CCTD UKSW kembali melaksanakan diskusi buku di hari Jumat, 21 Januari 2022 pukul 16.00 WIB -selesai. Diskusi ini dilakukan secara daring dengan pembedah buku, yakni Semuel S. Lusi.
Pembedah menyampaikan latar belakang keterbutuhan akan pendidikan yang membebaskan dalam dunia yang cepat berubah saat ini. Negara di berbagai belahan dunia, berupaya mencari metode dan pendekatan yang tepat dalam dunia pendidikan, untuk menghasilkan generasi penerus yang kreatif, kritis dan inovatif, serta memiliki internalisasi nilai-nilai identitas budaya yang mumpuni.
Fareed Zakaria, seorang penulis dan jurnalis yang sangat terkenal menceritakan bagaimana pendidikan yang membebaskan (liberal education) membebaskan dirinya dalam melihat dunia ini. Fareed Zakaria merupakan kolumnis di The Wasington Post, serta seorang pembawa acara di CNN, mengungkapkan bahwa kebebasan menghantarnya memiliki perpektif yang luas dan dapat bertahan dalam dunia yang cepat berubah.
Menurut Fareed dalam bukunya “in Defence of a Liberal Education”, diawal abad 21 ini model pendidikan liberal arts yang sebenarnya sempat memudar kembali menguat.
Model yang memiliki sejarah panjang, diawali di Yunani sekitar abad 5 SM berhasil dilanjutkan selama kejayaan Romawi. Penyelenggaraannya di istana-istana, biara-biara dan katedral. Selama era skolastik menjadi model, hingga muncul universitas-universitras mula-mula di Maroko, Mesir, Italy, Inggris dan akhisnya sampai Amerika.
Kurikulum dasarnya adalah gramar, logika dan retorika (trivium) lalu aritmetika, geometri,musik dan astronomi (quadrivium). Inti dari kedua dasar kurikulum ini adalah membangun kemampuan observasi realitas dalam kawasan ruang waktu (quadrivium), lalu ditata/disistematisasikan dan dikomunikasikan (rhetorika). Model ini bertahan melintasi berbagai ujian zaman, memasuki era kejayaan di abad renaisans. Menyebar dan menjadi model di Eropa kemudian di Amerika.
Sayangnya, paska revolusi industri secara perlahan mulai memudar lantaran orientasi pendidikan secara umum lebih memberi prioritas kepada pendidikan keahlian spesifik untuk menjawab kebutuhan industri. Model research university muncul di Jerman sebagai “jalan tengah” yang mengintegrasikan riset dan pelatiah keahlian, sehingga sampai diakomodasi di Amerika.
Di abad 19 ciri pendidikan Amerika didominasi model liberal arts. Model ini disebutkan menyebabkan pendidikan Amerika memiliki ciri “unggul” yang membuat iri bangsa lain. Tetapi, rupanya berbagai krisis dan tekanan menyebabkan keberpihakan pemerintah pada mata kuliah liberal arts di berbagai universitas menurun. Bahkan di sejumlah provinsi ditiadakan. Nampaknya ini mengakibatkan terdeteksinya semacam penurunan generasi Amerika. Banyak tuntutan untuk pendidikan liberal arts dikembalikan. Rupanya tren penurunan juga dirasakan di Eropa, yang telah lebih dahulu meninggalkan liberal arts. Di awal abad 21, tren pendidikan liberal arts kembali menguat. Mulai dari Amerika, Eropa Australia, bahkan Asia. Di Asia, terutama Cina, India, Jepang, Korea Selatan cukup gencar menggelorakannya.
Diakhir pemaparan hasil bedahnya, Semuel S. Lusi menyayangkan, bahwa di Indonesia tidak terlihat tanda-tanda adanya kesadaran akan pentingnya pendidikan liberal arts. Dalam buku ini. Fareed menunjukkan bagaimana banyak tokoh berjuang untuk mengembalikan pendidikan liberal arts sebagai model di Amerika. Dan sangat memungkinkan Indonesia menerapkan model tersebut, dengan menyesuaikan dengan konteksnya, sebagaimana dilakukan Singapura, Cina dan India.
Untuk dapat menonton secara lengkap pemaparan materi, dapat dilihat di video berikut.