Menguji Standar Pemikiran Kritis the-NA (tulisan-3): MENGUJI KESAHIHAN KRITIK PADA AGAMA

Christopher R. Cotter, Philip Andrew Quadrio, Jonathan Tuckett (2017). New Atheism: Critical Perspectives and Contemporary Debates (Sophia Studies in Cross-cultural Philosophy of Traditions and Cultures. Volume 21). Springer International Publishing.

Kalau pada tulisan-1 yang membahas Chapter 3 saya tunjukkan kesimpulan penulis bahwa, the-NA tidak dapat disebut sebagai critical thinkers, semantara di tulisan-2 membahas paparan Ian James Kidd di Chapter 4 yang menyimpulkan para the-NA jauh dari “kebajikan epistemik,” maka tulisan terakhir ini membahas Chapter-12 dibawah judul: Who Are We Are and What Are We Doing When It Comes to New Atheism?” yang ditulis oleh Jonathan Tuckett. Ini adalah bab penutup, dimana nampaknya Tuckett akan membuat kesimpulan menyeluruh atas isi buku ini.

Jonathan Tuckett adalah seorang filsuf ilmu-ilmu sosial. Sementara, para the-NA tidak sepenuhnya bisa disebut sebagai ilmuan sosial. Richard Dawkins misalnya adalah ahli biologi dan Sam Harris ahli syaraf. Danial Dennet dan Michel Onfray merupakan filsuf dan Christopher Hitchens jurnalis, sementara Hirsi Ali adalah aktivis dan mantan politisi.

Disini terkesan diskusi Tuckett tidak terlalu “nyambung.” Tetapi, ada dua alasan mengapa pembahasan dapat dilakukan. Pertama, karena analisis Tuckett terkait dengan “kritik the-NA pada agama dan penganutnya.” Disini the-NA telah menempatkan posisi sebagai “ilmuan sosial,” karenanya memberi ruang bagi respons seorang ilmuan (filsuf) sosial. Disamping itu Dennet dan Onfray “secara teoretis” layak masuk dalam kategori ilmuan sosial. Kedua, Tuckett mengambil titik-bidik (perspektif) sebagai filsuf yang meminjam definisi Husserl, bahwa filsafat adalah “ilmu atau sains universal.” Nah, asumsi-asumsi di atas memberi kecukupan alasan bagi Tuckett untuk membahas, yang dalam bahasanya sendiri, “mengukur dengan ukuran yang dibuat sendiri oleh the-NA.”

Ada logika yang perlu ditegaskan agar memahami sikap kritis Tuckett, meski ada kesan anomali. Sebab para saintis the-NA membahas “bidang sosial-humaniora,” yaitu agama, seperti sudah sering saya bahas, bahwa bagi Dawkins dkknya, tesis Tuhan harus diperlakukan sebagai tesis ilmiah untuk diuji, dan bahwa sains tidak dapat dihambat untuk memasuki ruang apa pun sejauh masuk dalam kawasan empirik. Dengan demikian, sebagai ilmuan humaniora Tuckett punya kapasitas keilmuan untuk memberikan evaluasi kritis atas kritik para sains terhadap bidangnya.

Tuckett membedah kritik the-NA dengan metode (filsafat) ilmu-ilmu sosial. Tuckett menempatkan diri di posisi seharusnya sebab tidak memberikan evaluasi dari bidang spesifik agama (yang menjadi sasaran kritik the-NA), melainkan sebagai filsuf sosial dengan menggunakan “standar keilmuannya.” Pertanyaan kritis yang hendak dijawab Tuckett adalah, “layakkah the-NA mengkritik Agama? Dalam posisi sebagai apa mereka melakukan kritik itu?” Kata “layak” di sini menunjuk kepada “kapasitas dan kompetensi keilmuan relevan” yang diperlukan untuk mengajukan kritik.

Secara garis besar disimpulkan para penulis buku ini sepakat bahwa para the-NA melakukan epistemic vices, dengan mengecualikan Danial Dennet yang dinilai cukup “fair” dalam memberikan penilaiannya pada agama. Namun, tidak menghilangkan kesan keseluruhan atas kritik the-NA yang dianggap tidak layak. Kita akan memeriksa argumen dari kesimpulan ini.

Mengambil sikap evaluatif untuk menentukan apakah the-NA telah mengikuti norma-norma ilmu sosial dalam posisi mengajukan kritiknya, para kontributor buku ini mencapai konsensus, bahwa the-NA merupakan ilmuwan sosial yang sangat miskin. Artinya jauh dari standar-standar ilmu sosial, baik secara epistemologis maupun substantif.

Dalam dua tulisan sebelumnya, juga dalam pembahasan-pembahasan saya terdahulu menunjukkan banyaknya evaluasi kritis dari penulis dan pendebat, bahhwa ciri-ciri agama dan Tuhan yang dijadikan kritik oleh the-NA sama sekali tidak sesuai dengan gambaran yang dipegang para penganut agama (dan Tuhan). Misalnya, menggambarkan Tuhan sebagai diskriminatif, pemusnah etnik, haus darah, memusuhi LGBT, dan gambaran sangar lainnya. Ayat-ayat Alkitab yang sering dikutip untuk mendukung argumen the-NA pun digambarkan sebagai wujud “kedangkalan pengetahuan Alkitab dan Agama” yang parah.

Jangan salah, semua kontributor buku ini memenuhi semua norma sebagai “ilmuan sosial.” Cotter, Lee, Finger, Mastiaux dan Quillen adalah ilmuan Sosial. Sementara Oppy, Kidd, Quadrio, Pataki dan Trompf adalah filsuf. Artinya, mereka memiliki “legitimasi” untuk melakukan kritik atau meresponi kritik the-NA atas “wilayah keilmuan” mereka.

Ketidaklayakan the-NA memberi kritik kepada Agama dan Tuhan juga digambarkan dengan baik oleh Tuckett.

Ada dua norma yang digunakan untuk menyimpulkan ketidaklayakan itu. Pertama, norma kepatuhan sadar (norm of conscious adherence), dimana ilmuwan sosial harus “mengumumkan” bahwa mereka sedang melakukan atau mengerjakan ilmu sosial. Kedua; norma penerimaan (norm of admittance), yaitu siapa yang diizinkan melakukan ilmu sosial (dan berpotensi menyebut diri mereka ilmuwan sosial). Norma yang terakhir inilah yang lebih ditekankan dalam refleksi Tuckett.

Menurut norma ini, seorang diterima sebagai “ilmuan sosial” apabila telah menulis di jurnal-jurnal ilmu sosial yang kredibel, atau menjadi anggota asosiasi “keilmuan sosial” relevan, yang menggambarkan pengakuan akan kepakaran keilmuan sosialnya oleh komunitas ilmiah terkait. Mempertimbangkan bahwa keanggotaan di asosiasi ilmiah kerap bersifat ideologis, maka penekanan Tuckett lebih pada tulisan di jurnal ilmiah.

Melalui pendekatan analisis ini, Tuckett menyimpulkan bahwa secara norma penerimaan Hitchens dan Hirsi Ali tidak dapat disebut ilmuwan sosial karena mereka tidak memiliki afiliasi akademis. Dawkins dan Harris juga dianggap gagal dalam norma penerimaan sebab mereka tidak pernah menulis dalam jurnal relevan yang sesuai dengan “ilmuwan sosial.”

Quadrio, salah satu kontributor buku ini menunjukkan bahwa ”sebagian besar intelektual the-NA kurang memiliki keahlian ilmiah terkait agama (yang mereka kritik), tidak ada yang bekerja di bidang-bidang yang terkait dengan agama, sejarah agama, antropologi sosial, sosiologi agama atau teologi, dan sejenisnya.

Bahkan, Dennett dan Onfray (yang merupakan filsuf) telah diberi kelonggaran dalam hal, seharusnya “menguasai filsafat akademis,” namun ternyata tidak menjamin pemahaman formal mereka tentang agama. Gelar sarjana dalam bidang filsafat (gelar Ph.D) yang mereka sandang dicapai tanpa pekerjaan formal apa pun tentang agama. Ringkasnya, para intelektual the-NA, yang semuanya mengomentari agama, belum memperoleh kualifikasi yang diperlukan untuk memberikan komentar di bidang itu.

Sebagai “bab kesimpulan,” Tuckett telah merangkum berbagai kesimpulan dari para penulis di bab-bab sebelumnya. Ada baiknya saya ringkaskan agar kita bisa mendapatkan gambaran detil, mengingat sebelumnya saya hanya membahas 2 bab. Lantaran saya telah memberi rangkuman kedua bab itu, disini saya hanya tambahkan kesimpulan beberapa bab lainnya.

Pembahasan Philip Quadrio di chapter 6 menunjukkan kegagalan the-NA menjelaskan kerusakan tambahan oleh agama, kemudian kritik Garry Trompf terhadap nada retoris yang berlebihan dari manifesto Onfray.

Tamas Pataki di chapter 7 menyimpulkan bahwa the-NA gagal menjelaskan penemuan dalam psikologi dan perkembangan masa kanak-kanak. Kesimpulan yang sama pernah dibuat oleh James W.Jones dalam karyanya Can Science Explain Religion? The Cognitive Science Debates (2016) yang juga sudah pernah saya bahas di wall ini sebelumnya. Pataki juga menunjukkan bahwa norma-norma psikologi evolusioner yang menjadi pijakan kritik the-NA justru mengarah pada kritik “permukaan” terhadap agama. Pataki menyarankan sekiranya norma-norma itu diganti dengan, misalnya norma psikologi Freudian, akan mengarah pada kritik yang lebih substansial.

Merujuk the God Delusion (2006: 235-261), Trompf di chapter 8 berkomentar: “Dawkins terlihat seperti pemula yang canggung, bahkan tidak mampu mengontekstualisasikan materi Alkitab (Dawkins looks an ungainly novice, unable even to contextualise Biblical material).

Sebagai simpulan saya kembali merujuk pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan di tulisan-1, yang digunakan sebagai “arahan” untuk pembahasan saya, yaitu : “benarkah The-NA mendasarkan kritik-kritik terhadap agama (teisme) diatas standar-standar pemikiran kritis? Apakah standar-standar epistemologinya terbuka untuk diuji, serta memungkinkan munculnya kebajikan-kebajikan intelektual? Apakah mereka layak mengajukan kritik kepada agama?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan ringkas dan tegas sudah terjawab. The-NA tidak dapat digolongkan sebagai pemikir kritis, sebab telah dibuktikan oleh para kontributor buku ini mereka tidak open-minded. Juga dibanyak kesempatan mengekspresikan intellectual arrogance serta epsitemic vice (kejahatan epistemik).

Mereka jauh dari sikap kebajikan intelektual, yang selain ditunjukkan dengan tidak perdulikan (mengabaikan) argumen tanggapan atas kritik mereka, juga kampanye sosial masif melalui fasilitas publik untuk memprovokasi orang meninggalkan agama dan Tuhan (seperti ditunjukkan analisis Lois Lee di chapter 5 berjudul Vehicles of New Atheism: The Atheist Bus Campaign, Non-religious Representations and Material Culture). Terakhir, berdasarkan pendekatan norma penerimaan, the-NA tidak memiliki kompetensi untuk mengajukan kritik kepada Agama dan Tuhan, disebabkan mereka tidak memiliki latar pemahaman (akademik), kerja-kerja formal, maupun asosiasi relevan untuk itu.

Anda dapat saja menduga-duga kalau kesimpulan para kontributor buku menunjukkan posisi atau keberpihakan mereka pada “Agama dan Tuhan?” Katakanlah mereka memang ilmuan, namun berafiliasi dengan agama tertentu?

Jawabnya, tidak! Christopher R. Cotter adalah sekular, mengajar di University of Edinburgh untuk bidang Studi-studi agama, Atheism, dan Nonreligion. Graham Robert Oppy merupakan Profesor bidang Filsafat Agama di universitas Monash Australia, lahir dari keluarga Metodis namun menjadi ateis di masa mudanya. Ian James Kidd merupakan asisten Profesor Studi-studi agama di University Park Nottingham, tanpa keterangan afiliasi keagamaan, sama halnya dengan kontributor lain.

Prinsipnya, tidak semua kontributor buku ini memiliki afiliasi dengan agama tertentu, bahkan setidaknya dua yang disebutkan pertama secara eksplisit menyatakan diri ateis dan sekular. Kesamaannya adalah semua memiliki kualifikasi akademik yang kuat dan afiliasi kelembagaan profesional di bidang keilmuan “sosal dan humaniora.” Dan, semuanya menyepakati kesimpulan, bahwa the-NA tidak termasuk pemikir kritis, melakukan epistemic vices, serta tidak terkualifikasi untuk mengkritik agama dan Tuhan.

Apakah kesimpulan buku ini akan ditanggapi oleh the-NA? Kita tunggu saja. Namun, seperti dikeluhkan para pendebat, nampaknya the-NA akan menganggap angin lalu, dan meneruskan kampanye serta provokasinya membunuh agama dan Tuhan.

Sebuah sikap yang benderang bersifat ideologis ketimbang ilmiah. Bagaimana pun, itu makin membuktikan keakuratan kesimpulan buku ini, bukan?

Tulisan ini ditulis dan di-share 5 Juni 2021 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/real.self.9