Kuliah kelas Filsafat Pendidikan di Bachelor of International Primary Education (BIPE PGSD) FKIP UKSW diakhiri dengan membahas tema yang relatif baru dan belum populer: Posthumanistic Education. Mahasiswa dibagikan bahan bacaan yang sama, yaitu tulisan Stefan Herbrechter berjudul Posthumanist Education?, yang merupakan chapter terakhir dari International Handbook of Philosophy of Education (Volume 1) yang dieditori Paul Smeyers. Tugasnya mengidentifikasi purpose, konsep, informasi dan kesimpulan penulis, lalu membuat tanggapan. Dari 18 mahasiswa yang mengerjakan tugas sebagian besar memberi tanggapan positif.
Apa yang menonjol dari tulisan Herbretchter sehingga mendapatkan “applaus” mahasiswa nampaknya adalah, gagasan egaliterian dalam posthumanisme. Disebabkan kontribusi dalam sebuah international handbook (apalagi philosophy!) bukanlah untuk “pembaca awam” melainkan pembaca “level ahli/advance,” maka didalamnya tidak dijelaskan secara detil historisitas, asumsi-asumsi filosofis dan terutama implikasinya. Itulah sebabnya, saya perlu menjelaskannya agar sikap dan tanggapan mahasiswa benar-benar duduk di atas pemahaman yang memadai. Jadi, tidak dimaksudkan untuk memengaruhi sikap mahasiswa, apalagi mengubahkannya, melainkan memperkaya informasinya.
Sebagaimana diketahui, spirit pendidikan yang arah perkembangannya dari Barat baru mengalami modernisasi paska renaisanse. Renaisanse sebagai bentuk “pemberontakan halus” atas filsafat (dan sistem Pendidikan) abad pertengahan mendeklarasikan kebangkitan humanisme klasik. Di sini pusat orbit pengetahuan yang sebelumnya berpusar pada “kebenaran wahyu” atau teologi/Tuhan berganti poros ke manusia. Manusia menjadi pusat edar baru, yang berarti orientasi “theos” berganti dengan antropos.
Pendidikan terus berkembang, dipicu berbagai hasil penjelajahan, temuan (invensi), inovasi dan sebagainya, makin menempatkan manusia di pusat orbit pengetahuan. Alam semesta dan keberadaannya menjadi obyek sementara manusia berposisi subyek. Kebermaknaan alam ditentukan oleh subyek, yang artinya interpretasi atas eksistensi dunia (alam dan isinya) tergantung pada manusia si pemaham.
Setelah pengetahuan makin bertambah, inovasi berkembang pesat, teknologi membawa manusia mengeksplorasi sampai ke tingkat antar galaxi. Juga, berkat bantuan teknologi manusia dapat meneropong hingga ke realitas super mikro di level atom bahkan nano. Di sini manusia mengalami “percepatan evolusi.”
Tidak bisa disangkal manusia akhirnya tergantung pada teknologi. Sebagai akibat ketergantungan yang makin tinggi, manusia nampaknya berevolusi menjadi setengah teknologis, atau dalam ungkapan Michael R. Heim manusia telah “kawin” dengan teknologi. Cyborg mungkin sementara ini menjadi contoh yang bisa dirujuk, namun berbagai eksperimen yang sedang dan akan terus dilakukan membawa hubungan manusia-teknologi ke level yang sulit dibayangkan. Deux ex machina ala Anthony Levandowski, homo deus (Yuval Harari), posthuman, dan sejenisnya merupakan ungkapan dengan rujuk makna yang sama, meski berangkat dari asumsi yang berbeda, yaitu “berakhirnya” species manusia. Tepatnya, makluk baru yang tercipta adalah “yang melampaui manusia biasa/manusia lama.”
Determinasi antropos atau manusia atas alam juga telah membawa akibat-akibat fatal pada problem lingkungan dan sustainabilitas kehidupan. Manusia menyebut diri sebagai ciptaan istimewa dan memiliki hak prerogatif untuk “menentukan nasib” alam, baik benda atau makhluk hidup dan benda mati. Semua makhluk diluar manusia diinterpretasi berderajat rendah dan manusia berkuasa atasnya.
Pendidikan dan teknologi makin memperkuat dominasi manusia. “Kultur dominasi” ini dilestarikan, bahkan dikembangkan oleh institusi pendidikan, yang karenanya seolah menjadi institusi pengkader generasi penguasa alam. Dan, implikasinya sebagaimana kita ketahui, terjadinya pengrusakan lingkungan, terganggunya keseimbangan alam, rusaknya habitat sejumlah besar makhluk, pemanasan global, dan sejenisnya. Species manusia sendiri terancam punah oleh ulahnya sendiri.
Atas dunia yang “sudah rusak dan makin condong ke tidak layak huni” itu lahir banyak bentuk respons, mulai dari yang bersifat filosofis, teoretik (saintifik), maupun praktis. Elon Musk dan teman-temannya menginvestasikan sebagaian besar kekayaan mereka untuk mencari “bumi baru untuk dihuni.” Mereka melarikan diri dari bumi yang telah ikut mereka rusak. Para ahli dan pemerhati lingkungan menyeru dan giat berkampanye tanpa kenal lelah untuk menghentikan kerasukan pengrusakan bumi. Namun, suara mereka seperti teriakan keras menabrak dinding gua.
Ketika manusia sudah menjadi setengah teknologi (melampaui manusia biasa), sementara alam makin rusak, model pendidikan macam apa yang lebih relevan? Tidak saja pendidikan untuk “makhluk-teknologis (homo faber),” melainkan juga pendidikan untuk memulihkan alam? Di titik inilah pendidikan posthumanisme lahir menawarkan solusi.
Deklarasi posthumanisme duduk di atas fakta-fakta capaian saintifik yang menakjubkan. Kematian bisa ditunda, bahkan ada optimisme ke hidup abadi dan tetap awet muda lewat teknologi regenerasi sel. Manusia dapat bertualang lintas planet dan sedang dalam proses persiapan ekspansi keluar bumi. Sebagian besar organ manusia dapat digantikan oleh alat/bahan yang lebih fleksibel, alot, kuat dan kokoh. Pembelajaran di kelas-kelas maupun penyelenggaraan pendidikan pada umumnya, hampir pasti tidak mungkin tanpa teknologi. Semua ini menjadi basis validasi eksistensial bagi posthumanisme.
Tesis dasar posthumanisme dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, prinsip egalitarian. Posthumanisme melucuti status istimewa manusia dan menempatkannya sejajar dengan hewan-hewan, bahkan benda-benda lainnya. Animalitas manusia dipertegas supaya setara dengan hewan-hewan dan makhluk hidup lain.
Dalam karyanya Companion Species Manifesto: Dog, People and Otherness (2003), Donna Haraway menyebutkan manusia dan anjing tidak ada perbedaan. Anjing hanyalah metafora untuk menjelaskan hubungan manusia dengan makhluk hidup lain sebagai hubungan subyek-subyek (bukan subyek-obyek). Haraway menyebutnya sebagai hubungan intersubjectivity, dimana relasi di antara keduanya saling mempengaruhi. Apa yang dilakukan oleh sebuah spesies akan memengaruhi spesies lainnya.
Posthumanis lain, Martin Holbraad bergerak lebih jauh dengan mengatakan bukan saja makhluk melainkan benda juga memiliki relasi setara dengan manusia. Rusaknya sebuah benda dapat memengaruhi benda atau makhluk lain yang memiliki relasi langsung dengan benda tersebut.
Kedua; gugatan terhadap dominasi antoroposentrisme. Sebagai implikasi dari tesis pertama di atas, maka semua institusi yang memberikan legitimasi pada dominasi antropos, termasuk pendidikan harus diredisain. Katakanlah, harus dibersihkan dari motif-motif monopoli kuasa dan dominasi.
Ketiga; paling mendasar adalah bahwa posthumanisme merombak kerangka pikir lama yang sangat humanistik dengan kerangka baru dimana manusia tidak ada lagi di “pusat semesta.” Tidak ada lagi subyek tunggal di alam semesta baru ciptaan posthumanisme, melainkan semua menjadi subyek. Secara filosofis, ini kritik tajam dijantung modernime, bahkan posmodernisme yang memberi monopoli atau posisi istimewa kepada subyek atau individualitas.
Pertanyaannya, bagaimana implikasinya terhadap disain pendidikan? Bagaiamna kurikulum? Posthumanisme memandang Pendidikan (sekolah) selama ini mencetak manusia sebagai mesin antropologis (Agamben, 2004) dengan berbagai hak istimewa untuk berkuasa semena-mena dan mendominasi. Apa yang disebut peradaban –yang dibentuk dan diasah melalui Pendidikan– tidak lain penaklukan terhadap animalitas manusia. Ini berasal dari klaim sepihak manusia makluk istimewa dibanding hewan. Dalam wacana posthumanis kita bukanlah “makhluk” manusia tetapi “binatang” manusia, atau bahkan mesin manusiawi. Dengan demikian, Pendidikan bukan untuk membentuk peradaban humanis, melainkan peradaban posthumanis dimana semua makluk menjadi setara dan saling belajar, saling tergantung (terkoneksi).
Ini membawa implikasi yang luas. Dalam produksi berbagai kebutuhan manusia, tidak boleh menggunakan bahan-bahan dasar dari kulit, tulang atau organ lainnya dari binatang dan tumbuhan. Berbagai jenis permainan, seperti football, volley ball, dan apapun yang berbahankan kulit binatang tidak boleh ada lagi. Kertas yang bahan dasarnya dari bubuk kayu juga tidak bisa digunakan.
Studi kurikulum dalam Pendidikan posthumanisme mempertanyakan apa arti hubungan hidup antar spesies dalam pembelajaran. Snaza, et. al dalam Toward a Posthumanist Education (Journal of Curriculum Theorizing, Volume 30, Number 2, 2014) mengutip Mark Rowlands, yang mengklaim bahwa dia belajar lebih banyak dari serigala Brenin daripada dari pendidikannya di Oxford. Rowlands mengatakan bahwa hidup dengan hewan liar, serigala, memaksa kita bertanya, “bisakah hewan manusia memahami hewan liar selain manusia?”
Studi kurikulum menuntut banyak perhatian pada komunikasi lintas spesies, dan sebagaimana ditunjukkan Haraway yang saya kutib di paragraph awal, perhatian dapat dimulai dengan hewan pendamping kita sendiri seperti anjing. Atau dengan hewan yang ada di sekolah (Pedersen, 2009). Bagi posthumanis, ketika melakukannya harus diingat bahwa kita adalah hewan dan tidak ada garis etika/politik/ yang kuat memisahkan antara “kita” dan “mereka.” Melalui Pendidikan posthumanis manusia dilatih dan mendorong diri sendiri untuk tidak berpikir secara antroposentris.
Posthumanisme, terutama melalaui Pendidikan berorientasi menghadirkan sebuah realitas (social) baru. Realitas dimana ada kesetaraan antara semua binatang (termnasuk manusia), juga dengan benda-benda. Dalam realitas baru itu tidak ada kekuatan supernatural, entah apapun sebutannya: tuhan, roh, hantu, malaikat atau apapun. Yang ada hanyalah binatang atau makhluk hidup dan makhluk tak hidup, penghuni planet bumi.
Ahli teori sastra dan budaya Amerika Ihab Hassan, yang didaku sebagai orang pertama yang memperkenalkan konsep posthumanisme di dunia akademik menegaskan: “Tidak ada yang supernatural dalam proses yang membawa kita ke budaya posthumanis. Proses itu terutama bergantung pada masuknya pikiran manusia ke dalam alam dan sejarah, pada dematerialisasi kehidupan dan konseptualisasi keberadaan.” (Hassan 1977: 835).
Pada prinsipnya kurikulum dan pembelajaran dalam Pendidikan posthumanisme harus bisa mengekspresikan relasionalitas multispesies dan etika kepedulian terhadap manusia maupun nonmanusia. Konsep-konsep lain yang akan diakrabi adalah trans-spesies, keadilan sosio-material intra-generasi, dan sebagainya.
Sekadar contoh, Karin Murris (Reconfiguring Educational Relationality in Education: a Response to Gert Biesta) menjelaskan apa yang dilakukannya di kelas. Ketika membahas tema relasionalitas pendidikan yang berpusat pada siswa, guru dan ‘post-modern’ ia menggunakan metodologi posthuman difraksi Karen Barad. Metodologi ini menghasilkan relasionalitas intra-aktif dengan membaca tiga figur yang sudah dikenal satu sama lain, yaitu bidan, ikan pari, dan tubuh hamil. Teori dan praktik pendidikan baru yang dihasilkan adalah “superposisi” ikan pari hamil — sebuah rekonfigurasi pendidik yang mengacaukan binari penghasil tenaga, seperti guru/peserta didik, orang dewasa/anak, individu/ masyarakat. Konfigurasi ulang ikan pari yang hamil dimaksudkan untuk membuat kita berpikir secara berbeda tentang perbedaan, subjek yang mengetahui dan menciptakan intra-relasionalitas yang lebih egaliter antara pelajar dan pendidik melalui pergeseran subjektivitas.
Posthumanisme bukanlah berakhirnya manusia sebagai species, melainkan menggambarkan sebuah capaian baru manusia dalam kolaborasinya dengan teknologi. Apabila di era modern tuhan dibunuh maka di era kontemporer ini manusia pun dibunuh. Terbunuhnya tuhan dan manusia bukanlah oleh makhluk super sejenis alien ala fiksi ilmiah hollywood, melainkan oleh manusia itu sendiri. Dibalik itu terdapat impian kuat “menjadi tuhan” ala homo deus, tetapi juga tersembunyi ambisi mencaplok dan mendominasi dengan bertopeng pada capaian teknologi dan kerusakan alam. Siapa kelompok yang paling berkepentingan dengan itu?
Meski demikian, posthumanisme memberikan visi ekologis yang kuat dan relevan bagi sustainablitas kehidupan. Mungkin terkesan ekstrim, tetapi belajar dari gerakan-gerakan kesadaran lingkungan yang belum mencapai hasil memuaskan, gagasan revolusioner posthumanisme patut dipertimbangkan. Tentu, dengan memahami implikasinya yang luas pada relasi antara makluk, dasar ajaran etis, agama, politik, ekonomi dan hampir semua aspek kehidupan.
Siapkah kita dengan posthumanistic education?
Tulisan ini ditulis dan di-share 2 Desember 2021 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.