Ketertarikan pada seni liberal dan ilmu pendidikan tinggi terjadi sebagai bagian dari perdebatan intensif di Cina tentang model pendidikan tinggi. Sebuah model pendidikan tinggi Cina yang membahas prinsip-prinsip dasar, dengan cara yang sama seperti prinsip dasar peradaban Barat yang tertanam dalam seni liberal dan ilmu pengetahuan. Argumennya adalah, bahwa Cina memiliki peradaban sendiri yang berbeda dengan Barat. Penulis mengutip Cheung (2012:186), yang mengkonstantir pertanyaan seorang cendekiawan Cina: “Akankah Asia hanya memproduksi lebih banyak model pendidikan tinggi kontemporer yang berasal dari Barat, atau akankah ia mampu melepaskan pemahaman dan praktik yang lebih kritis dari pendidikan tinggi? Pendidikan, refleksi budaya dan epistemologis dari peran universitas sebagai tempat pendidikan tinggi?”
Model pendidikan tinggi Cina pertama-tama merujuk gagasan Cai Yuanpei, presiden Universitas Peking tahun 1916-1926 dan reformator pendidikan, yang sejak awal mencoba membuat sintesis pemikiran Cina dan Barat. Cai merupakan alumni Jerman (Universität Leipzig), yang juga lama berkeliling Eropa sehingga memahami tradisi pendidikan di Eropa, khususnya Jerman, Prancis dan Inggris. Ia menggagas pengitegrasian model Barat dengan semangat Konfusianisme dan tradisi Cina. Itulah sebabnya reformasi Universitas Peking memilih model liberal arts dan hingga kini Yuanpei College masih dipertahankan dengan memodel kurikulum pendidikan liberal arts Harvard.
Sumber lain untuk model pendidikan datang dari para pemikir seperti Hu Shi, Liang Shuming, Ye Yangchu dan lainnya, yang membantu menangkap kekhawatiran yang masih ada untuk memastikan pendidikan universitas Cina ikut dibentuk oleh ide-ide pribumi, terutama tentu saja dalam kaitan dengan kerjasama patungan dengan luar negeri. Ini untuk memastikan independensi pendidikan (dan budaya) Cina dalam iklim kerjasama dengan universitas luar negeri dalam membangun universitas di negeri Cina.
Hasilnya mengagumkan, terlepas dari berbagai kritik atasnya. Akademi swasta pembelajaran klasik (shuyuan) yang dimulai sejak dinasti Tang (Abad ke-7) dan berlanjut hingga dinasti terakhir (Qing) di tahun 1911 dapat hidup berdampingan dengan sistem ujian negara di Cina modern. Dewasa ini pemerintah Cina mendirikan ratusan institut Konfusianisme di seluruh dunia, sementara juga mendanai lembaga penelitian nasional tentang Marxisme. Ketika Cina kembali menjadi negara adidaya mungkin akan ada lebih banyak dukungan untuk model yang mengandalkan fondasi klasik peradaban Cina, tetapi juga dengan konsisten mengintegrasikan semangat Marxisme didalamnya. Presiden Xi Jinping pernah bertemu dengan Tang Yijie, seorang sarjana Konfusiusisme terkemuka di Universitas Peking sebagai indikasi penguatan nilai-nilai dan tradisi Cina. Tetapi juga, menariknya Universitas Peking akan menamai sebuah gedung dengan nama Karl Marx.
Disini terlihat bagaimana “globalisasi/internasionalisasi konfusiusisme” dilakukan berbarengan dengan “nasionalisasi” Marxisme. Bahkan, ketika perayaan 200 tahun kelahiran Karl Marx (5 Mei 2018), Xi Jinping menghadiahi Trier, kota kelahiran Karl Marx, sebuah patung besar Marx setinggi lebih 4 meter. Ini mempertegas komitmen Cina mengintegrasikan ideologinya dalam mengembangkan sistem pengetahuan (pendidikan) nasionalnya.
Sebuah langkah revolusioner yang patut diperhatikan adalah sejak 2020 pemerintah Cina melakukan apa yang disebut dengan “de-administrasi universitas” (de-administration of universities). Demi meningkatkan kualitas akademik universitas, pemerintah memutuskan mengambil peran minimal, lebih sebagai PENGARAH daripada intervensi langsung dalam kehidupan akademik universitas. Pada saat yang sama pemerintah terus mendorong peningkatan dalam internasionalisasi universitas riset Cina. Itu berdampak pada lonjakan jumlah kerja sama Cina-asing yang menghasilkan masuknya kampus-kampus luar negeri di tanah Tiongkok, sebaliknya Cina juga mendirikan kampus-kampus di negara lain. Semua ini merupakan indikasi yang jelas dari reformasi dan pembukaan kerjasama internasional sekaligus eksperimen terhadap kurikulum pendidikan liberal arts Cina.
Sebut saja, misalnya dari Eropa seperti University of Nottingham Ningbo China (UNNC) didirikan pada tahun 2004 dan resmi dibuka pada tahun 2006 sebagai universitas asing pertama di Cina. Kini termasuk dalam 1% dari universitas terbaik dunia. Konon, Malaysia, Inggris dan Cina memiliki kesepakatan untuk pertukaran pelajar selama 1 tahun di UNNC.
Di Peking University terdapat Standford Center disingkat SCPKU (Standford Center at Peking University) yang fokus membangun jaringan akademik dan pendidikan di seluruh Asia Timur. SCPKU menawarkan ruang kolaboratif, kantor, layanan dukungan acara, dan pendanaan untuk penelitian dan pendidikan yang inovatif, menyatukan para peneliti mapan dan generasi baru sarjana muda untuk menciptakan pusat pertukaran dan kolaborasi intelektual. Kita masih bisa menyebut lainnya, seperti Harvard Center Shanghai, dan juga Yale University yang membangun kolaborasi dengan universitas-universitas China dalam isu-isu kesehatan, perubahan iklim, pendidikan, dan supremasi hukum.
Sebaliknya, universitas Cina yang dibuka di luar negeri seperti Universitas Fudan yang berbasis di Shanghai mendirikan universitas di Budapest (VOA Indonesia, 14/5/2021). Meski memicu banyak kekhawatiran di Eropa akan bahaya kampanye komunisme melalui pendidikan, upaya Fudan masuk Eropa menunjukkan hasil kerja keras Cina meng-internasionalisasi pendidikannya. Universitas Tsinghua juga mendirikan kampus di Seattle, yang disebut sebagai Pertukaran Inovasi Global, karena menjalankan program gelar master untuk mendorong penelitian tentang teknologi baru. Masih ada rencana Cina membuka di Malaysia, dan negara lainnya. Di Indonesia dalam kerjasama dengan Tsinghua University Southeast Asia Center dan MIT Sloan School of Management berkolaborasi dalam pengembangan pengajaran, penelitian dan pendidikan tinggi di UID Bali Campus. Kampus UID BC yang akan diresmikan akhir 2022 bertepatan dengan pertemuan G20 berdiri berdampingan dengan TechPark yang terdiri dari bangunan-bangunan yang melambangkan nilai-nilai kearifan lokal Bali Tri Hita Karana.
Ketika universitas-universitas Cina mulai naik peringkat global, perdebatan meningkat terkait model universitas seperti apa yang terbaik untuk masa depan. Bagi Postiglione, sebuah model pendidikan tinggi Tiongkok tidak hanya mungkin, melainkan diperlukan jika sistem universitas Tiongkok ingin meraih pengaruh global. Dan, semangat ini akan dibantu oleh keterlibatan kritis dengan model seni liberal dan ilmu pengetahuan di pendidikan tinggi. Paling tidak, dengan itu kebangkitan Cina akan membawa akademi global menuju pemahaman yang lebih baik tentang warisan sejarah dan nilai-nilai budaya Cina.
Guna meraih impian go global, pemerintah Cina mencanangkan tiga proyek yang saling terkait dan sustainable, yaitu 211 Project, 985 Project dan C9 League. Melalui ketiga proyek ini pemerintah banyak berinvestasi di lembaga-lembaga elit dengan tujuan menciptakan universitas yang kompetitif secara internasional.
Proyek 211 dicanangkan tahun 1995 memberikan dukungan keuangan ekstra untuk 112 universitas yang dipilih untuk menjadi ujung tombak pembangunan ekonomi nasional, dengan dua tujuan yaitu meningkatkan standar akademik internasional pada akhir abad ke-21, serta untuk mendukung universitas dalam peningkatan standar dan kapasitas penelitian. Semua universitas dalam proyek ini tergolong dalam peringkat tinggi, baik di Cina maupun peringkat dunia. Universitas-universitas ini didukung pemerintah untuk memiliki peralatan pengajaran terbaik dan diakui secara internasional, juga agar penelitian-penelitiannya dapat berjalan masif. Project ini juga menjadi jalan bagi Cina untuk menerapkan strategi dalam membangun negara melalui sains, pendidikan dan implementasi proyek-proyek strategis nasional.
Sedangkan proyek 985 dijalankan tahun 1998 bertujuan mengubah 40 institusi terbaik menjadi universitas kelas dunia. Institusi unggulan—seperti Peking dan Tsinghua di Beijing, serta Fudan dan Jiaotong di Shanghai—mulai berebut posisi di peringkat universitas dunia. Universitas-universitas Cina telah naik ke peringkat teratas dengan secara besar-besaran meningkatkan rangking mereka dalam publikasi ilmiah global. Tujuan lain proyek 985 adalah mempromosikan kerja sama dan pertukaran internasional serta menarik minat siswa internasional untuk belajar di Cina.
Terakhir, pada tahun 2009 pemerintah resmi memulai proyek C9 League, yang dibentuk dari sembilan universitas bergengsi pada project 985. Tujuannya adalah menciptakan grup elit universitas sehingga dapat menarik siswa di seluruh dunia untuk belajar di Cina sekaligus berbagi sumber daya. Anggota universitas dari program ini menerima dukungan dan pendanaan substansial dari pemerintah nasional dan lokal Tiongkok. C9 League menampung setidaknya 3% dari penelitian Tiongkok, menerima 10% dari anggaran penelitian nasional dan menghasilkan 20% makalah akademis nasional, serta menyumbang 30% total kutipan. Mereka juga menjadi prioritas dalam hibah dan hak istimewa yang diberikan oleh negara. Saat ini, kesembilan universitas di C9 League diisi oleh univeritas yang memiliki tingkat publikasi paling tinggi di China dan terdaftar sebagai universitas dengan peringkat terbaik di dunia berdasarkan QS World dan Times Higher Education. Masuk dalam C9 Laegue adalah Peking University, Tsinghua, Fudan, Shanghai Jiao Tong, Nanjing, University of Science and Technology of China, Zhejiang, Xi’an Jiao Tong University, dan Harbin Institute of Technology.
Ada beberapa perkembangan baru di sekitar 2014, 2016/17 dan 2021. Namun, sifatnya sebagai kelanjutan dari proyek-proyek di atas sehingga memberi gambaran bagaimana komitmen kuat dan konsitensi pemerintah membangun kualitas dan internasionalisasi pendidikan di Cina.
Sebut saja, misalnya The College of Future Technology (CFT) yang didirikan di Universitas Peking pada 22 Juni 2021. Tujuannya menciptakan pemimpin industri di bidang teknologi pencegahan dan pengendalian kesehatan dan penyakit di masa depan. Dengan demikian, fokus pada pengembangan teknologi untuk kepentingan sosial dan ekonomi. CFT melakukan kemitraan industri-akademisi dan proyek-proyek besar nasional, mengumpulkan sumber daya dari lembaga penelitian translasi dan perusahaan teknologi tinggi, mengeksplorasi model untuk inovasi kolaboratif, dan menghasilkan bakat multi-disiplin yang didorong oleh semangat berinovasi.
Juga, Oktober 2021 pemerintah Cina melalui otoritas pendidikan telah menetapkan 12 universitas top untuk membangun “sekolah teknologi masa depan” (schools of future technology) yang diperuntukkan sebagai pembangkit tenaga sains dan teknologi global. Sasaran utamanya untuk menumbuhkan bakat terkemuka dalam teknologi mutakhir dalam 10 hingga 15 tahun ke depan. Melansir Chinadaily.com (5/6/21), kementerian pendidikan menjelaskan bahwa sekolah teknologi masa depan ini akan mengeksplorasi kerja sama lintas disiplin yang substantif di antara berbagai bidang akademik dan mode untuk menumbuhkan pemimpin dalam inovasi terkait teknologi masa depan.
Terakhir, the Advanced Innovation Center for Future Education Beijing Normal University (AICFE BNU) telah memprakarsai program penelitian “Future School 2030” dengan maksud mengeksplorasi tujuan, implementasi kurikulum, mode pengajaran, metode pembelajaran, manajemen sekolah dan aspek lain dari sekolah masa depan, dan ini memimpin perkembangan pendidikan masa depan. Tahapanya telah dimulai sejak 2016, dan pada akhirnya dapat disusun serangkaian buku bertema “Pendidikan Masa Depan”, untuk memprediksi, dari tiga perspektif pendidik, peserta didik dan pengaruh pendidikan, perubahan pendidikan masa depan, pola dan tren perkembangan, dan mengeksplorasi solusi prospektif atasnya.
Seiring berkembangnya kepemimpinan China di seluruh dunia, sistem pendidikan tinggi makin terbuka dan universitas-universtas di Cina semakin terlibat secara internasional. Hal ini ditandai antara lain dengan Universitas Stanford yang telah mendirikan pusat di Universitas Peking guna memperluas peran dalam pendidikan dan penelitian global, termasuk program ilmu sosial yang berbagi ide tentang perubahan sosial. Ratusan usaha patungan dengan luar negeri dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Cina telah disetujui. Ratusan Institut Konfusianisme untuk studi bahasa dan budaya Tiongkok juga sudah didirikan oleh pemerintah Tiongkok di tanah asing. Pun, mendirikan dua kampus universitas Cina di luar negeri, satu di Seattle, AS, dan satu di Malaysia. Jumlah mahasiswa internasional yang datang ke Cina terus meningkat, seperti halnya jumlah mahasiswa Cina yang berangkat ke luar negeri.
Penulis mencatat pada 2013 terdapat 1060 usaha patungan asing-China yang disetujui di pendidikan tinggi melibatkan 450.000 siswa. Ini diatur oleh Undang-undang tahun 2003 tentang usaha patungan pendidikan sehingga membuka pintu bagi ratusan kemitraan antara universitas Cina dan asing. Reformasi terus berlangsung di universitas-universitas top Cina untuk beradaptasi dan berinovasi pada model pendidikan tinggi liberal di luar negeri. Perhatian terus diberikan untuk memastikan apakah kampus kemitraan asing dapat memiliki dampak signifikan pada sistem pendidikan tinggi Cina, disebabkan kolaborasi dan kemitraan merupakan laboratorium untuk format inovatif di perguruan tinggi.
Dalam sejumlah kasus, universitas asing telah melangkah lebih jauh dan mendirikan kampus penuh di Cina. Universitas Nottingham memiliki kampus di Ningbo; Shanghai Jiaotong dan University of Michigan menjalankan institute teknik di Shanghai; Xi’an Jiaotong dan Universitas Liverpool mendirikan universitas independen di Suzhou. Tahun 2013 New York University yang telah memiliki program studi luar negeri di sepuluh negara membuka kampus baru di Shanghai bersama East China Normal University, yang mengadakan kelas-kelas terpadu dalam humaniora dan ilmu-ilmu sosial dengan jumlah siswa Cina dan asing yang seimbang. Duke University juga telah mendirikan kampus di Kunshan dalam kemitraan dengan Universitas Wuhan. Universitas Amerika lainnya dengan aspirasi serupa termasuk Universitas Kean dan Universitas Montana.
Persoalan lain pun mengemuka. Munculnya usaha patungan menghidupkan kewaspadaan, bagaimana dengan kedaulatan pendidikan tinggi di Cina? Seorang sarjana berpengaruh dari pendidikan tinggi Cina disebut-sebut telah memperingatkan bahwa mengizinkan entitas asing memegang mayoritas (lebih dari 51%) kepemilikan institusional dapat menyebabkan “infiltrasi nilai-nilai dan budaya Barat yang bertentangan dengan keadaan Cina saat ini” Wakil Direktur Komisi Pendidikan Shanghai, Zhang Minxuan, menegaskan bahwa usaha asing Tiongkok dalam menjalankan lembaga pendidikan harus “memastikan kedaulatan dan kepentingan publik Tiongkok tidak dirugikan.”
Untuk itu diharapkan setidaknya setengah dari dewan direksi harus warga negara Cina. Zhang Li dari Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa komitmen Tiongkok untuk menyediakan akses ke pasar pendidikan lebih besar daripada negara berkembang lainnya dan oleh karena itu, “kita harus menjaga kedaulatan pendidikan Tiongkok, melindungi keamanan nasional, dan membimbing program-program semacam itu ke arah yang benar.”
Namun demikian, kampus asing telah mengalami peningkatan jumlah otonomi dengan sedikit campur tangan dari kampus tuan rumah sejak undang-undang tahun 2003 tentang kerjasama Tiongkok-asing diterbitkan. Mereka tetap harus mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh dinas pendidikan tingkat Provinsi yang melakukan kontrol substansial atas penerimaan siswa dan masalah keuangan.
Sebuah penegasan perlu saya berikan sebelum menyimpulkan apa yang bisa kita pelajari dari pegalaman Cina. Bahwa, dalam upaya meraih visi besarnya menjadi pemimpin dunia dalam sains dan teknologi, Cina jelas mengandalkan pendekatan seni liberal. Selain bisa dilihat dalam kurikulum dari dua belas college yang didirikan sebagai “school of future technology” yang semuanya berbasis interdisipliner, juga bisa dilihat dalam “Repelita ke 14” (2020-2025) terkait pendidikan dan rencana bidang penelitiannya. Antara lain misalnya, pengembangan penelitian di bidang kecerdasan buatan dan AI, teknologi informasi quantum, sirkuit terpadu, rekayasa genetika, ilmu kehidupan dan kesehatan, teknologi kedirgantaraan, eksplorasi bumi dan laut dalam, serta penelitian dasar dan interdisipliner. Ini disebabkan rancangan pendidikan Cina ditopang oleh semangat kolaborasi, internasionalisasi dan kedaulatan pendidikan (ciri budaya konfusiuisme), maka model liberal arts benar-benar dijadikan kerangka filosofis pendidikan nasional. Dan, target ambisius Cina adalah mencapai kepemimpinan global di bidang-bidang utama sains dan teknologi seperti disebutkan di atas mulai tahun 2025.
Cina juga sudah mengantisipasi kalau Amerika akan “membalas” ketika merasa hegemoninya terganggu oleh capaian Cina, yaitu dengan membentuk tim ahli dari bidang sains, sosial dan humaniora untuk mendiskusikan apa yang mungkin akan dilakukan Amerika serta bagaimana menghadapinya. Dengan semangat kolaborasi, Cina lebih mengutamakan kerjasama dengan negara manapun, termasuk dengan Amerika. Itulah sebabnya, Cina nampaknya ingin mengantisipasi segala hal yang bisa timbul di masa depan terkait dengan “rancangan strategis dan terukurnya” menjadi pemimpin dunia.
Apa yang Kita Pelajari?
Kerapkali Cina diopinikan sebagai negara non demokrasi, tetapi Cina sendiri menganggap telah menerapkan demokrasi dalam konteks nasionalnya. Bagi Deng Xiping, demokrasi tidak harus melalui DPR (perwakilan), karena penduduk Cina lebih dari 1 milyar. Demokrasi bisa beroperasi efektif melalui partai tunggal. Terlepas dari perbedaan cara pandang, nampaknya sistem pemerintahan Cina menjadi jauh lebih efektif dibanding negara mana pun. Efektif dalam pengertian memacu kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya, dengan dukungan penuh dari semua elemen masyarakat. Apa yang diputuskan oleh PKC (partai Komunis) dan Presiden secara serentak dapat dieksekusi tanpa debat-debat parlemen atau debat kusir di masyarakat yang menyedot banyak energi tanpa hasil positif.
Dalam negara demokrasi seperti Indonesia (dengan embel-embel Pancasila dibelakangnya), seharusnya pemerintahan efektif dapat juga tercipta. Kata kuncinya di penegakan aturan/undang-undang. Salah kaprah di masyarakat menganggap demokrasi seolah adalah “kebebasan tanpa batas,” padahal demokrasi mengandaikan penegakan undang-undang. Demokrasi tidak sama dengan keliaran dan anarkisme. Dengan penegakan aturan, pemerintah dapat mengendalikan sepenuhnya arah dan laju pembangunan strategis di berbagai bidang, termasuk pendidikan.
Visi pemerintah di bidang Pendidikan dan arah pengembangan teknologi menjadi prasyarat penting. Pemerintah perlu punya peta jalan (road map) berkaitan dengan pendidikan dan teknologi masa depan. Investasi pemerintah Cina dalam bidang EdTech tidak tanggung-tanggung, bahkan dijadikan prioritas paling utama. Pengorganisasiannya diawali dari pemetaan universitas-universitas terbaik. Kemudian diberi tugas membangun college dibidang teknologi tertentu, misalnya kedirgantaraan, informasi kuantum, bio-molekuler, big data dan AI, rekayasa genetika, dan sebagainya. Namun, semua sekolah-sekolah teknologi itu tetap menggunakan pendekatan interdisipliner.
Kebijakan anggaran pemerintah di bidang pendidikan juga perlu dialokasikan secara efektif. Agar fokus, pemerintah bisa memilih, misalnya 20 “universitas terbaik nasional” untuk dikembangkan. Kepada 20 universitas ini diberikan “hak istmewa” dalam alokasi anggaran pengajaran, penelitian dan membangun kolaborasi internasional. Bidang-bidang pengembangannya adalah teknologi, literasi saintifik dan riset-riset intensif yang menarget masuk dalam rangking 100 universitas terbaik Asia, misalnya dalam 10 tahun ke depan. Sambil jalan, mulai tahun kelima ke-20 universitas ini sudah harus berkolaborasi dengan 20 univerisitas “terbaik nasional” lainnya dengan target membuatnya naik peringkat, setidaknya ke 300 Asia.
Tetapi, yang perlu diingat adalah, integrasi nilai-nilai dan budaya lokal (nasional) perlu dilakukan agar pengembangan pendidikan nasional berjalan berbarengan dengan penguatan ideologi dan karakter bangsa. Ideologi dan karakter bangsa merupakan fungsi dari revitalisasi fungsi-fungsi budaya, kearifan dan pengetahuan-pengetahuan lokal. Komponen ini harus terintegrasi dalam strategi pengembangan pendidikan nasional.
Kolobaorasi internasional untuk “membangun pendidikan Cina” tidak hanya soal kerjasama dengan ahli dan institusi luar negeri. Pemerintah Cina mengundang anak-anak negeri yang telah sukses memiliki keahlian dan bekerja di luar negeri untuk kembali membangun negeri. Biro khusus di keimigrasian dibentuk untuk menanganinya. Pun, bagi mereka yang tidak bisa kembali, dicarikan jalan keluar agar mereka bisa berbagi talenta demi pengembangan resousces nasional di Cina. Sharing talenta ini ditujukan untuk menaikkan taraf dan peringkat kualitas keahlian SDM nasional.
Saya ingin mengakhiri pembahasan ini dengan mengusulkan universitas-universitas di Indonesia membangun kerjasama dengan universitas-universitas di Cina. Secara de vacto sudah banyak lembaga pendidikan, baik sekolah, pendidikan tinggi (seperti UGM), pesantren maupun individu yang berkolaborasi dan belajar di /dari Cina. Saat ini juga sudah banyak universitas luar negeri yang masuk ke Indonesia. Pemerintah perlu mempersiapkan regulasi (mungkin Undang-undang) yang mengatur syarat-syarat kerjasama agar kerjasama antar universitas, termasuk dengan Cina tidak merugikan dari segi nilai-nilai budaya, ideologi dan keamanan. Dengan regulasi itu, kerjasama dapat mendorong inovasi, kreativitas, saling tukar pengetahuan, keahlian dan kearifan demi pengembangan dalam banyak hal tanpa melibatkan pertarungan ideologis / politik didalamnya. Persaingan politik dan ideologi harus bisa dipisahkan dari pendidikan dan pengembangan sumberdaya nasional.
Visi besar dibalik pengembangan sumberdaya pendidikan nasional adalah membangun manusia (warga negara) dan kemanusiaan global (warga dunia). Seperti Cina, kita pun bisa mencerdaskan bangsa sekaligus berkolaborasi dan berkontribusi secara internasional. Dan, dasarnya adalah pendidikan humanitas berbasis pendekatan inter-displin, multi-disiplin dan trans-disiplin.
Dalam hal ini, pimpinan periode ini dengan Rektor Neil S.Rupidara, PhD., telah mengambil langkah strategis untuk mereposisi UKSW ke dalam model pendidikan humanitas sebagaimana rancangan awalnya. Dengan menghadirkan MDU 20 SKS, sejak Angkatan 2021/2022 semua mahasiswa dari berbagai latar kejuruan wajib belajar fisika dasar, biologi untuk keseharian, kimia dasar, antropologi, filsafat (berpikir kritis), seni dan sastra, entrepreneurship, dan sejenisnya.
Pun, pendirian prodi studi humanitas sedang dalam proses pengusulan, kiranya prodi ini menjadi “laboratorium” untuk pendekatan pembelajaran humanitas dengan basis inter, multi, dan trans-disiplin. Melalui prodi ini, kodivikasi pengetahuan lokal menjadi fokus, mengintegrasikan persepktif Timur, Barat dan Nusantara, serta kolaborasi dengan berbagai sumber pengetahuan, kearifan dan perspektif. Menjalin kolaborasi dengan Cina tentu saja dimungkinkan, sebagaimana juga dengan negara lain, seperti Hong Kong, Taiwan, Amerika, Eropa, Australia dan lainnya.
Tulisan ini ditulis dan di-share 4 Februari 2022 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.