Melanjutkan pembahasan buku “Experiences in Liberal Arts and Science Education from America, Europe, and Asia A Dialogue across Continents” di postingan saya sebelumnya (15 Januari 2022), pada kesempatan ini saya ingin fokus di chapter 2 yang khusus membahas pendidikan liberal arts di Cina. Lantaran terdapat kemiripan konteks, saya asumsikan Indonesia bisa banyak belajar dari Cina.
Misalnya soal perbedaan budaya (dengan Eropa dan Amerika tempat pendidikan liberal modern berkembang dan berasal), perbedaan ideologi politik, dan dalam hal ini, bagaimana nilai-nilai kultural dan pengetahuan khas Cina yang telah teruji dan lestari selama ribuan tahun itu diramu sebagai bahan dasar mendisain sendiri “model pendidikan liberal arts-nya.” Apa yang membuatnya berhasil, dan pada akhirnya apakah juga terkait dengan revolusi sains dan teknologi di Cina yang berkembang begitu cepat dan pesat sehingga membuat “iri” negara lain, termasuk Amerika.
Menunjuk kesamaan konteks di atas, saya berpendapat bahwa Indoensia perlu belajar dari Cina, dengan asumsi kita akan mengadopsi model pendidikan liberal arts. Ada sejumlah indikasi yang meyakinkan saya bahwa Indonesia sedang dalam proses itu. Dihilangkannya sistem penjurusan di SLTA (IPA/IPS dan Bahasa) merupakan salahsatu indikasi. Sebelumnya, telah dihilangkan sistem ujian nasional (exam meritocracy) digantikan dengan “asesmen kompetensi” (talent meritocracy??). Lainnya adalah konsep Belajar Merdeka Kampus Merdeka (BMKM), yang setidaknya secara konsep mengatribusi wawasan liberal education. Indikasi terkahir yang ingin saya sebut adalah kecenderungan yang kuat negara-negara besar di Asia mengadopsi model liberal, selain Cina (termasuk Hong Kong), yaitu Jepang, India, Taiwan, dan Korea Selatan. Kita tahu bahwa Hong Kong dan India sebelumnya lebih berorientasi ke Inggris yang “menganut pendidikan spesifik/ keahlian” namun juga sudah mengadopsi liberal arts.
Dengan fokus pada chapter 2, saya tidak seperti biasanya sekadar membuat ringkasan bab melainkan juga mencoba membahasnya. Pembahasan saya mendasarkan pada “kesamaan konteks” kedua negara, dan menggunakan “data” strategi Cina mengelolanya, lalu mengidentifikasi isu-isu penting apa yang bisa kita pelajari untuk membangun pendidikan liberal arts di Indonesia, lebih khusus apa yang telah dan mungkin bisa dilakukan oleh UKSW.
Chapter ini ditulis oleh Gerard Postiglione, dan dijuduli “China’s Search for Its Liberal Arts and Sciences Model.” Postiglione adalah Ketua Profesor Pendidikan Tinggi dan Wakil Dekan untuk Penelitian di Fakultas Pendidikan, Universitas Hong Kong. Dengan memperkenalkannya, saya ingin mengatakan bahwa Postiglione tidak saja ahli pendidikan liberal arts, melainkan juga “orang dalam” yang menulis apa yang merupakan bidang kepakaran profesionalnya.
Postiglione memperkenalkan tokoh kunci (meski bukan satu-satunya dan bukan yang pertama) dibalik masuknya pendidikan liberal arts ke Cina (melalui Hong Kong), yaitu Woo Chia Wei. Wei adalah Profesor Fisika, tamatan Amerika (Georgetown College dan Washington University), dan menjadi pendiri sekaligus presiden pertama Hong Kong University of Science and Technology (HKUST) yang berdiri 1991. Sebelum ke Hong Kong ia telah berkarier di sejumlah universitas Amerika, seperti San Francisco State University, Northwestern University, dan University of California San Diego. Bahkan, tahun 1983 ketika masih berusia 45 tahun Wei terpilih menjadi President of San Fransisco State University.
Woo Chia Wei menunjukkan keunggulan seni liberal dalam pendidikan sarjana Amerika dan menerapkannya di HKUST. Dengan demikian HKUST menjadi katalis dalam transisi universitas gaya Inggris Hong Kong dari program studi tiga tahun yang sangat terspesialisasi menjadi program yang diperluas (general/seni liberal) untuk gelar sarjana. Kurikulum inti seni liberal dan ilmu pengetahuan ditambahkan sehingga semua siswa wajib mengambilnya terlepas dari spesialisasi mereka. Terobosan ini lalu menarik minat universitas-universitas di Cina daratan karena dianggap sebagai contoh seni liberal Barat yang diintegrasikan ke dalam universitas-universitas di Cina.
Kurikulum inti umum (liberal arts) HKUST terdiri dari empat bidang penyelidikan, yaitu Teknologi dan Literasi Ilmiah, Humaniora, Isu Global, dan China: Budaya, Negara, dan Masyarakat. Secara umum kurikulum ini bertujuan mengembangkan pemikiran kritis, kemampuan mengatasi situasi baru, keterampilan komunikasi dan kolaborasi, antar budaya pemahaman dan kewarganegaraan global, dan kepemimpinan dan advokasi untuk perbaikan kondisi manusia. Sementara sasaran spesifiknya adalah untuk memungkinkan siswa mengembangkan perspektif yang lebih luas dan pemahaman kritis tentang hubungan kompleks antara masalah dalam kehidupan sehari-hari; menumbuhkan kemampuan siswa untuk menavigasi persamaan dan perbedaan antara budaya mereka sendiri dengan budaya lain; untuk memungkinkan siswa berpartisipasi penuh sebagai individu dan warga negara dalam komunitas global, regional, dan lokal; dan untuk memungkinkan keterampilan intelektual, kolaboratif, dan komunikasi yang akan lebih ditingkatkan dalam studi disiplin siswa, dan, pada gilirannya, berkontribusi pada kualitas hidup mereka setelah lulus (Universitas Hong Kong 2015).
Sejak awal Cina telah menunjukkan minat pada pendidikan, dan orientasinya ke Amerika. Tetapi intensitasnya makin menguat pasca Revolusi 1949 yang menandai berkuasanya Partai Komunis di Cina. Minat awal pada tradisi pendidikan seni liberal ini tidak saja sebagai subjek penelitian tetapi juga sebagai “metode,” lantaran diyakini akan dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dengan cara-cara inovatif.
Postiglione mengutip Vogel yang menceritakan kisah panggilan telepon dari Presiden Deng Xiaoping kepada Presiden Jimmy Carter di suatu pagi buta (pukul 3:00 pagi (waktu Washington) di tahun 1978. Deng menginginkan persetujuan untuk mengirim segera ratusan orang Cina belajar di universitas-universitas Amerika, dan akan diikuti ribuan dalam beberapa tahun berikutnya. Dibawah kepemimpinan Deng Xiaoping telah dicanangkan bahwa Cina perlu memiliki ribuan ilmuwan berbakat bertaraf dunia. Deng yakin bahwa reformasi ekonomi Cina dan keterbukaan terhadap dunia luar mengharuskan penyiapan ilmuwan kelas dunia.
Sasaran besar dibaliknya adalah bahwa Cina ingin mendiversifikasi sistem pendidikan tingginya, membangun universitas kelas dunia, memperkuat ekonomi pengetahuannya, dan mengambil peran yang lebih besar dalam pendidikan tinggi internasional. Ini sebuah visi besar yang terlihat ambisius.
Postiglione menyaksikan bahwa dua puluh tahun setelah telpon Deng kepada Carter itu, komitmen Cina pada visi pendidikan makin konkrit. Tahun 1998 di Aula Besar Rakyat ia menghadiri pidato Presiden Jiang Zemin yang menegaskan tujuan Cina adalah untuk mendirikan universitas-universitas kelas dunia. Itu berarti membutuhkan identifikasi institusi tingkat atas dan paket dukungan finansial besar untuk memperkuat infrastruktur dan kapasitas akademik. Hanya dua tahun sejak pidato itu, Postiglione mengamati investasi besar-besaran dalam infrastruktur universitas, konsolidasi institusi dan perluasan pendaftaran, perombakan manajemen sains dan teknologi, reformasi pengajaran universitas, pengenalan lebih banyak buku teks asing, dan seruan untuk memperbaiki preferensi sains berbasis seni liberal.
Di tahap ini, persoalan dasar yang dicoba dijawab juga adalah, bagaimana tradisi budaya asli Tiongkok ikut membentuk model pendidikan tinggi yang khas? Pada saat yang sama, Cina ingin membawa universitas-universitasnya go global dan memposisikannya di deretan universitas terbaik baik dunia!
Cina paham bahwa kemampuan universitas Amerika menarik dan menghasilkan terobosan ilmiah dan kemajuan teknologi terkait dengan penekanan pada kreativitas, inovasi, dan kewirausahaan. Qian Xuesen, bapak ilmu roket Tiongkok ketika itu mengingatkan bahwa universitas-universitas di Cina gagal mendorong kreativitas, keluasan multidisiplin, dan pemikiran inovatif, yang justru menjadi kebutuhan Cina. Juga, bahwa pencapaian seperti itu di universitas-universitas Amerika tidak akan mungkin terjadi tanpa otonomi institusional dan kebebasan akademik. Meskipun nampaknya bukan sifat sistem universitas Cina untuk menetapkan itu sebagai prioritas utama, jelas ada pengakuan bahwa reformasi signifikan sangat diperlukan. Baik mantan Perdana Menteri Zhu Rongji maupun Wen Jiabao mengakui daya saing ekonomi Cina bergantung pada pengembangan pemikiran yang lebih kreatif dan mandiri.
Berhadapan dengan visi besar memajukan pendidikan Cina, bahkan target Cina menjadi pemimpin dunia di bidang sains dan teknologi di tahun 2035, ideologi Marxisme (terutama Komunisme yang secara umum diopinikan “tertutup”), semangat go global dan nilai budaya Konfusianisme yang kental, bagaimana Cina membangun model pendidikannya? Apalagi, jelas model yang dipilihnya adalah pendidikan liberal arts, padahal ia juga berhadapan dengan tantangan menginovasi semua strategi membangun riset teknologi masa depan yang futuristik?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan saya jawab di tulisan berikut, namun saya ingin merumuskan sejumlah poin penting yang telah dibahas, yang menurut saya diperlukan, sebelum kita masuk ke isu pentingnya yaitu, “bagaimana Cina menciptakan model Pendidikan liberalnya?”
Pertama; terdapat visi besar untuk membangun ekonomi Cina dan berpartisipasi dalam kepemimpinan global, dimulai dengan reformasi pendidikan. Visi ini disadari hanya bisa terelasisasi melalui jenis pendidikan yang dapat mendorong kerativitas dan inovasi untuk menciptakan teknologi tinggi dan mengembangkan pengetahuan.
Kedua; untuk mendukung poin pertama di atas perlu dibangun infrastruktur Pendidikan secara masif, mulai dari reformasi struktur, alokasi pendanaan, pengiriman mahasiswa untuk kuliah di luar negeri (terutama Amerika dan Eropa).
Ketiga; secara politik terdapat konsitensi dan sustainabilitas meski terjadi pergantian presiden. Bahkan sejak era sebelumnya, berlanjut setelah Revolusi 1949, dibawah pemerintahan Partai Komunis visi untuk memajukan negara Cina melalui Pendidikan tetap konsiten. Setiap presiden melanjutkan capaian presiden sebelumnya sehingga secara konsisten dan terukur capaian-capaian mudah dievaluasi dan terus dikembangkan.
Tulisan ini ditulis dan di-share 2 Februari 2022 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.