Epistemologi & Metodologi Rasionalisme Descartes

Kursus Epistemologi dan Metodologi UKSW 2022, sesi 2 tanggal 18/3/22 telah menghadirkan Dr.Karlian Supelli. Tema yang dibahasnya adalah Epistemologi Rasionalisme Descartes dan Kepastian Pengetahuan.

René Descartes (dalam literatur berbahasa Latin dikenal sebagai Renatus Cartesius) adalah filsuf matematikawan Prancis. Ia lahir di La Haye sebuah kota pinggiran di Tourine, Perancis Barat pada 31 Maret 1596, dan meninggal di Swiss 11 Februari 1650. Untuk menghormatinya, sejak tahun 1802 kota itu diganti namanya menjadi La Haye-Descartes, lalu 1967 diganti lagi dengan menghilangkan nama lamanya sehingga resmi bernama kota Descartes.

Filsuf Jerman Friedrich W. J. Schelling (1775–1854) mentahbiskan Descartes sebagai Bapak Filsafat Modern, dan disejajarkan dengan Francis Bacon. Kalau Bacon didaku sebagai peletak dasar sains modern, maka Descartes sebagai peletak dasar Epistemologi Modern.

Dua buah karya masterpiece-nya adalah Discours de la méthode (1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641). Jargon yang melekat padanya sangat terkenal, yaitu cogito ergo sum (Prancis: Je Pense, Donc Je Suis) muncul dalam karya ini. Label itu penting karena menandai sebuah tonggak baru dalam babakan sejarah, yaitu era filsafat modern. Secara garis besar dalam kedua karya tersebut (tetapi tidak hanya itu) digambarkan metode dan gagasan-gagasan pokok filosofinya:

Discours de La Methode (Discourse on Method) popular namun sesungguhnya judul lengkapnya cukup panjang, yaitu Discours de la Méthode Pour bien conduire sa raison, et chercher la vérité dans les sciences (Discourse on the Method of Rightly Conducting One’s Reason and of Seeking Truth in the Sciences), merupakan sebuah risalah filsafat dan otobiografi. Di Bab IV dari risalah inilah ia menulis dalilnya yang terkenal, Je pense, donc je suis (cogito erguí sum/I think therefore I am). Karya ini diakui sebagai salah satu karya paling berpengaruh dalam sejarah filsafat modern dan berkontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan alam. Disini Descartes mencoba menangani masalah skeptisisme yang telah dipelajari para filsuf sebelumnya, yakni dengan metode keragu-raguan radikal.

Meditationes de prima Philosophia (1641) atau terjemahan Inggrisnya, Meditations on The First Philosophy membahas 7 set keberatan dari para filsuf terkemuka, termasuk Jean Pierre Bourdin, Thomas Hobbes, dan Pierre Gassendi & Jawaban Descartes atas keberatan-keberatan itu. Dari ketujuh keberatan itu, 3 bersifat teologis dan 4 bersifat filosofis. Dari sini tergambarkan betapa pikiran-pikiran Descartes sangat berpengaruh sehingga mendapatkan banyak respons penolakan, yang semuanya dihadapi (dijawab) dalam karya ini.

Peran dan kontribusinya dalam filsafat akan lebih mudah dipahami bila terlebih dahulu memhami konteks keseluruhan zamannya. Setelah kurang lebih 1000 tahun filsafat agama yang kita kenal sebagai babakan filsafat abad pertengahan, dimana “kebenaran wahyu” mendominasi interpretasi kebenaran, munculah era renaissance. Renaissanse bisa dilihat sebagai interupsi atas dominasi kebenaran teologis, yang diawal masih lebih banyak mengekspresikan pemikiran dan kreativitas melalui seni dan sastra. Dapat dikatakan bahwa Renaisanse merupakan “pemberontakan malu-malu” terhadap dogmatisme abad pertengahan, mengingat perbedaan interpretasi atau ekspresi pemikiran yang berbeda mendapatkan konsekuensi yang tidak mudah. Galileo Galilei, Isaac Newton, dan lainnya menjadi bukti betapa kuat dan ketatnya kontrol teologi atas kemerdekaan berpikir dan berekspresi. Itulah sebabnya, Renaisance yang muncul dengan cita-cita menghidupkan kembali filsafat Yunani-Helenias masih bergerak di bidang seni dan sastra. Muncullah tokoh-tokoh besar, seperti Leonardo da Vinci, Tiziano Vecelli, Sandro Boticelli, Raphael Sanzio, Michaelangelo Buonarroti, Shakespeare, Francis Bacon, dan para penjelajah seperti Vasco da Gama, dan lainnya.

Maka, naiknya Rene Descartes di panggung peradaban benar-benar sebuah momentum besar. Seolah ia memecah kesunyian dengan deklarasinya yang menggelegar, “aku berpikir maka aku ada.” Ini menjadi babakan penting karena menandai sebuah revolusi, yaitu dari iman/wahyu sebagai pusat orientasi pengetahuan digantikan oleh “cogito.” Dengan sendirinya deklarasi ini menandai berakhirnya “takhta kekuasaan kebenaran wahyu” yang menjadi ciri filsafat abad pertengahan selama satu milenium.

Lewat deklarasi itu, Descartes menegaskan bahwa hanya akal (rasio) yang menjadi satu-satunya dasar untuk dipercaya. Bukan lagi iman atau wahyu sebagaimana dipegang oleh filsafat abad pertengahan. Descartes mendapatkan dukungan dari pemikir lain yang akhirnya dikenal sebagai pendukung Rasionalisme, yaitu Baruch Spinoza (Benedictus de Spinoza 1632-1677), Gotiefried Wilhelm von Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662) dan Cristian Wolf (1679-1754).

Melalui presentasi Dr. Karlina Supelli di kelas Kursus Epistemologi dan Metodologi UKSW 2022 (18/3/22), kita jadi tahu bahwa Descartes mengakui keyakinan (convictio) sebagai jenis pengetahuan, disamping pengetahuan ilmiah (scientia). Meski, diakuinya jenis pengetahuan convictio tidak seketat scientia disebabkan ada alasan-alasan untuk meragukannya. Berbeda dengan scientia sebagai jenis pengetahuan yang bertumpu pada alasan-alasan kokoh sehingga tidak berbuka kemungikan menggoyahnya. Poin terpenting disini adalah, memahami bagaimana Descartes tiba di kesimpulan itu.

Untuk memahami epistemologi Descartes perlu terlebih dahulu memahami konsep innate ideas (ide bawaan), yang nampaknya menjadi prasyarat bagi pengetahuan manusia. Terdapat tiga ide bawaan yaitu res cogito (kesadaran aku), res extentia (ide keluasan) dan ide Allah. Dari ketiga ide bawaan inilah dideduksi menjadi berbagai ilmu pengetahuan. Dari sini bisa dipahami bahwa proses pengetahuan dalam epistemologi Descartes telah mengandaikan peran Tuhan., bahkan dengan adanya rex extentia juga mengandaikan corak emperia (pengalaman langsung).

Bermula sebagai hasil kerja metode kesangsian radikal, Descartes mendapati res cogita (kesadaran) sebagai realitas (ada) tahan uji, kokoh, jelas dan terpilah. Ia lolos dari uji kesangsian atau keragu-raguan. Inilah titik-tolak pengetahuan. Melalui res cogita-lah disadari realitas lain, yaitu res extentia (ide keluasan), antara lain sebagai wadah bagi res cogita. Semua jenis realitas lain hanya dapat dipahami melalui keluasannya, yaitu tinggi, luas, lebar, panjang. Tetapi, perhatikanlah, bahwa keseluruhan kesadaran aku dan keluasan ini sama-sama menginisiasi kesempurnaan. Dan, baik kesadaran aku, maupun keluasan, bukanlah yang sempurna itu, melainkan selalu dalam proses menujunya (prinsip teleologis). Maka, kesempurnaan yang menjadi orientasi dari realitas cogito dan extentia pastilah memiliki sumber. Disebabkan kesadaran aku dan ide keluasan tidak sempurna maka sumber kesempuraan itu pastilah hanya Allah.

Adanya ketiga ide bawan di atas membawa Descartes pada identifikasi dua jalan pengetahuan,seperti disebut di paragraf awal, yaitu scientia dan convictio. Scientia menganut paham fondasional, dimana harus bertolak dari sebuah kepastian. Ide Allah adalah penjamin kepastian. Scientia diperoleh dengan intuisi, yang merupakan konsepsi sederhana tetapi muncul secara langsung, jelas dan terpilah. Intuisi juga sebagai bukti kehadiran kita yang mendapatkan anugerah Tuhan. Sementara, convictio diperoleh melalui proses deduksi yang tidak terlalu jelas dan terpilah sebagaimana dipersyaratkannya bagi sebuah pengetahuan.

Seperti Aristoteles, Descartes juga mengkategorikan metafisika sebagai filsafat pertama, yang dalam hal ini digambarkan sebagai akar dari pohon pengetahuan. Tepatnya lagi, akar pohon pengetahuan adalah metafisika skolastik (yang membutuhkan Tuhan), sementara batangnya adalah fisika dan ilmu-ilmu lain menjadi cabang-cabangnya.

Epistemologi Descartes merupakan “penemuan” genuine, yang dengan rendah hati diakuinya bukan sebagai pengajaran. Melainkan sebagai “sekadar menceritakan” apa yang telah dilakukannya sehingga sampai kepada pengetahuan. Ia bertolak dari geometri analitik, yaitu berbasis pada persoalan/kasus/ masalah. Karenanya bersifat empirik atau berbasis pada pengalaman (emperia).

Metode yang dimaksud adalah “kesangsian radikal,” dimana baginya pengetahuan harus dimulai dengan meragukan keberadaan segala sesuatu, apa pun, termasuk meragukan diri sendiri. Melalui metode ini, kita akan sampai pada sebuah titik kokoh dimana tidak mungkin bisa diragukan lagi. Setelah meragukan apapun, kita akan dapati diri kita yang sedang meragukan segala sesuatu itu. Kenyataan bahwa kita sedang ragu-ragu itu tidak bisa diragukan lagi. Dari situlah muncul deklarasinya yang popular, “aku berpikir maka aku ada” (cogito ergo sum /Prancis: Je Pense, Donc Je Suis).

Setelah mencapai titik “realitas sejati” itu, Descartes lalu mengidentifikasi ciri pengetahuan, yaitu harus “jelas dan terpilah-pilah.” Sesuatu disebut pengetahuan apabila memenuhi kedua ciri tersebut. Jelas artinya terang benderang, nyata. Terpilah-pilah artinya secara tegas dapat dibedakan dari yang lain. Bahwa pencapaian “cogita” melalui metode penyakalan telah membuat realitas cogita menjadi jelas dan terpilah-pilah.

Apakah dengan demikian, proses pengetahuan sains, baik convictio maupun scientia dapat dapat mencapai kepastian? Seberapa pastikah pengetahuan/sains? Nampaknya, melaui epistemologi rasionalisme Cartesian, betapapun telah mengandaikan pengalaman (emperia) atau res extentia dan bahkan Tuhan sebagai penjamin, perkembangan sains membuktikan bahwa tidak ada kepastian pengetahuan. Kecuali kebenaran-kebenaran sementara yang selalu terbuka untuk terus diuji.

Link Kursus sessi 2: