Beberapa waktu belum lama ini, saya menulis tentang Jerusalem dalam setting ketegangan Israel – Palestina. Berbasis narasi-narasi historis sebagai basis klaim eksistensi yang menyejarah di tanah Yudea – Palestina dan khususnya di kota Jerusalem, ketegangan antar itu seolah tidak memiliki prospek penyelesaiannya. Ketegangan yang seolah permanen itu semakin mendapatkan amplifikasinya karena kaitan-kaitan primordial ke kelompok-kelompok di luar batas-batas geografis kota dan tanah itu. Itupun juga karena mendapatkan balutan-balutan informasi yang tidak selalu akurat historisitasnya. Padahal, sejarah mungkin dapat menjadi suatu basis penyelesaian masalah, walaupun tidak mungkin menjadi satu-satunya basis. Harus ada basis keberpihakan yang harus kuat kepada nilai kemanusiaannya manusia, makhluk ciptaan yang segambar dengan Tuhan penciptanya.
Bagi saya hal terakhir ini krusial. Solusi di luar itu punya persoalan mendasar, sekalipun solusi teistik pasti punya masalahnya juga, terutama bagi kaum ateis. Jika tidak menghargai kemanusiaannya manusia, maka kematian manusia akan menjadi alat bargaining dari apa yang ingin dicapai. Jika hanya kemanusiaan manusia digunakan tanpa basis teistik, bakal ada pembenaran terhadap seluruh keberadaan manusia termasuk seluruh potensi dark sides muncul. Namun, tidakkah atas nama Tuhan manusia dapat meniadakan kemanusiaannya manusia? Bagi saya ini dapat terjadi karena dark sides manusia itu, daripada karena eksistensi Tuhan yang dapat berdiri dalam realitasnya sendiri.
Jika sejarah dapat menjadi basis, maka sejauh mana sejarah itu bisa menjadi basis? Pertama, sejauh sejarah itu berbukti empiris. Ini problem karena persoalan ketegangan di tanah Yudea – Palestina menyangkut di dalamnya sejarah yang tidak mudah dijangkau sehingga uji historisitasnya bersifat problematik. Jika harus berbukti, maka harus ada basis objektivitas dan nalar untuk munculnya pengakuan. Tanpa itu, kita akan berhadapan dengan sikap “pokoknya”, karena dark sides manusia menutup-nutupi terang nalar dan upaya pembuktian secara empiris. Jika kita tekankan bukti dan nalar, tidakkah ini justru dapat menegasi posisi teistik sebagai syarat berikutnya? Bagi saya, sama sekali tidak demikian. Mengapa? Karena jika Tuhan adalah the only all knowing being, maka bukti dan nalar adalah realitasNya, terbentang dari realitas kekekalan mula (alfa) ke realitas kekekalan akhir (omega). Realitas bukti dan nalar manusia berbatas dan dari situlah sumber persoalan-persoalan manusia, bukan karena realitas ketakterbatasan Tuhan. Karena duduk di atas keterbatasannya, manusia yang seringkali membangun kemutlakan klaim kebenarannya sendiri duduk di atas rumah pasir. Datang angin sedikit, apalagi kencang, roboh rumah berpikirnya. Di atas bukti-bukti (awal tertentu) teori-teori dibangun dan di atas bukti-bukti (yang lain belakangan) teori-teori itu tumbang. Itulah keberbatasan. Dan di dalam keberbatasan kita manusia ini, maka tiada yang bisa merasa terlalu hebat di atas yang lain (yang jufa terbatas) dan harusnya mampu membangun sikap hanya tunduk kepada Dia yang tidak terbatas. Dan di depan yang tak berbatas ini tidak ada yang bisa menglaim keistimewaannya kecuali diberi dan menerima anugerah pengistimewaan tetapi itupun merupakan posisi yang tidak bisa dibanggakan sama sekali. Karena, kalau menerima pemberian, maka sikapnya pun harus sama, kembali memberi, bukan mengambil itu untuk diri sendiri.
Lalu jika basis teistik dipakai, tidakkah atas klaim posisi paling benar di depan yang ilahi itu dalam pengakuan manusia, ancaman terhadap kemanusiaan justru dapat muncul? Betul, sangat betul. Sejarah membenarkan itu. Namun, sejarah juga sudah mengoreksi yang salah itu dan sejarah akan tetap mengoreksi keberbatasan realitas manusia hingga mencapai realitas ketakberbatasan manusia dalam realitas ilahi yang tak berbatas. Tidakkah dengan ini lalu saya hanya sedang beretorika belaka? Bisa jadi. Namun, inilah posisi dan cara pandang. Hanya, kembali ke sejarah, sejarahlah yang akan membuktikan karena bukti-bukti sejarah akan unfolded seiring bergeraknya waktu hingga mencapai puncak sejarah kehidupan.
Tulisan ini ditulis dan di-share 5 Juni 2021 oleh Neil S. Rupidara diaplikasi Facebook.