PPKM Level 4/Darurat bagaimanapun harus dinilai tidak mencapai targetnya. 3 Juli pemerintah mulai memberlakukan PPKM Darurat di Jawa dan Bali, pada 48 Kota/Kabupaten yang berada pada level assessment 4 (ditambah 74 Kota/Kab assesment level 3). Sistem ini diberlakukan hingga 20 Juli, sehingga berdurasi 3 minggu. Targetnya adalah menurunkan angka penyebaran harian kembali ke level di bawah 10.000 (Kompas, 1 Juli). Pada posisi 3 Juli, angka penyebaran per hari telah berada pada 27.913. Dan, pada posisi 20 Juli, angka penyebaran berada pada 38.325, dengan angka tertinggi terjadi pada 15 Juli, 56.757. Merujuk trend data, apa yang terjadi adalah kenaikan angka penyebaran tampak sudah tidak bisa dikendalikan lagi oleh PPKM Darurat. Pertanyaannya, apakah PPKM Darurat tidak efektif?
Menjawab ini tentu tidak mudah. Apa yang terjadi adalah fakta. Menilai efektivitas kebijakan PPKM dengan hasil yang seperti itu belum akan menunjukkan in-efektivitasnya dalam situasi yang sudah kadung berposisi sulit dikendalikan. Pertanyaannya, kalau PPKM Darurat tidak diterapkan, apa yang mungkin terjadi di saat ini? Ini ruang jawaban yang cukup spekulatif. Dengan sudah sedemikian rupa menekan tingkat mobilitas dan interaksi sosial di ruang-ruang publik tetapi angka penyebaran tetap saja cenderung meningkat, bisa jadi tanpa PPKM Darurat angka penyebaran lebih menggila, melonjak drastis. Namun, target PPKM Darurat, menurunkan angka penyebaran ke bawah 10.000, jelas berposisi tidak tercapai. Dalam kondisi seperti itu, pemerintah harusnya melakukan evaluasi kritis dan menyeluruh, mengapa kondisinya demikian. Apalagi, dengan perpanjangan PPKM Darurat menjadi PPKM Level 4 dari 20 Juli ke 26 Juli, lalu ditambah lagi ke 2 Agustus, angka penyebaran yang menjadi target PPKM Darurat tetap tidak tercapai. Apa yang salah?
Kami mencoba melakukan sedikit kajian atas situasi itu. Video ini diambil pada 23 Juli, hanya 3 hari setelah PPKM Darurat berakhir dam diganti dengan PPKM Level 4. Telah ada trend penurunan pada angka penyebaran Covid-19 secara nasional. Namun, ada juga gejala lonjakan terlihat di saat itu dan memang di 2 minggu periode pelaksanaan PPKM Level 4 pun tampak fluktuasi angka penyebaran per hari. Ini tanda bahwa sistem tidak cukup robust mengendalikan penyebaran Covid-19. Perluasan PPKM Level 4 ke luar Jawa dan Bali pun tampak menunjukkan kedodorannya sistem ini dalam hal pengendalian, karena trend di daerah-daerah perluasan PPKM Level 4 pun menunjukkan peningkatan. Angka kematian juga terus bergerak naik, mencapai level record harian baru hari lepas hari. So what has gone wrong? Pemerintah tidak bisa menjalankan sistem tanpa evaluasi kritis. Kebocoran sistem terus dan terus terjadi. Costs untuk mengoperasikan sistem ini tidak kecil, dengan hasil yang menunjukkan kebocoran-kebocoran, perlu ada identifikasi sangat jeli apa yang menyebabkan sistem ini tidak cukup efektif. Dalam konteks itulah kami mencoba menstimulasi evaluasi kritis itu.
Evaluasi kami, mekanisme-mekanisme penyebaran Covid-19 tetap bergerak tanpa bisa dihentikan oleh PPKM Darurat/Level 4. Mengapa? Karena contact tracing yang dilakukan di satgas-satgas Covid-19 di level paling rendah masih gagal mendeteksi dan menghentikan penyebaran, paling tidak selalu terlambat dibanding penyebaran itu sendiri. Jika ini tetap tidak bisa dikoreksi, kita mungkin akan terus berada dalam situasi ini, kecuali akan datang obat ampuh mengatasi Covid-19 sehingga menjadi tidak membahayakan lagi. Sudah 1,5 tahun lebih kita berhadapan dengan pandemi ini tetapi sistem pengendalian Covid-19 kita tidak menjadi semakin tangguh. Bagi saya, problemnya ada di kemampuan contact tracing. Sejak Covid-19 menyebar di Indonesia di 2020, posisi saya adalah meminta pemerintah membangun sistem dan pelaksanaan contact tracing yang solid. Saran disampaikan kepada unsur pemerintahan kota Salatiga, provinsi Jateng. Contact tracing pun kami lakukan sejak kasus #1 dan #2 Salatiga yang notabene adalah warga UKSW, demikian juga pada kasus-kasus lanjutan yang terjadi pada warga UKSW. Mengatasi penyakit menular yang bisa menciptakan epidemi atau pandemi seperti ini kuncinya ada di contact tracing. “Case investigation and contact tracing …, is a key strategy for preventing further spread of Covid-19,” sebuah pernyataan dari CDC USA. Negara-negara dengan kemampuan tracing yang mumpuni masih bisa mengendalikan penyebaran Covid-19 di negaranya, misalnya New Zealand, Hong Kong, dan Taiwan. Namun, contact tracing bukan fokus perhatian kita selama ini. Sejak awal, pihak-pihak tertentu terlalu terfokus pada kapasitas testing, sekalipun ada persoalan juga di situ pada fase-fase awal pandemi. Belakangan, fokus bergeser ke vaksinasi yang diharapkan menjadi game changer. Dalam hal vaksinasi, saat ini proporsi penduduk yang fully vaccinated (2 suntikan) masih berada di bawah 10%. Sedangkan yang sudah menerima minimal 1 suntikan baru berada di sekitar 20%. Dengan jumlah penduduk yang besar dan dengan sikap (awal) masyarakat yang tidak solid tentang vaksin, plus kompetisi global dalam mendapatkan vaksin, kecepatan melakukan vaksinasi yang ditempatkan sebagai solusi utama ini justru menjadi salah satu titik persoalan. Namun, belakangan kita tahu bahwa terjadi akselerasi signifikan. Namun, posisi Indonesia masih jauh dari harapan herd immunity. Belum lagi, efektivitas vaksin di depan varian-varian baru telah dikhawatirkan sejak beberapa bulan lalu. Inipun sudah kami ingatkan, setelah memelajari fenomena yang terjadi di Afrika Selatan yang menunjukkan efektivitas vaksin-vaksin tertekan ketika berhadapan dengan varian beta. Bahwa vaksin masih dapat melindungi dalam hal menekan tingkat keparahan, hospitalisasi, dan kematian, kita harus keep our eyes terhadap dinamika relasi new variants and vaccines, untuk menguji apakah kesimpulan kita akan tetap sama. Dalam hal ini, tidak sedikit ahli epidemiologi yang telah menyampaikan peringatan mereka akan kemampauan SARS CoV2 dalam mengatasi antibodi (antibody dependent enhancement). Tentu kita berharap hal-hal yang baik, termasuk manfaat vaksinasi. Namun suara-suara peringatan itu harus tetap kita dengar sehingga membawa kita pada posisi kehati-hatian yang tinggi. Wawasan itu juga penting dalam menstimulasi pemikiran mencari solusi-solusi pendukung, di luar vaksinasi.
Di samping sikap konsisten untuk mendukung vaksinasi sebagai program utama pemerintah dalam memerangi Covid-19, kita harus juga mengingatkan pemerintah untuk menyiapkan langkah-langkah pendukung. Saran ini bukan baru bagi UKSW. Kepada Menko Perekonomian saran itu telah kami sampaikan di bulan April. Namun, ini harus terus diingatkan kepada pemerintah. Jika Presiden Jokowi pernah mengajak kita untuk hidup dengan kenyataan Covid-19 ada di sekeliling kita, maka pandangan beliau ini tidak akan mungkin berjalan jika tidak tersedia obat-obatan penawar Covid-19 di sekeliling kita. Jika demikian, pemerintah seharusnya tidak bergantung begitu besar, apalagi satu-satunya, kepada vaksin sebagai strategi atau mekanisme pencegahan. Lihat dan belajarlah dari apa yang terjadi di Israel, Inggris, Amerika. Lebih rendahkan skala vaksinasi mereka dari kita? Vaksinasi mereka jauh lebih tinggi daripada kita! Namun, mereka sedang mencermati sungguh-sungguh dinamika macam apa yang sedang berlangsung antara vaccines dan new variants, terutama varian delta. Pemerintah sudah harus memerlengkapi strategi hidup di masa pandemi ini dengan berbagai cara, termasuk menjamin ketersediaan obat-obatan yang dapat mengobati penderita Covid-19. Kita tentu tidak ingin keadaan seperti ini berjalan tanpa kepastian akan berakhir.
Untuk masuk ke visi hidup bersama Covid-19, kita tahu bahwa di saat-saat penyebaran Covid-19 bergerak di angka yang tinggi, rumah-rumah sakit tidak mampu lagi menampung pasien Covid-19. Tidak hanya beds kurang, ruang-ruang ICU khususnya tidak cukup. Padahal, jumlah pasien dengan tingkat keparahan tinggi meningkat. Ventilator tidak cukup. Supplai oksigen pun tidak cukup. Banyak pasien yang akhirnya merawat diri atau dirawat di rumah, sebagian tanpa peralatan dan obat-obat memadai. Dulu, besar propors mereka yang tidak bergejala atau ringan gejala-gejalanya. Dengan varian delta, keadaan berubah. Lebih banyak pasien bergejala berat. Tidak sedikit yang mengalami penurunan saturasi oksigen secara relatif cepat. Padahal, mereka dirawat di rumah. Mereka tidak cukup teredukasi dalam situasi seperti itu, bagaimana berhadapan dengan Covid-19. Sejumlah orang karenanya didapati meninggal di rumah. Sebagian lagi sempat dilarikan ke rumah sakit saat saturasi oksigen telah jatuh cukup rendah dan terlambat untuk dapat ditolong. Dalam keadaan-keadaan seperti itu, di mana kapasitas rumah sakit tidak mencukupi dan banyak yang dirawat di rumah, mestinya pemerintah harus pastikan tersedianya obat-obatan di pasar obat.
Dalam konteks itu, ada obat seperti Ivermectin yang melalui penelitian ilmiah dan uji klinis di negara lain disebutkan efektif mencegah dan mengatasi SARS CoV2. Sebagai obat esensial dalam terapi parasit, obat ini murah dan efektif. Seharusnya obat seperti ini juga dijamin tersedia di apotik-apotik sehingga mudah diakses masyarakat. Namun, alih-alih tersedia di apotik-apotik, kontroversi di seputar Ivermectin membuat obat ini justru langka di pasaran. Ini relatif berbeda dengan di banyak negara lain yang bagaimanapun masih menyediakan Ivermectin, kecuali di beberapa negara yang otoritas kesehatannya melarang penggunaan Ivermectin. Di Indonesia kita tahu bahwa, beberapa pihak telah dengan keberanian etisnya menggunakan Ivermectin untuk menolong pasien Covid-19. Hasilnya dilaporkan membantu percepatan kesembuhan. Harus dicatat, tidak pakai Ivermectin keadaan toh sudah sulit, angka kematian karena Covid-19 terus meningkat. Pakai Ivermectin masih dipersoalkan pemenuhan protokol uji klinisnya. Dalam situasi dilematis seperti itu, tidakkah kita dapat menempatkan prioritas etis untuk terlebih dahulu menyelamatkan nyawa orang? Kepentingan kemanusiaan harus berada di atas yang lain. Toh Ivermectin sejauh ini terbukti merupakan salah satu obat teraman setelah pemakaian selama 40 tahun. Oleh karena itu, jika kita memasuki ruang keputusan etis, maka persoalan tidak mudah dilihat secara hitam putih. Keputusan etis tidak bisa ditempatkan seolah kita berada dalam situasi normal. Oleh karena itu, pemerintah dan kaum profesi kedokteran harus bergumul keras dalam situasi etis seperti ini, apa prioritas utamanya. Persoalan lain di wilayah ini yakni ketika belakangan telah disetujui untuk dilakukan uji klinis, Ivermectin justru menghilang dari pasaran. Harga melambung sehingga harus diintervensi melalui penetapan harga eceran tertinggi. Dalam keadaan darurat seperti ini, masih saja ada pihak yang hendak bermain-main mencari keuntungan besar. Harusnya pemerintah segera mengejar dan menangkap dan mengadili mereka yang bertindak anti-kemanusiaan seperti itu.
Dalam situasi yang tidak mudah, masyarakat bagaimanapun harus melakukan tugas di bagiannya. Di samping harus konsekuen mematuhi protokol 3 atau 5 M, masyarakat sedapat mungkin dapat memerlengkapi dirinya dengan berbagai bentuk langkah terapi atau pengobatan alternatif. Minuman atau kapsul sambiloto tersedia cukup mudah di pasaran. Pertahanan diri harus berlapis-lapis.
Itu adalah sebagian pokok evaluasi atas perjalanan PPKM Darurat/Level 4, terutama melihat perkembangan sampai pada 23 Juli. Kami mendorong pemerintah untuk menilik secara kritis faktor-faktor yang dapat menjelaskan mengapa PPKM Darurat/Level 4 belum bisa menekan angka penyebaran ke level di bawah 10.000, sebagai target pemerintah. Mestinya ada hal yang tidak berjalan baik, dan saya tetap konsisten menunjuk persoalan ada pada contact tracing dan langkah cepat pasca untuk mengisolasi pihak-pihak yang terdeteksi berada dalam rantai-rantai interaksi penyebab penyebaran atau berpotensi terinfeksi Covid-19. Jika kita bisa perkuat sisi itu, saya cukup yakin kita bisa mendapati penyebaran Covid-19 akan konsisten kita tekan dan kendalikan di level terendah yang bisa kita capai. Semoga.Salam sehat untuk kita semua.
Tulisan ini ditulis dan di-share 31 Juli 2021 oleh Neil Samuel Rupidara diaplikasi Facebook.