman imersif atau tablet dan komputer notebook untuk aktivitas kelas. Perlu mengunduh aplikasi tampilan dan video VR terlebih dahulu di ponsel sebelum kelas, lalu perlu juga disediakan headset VR dengan sensor di dalam kelas. Apabila mahasiswa lebih suka menonton dengan komputer notebook mereka, bandwidth di ruang kelas harus dipastikan memadai agar bisa mentransmisi video berkualitas tinggi (video 360°).

Perkiraan saya, untuk mengikuti kelas IVR mahasiswa perlu memiliki smartphone dengan standar memadai untuk bisa mengakses video VR. Apakah “smartphone standar” bisa disediakan kampus, khususnya bagi mahasiswa yang tidak mampu? Siapkah kita menaikkan bandwidth atau 4G/5G agar mendukung kelancaran penerapan IVR. Persoalan teknis lainnya yang perlu diperhatikan juga adalah, bahwa membuat video 360° VR tentu membutuhkan banyak sumberdaya. Artinya semua itu harus bisa disadari dan diantisipasi oleh kampus sejak awal agar kerjasama dengan EON-Reality dapat memberikan manfaat maksimal bagi proses dan capaian pembelajaran di UKSW. Dugaan saya pilot projectnya dipilih beberapa prodi dulu, misalnya FKIK, Manejemen, FID (Pariwisata) atau Sejarah.

Saya selalu optimis karenanya meyakini UKSW akan segera memasuki sebuah era pembelajaran yang menantang dan futuristik, yang akan membawa UKSW ke level yang lebih tinggi. Terimakasih pak Rektor Dr.Neil S. Rupidara atas kesediaan dan inisiatif membuka kerjasama dengan perusahaan global sekelas EON-Reality.

Tulisan ini ditulis dan di-share 51 Juli 2021 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/real.self.9

CCTD UKSW menyelenggarakan kursus filsafat ilmu

cctd uksw

Bila SAINS dapat menjelaskan realitas NILAI, SENI dan MORAL, apakah FILSAFAT ILMU & METODOLOGI PENELITIAN masih bisa mencakupinya? Secara umum dipahami bahwa Sains memiliki wilayah kajian yang berbeda dengan agama dan seni. Sains “hanya” terkait dengan bentuk realitas sensible, fakta-fakta serta keterukuran, sementara wilayah agama berurusan dengan nilai-nilai. Kedua wilayah ini tidak bisa saling cakup. Stephen Jay Gould, seorang paleontolog (sejarah evolusi dan biologi) kemudian menegaskannya melalui pendekatan yang disebut Non Overlapping Magisteria (NOMA), yang dengan demikian membuat tembok demarkasi metafisik untuk memilah batas-batas keduanya. Namun, NOMA ditolak oleh Richard Dawkins dan saintis lainnya. Dalam karyanya the Magic of Reality, Richard Dawkins berargumen bahwa sains berhak masuk ke bidang manapun, termasuk agama dan seni. Tidak ada yang bisa menghalangi sains untuk menyensor bentuk pengetahuan apapun sejauh ia terkait dengan dunia empirik.

Dalam diskusi membahas pemikiran Richard Dawkins dari perspektif Filsafat Ilmu tahun 2020, Dr. Karlina Supelli membenarkan argumen Dawkins dan menyatakan bahwa sains berhak masuk ke ranah nilai, seni, agama dan sebagainya. Dengan demikian implikasi dan konsekuensinya luas, terutama pada cakupan dan kerja-kerja metodologi penelitian, dan tentu saja filsafat ilmu sebagai induknya. Sains akhirnya perlu mengembangkan metodologinya agar memiliki “daya sensor yang lebih canggih” yang memungkinkannya “menangkap” jenis realitas seni, nilai, moral dan lainnya yang terkait agama.

Untuk alasan itulah, CCTD mengadakan KURSUS FILSAFAT ILMU secara daring dengan durasi 6 (enam) sesi, diajar oleh Dr. Karlina Supelli (4 sessi) dan Dr.J.Haryatmoko, S.J (2 sessi). Dengan tiap sessi diberikan durasi 2 jam untuk mendengarkan materi dan berdiskusi. Kursus ini dilaksanakan dari 9 April 2021 hingga 21 Mei 2021.

Ibu Karlina membahas Filsafat Ilmu dalam perpektif ontologis, epistemologis hingga aksiologis. Dan dilanjutkan Romo Moko membahas perkembangan filsafat ilmu dalam postmodernisme dan post truth.

Kursus ini diikuti secara serius oleh 47 peserta yang merupakan dosen dan mahasiswa.

Berikut Video pemaparan dari tiap sessi:

Pertemuan 1 : 9 April 2021 oleh Dr. Karlina Supelli
Pertemuan 2: 16 April 2021 oleh Dr.Karlina Supelli
Pertemuan 3: 23 April 2021 oleh Dr. Karlina Supelli
Pertemuan 4: 30 Arpil 2021 oleh Dr. Karlina Supelli
Pertemuan 5: 7 Mei 2021 oleh Dr. J. Hayatmoko,SJ
Pertemuan 6: 21 Mei 2021 oleh Dr. J. Hayatmoko,SJ

PENERAPAN AR & VR DALAM PEMBELAJARAN

Terinspirasi oleh dua kali tulisan pak Neil S.Rupidara (Rektor UKSW) di wal FB-nya berjudul Extended Reality and The Future of Learning: UKSW, Are You Ready? (25 Juni) dan Coming Soon: UKSW – EON-Reality XR Collaboration (27 Juni), saya mencoba membagi hasil-hasil penelitian dari sumber-sumber yang telah menerapkan AR/VR dalam pembelajaran. Judul tulisan terakhir dari pak Neil memang terkesan menantang, tetapi itu lebih ke sebuah “peringatan” untuk bersiaga karena akan terjadi dalam waktu dekat. Semoga tulisan ini ikut membuka diskusi ke sana.

Sejak 2015 Manchester Metropolitan University telah menyelenggarakan International AR & VR Conference secara tahunan. Konferenesi ini mendatangkan para pakar teknologi, pendidik dan pebisnis dari berbagai penjuru dunia untuk mempresentasikan hasil penelitian terkait AR (Augmented Reality) & VR (Virtual reality). Tentu, dengan terlebih dahulu mengirimkan abtrak untuk diseleksi. Bagi yang abstraknya terpilih diundang untuk memberikan presentasi, kemudian hasil itu dikembangkan menjadi bab buku. Terakhir konferensi ke-6 pada November 2020 mengambil tema Immerce Tech and Future of Smart Cities, Virtual Conference 19th-20th, diselenggarakan secara virtual.

Sejumlah hasil confrence yang telah diseminasi menjadi buku, antara lain yang saya miliki dalam bentuk PDF adalah 2018 berjudul “Augmented Reality and Virtual Reality Empowering Human, Place and Business,” dan tahun 2019 berjudul “Augmented Reality and Virtual Reality The Power of AR and VR for Business.”

Saya ingin membahas buku kedua, khusus Part IV dibawah tema “AR & VR in Education.” Bab ini meliputi tiga tulisan yang merupakan hasil riset dan penerapan AR/VR di dunia pendidikan. Saya membuat ringkasan pembahasan ketiganya secara berturut-turut untuk sekadar memberikan gambaran bagaimana AR/VR diterapkan.

Tulisan pertama oleh Diana Andone and Mark Frydenberg berjudul “Creating Virtual Reality in a Business and Technology Educational Context.” Dalam tulisan ini Diana dan Mark membahas hasil proyek Talk Tech, dimana mahasiswa dari universitas di Amerika Serikat dan Rumania bekerja sama mempelajari penggunaan realitas virtual dalam konteks bisnis, kemudian membuat adegan VR mereka sendiri untuk bisnis atau industri tertentu. Dalam percobaan ini mahasiswa mengikuti skenario pembelajaran mobilitas virtual, lalu mengeksplorasi kemampuan realitas virtual dalam konteks pendidikan bisnis dan teknologi.

Pertama-tama mahasiswa meneliti aplikasi VR yang relevan dalam bisnis yang dipilihnya, atau memilih industri dan mengunjungi bisnis lokal atau lokasi yang terkait dengan industri tersebut. Kemudian mereka membuat adegan VR untuk dibagikan kepada mitra internasional mereka. Mahasiswa kemudian melihat adegan VR mitra kemudian membandingkannya dengan pengalaman mereka sendiri terkait adegan serupa di negara asal mereka. Mereka juga harus memberikan gambaran sekilas tentang budaya negara lain.

Misalnya, tim yang belajar tentang aplikasi VR di industri restoran masing-masing menyiapkan adegan VR di kedai kopi Starbucks lokal mereka, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Mereka mengambil gambar latar belakang fasilitas tersebut menggunakan aplikasi kamera 360 derajat pada smartphone, dan kemudian mengimpor gambar tersebut ke CoSpaces untuk menambahkan konten dan konteks tambahan. Dalam kedua kasus, Sprite animasi menyapa pelanggan. Siswa Rumania menambahkan percakapan yang menarik dalam gelembung obrolan sementara bintang kuning berputar menyoroti item roti atau pilihan kopi. Tim Amerika menambahkan unicorn dan permata berputar ke adegan mereka. Gambar 1b menunjukkan bagaimana artefak VR yang dibuat di CoSpaces muncul di browser, dan di perangkat seluler untuk dimasukkan ke dalam penampil VR Google Cardboard.

Para siswa mengerjakan proyek (menggarap konten VR) menggunakan CoSpaces, yaitu alat pembuat VR berbasis web. Para penulis (peneliti) berpendapat bahwa proyek TalkTech mendorong kewirausahaan dan membantu siswa membangun keterampilan literasi teknologi mereka sendiri.

Penelitian menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis proyek guna memperkenalkan konsep VR dengan melibatkan siswa membuat konten VR orisinal yang terkait dengan bisnis atau industri. Partisipan proyek adalah 67 mahasiswa, dimana 37 diantaranya mahasiswa kehormatan dalam kursus pengenalan Teknologi Informasi tahun pertama di Universitas Bentley (Amerika Serikat), sementara 30 mahasiswa lainnya terdaftar dalam kursus Teknologi Multimedia di tahun keempat di Universitas Politehnica Timisoara (Rumania). Melalui kegiatan pembelajaran berbasis proyek, “peserta didik membangun pengetahuan dengan memecahkan masalah yang kompleks dalam situasi di mana mereka menggunakan alat kognitif, berbagai sumber informasi, dan individu lain sebagai sumber daya”

Adapun perangkat-perangkat (peralatan) yang digunakan adalah pertama; CoSpaces untuk merancang dan implementasikan avatar, sprite, atau konten virtual lainnya dan interaksinya dengan adegan VR. Kedua; perangkat seluler, atau dengan headset Google Cardboard. Kertiga; FlipGrid untuk demonstrasi video di platform, juga untuk berbagi video dengan mitra internasional. Keempat; ZeeMaps (alat pemetaan kolaboratif ) untuk membagikan artefak VR dan penelitian terkait. Kelima; headset Oculus Rift. Keenam; kamera 360 yang terhubung ke smartphone melalui Bluetooth.

Para peneliti dalam proyek ini ingin mendapatkan informasi tentang, 1).Bagaimana pengalaman siswa menggunakan alat dan aplikasi untuk membuat artefak VR asli? 2). Bagaimana proses pembuatan artefak VR memberi siswa wawasan tentang aplikasi bisnis masa depan dari teknologi ini? 3. Tantangan dan peluang apa yang disajikan saat memperkenalkan VR dalam proyek pembelajaran kolaboratif global?

Hasilnya? Beberapa kesimpulan dapat diringkaskan sebagai berikut:

1). Mayoritas partisipan (mahasiswa) menganggap AR dan VR mudah digunakan, jelas dan dapat dipahami, produktif, dan mendidik.

2). Testimoni partisipan mungkin bermanfaat untuk diketahui, bahwa: “Realitas virtual memberi penggunanya pengalaman simulasi tentang bagaimana rasanya berada di ruang atau lingkungan tertentu. Misalnya, saya mungkin menggunakan teknologi realitas virtual untuk melakukan perjalanan ke Venesia, Italia tanpa pernah menginjakkan kaki di luar rumah saya.”

3). Para mahasiswa juga menyadari perlunya kolaborasi dan menjadi produktif di lingkungan virtual: “Yang terpenting, proyek ini memberi pengalaman yang memberi saya pemahaman yang lebih baik tentang kerja kolaboratif di dunia bisnis. Tidak selalu pelaku bisnis berada di kota, negara bagian, atau negara yang sama. Oleh karena itu, sesulit apa pun, individu perlu menemukan cara untuk mempertahankan produktivitas dan efisiensi dalam bidang pekerjaan mereka.”

4). Sebagian besar siswa setuju atau sangat setuju bahwa berpartisipasi dalam proyek TalkTech ini mengajarkan mereka tentang budaya, kolaborasi, bekerja dalam tim internasional, dan pentingnya alat kolaborasi berbasis web dalam bisnis informasi/teknologi.

5). Mahasiswa juga belajar bahwa aplikasi bisnis VR akan mengubah cara perusahaan menyajikan dan menjual produk dan bagaimana pelanggan mengalaminya di beberapa industri. Mereka belajar bahwa membuat, berbagi, dan menjelajahi adegan VR dapat mengubah cara mereka mengalami dunia virtual, serta bagaimana mereka menerapkan pengetahuan yang mereka peroleh di dunia virtual tersebut ke dunia nyata.

Nah, apakah UKSW sudah siap? Nampaknya tidak terlalu sulit, karenanya pasti atau harus bisa. Jadi, mari kita dukung semangat pak Rektor Neil S.Rupidara menghadirkannya dalam lingkungan pembelajaran UKSW. Sebuah terobosan yang akan mentransformasi cara belajar dan mengajar di kelas, dengan hasil yang nampaknya amat menjanjikan!

Tulisan ini ditulis dan di-share 28 Juni 2021 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/real.self.9

EON-Reality sebagai Mitra Strategis: World leader in AVR based knowledge transfer for industry and education

Proses adopsi teknologi AVR dalam rangka mendukung pengembangan sektor pengajaran dan pembelajaran di UKSW saya sudah sebutkan ditopang oleh EON-Reality. Sedikit informasi telah saya berikan di postingan sebelumnya siapa EON ini, yakni perusahaan yang berkantor pusat di Irvine, California, AS. Sebagai perusahaan multinasional yang berdiri di 1999, EON sedang memerluas ekspansi operasi globalnya. Ia telah beroperasi di sekitar 15 negara dan sedang memasuki beberapa negara operasi tambahan, termasuk Indonesia.

Dan, memasuki Indonesia, EON memilih UKSW sebagai mitra kerjasamanya. Itu berarti EON memilih masuk pasar Indonesia melalui sektor pendidikan tinggi. Ini dapat dibaca bahwa EON tidak hanya ingin menjual produk teknologinya. Ia memilih mitra bisnis yang di samping akan mendapatkan manfaat dari adopsi teknologinya, tetapi sekaligus secara potensial dapat ikut mengembangkan teknologinya, terutama di pasar yang dimasukinya. Masuk melalui pasar pendidikan tinggi, tentu EON memiliki pertimbangannya tersendiri mengapa UKSW-lah yang dipilihnya, padahal ada tidak sedikit perguruan tinggi lain yang dari sudut tertentu lebih memiliki keuntungan posisi kompetitif dibanding UKSW, misalnya karena berlokasi di kota besar, memiliki kekuatan finansial yang lebih kuat, atau berada di posisi pemeringkatan nasional atau internasional yang lebih baik. Padahal, EON adalah perusahaan yang berposisi world leader di industri AVR yang akan selektif memilih partner. Apapun alasan EON, bagi UKSW, pemilihan oleh EON menunjukkan bahwa UKSW dipercaya oleh pihak industri, bahkan oleh sebuah perusahaan kelas dunia. Bahkan untuk menjajagi kerjasama ini, Dan Lejerskar, sang pendiri dan chairman EON sendiri yang mengontak dan berkomunikasi pertama kali dengan UKSW. Sebuah kehormatan bagi UKSW.

Dalam hal sejalan dengan kerjasama ini, Mendikbudristek Nadiem Makarim sedang dalam posisi mendorong kerjasama perguruan tinggi dengan dunia industri. Oleh karena itu, kerjasama UKSW – EON adalah sebuah kerjasama strategis yang bukan saja UKSW lakukan dengan perusahaan atau dunia industri di dalam negeri tetapi bahkan dengan perusahaan pemimpin pasar global. Kerjasama ini karenanya merupakan sebuah kesempatan langka dan penting bagi UKSW, terutama untuk pengembangan UKSW ke depan, baik dalam hal spesifik di sektor pengembangam teknologi AVR di dunia pendidikan maupun pengembangan kampus secara menyeluruh. Oleh karena itu, UKSW menempatkan relasi kerjasama ini sebagai aset penting yang melampaui batas program kerjasamanya. Bahwa bekerjasama dalam mengembangkan dan menggunaan teknologi AVR itu sendiri adalah satu hal penting, namun kerjasama ini didudukkan UKSW juga sebagai basis untuk kerjasama-kerjasama penting lainnya ke depan.

Pertanyaannya, bagaimana kerjasama ini akan berjalan dan seperti apa pemetaan dampak kerjasama ini ke depan, again, to be continued. Salam dari kaki gunung Merbabu, dari kota kecil yang sejak dulu telah menjadi basis bagi UKSW untuk menerawang model beruniversitas yang menembus karakteristik zamannya.

Tulisan ini ditulis dan di-share 27 Juni 2021 oleh Neil S. Rupidara diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/neil.rupidara

Coming Soon: UKSW – EON-Reality XR Collaboration

Melanjutkan postingan saya sebelumnya, kami di UKSW menantikan kehadiran teknologi AVR/XR dalam sistem pembelajaran di UKSW. Adopsi teknologi pembelajaran berbasis XR di UKSW khususnya berbasis platform teknologi AVR yang dikembangkan oleh EON-Reality, selanjutnya saya singkat EON.

EON adalah sebuah perusahaan solusi AVR yang berbasis di Irvine, California (Silicon Valley), AS. EON adalah salah satu leading firm dalam pengembangan teknologi AVR di dunia. Ia memiliki regional office di Singapura. Di Singapura, EON melakukan kemitraan strategis dengan Nanyang Technological University melalui kehadiran Center for Augmented and Virtual Reality (CAVR) di NTU. Dalam ekspansinya di Asia Tenggara, EON lalu mengembangkan kerjasama dengan King Mongkut’s University of Technology, Thailand. Kini giliran UKSW untuk terlibat dalam kerjasamanya dengan EON.

Seperti apa bentuk pembelajaran di atas platform XR – EON itu? Video di bawah memberikan sedikit lagi gambaran lanjut kepada kita, di samping video di postingan sebelumnya yang juga menunjukkan kemanfaatan AVR secara lebih luas di berbagi bidang kehidupan. Sebagaimana catatan saya sebelumnya, teknologi akan memfasilitasi. Yang diperlukan, ada imajinasi untuk pengembangan konten belajar yang didesain ke dalam platform AVR. Sekarang saya mau membayangkan bagaimana wujud pengajaran saya dan tentu saja pembelajaran mahasiswa-mahasiswa saya dalam matakuliah Sejarah Pemikiran Manajemen. Misalnya, bagaimana memahami munculnya gerakan human relations dari konteks kehidupan pabrik-pabrik di Amerika yang mana para buruh bekerja dalam setting kerja yang overload dan overtime dalam lingkungan kerja yang buruk demi mengejar economic efficiency dan produktivitas. Itu setting dunia kerja di sekitar 1920-1930an. Saya bisa membawa visualisasi setting itu dengan menyertakan data yang cukup tentang poor working conditions yang menekan psikologi kerja. Saya bisa melakukan shifting historis ke setting serupa di negara-negara less developed economies hari ini yang masih mengandalkan model desain kerja yang menekan buruh untuk economic gain, sambil menghubungkan dari setting ke setting ketika terjadi pergeseran bentuk perhatian ke human relations approach yang terus berevolusi ke praktik-praktik kerja modern yang makin menghargai manusia pekerja. Saya membayangkan ini membutuhkan gambar-gambar perbedaan setting sekaligus muatan data di dalamnya sehingga ketika mahasiswa klik elemen gambar tertentu keluar data atau informasi relevan yang ketika diklik lagi elemen gambar yang lain yang settingnya berubah kondisi kerjanya, maka keluar data karakteristik setting itu, durasi waktu yang diperlukan untuk perubahan itu, bahkan seluruh informasi proses transformasi yang melibatkan ketegangan dan konflik antar kelas. Mahasiswa mungkin bisa diberi sebuah “setting polos” yang dapat dikonstruksinya yang sedemikian rupa menggunakan imajinasinya setting tempat kerja seperti apa yang diinginkan oleh seorang pekerja millenial setelah memahami evolusi berkeringat dan berdarah dalam dunia kerja, bukan sebuah sekedar mimpi di siang bolong tidur-tiduran enak di pinggir pantai. Mencapai level kesejahteraan hingga hari ini telah memakan energi yang tidak kecil dalam rantai transformasi pemikiran dan praktik manajemen. Hmm.. ini saya baru sedang bayang-bayangkan bagaimana saya mau mengemas pengajaran Sejarah Pemikiran Manajemen dalam platform AVR. Itu mungkin juga baru satu dua modul. Tapi semoga kita bisa membayangkannya. Kalau membayangkan ini membuat materi pembelajaran teknik mesin lalu menghadirkan satu kesatuan utuh mesin motor yang bisa dipreteli satu per satu dan direkonstruksi lagi, masih mudah dibayangkan. Jadi, semoga dapat dipahami apa yang saya maksudkan dengan menyatakan, teknologi memfasilitasi, lalu tinggal imajinasinya berjalan seperti apa.

Asyikkah pembelajaran seperti itu? Mestinya asyik. Sejauh data ada, imajinasi bekerja, you can make a highly interesting and engaging learning module. Bukan anda saja yang perlu berimajinasi, mahasiswa juga akan berimajinasi saat dia berinteraksi dengan modul itu. Got it? Semoga.

Tulisan ini ditulis dan di-share 27 Juni 2021 oleh Neil S. Rupidara diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/neil.rupidara