Epistemologi & Metodologi Kritisisme Kant.

Presentasi Dr.Simon P.L.Tjahjadi pada sesi 4 kursus Epistemologi dan Metodologi UKSW 2022 (1/4/22) termasuk berat tetapi juga sangat penting. Persoalnnya, melalui proyek filsafat kritis, Kant mendaku telah mensintesa pertentangan rasionalisme dan emperisme. Kalau rasionalisme mendahulukan rasio sebagai sumber pengetahuan, sebaliknya emperisme menegasi rasio dan mengusung pengalaman. Bagi rasionalisme, pengalaman hanya menegaskan pengetahuan yang sudah “tertanam” di rasio. Sebuah pohon yang kita lihat dan pegang (alami) menegaskan “pohon ide” yang telah ada sebagai ide bawaan (rasio murni). Ini khas Platonian, yaitu substansi mendahului materi. Sementara, bagi emperisme kita terlebih dahulu mengalami “pohon indrawi” barulah rasio mengabtraskinya sebagai pohon ide. Ringkasnya, dari pohon indrawilah lahir kondepsi/ide pohon. Ini sangat Aristotelian, yaitu materi mendahului substansi.

Meski demikian, keduanya sama-sama tidak memberi kepastian pengetahuan, persis karena masing-masing berdiri di “titik ekstrim” yang berbeda. Setidaknya, itulah (antaralain) argumen Kant. Lalu, apakah Kant benar-benar menghasilkan sebuah sintesa parmanen? Bagaimana Kant mencapai sintesa itu?

Berbeda dengan para filsuf sebelumnya, Kant memulai epistemologinya dengan menyelidiki “kapasitas manusia dalam hal mengetahui.” Tentu saja, dimaksud adalah kapasitas rasio. Tetapi, secara proses (praktis) pengetahuan dimulai dari pengalaman (induksi). Dengan terlebih dahulu menyelediki kapasitas manusia, filsafat kritis Kant memetakan sampai di mana batas-batas kemampuan mengetahui, apa saja yang dimungkinkan untuk diketahui dan apa yang tidak bisa diketahui, persis karena kapasitas untuk itu tidak ada. Katakanlah manusia tidak dibekali fitur untuk mengetahui jenis pengetahuan tertentu.

Seperti menggunakan sebuah HP keluaran tahun 1990-an, kita tidak dapat mengakses internet dan bermedia sosial. Bukan karena internet dan media sosial tidak eksis, melainkan karena default dari device yang digunakan tidak memiliki fitur-fitur yang memungkinkannya mengakses.

Proyek epistemologi Kant dibahas dalam karyanya “Kritik der reinen Vernunft” atau Critiques of Pure Reason (1781). Disini kapasitas mengetahui dipaparkan. Tanpa kapasitas (fitur-fitur) yang memungkinkan pengetahuan, manusia tidak dapat mengetahui. Itulah sebabnya kritisime menganjurkan penyelidikan dimulai dari kemungkinan-kemunginan pengetahuan, dan bukan dari pengalaman atau obyek indrawi. Kant lalu memetakan tiga level pengetahuan, yang tersurat dalam pernyataan ini:

“All our knowledge begins with THE SENSES, procceds them to the UNDERSTANDING, and ends with REASON. There is nothing higher than REASON,” seperti dikutib Dr. Tjahjadi dalam Critiques of Pure Reason. Dari pernyataan di atas, secara eksplisit memuat ketiga level pengetahuan, yaitu senses, understanding dan, sebagai yang tertinggi adalah reason.

Ketika memandang dari ketinggian puncak Merbabu, Anda melihat persawahan dan lahan pertanian yang tertata indah. Pepohonan dan bunga-bungaan, gemerlap kota di kejauhan, dan bentangan Rawa Pening dengan sebagian besarnya tertutup enceng gondok. Juga, aktifitas-aktifitas penduduk di lahan pertanian. Semua itu barulah data pengalaman, yang secara serentak diproses oleh rasio murni (kategori apriori), khususnya ruang waktu. Dengan kategori ruang waktu Anda mengatribusi hasil pencerapan indrawi dari puncak Merbabu sebagai lahan yang luas, lebar, pepohonan tinggi, rendah, tanaman baru (muda), tanaman tua, dan sebagainya. Inilah pengetahuan level I, yaitu SENSES atau tahap pencerapan indrawi (Sinneswahrnehmung). Senses atau pengalaman adalah data-data indrawi plus ruang-waktu.

Sebelum dilanjutkan, perlu disadari dua hal disini. Pertama; bahwa sejak mula di level senses sudah terdapat “kerjasama antara rasio dan pengalaman.” Jadi, bukan rasio atau pengalaman yang mendahului, melainkan kerjasama keduanya berlangsung secara serentak. Rasio murni memungkinkan manusia memaknai pengalaman pengamatan. Kedua; kausalitas yang ditolak David Hume karena dianggap bersifat metafisik lantaran berada diluar pengamatan indrawi, oleh Kant diposisikan sebagai rasio murni atau ide bawaan, yaitu sebagai modalitas yang membantu memproses pengetahuan.

Data dari senses (pengetahuan level I) ditata oleh kategori apriori, terutama ruang waktu. Bagi Kant, ruang waktu bukanlah entitas diluar subyek, melainkan “default” manusia yang membantunya menata pengetahuan. Selain ruang waktu, terdapat 12 kategori apriori (rasio murni non pengalaman), antara lain kausalitas, keindahan (beautifulness), quantity dan quality. Dengan ke-12 kategori apriori yang merupakan struktur internal pengamat atau default, Anda dimungkinkan memaknai pengalaman pengamatan sebagai pohon-pohon, lahan persawahan, petak-petak sayur mayur dengan atribusi ruang waktu yaitu panjang, lebar, luas, tinggi-rendah, tua-muda, baru-lama dan sebagainya. Atribusi keindahan untuk nilai estetik seperti pemandangan yang indah, bunga-bungaan yang indah, tertata dan sebagainya. Kategori kualitas dan kuantitas tentang jumlah (banyak-sedikit) dan mutu tanaman atau lahan. Sementara, kategori kausalitas memungkinkan Anda menjelaskan relasi antara penanganan (manejemen) pertanian dengan hasilnya, perawatan dan penataan dengan keindahan, dan sebagainya.

Semuanya merupakan rasio murni yang membantu menata dan memaknai pengalaman indrawi serta memproses pengetahuan. Inilah level II dari pengetahuan, yaitu understanding atau pencerapan akal budi (Verstand). Cobalah bayangkan, bagaimana pengetahuan dimungkinkan tanpa peran rasio murni, yaitu kategori-kategori apriori di atas?

Sebuah problem pada emperisme terselesaikan di sini. Kalau pada skeptisme David Hume, si A yang meninggal karena ditembak dengan pistol oleh si B tidak dapat dikatakan A meninggal oleh sebab tembakan senjata api (melainkan meninggal setelah ada tembakan), pada filsafat kritis Kant telah menjadi jelas. Kausalitas memang bukan obyek pengamatan (di luar pengamat), melainkan modalitas apriori (bagian integral atau kekeran atau default pengamat/subyek) yang berguna menginterpretasi pengalaman. Hubungan kausalitas A dan B bukan sebagai hasil pengamatan, melainkna hasil kerja rasio murni setelah memproses data pengamatan. Disini kepastian diperoleh, sebab yang diproses bukan pengalaman (yang tidak dapat memberikan kepastian itu) melainkan rasio murni. Melalui rasio murni sebagai “wadah atau fasilitas memasak pengalaman menjadi pengetahuan,” tersedia dasar-dasar kokoh bagi pengetahuan.

Semua pengetahuan yang dihasilkan di level II dilihat dalam cakupan yang lebih luas, saling terkoneksi dan menyeluruh. Ini fungsi regulative yang menjadi bobotan pengetahuan level III sebagai level tertinggi dari pengetahuan, yaitu reason. Namun, perlu dicatat bahwa reason disini berbeda dari makna frasa itu dalam bahasa Inggris. Pada Kant, reason yang dimaksud adalah intelek / intellect (Latin) atau nous (Yunani) atau vernunft (Jerman), yang oleh Dr. Simon P.L.Tjahjadi diterjemahkan sebagai budi. Itulah yang tertinggi dari pengetahuan.

Hakikat akal-budi (reason/nous) itu melampaui nalar. Ia bukan anti-nalar, melainkan beyond nalar atau rasio. Ia juga merupakan kapasitas dan hasilnya adalah kebijaksanaan.

Reason atau intelek menata (fungsi regulator) pengetahuan karena ditopang oleh tiga ide bawaan, yaitu ide dunia, ide jiwa dan ide Tuhan. Ide dunia disebut oleh Dr.S.P.L.Tjahjadi sebagai folder penyimpan data, ide jiwa sebagai folder untuk perasaan, estetika, etika dan sejenisnya, dan ide Tuhan sebagai super folder yang menata segalanya. Bagaimana peran Tuhan? Bila emperisme Hume menolak tuhan dan semua atribut metafisika, maka kritisisme Kant menempatkan Tuhan sebagai fungsi regulator. Sebagai ide regulatif, Tuhan adalah penata pengetahuan yang karenanya tidak dapat menjadi obyek pengetahuan, obyek pengamatan atau obyek indrawi. Itu sebabnya, tujuan pengetahuan atau level pengetahuan tertinggi pada akhirnya adalah intelek atau “kepekaan” budi, dimana semua bentuk pengetahaun telah dirangkum sehingga membentuk sikap bijak/wisdom. Kita tentu ingat piramida pengetahuan Russel Ackoff, dimana pengetahuan berawal dari Data ke Informasi ke Pengetahuan dan tertinggi Wisdom (DIKW pyramide).

Bagaimana memahami keberadaan Tuhan? Menurut Kant, Tuhan berada dalam suara hati. Itulah sebabnya, hati nurani dapat memberi kepastian sebab ia tidak tergantung pada apa pun diluarnya. Bila kita tergoda akan melakukan sebuah kejahatan, hatinurani tanpa tedeng aling menegur / mengingatkan kita dengan keras. Artinya ia tidak tergantung pada kita dan seakan memiliki otoritas yang kuat. Ia juga tidak tergantung pada orang tua kita, pastor/pendeta atau ulama kita, dan sebagainya. Ia memiliki kewibawaan independen dalam melakukan fungsi regulator. Dengan kata lain, Tuhan tidak dapat diketahui melalui rasio murni melainkan rasio praktis, yaitu hatinurani.

Anda menangkap sedikit keganjilan, bukan? Bagaimana ide Tuhan tiba-tiba muncul dan berperan sangat penting yaitu sebagai regulator pengetahuan, namun Ia tidak dapat diketahui? Bukankah mengasumsikan Tuhan sebagai regulator telah mengandaikan “bentuk pengetahuan” atas-Nya?

Meski mendaku mensintesa pertentangan Rasionalisme (tesa) dan Emperisme (antitesa), filsafat kritis Kant berakhir di sebuah simpang baru yang menandai keterbelahan. Darinya lahir idealisme Jerman (dikenal juga sebagai transendetalisme atau spiritualisme) dengan Hegel sebagai arsitek utama, dan Positivisme Prancis dimana August Comte sebagai tokohnya. Idealisme kembali mempertegas peran “ide/Tuhan/Roh” dalam proses pengetahuan, sementara Positivisme mengamputasi unsur-unsur metafisika Kant dan mengusung kembali peranan emperia (pengalaman) dengan standar keterukuran yang lebih ketat. Sains abad 19 telah beroperasi dengan epistemologi positivisme dan melibatkan banyak tokoh selain Comte, yakni Karl Popper, John Stuart Mill (kemudian mengembangkan aliran Utilitarianisme), Ĕmile Durkheim, Ludwig Wittgenstein, Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer.

Untuk menonton aktivitas kursus secara lengkap dapat dinonton dalam video berikut:


Epistemologi & Metodologi Empirisisme Hume

Kursus epistemologi dan metodologi segera memasuki sesi keempat (dari 10 sesi). Di sesi pertama Dr.Setyo Wibowo membawa kita ke permulaan aktivitas epistemologi oleh para pemikir Yunani antik. Merekalah yang meletakkan dasar bagi kegiatan berpikir ilmiah dan merintis apa yang kemudian kita kenal sebagai epistemologi. Pun, para pemikir Yunani telah berspekulasi tentang esensi realitas. Melalui Demokritus, misalnya, Sains modern telah mewarisi atom sebagai “inti realitas,” juga teorema Pytagoras, kosmologi Aristotelian (dan Ptolomeus), Geometri Platonian, dan sebagainya. Bahkan, skeptisme nihilisme telah lahir melalui gagasan Gorgias diabad ke-5 SM.

Sekitar 2000 tahun kemudian setelah melalui lorong remang 1000 tahun abad pertengahan, munculah Rene Descartes di panggung peradaban dengan mendeklarasikan Rasionalisme. Melalui metode kesangsian radikal, ia mentahbiskan rasio/nalar sebagai “satu-satunya jalan” menuju pengetahuan. Indera bisa menipu karenanya tidak bisa menjadi pegangan kokoh bagi pengetahuan. Meski demikian, seperti kita pahami melalui presentasi Dr.Karlina Supelli, sains telah membuktikan bahwa rasio tidak tahan uji, dan melaluinya kepastian pengetahuan tidak terjamin.

David Hume (dan emperis lainnya seperti John Locke dan Barkley) kemudian memperkenalkan metode skeptisme (radikal). Metode ini menolak rasionalisme, karena bagi mereka yang nyata ada adalah apa yang bisa kita alami secara langsung. Pengalaman (emperia)lah jalan menuju pengetahuan, bukan rasio. David Hume, sebagai salah satu arsitek utama emperisme sesungguhnya terobsesi dengan emperisme Isaac Newton, yaitu bertitiktolak dari gejala. Bahwa gejala mendorong pengamatan dan pengalaman lalu menjadi awal pencarian pengetahuan.

Guna memperlihatkan perbedaan antara rasionalisme dan emperisme, Dr. A. Widyarsono memberikan analogi yang menarik, yaitu dengan menjawab pertanyaan, “bagaimana sebuah pohon diketahui sebagai pohon?” Rasionalisme akan menjawab, “oh, di dalam pikiran kita sudah ada ide tentang pohon (innate ideas), sehingga ketika melihat pohon di sana kita segera ketahui itu sebagai pohon.” Tetapi, sebaliknya jawaban emperisme adalah, “ide tentang pohon muncul didalam pikiran kita, sesudah kita melihat atau meraba pohon di luar diri kita.”

Dari pemahaman di atas terlihat rasionalisme dan emperisme terkait secara oposisional. Keduanya mengklaim jalannya sendiri, apakah benda ada terlebih dahulu atau ide tentang benda yang terlebih dahulu ada? Perbedaan ontologis ini dengan sendirinya menjadi penciri perbedaan epistemologis keduanya. Hakikatnya, tidak seperti rasionalisme yang mengusung rasio atau nalar, emperisme meletakkan jalan pengetahuan melalui daya sensorik dari sistem pengindraan manusia.

Maka, jelas proyek emperisme Hume melawan gagasan ide bawaan yang diusung rasionalisme. Juga menyerang pemikiran religius, termasuk kaum emperis yang masih percaya pada substansi (yang bersifat metafisik). Dengan kata lain, secara luas empersime menolak sepenuhnya metafisika.

Bagi emperisisme Hume, pengetahuan harus dibangun di atas pengalaman dan pengamatan yang ketat. Apapun yang tidak mengacu ke fakta dan pengalaman harus ditolak. Itulah sebabnya, gagasan keabadian jiwa, atau argumen untuk membuktikan eksistensi Tuhan sama sekali ditolak.

Bahkan, pada pandangan Hume kausalitas bersifat metafisik sehingga tidak dapat dibuktikan. Kita tidak dapat mengamatinya. Apa yang dianggap kausal hanyalah prediksi atas dasar prinsip asosiasi yang dimungkinkan karena lebih ditopang oleh “pengaharapan” ketimbang fakta obyektif yang bisa dialami. Prinsip asosiasi ini membawa kita melampaui pengamatan indrawi.

Bila seekor kucing ditabrak mobil lalu mati, kita tidak dapat mengatakan bahwa kucing mati oleh sebab tertabrak. Antara “mobil yang menabrak” dengan “kucing yang mati” hanyalah dua kejadian yang berurutan atau beruntun. Itulah fakta pengamatan, sebab memang yang dilihat oleh “saksi mata” hanyalah mulanya ada kejadian mobil menabrak, kemudian diikuti kucing mati.

Ini tentu membawa implikasi luas, misalnya pada kasus-kasus hukum. Bila seorang memberi kesaksian di pengadilan, bahwa ia menyaksikan “Si A dibunuh oleh si B dengan pistol” maka dalam pandangan Hume, si saksi mata telah bersaksi melampaui fakta indrawinya. Fakta sesungguhnya yang bisa diamati indra adalah, terjadi penembakan pistol oleh si B lalu diikuti kejadian si A meninggal.” Apakah si A meninggal disebabkan oleh peluru yang digelontorkan dari pistol si B sama sekali tidak dapat diamati dalam sebuah hubungan sebab akibat. Bukankah si A bisa saja meninggal karena faktor lain sebelum peluru mengenainya? Misalnya, serangan jantung? Intinya, kaitan atau proses sebab-akibat antara penembakan dan kematian tidak dapat diamati.

Itulah sebabnya skeptisme Hume dianggap radikal, karena bahkan ia mengatakan bahwa kita hanya bisa memprediksi besok matahari akan terbit di timur, tetapi tidak bisa memastikannya. Faktanya kita tidak atau belum mengalami hari esok sehingga tidak bisa membuat kesimpulan atas apa yang belum dialami. Kita hanya mungkin menprediskinya berdasarkan pengalaman sebelumnya, namun sebuah prediksi tentu bukanlah fakta. Kita juga bisa mengharapkan besok matahari terbit (di timur), tetapi pengharapan juga bukan fakta, bukan?

Sebagai runtun logis dari skeptisme radikalnya, Hume menegaskan tidak mungkin mencapai kepastian pengetahuan. Dengan bertopang pada pengalaman inderawi, Hume meyakini pengalaman yang menjadi fondasi pengetahuan itu sendiri tidak dapat memberi kepastian, melainkan ‘sekadar” probabilities. Artinya, semua pengetahuan yang kita miliki hanyalah berupa kemungkinan-kemungkinan yang bisa mendekati kepastian.

Pun, kita pahami bahwa penemuan sains menunjukkan realitas dapat melampaui fakta-fakta pengamatan seperti yang diidealkan Hume dan kaum empersime. Kepastian matematik, misalnya. Juga, banyak fakta hanya dapat dikonfigurasi melalui model abstrak atau formula matematik guna mensimplifikasi realitas agar bisa dipahami. Dan, kitapun tahu model dan formula bukanlah fakta sebagaimana “apa adanya”, bahkan bukan didasarkan atas sesuatu yang bisa disebut “fakta,” alih-alih “fakta teralami?”

Dengan demikian, baik rasionalisme maupun empersime belum dapat memberi kepastian pengetahuan. Artinya, baik kesangsian radikal rasionalisme maupun skeptisme radikal emperisme belum dapat memberikan kepastian pengetahuan.

Link sessi 3:

Epistemologi & Metodologi Rasionalisme Descartes

Kursus Epistemologi dan Metodologi UKSW 2022, sesi 2 tanggal 18/3/22 telah menghadirkan Dr.Karlian Supelli. Tema yang dibahasnya adalah Epistemologi Rasionalisme Descartes dan Kepastian Pengetahuan.

René Descartes (dalam literatur berbahasa Latin dikenal sebagai Renatus Cartesius) adalah filsuf matematikawan Prancis. Ia lahir di La Haye sebuah kota pinggiran di Tourine, Perancis Barat pada 31 Maret 1596, dan meninggal di Swiss 11 Februari 1650. Untuk menghormatinya, sejak tahun 1802 kota itu diganti namanya menjadi La Haye-Descartes, lalu 1967 diganti lagi dengan menghilangkan nama lamanya sehingga resmi bernama kota Descartes.

Filsuf Jerman Friedrich W. J. Schelling (1775–1854) mentahbiskan Descartes sebagai Bapak Filsafat Modern, dan disejajarkan dengan Francis Bacon. Kalau Bacon didaku sebagai peletak dasar sains modern, maka Descartes sebagai peletak dasar Epistemologi Modern.

Dua buah karya masterpiece-nya adalah Discours de la méthode (1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641). Jargon yang melekat padanya sangat terkenal, yaitu cogito ergo sum (Prancis: Je Pense, Donc Je Suis) muncul dalam karya ini. Label itu penting karena menandai sebuah tonggak baru dalam babakan sejarah, yaitu era filsafat modern. Secara garis besar dalam kedua karya tersebut (tetapi tidak hanya itu) digambarkan metode dan gagasan-gagasan pokok filosofinya:

Discours de La Methode (Discourse on Method) popular namun sesungguhnya judul lengkapnya cukup panjang, yaitu Discours de la Méthode Pour bien conduire sa raison, et chercher la vérité dans les sciences (Discourse on the Method of Rightly Conducting One’s Reason and of Seeking Truth in the Sciences), merupakan sebuah risalah filsafat dan otobiografi. Di Bab IV dari risalah inilah ia menulis dalilnya yang terkenal, Je pense, donc je suis (cogito erguí sum/I think therefore I am). Karya ini diakui sebagai salah satu karya paling berpengaruh dalam sejarah filsafat modern dan berkontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan alam. Disini Descartes mencoba menangani masalah skeptisisme yang telah dipelajari para filsuf sebelumnya, yakni dengan metode keragu-raguan radikal.

Meditationes de prima Philosophia (1641) atau terjemahan Inggrisnya, Meditations on The First Philosophy membahas 7 set keberatan dari para filsuf terkemuka, termasuk Jean Pierre Bourdin, Thomas Hobbes, dan Pierre Gassendi & Jawaban Descartes atas keberatan-keberatan itu. Dari ketujuh keberatan itu, 3 bersifat teologis dan 4 bersifat filosofis. Dari sini tergambarkan betapa pikiran-pikiran Descartes sangat berpengaruh sehingga mendapatkan banyak respons penolakan, yang semuanya dihadapi (dijawab) dalam karya ini.

Peran dan kontribusinya dalam filsafat akan lebih mudah dipahami bila terlebih dahulu memhami konteks keseluruhan zamannya. Setelah kurang lebih 1000 tahun filsafat agama yang kita kenal sebagai babakan filsafat abad pertengahan, dimana “kebenaran wahyu” mendominasi interpretasi kebenaran, munculah era renaissance. Renaissanse bisa dilihat sebagai interupsi atas dominasi kebenaran teologis, yang diawal masih lebih banyak mengekspresikan pemikiran dan kreativitas melalui seni dan sastra. Dapat dikatakan bahwa Renaisanse merupakan “pemberontakan malu-malu” terhadap dogmatisme abad pertengahan, mengingat perbedaan interpretasi atau ekspresi pemikiran yang berbeda mendapatkan konsekuensi yang tidak mudah. Galileo Galilei, Isaac Newton, dan lainnya menjadi bukti betapa kuat dan ketatnya kontrol teologi atas kemerdekaan berpikir dan berekspresi. Itulah sebabnya, Renaisance yang muncul dengan cita-cita menghidupkan kembali filsafat Yunani-Helenias masih bergerak di bidang seni dan sastra. Muncullah tokoh-tokoh besar, seperti Leonardo da Vinci, Tiziano Vecelli, Sandro Boticelli, Raphael Sanzio, Michaelangelo Buonarroti, Shakespeare, Francis Bacon, dan para penjelajah seperti Vasco da Gama, dan lainnya.

Maka, naiknya Rene Descartes di panggung peradaban benar-benar sebuah momentum besar. Seolah ia memecah kesunyian dengan deklarasinya yang menggelegar, “aku berpikir maka aku ada.” Ini menjadi babakan penting karena menandai sebuah revolusi, yaitu dari iman/wahyu sebagai pusat orientasi pengetahuan digantikan oleh “cogito.” Dengan sendirinya deklarasi ini menandai berakhirnya “takhta kekuasaan kebenaran wahyu” yang menjadi ciri filsafat abad pertengahan selama satu milenium.

Lewat deklarasi itu, Descartes menegaskan bahwa hanya akal (rasio) yang menjadi satu-satunya dasar untuk dipercaya. Bukan lagi iman atau wahyu sebagaimana dipegang oleh filsafat abad pertengahan. Descartes mendapatkan dukungan dari pemikir lain yang akhirnya dikenal sebagai pendukung Rasionalisme, yaitu Baruch Spinoza (Benedictus de Spinoza 1632-1677), Gotiefried Wilhelm von Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662) dan Cristian Wolf (1679-1754).

Melalui presentasi Dr. Karlina Supelli di kelas Kursus Epistemologi dan Metodologi UKSW 2022 (18/3/22), kita jadi tahu bahwa Descartes mengakui keyakinan (convictio) sebagai jenis pengetahuan, disamping pengetahuan ilmiah (scientia). Meski, diakuinya jenis pengetahuan convictio tidak seketat scientia disebabkan ada alasan-alasan untuk meragukannya. Berbeda dengan scientia sebagai jenis pengetahuan yang bertumpu pada alasan-alasan kokoh sehingga tidak berbuka kemungikan menggoyahnya. Poin terpenting disini adalah, memahami bagaimana Descartes tiba di kesimpulan itu.

Untuk memahami epistemologi Descartes perlu terlebih dahulu memahami konsep innate ideas (ide bawaan), yang nampaknya menjadi prasyarat bagi pengetahuan manusia. Terdapat tiga ide bawaan yaitu res cogito (kesadaran aku), res extentia (ide keluasan) dan ide Allah. Dari ketiga ide bawaan inilah dideduksi menjadi berbagai ilmu pengetahuan. Dari sini bisa dipahami bahwa proses pengetahuan dalam epistemologi Descartes telah mengandaikan peran Tuhan., bahkan dengan adanya rex extentia juga mengandaikan corak emperia (pengalaman langsung).

Bermula sebagai hasil kerja metode kesangsian radikal, Descartes mendapati res cogita (kesadaran) sebagai realitas (ada) tahan uji, kokoh, jelas dan terpilah. Ia lolos dari uji kesangsian atau keragu-raguan. Inilah titik-tolak pengetahuan. Melalui res cogita-lah disadari realitas lain, yaitu res extentia (ide keluasan), antara lain sebagai wadah bagi res cogita. Semua jenis realitas lain hanya dapat dipahami melalui keluasannya, yaitu tinggi, luas, lebar, panjang. Tetapi, perhatikanlah, bahwa keseluruhan kesadaran aku dan keluasan ini sama-sama menginisiasi kesempurnaan. Dan, baik kesadaran aku, maupun keluasan, bukanlah yang sempurna itu, melainkan selalu dalam proses menujunya (prinsip teleologis). Maka, kesempurnaan yang menjadi orientasi dari realitas cogito dan extentia pastilah memiliki sumber. Disebabkan kesadaran aku dan ide keluasan tidak sempurna maka sumber kesempuraan itu pastilah hanya Allah.

Adanya ketiga ide bawan di atas membawa Descartes pada identifikasi dua jalan pengetahuan,seperti disebut di paragraf awal, yaitu scientia dan convictio. Scientia menganut paham fondasional, dimana harus bertolak dari sebuah kepastian. Ide Allah adalah penjamin kepastian. Scientia diperoleh dengan intuisi, yang merupakan konsepsi sederhana tetapi muncul secara langsung, jelas dan terpilah. Intuisi juga sebagai bukti kehadiran kita yang mendapatkan anugerah Tuhan. Sementara, convictio diperoleh melalui proses deduksi yang tidak terlalu jelas dan terpilah sebagaimana dipersyaratkannya bagi sebuah pengetahuan.

Seperti Aristoteles, Descartes juga mengkategorikan metafisika sebagai filsafat pertama, yang dalam hal ini digambarkan sebagai akar dari pohon pengetahuan. Tepatnya lagi, akar pohon pengetahuan adalah metafisika skolastik (yang membutuhkan Tuhan), sementara batangnya adalah fisika dan ilmu-ilmu lain menjadi cabang-cabangnya.

Epistemologi Descartes merupakan “penemuan” genuine, yang dengan rendah hati diakuinya bukan sebagai pengajaran. Melainkan sebagai “sekadar menceritakan” apa yang telah dilakukannya sehingga sampai kepada pengetahuan. Ia bertolak dari geometri analitik, yaitu berbasis pada persoalan/kasus/ masalah. Karenanya bersifat empirik atau berbasis pada pengalaman (emperia).

Metode yang dimaksud adalah “kesangsian radikal,” dimana baginya pengetahuan harus dimulai dengan meragukan keberadaan segala sesuatu, apa pun, termasuk meragukan diri sendiri. Melalui metode ini, kita akan sampai pada sebuah titik kokoh dimana tidak mungkin bisa diragukan lagi. Setelah meragukan apapun, kita akan dapati diri kita yang sedang meragukan segala sesuatu itu. Kenyataan bahwa kita sedang ragu-ragu itu tidak bisa diragukan lagi. Dari situlah muncul deklarasinya yang popular, “aku berpikir maka aku ada” (cogito ergo sum /Prancis: Je Pense, Donc Je Suis).

Setelah mencapai titik “realitas sejati” itu, Descartes lalu mengidentifikasi ciri pengetahuan, yaitu harus “jelas dan terpilah-pilah.” Sesuatu disebut pengetahuan apabila memenuhi kedua ciri tersebut. Jelas artinya terang benderang, nyata. Terpilah-pilah artinya secara tegas dapat dibedakan dari yang lain. Bahwa pencapaian “cogita” melalui metode penyakalan telah membuat realitas cogita menjadi jelas dan terpilah-pilah.

Apakah dengan demikian, proses pengetahuan sains, baik convictio maupun scientia dapat dapat mencapai kepastian? Seberapa pastikah pengetahuan/sains? Nampaknya, melaui epistemologi rasionalisme Cartesian, betapapun telah mengandaikan pengalaman (emperia) atau res extentia dan bahkan Tuhan sebagai penjamin, perkembangan sains membuktikan bahwa tidak ada kepastian pengetahuan. Kecuali kebenaran-kebenaran sementara yang selalu terbuka untuk terus diuji.

Link Kursus sessi 2:

CCTD UKSW menyelenggarakan kursus filsafat ilmu

cctd uksw

Bila SAINS dapat menjelaskan realitas NILAI, SENI dan MORAL, apakah FILSAFAT ILMU & METODOLOGI PENELITIAN masih bisa mencakupinya? Secara umum dipahami bahwa Sains memiliki wilayah kajian yang berbeda dengan agama dan seni. Sains “hanya” terkait dengan bentuk realitas sensible, fakta-fakta serta keterukuran, sementara wilayah agama berurusan dengan nilai-nilai. Kedua wilayah ini tidak bisa saling cakup. Stephen Jay Gould, seorang paleontolog (sejarah evolusi dan biologi) kemudian menegaskannya melalui pendekatan yang disebut Non Overlapping Magisteria (NOMA), yang dengan demikian membuat tembok demarkasi metafisik untuk memilah batas-batas keduanya. Namun, NOMA ditolak oleh Richard Dawkins dan saintis lainnya. Dalam karyanya the Magic of Reality, Richard Dawkins berargumen bahwa sains berhak masuk ke bidang manapun, termasuk agama dan seni. Tidak ada yang bisa menghalangi sains untuk menyensor bentuk pengetahuan apapun sejauh ia terkait dengan dunia empirik.

Dalam diskusi membahas pemikiran Richard Dawkins dari perspektif Filsafat Ilmu tahun 2020, Dr. Karlina Supelli membenarkan argumen Dawkins dan menyatakan bahwa sains berhak masuk ke ranah nilai, seni, agama dan sebagainya. Dengan demikian implikasi dan konsekuensinya luas, terutama pada cakupan dan kerja-kerja metodologi penelitian, dan tentu saja filsafat ilmu sebagai induknya. Sains akhirnya perlu mengembangkan metodologinya agar memiliki “daya sensor yang lebih canggih” yang memungkinkannya “menangkap” jenis realitas seni, nilai, moral dan lainnya yang terkait agama.

Untuk alasan itulah, CCTD mengadakan KURSUS FILSAFAT ILMU secara daring dengan durasi 6 (enam) sesi, diajar oleh Dr. Karlina Supelli (4 sessi) dan Dr.J.Haryatmoko, S.J (2 sessi). Dengan tiap sessi diberikan durasi 2 jam untuk mendengarkan materi dan berdiskusi. Kursus ini dilaksanakan dari 9 April 2021 hingga 21 Mei 2021.

Ibu Karlina membahas Filsafat Ilmu dalam perpektif ontologis, epistemologis hingga aksiologis. Dan dilanjutkan Romo Moko membahas perkembangan filsafat ilmu dalam postmodernisme dan post truth.

Kursus ini diikuti secara serius oleh 47 peserta yang merupakan dosen dan mahasiswa.

Berikut Video pemaparan dari tiap sessi:

Pertemuan 1 : 9 April 2021 oleh Dr. Karlina Supelli
Pertemuan 2: 16 April 2021 oleh Dr.Karlina Supelli
Pertemuan 3: 23 April 2021 oleh Dr. Karlina Supelli
Pertemuan 4: 30 Arpil 2021 oleh Dr. Karlina Supelli
Pertemuan 5: 7 Mei 2021 oleh Dr. J. Hayatmoko,SJ
Pertemuan 6: 21 Mei 2021 oleh Dr. J. Hayatmoko,SJ

RAGAAN PEMIKIRAN KRITIS DOSEN UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA 2020

Survei ini dilakukan oleh Pusat Pengembangan Pemikiran Kritis UKSW sejak November 2019-Maret 2020. Survei disebarkan kepada para Dosen, juga Mahasiswa UKSW. Untuk dosen dilakukan wawancara langsung dengan kombinasi pertanyaan tertutup dan terbuka. Wawancara dilakukan oleh 11 Mahasiswa yang telah dilatih sebelumnya. Sementara, survei untuk mahasiswa dikirim secara online melalui email oleh BTSI.    

Survei ditujukan untuk mendapatkan “gambaran kasar” bagaimana tampilan (ragaan) Pemikiran Kritis di UKSW, baik dikalangan Dosen maupun Mahasiswa. Metode yang digunakan adalah eksploratif. Untuk dosen yang diwawancarai secara langsung sejak November 2019 hingga Maret 2020 ketika “tatap muka” harus terhenti lantaran Covid-19, jumlah yang berhasil diwawancari /mengisi questioner sebanyak 86 orang dari berbagai Fakultas.

Wawancara dilakukan secara acak, karena pengambilan sampel menggunakan kriteria tunggal yaitu “dosen UKSW.” Itulah sebabnya survei ini tidak mewakili kondisi sebenarnya, melainkan sekadar memberi gambaran kasar.    Terdapat 14 pertanyaan yang diajukan (11 pertanyaan tertutup, 3 pertanyaan terbuka). Dari 86 questioner yang terisi, dapat digambarkan sebagai berikut:


1. IDENTITAS RESPONDEN:    Berdasarkan Pendidikan Terakhir: S1 = 2%;  S2 = 52%;  S3 = 28%

Berdasarkan FAKULTAS: 1. FKIK; 2.PSIKOLOGI; 3. FPB; 4. FBS; 5. FKIP; 6. BIOLOGI; 7. TEOLOGI; 8. FID; 9. FISKOM; 10.FSM; 11. FTEK; 12. FEB; 13.HUKUM.

2. Apakah pemikiran kritis menjadi TUJUAN UTAMA PEMBELAJARAN di kelas?

Tujuan pertanyaan ini untuk mengetahui persepsi dosen tentang pentingnya pemikiran kritis dalam proses belajar/mengajar di UKSW. 9% menyatakan tidak setuju dan ragu-ragu. Disini para dosen memahami dan menyadari bahwa sebagai Pendidikan Tinggi, tujuan dari pendidikan adalah membentuk kemandirian mahasiswa dalam berpikir. 


3. Apakah Anda termasuk Pemikir Kritis?

Ternyata 24% dosen ragu-ragu sementara 1% mengakui tidak berpikir kritis. 75% mengaku berpikir kritis.

Dua pertanyaan lanjutan dan terbuka menguji validitas jawaban reponden. Pertama, responden diminta memilih sejumalah kata/frasa yang terasosiasi dengan pemikiran kritis, sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Richard Paul dan Linda Elder. Frasa-farasa dimaksud adalah: raional/bernalar, evidence based, sikap intelek dan etis, kriteria penalaran dan terukur, serta standar intelektual.

Hasilnya cukup meyakinkan. Dari total yang setuju sebagai pemikir kritis, 89,2% secara tepat mengaitkan CT dengan kata bernalar, 86,1 mengaitkanya dengan “evidence based,” 73,8% mengaitkanya dengan “sikap intelek dan etis,” 83% dengan “curiousity,” 43% dengan “standar intelektual,” 72,3% mengatikannya dengan “kriteria penalaran dan terukur,” serta 64,6% mengatikannya dengan “sikap jujur dan rendah hati.”    

Kedua; uji validasi melalui definisi. Definisi yang dijadikan acuan adalah yang mencakup makna terkait dengan frasa/terma-terma sebagaimana disebutkan pada bagian Pertama di atas. Berdasarkan kriteria ini hanya 46% (29 dari 63 responden) yang menjawab dengan tepat. Kebanyakan memberikan definisi yang terlalu longgar dan kurang tegas, seperti berpikir obyektif, out of the box, berorienatsi pada solusi, dan sejenisnya.    

Hal menarik dari definisi responden yang terkait tegori sebagai “pemikir kritis” ini antara lain, ada yang mengaitkan pemikiran kritis dengan berolah ilmu dalam semangat takut Tuhan (3 responden). Disebut menarik karena selain memberikan definisi yang tepat juga mengaitkan denagn “visi dan misi” UKSW.    10 dari 23 reponden (43,4%) yang menjawab ragu-ragu dan bukan pemikir kritis memberikan definsi yang tepat. 86% mengaitkan definisinya dengan terma “bernalar” 95,7% dengan “evidence based,” 82,6 dengan “sikap intelek dan etis,” 69,6% dengan “curiousity,” 39,1% dengan “standar intelek,” 69,6% dengan “kriteria penalaran,” 56,5% mengaitkannya dengan “sikpa rendah hati dan jujur.”    

Profile keseluruhan (total responden) berdasarkan definisi yang diberikan dapat dilihat sebagai berikut: Bernalar (rasional) 87.6%, Evidence based 90.9%, Sikap intelek & etis 78.2%, Curiousity 76.3%, Standar intelek 37.%, Kriteria Penalaran 70.95%, dan Sikap rendah hati & jujur 60.55%. Data ini memperlihatkan optimisme. Namun perlu dipertimbangkan juga data lain. Selain memilih kata-kata (terma atau frasa) yang sesuai (terasosiasi) dengan makna Critical Thinking, juga ada responden yang ikut memilih frasa yang lemah, tidak terkait bahkan bertentangan dengan Critical Thinking, misalnya: jago berdebat, cerdas, banyak akal, pandai berbicara, dan banyak pengalaman. Dari total yang setuju sebagai pemikir kritis, 38,1% (24 dari 63) memilih juga kata-kata yang lemah atau tidak terasosiasi dengan CT sebagaimana dimaksud di atas. Sementara, responden yang tidak setuju atau ragu-ragu terdapat 26% yang masuk kategori ini. Apakah bila “kelompok yang tidak tegas” ini diabaikan, sisanya dapat disimpulkan sebagai “berpikir kritis?” Prosentasinya mencapai 45,3% atau 39 dari 86. Nampaknya masih perlu menggali informasi lainnya agar memastikan kesimpulan ini. Misalnya, melalui wawancara mendalam (indepth), mempelajari silabus, dan lainnya yang dapat diduga memperkuat kesimpulan. “Validasi” sikap kritis dari reponden yang setuju sebagai “pemikir kritis” dapat dilakukan dengan mengkonsultasikan dengan jawabannya atas dua pertanyaan lain, yaitu (1) dalam proses belajar mengajar dan berdiskusi Anda selalu berpikir dengan tujuan yang jelas, merujuk data dan teori, serta bersikap terbuka terhadap pemikiran yang berbeda. (2) dalam berdiskusi dan berdebat, Anda selalu berupaya mempertahankan argumentasi dan mencari pembenaran agar tidak dipermalukan di depan umum. Responden dianggap konsisten (sebagai pemikir kritis) apabila jawaban untuk pertanyaan (1) adalah “Setuju” dan untuk (2) Tidak setuju dan atau ragu-ragu. Berdasarkan asumsi ini, diperoleh data 87.3% (55 dari 63) dapat dikategorikan sebagai konsisten.    Akhirnya, bila dianalisis secara total, terdapat 31.40% (27 dari 86) memberikan jawaban yang secara konsisten menunjukkan persespinya sebagai “pemikir kritis.” Angka ini diperoleh dengan mengamati konsitensi jawaban atas semua pertanyaan terkait pemikiran Kritis hingga definisi yang diberikan oleh responden.

4. Apakah mahasiswa UKSW, khususnya yang Anda ajar di kelas termasuk berpikir kritis? 

Tujuan pertanyaan ini adalah untuk mengetahui persepsi dosen tentang kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang diajarnya. Yang dibutuhkan adalah gambaran kasar/gambaran umum, sebab tentu banyak mahasiswa dan banyak kelas yang diampu. Ternyata hanya 35% yang setuju kalau mahasiswanya berpikir kritis, sementara yang ragu-ragu mencapai 50%.mahasiswanya berpikir kritis, sementara yang tidak setuju mencapai 15%.Dengan data ini menunjukan bahwa dosen menemukan didalam kelas tidak semua mahasiswa bisa berpikir kritis. Jika diakumulasi keraguan dan ketidak setujuan dosen, maka 65 % mahasiswa di dalam kelas tidak termasuk berpikir kritis. 

5. Bagi yang setuju Mahasiswa berpikir kritis, bila diprosentasikan, berapa jumlah mahasiswa yang berpikir kritis?

Kebanyakan (> 50%) = 24% ; Sebagian (31-50%) = 41% ; Sedikit (10-30%) = 29% ; Kurang (< 10%) = 6%

Dari 35% responden yang setuju mahasiwa yang diajar di kelas berpikir kritis, yang menyebut kebanyakan mahaswa berpikir kritis hanya 24%, yang menyebut jumlha mahasiswa kritis kurang dari 10% sebanyak 6%. 

6. Apakah pemikiran Kritis diterapkan dalam semua aspek kehidupan?

    1. Berpikir; 2. Membaca; 3. Berbicara; 4. Menulis;     5. Mendengar; 6. Menukang/karya seni; 7. Semua aspek kehidupan 
85% memahaminya dengan benar, yaitu pemikiran kritis dapat diterapkan dalam semua aspek kehidupan. Ada pula responden yang mencentang semua pilihan, namun men-skip pilihan “Bertani.” Sementara ada responden yang cukup memilih option 7, yang berarti telah mewakili semua alternatif yang tersedia. 

8. Apakah pembelajaran dalam kelas, untuk mata kuliah apapun, langsung maupun tidak bertujuan membuat mahasiswa lebih kritis dalam mata kuliah tersebut?

Dari data ini menunjukan bahwa dosen yakin (94%) bahwa pembelajaran dalam kelas membuat mahasiswa lebih kritis. Hanya 6% responden yang kurang yakin adanya korelasi antara aktivitas mengajar dalam kelas, bisa meningkatkan kekritisan mahasiswa.

9. Apaklah Anda merencanakan metode / pembelajaran di kelas untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa? 
88% menyatakan merancangkan metode mengajar untuk meningkatkan kemampuan berpikir mahasiswa. Namun, dari jumlah itu hanya 32,9 yang menjawab pertanyaan terbuka dengan menjelaskan metodenya. Antara lain, dirancangkan dalam Silabi, meminta umpan balik, problem based, kerja lapangan, tugas mandiri, studi kasus, pengajuan pertanyaan HOTS, latih teorema, mini riset, dan review paper.

10. Apakah kebenaran bersifat OBYEKTIF dan UNIVERSAL?

20% tidak setuju, dan 24% ragu-ragu. “Hanya” 56% yang berpendapat bahwa kebenaran bersifat obyektif & universal.

Profile TIDAK SETUJU & RAGU-RAGU menyebar di semua Fakultas, kecuali FTEK (100% setuju).  25% reponden FSM  memilih ragu-ragu. Responden Fteol dan FH sebagian besar (65% dan 70%) tidak setuju dan ragu-ragu.  Semua responden (100%) FEB & FBS  menyatakan tidak setuju dan ragu-ragu.   

11. Apakah IMAN dan ILMU dapat bekerja sama dan saling memperkuat untuk meningkatkan pengetahuan dan peradaban? 96% dosen setuju, sementara 4% ragu-ragu akan kerjasama Iman dan Ilmu. Dengan demikiarn ada sekitar 96% responden yang menggunakan moral dan etika dalam pengembangan keilmuan.


12. Apakah Pemikiran Kritis dapat mendukung pencapaian Visi dan Misi UKSW? Mendukung pencapaian komunitas creative minority? 

94% setuju bahwa dengan berpikir kritis maka VISI dan Misi UKSW akan tercipta lewat terbentuknya creative minority.  

13. Bagaimana kondisi pemikiran kritis di UKSW?

75% KURANG / MEMPRIHATINKAN ; 20% TIDAK BERPENDAPAT ; 5% BAIK

Romo Tomas menghantar civitas UKSW memahami manusia

Berfilsafat tentang Manusia

Dr. Thomas Hidya Tjaya dari STF Driyarkara memukau kelas Kursus Filsafat UKSW 2019/2020 di sesi kelima dalam tema Filsafat Manusia. Dengan metodenya yang menekankan pada sistem berpikir, Romo Thomas memulai dengan alasan mengapa perlu belajar Filsafat Manusia. Selain sebagai natur manusia untuk mengetahui realitas (being), termasuk mengetahui dirinya sendiri, juga membantu manusia memahami struktur dasar serta kodratnya guna membuka ruang ke kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas (termasuk ketidakmungkinannya) perihal mengetahui sesuatu.

Pada hakikatnya Filsafat Manusia merefleksikan manusia sebagai manusia seada-adanya. Maka, yang pertama dilakukan adalah membedakan konsep manusia sebagai makluk dan sebagai pengada. Keduanya dibedakan oleh pengandaian ontologis, dimana terma ‘makluk’ (creature) sudah mengandaikan adanya penciptaan (konsep teologis). Filsafat Manusia akhirnya memilih terma “pengada” agar lebih netral. Mengapa? Karena makna manusia harus dipahami dari ‘esensi manusia’ itu sendiri sebagai pengada (being) seperti halnya batu, kayu, planet, tikus, serigala, tanaman dan sebagainya.

Namun, juga ternyata bahwa manusia tidak sekadar pengada melainkan pengada hidup (living being) bersama pengada hidup lainnya seperti tumbuhan dan hewan. Meski demikian ada fitur pembeda antara manusia dan sesama pengada hidup lainnya, yang membuat manusia sadar untuk mempertanyakan adanya dan ada ada lain.

Persoalannya adalah manusia sudah banyak dibebani pemaknaan dari luar dirinya, sehingga proyek FM pertama-tama adalah membersihkan dari konteks apapun, termasuk keilmuan, dan dari atribut-atribut aksidental yang dilekatkan padanya. Dengan cara ini, setelah ditanggalkan satu persatu atribut eksternal tertinggal hanyalah struktur khas manusia, yang kemudian bisa menjadi dasar dan titik pijak untuk memahami dirinya maupun pengada-pengada lain.

Secara ontologis manusia sebagai pengada hidup (living beings) memiliki beberapa ciri. Pertama, Asimilasi, yaitu manusia berkembang dan mengembangkan diri dengan mengubah apa yang dimakan dan dicerna menjadi substansinya sendiri. Kedua; Rekuperasi yaitu memperbaiki dan memulihkan luka-lukanya dari dalam diri atau substansinya sendiri. Ketiga, Reproduksi diri yakni melipatgandakan diri dan memuat dalam dirinya bibit atau tunas yang akan menjadi suatu pengada hidup baru sebagai penerus spesiesnya. Keempat, Adaptasi dimana ia mampu memberikan tanggapan terhadap pengaruh-pengaruh yang diterimanya dan atas keadaan yang ‘mengkondisikan’ eksistensinya. Tanggapan ini berasal dari dalam dirinya sendiri, dan bukan karena mekanisasi atau otomatisasi. Kelima; Penentu finalitas yaitu menjadi tujuan bagi dirinya sendiri (khususnya pada manusia). Hal ini terlihat dalam kegiatan transitif, yakni kegiatan yang memproduksi suatu efek di luar dari pelakunya (melukis, mengukir batu, menulis, dsb.)

Dengan struktur ontologis seperti di atas terbentuk kodratnya sebagai pengada hidup (living beings), yaitu: Memiliki kemampuan untuk menyempurnakan dirinya sendiri (autoperfektif), yaitu tumbuh, mengembangkan diri, mengerti sesuatu, dan mengambil keputusan, dan sebagainya. Dan Kemampuan menyempurnakan diri sendiri ini menunjukkan bahwa pengada hidup memiliki kesatuan substansial (substantial unity) yang membuatnya selalu bersifat identik dengan dirinya, dari kelahiran hingga kematiannya.

Kesatuan substantial memiliki sifat-sifat: PERTAMA, Dinamis dan menstrukturkan, dimana sumber pertama dari kegiatan-kegiatan yang beranekaragam terkoordinasi serupa sebuah energi primordial. Kesatuan substansial inilah yang memungkinkan pengada hidup yang sekompleks manusia dapat bernafas, bergerak, mendengarkan, belajar, dsb. KEDUA, Natural (bukan artifisial), dimana sudah dimiliki pengada hidup sejak awal dan menstrukturkannya sejak awal (bukan hasil penggabungan). Sifat kesatuan substansi ini selalu ada pada setiap tahap perkembangan dan aspek kegiatan pengada hidup. KETIGA, Memiliki kesadaran (sampai batas tertentu), yang menyebabkan pengada hidup hadir pada dirinya sendiri. Kehadiran ini diperlukan agar usaha penyempurnaan dan realisasi dirinya dapat terwujud. Pada manusia, sifat kodrati ini membuatnya dapat berefleksi, berkontemplasi dan mempertanyakan dirinya sendiri. KEEMPAT, Subjektif yaitu menyangkut sebuah ‘aku’ (the I). Kesatuan substansial ini, dialami sebagai subjek atau aku, tidak dapat direduksikan sebagai objek atau alat apapun. KELIMA, Kompleks, dimana pengada terdiri atas berbagai bagian yang tergantung satu sama lain, namun memiliki konfigurasi yang khas sehingga dapat memenuhi suatu fungsi tertentu.

Kuliah yang sangat interaktif berlangsung empat jam tanpa terasa, namun tetap saja tidak menuntaskan pembelajaran. Ini menunjukkan bahwa manusia selalu butuh waktu yang tidak sedikit untuk memhamai dirinya sendiri, karena memahami diri sendiri merupakan titik tolak memahami dunia. Sejauh pembelajaran di atas, Romo Thomas baru mengantar sampai struktur ontologis manusia pada “fitur-fitur umum” yang dimiliki semua pengada hidup. Yang membedakannya hanyalah level, tetapi secara kodrati semua pengada hidup memilikinya. Ini sebuah ending yang mendebarkan dan membuat penasaran.

Keterampilan Critical Reading Mahasiswa FEB UKSW Angkatan 2017

“Anytime you read, you are reading the product of an author’s reasoning. You can use your understanding of the elements of reasoning, therefore, to bring your reading to a higher level.[1]” 

Kesalahan umum dalam membaca adalah tanpa metode standar, dan karenanya kerapkali sambil membaca teks si pembaca (reader) sibuk sendiri dengan pikiran dan dinamika didalamnya. Akibatnya gagal memahami secara utuh konten atau logic of content dari penulis (tulisan yang dibacanya). Padahal, tujuan utama membaca adalah memahami pikiran penulis, yang oleh  Richard Paul dibahasakan sebagai “masuk ke dalam pikiran penulis.”  Konsep kuncinya adalah critical reading, yaitu membaca secara kritis dengan menggunakan ‘tools standar’ dalam penalaran kritis sehingga membantu memahami bacaan atau produk penalaran secara efektif.

Model Critical Thinking Paulian dari Richard Paul dan Linda Elder memiliki keunggulan dalam hal menggunakan standar untuk mengevaluasi produk-produk penalaran.  Salah satu diantara standar dimaksud adalah elements of reasoning (EoR)

EoR merupakan ‘rancang bangun’ dari output penalaran, baik berupa tulisan maupun lisan (orasi). Karenanya, EoR dapat digunakan sebagai ‘indikator asesmen’ untuk menguji kesahihan sebuah produk penalaran. Empat dimensi penalaran yang menjadi obyek penerapan EoR adalah critical listening (hearing),critical reading, critical writing, dan  ciritical speaking.  

Bagi mahasiswa tahun pertama, kemampuan membaca atau critical reading (disamping mendengar) merupakan syarat dasar yang harus dimiliki atau keterampilan dasar yang perlu dikuasi sebelum menulis dan berbicara. Keterampilan memahami dan menerapkan EoR akan sangat membantu  mahasiswa untuk membaca teks dan memahami secara efektif dan efisien.

Penelitian kelas ini bertujuan mengetahui kemampuan critical reading Mahasiswa FEB-UKSW yang mengambil mata kuliah Critical Thinking tahun ajaran 2017/2018.  Disamping itu, penelitian ini hendak mengidentifikasi kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam critical reading berkaitan dengan identifikasi elemen penalaran. Pertanyaan lain yang ingin dijawab adalah apakah bahan bacaan berbahasa asing ikut memengaruhi kemampuan critical reading mahasiswa?

Konsep dan Teori

Dua konsep yang dibahas dalam penelitian ini adalah:

  1. Critical Thinking dan Paulian Model.

Critical thinking memiliki banyak definisi.  Yang digunakan  dalam penelitian ini adalah yang diajukan oleh Richard Paul dan Linda Elder.

Critical Thinking sebagaimana yang dikembangkan oleh Richard Paul dan Linda Elder atau dikenal dengan Model Paulian, menyediakan tools sebagai standar untuk mengevaluasi produk-produk penalaran dan tampilan critical thinkers, apakah memenuhi kriteria sebagai ‘strong critical thinker’ (SCT) atau ‘weak crtical thinker” (WCT). Tujuan pembelajaran CT adalah berkembang dari WCT ke SCT.  Tiga komponen yang ditetapkan sebagai standar baku dari CT Paulian adalah Eelements of Thought atau Elements of Reasoning (EOS), Intelektual Standar atau desebut juga Universal Intelektual Standard (UIS), dan Intellectaul Traits (IT).

Lengkapnya, Model CT Paulian dapat dilihat dalam Diagram berikut:

Sumber: http://www.criticalthinking.org/pages/applied-disciplines-a-critical-thinking-model

Ketiga komponen strandar di atas berfungsi secara terpadu dan terintegrasi, dan tidak bisa dilepaspisahkan satu dari yang lainnya. Kerangka dasar atau rancang bangunnya adalah EOR (the Eelements), sementara kedalamannya atau ukuran kekuatan kerangka bangunan penalarannya adalah UIS (the Standards), yang diorienteasikan untuk menghasilkan intelektual yang bijak (IT).  Artinya, IT merupakan output dari penerapan EOR yang menggunakan Standards. Seorang strong critical thinkers memiliki nilai-nilai atau kebajikan sebagaimana dirumuskan sebagai IT.   

Sebagai permulaan penelitian ini memfokuskan pada ‘kerangka bangunan CT,’ yaitu EOR.  Harapannya, apabila kerangkanya sudah terbangun akan mudah melanjutkan ke Standar-nya untuk menciptakan ‘bangunan penalaran kritis yang kuat’ pada mahasiswa.

Elements of Reasoning meliputi 8 unsur, yaitu Purpose, Questions, Point of View, Information, Inferences, Concepts, Implication, dan Assumption. Mempertimbangkan kerumitannya bagi maka penelitian ini memodifikasi kedelapan element tersebut yaitu dengan mengabaikan elemen Asumsi dan Point of View serta menggantinya dengan Tema atau Judul Bacaan, dan Tanggapan sebagai pembaca setelah membaca naskah atau teks.

2. Critical Reading

Critical Reading adalah salah satu keterampilan dari empat produk penalaran. Ketiga produk lainnya adalah Critical Listening, Critical Writing dan Critical Speaking. Keempatnya menggambarkan kemampuan atau keterampilan di domain masing-masing dengan ketiga komponen standar baku CT Paulian. Dengan kata lain, Critical Reading adalah keterampilan membaca teks dengan menggunakan standar berpikir kritis, yaitu EOR dan UIS.  Untuk penelitian ini, sebagaiamana telah dijelaskan di atas, akan focus pada EOR.  Karenanya, penelitian ini mendefiniskan Critical Reading sebagai: “kemampuan membaca atau mengases teks dengan menggunakan elemen-elemen penalaran dari CT Paulian.”


PROSES & PENGORGANISASIAN PENELITIAN

Penelitian melibatkan 176 mahasiswa FEB Angkatan 2017. Hanya dengan 1 kali pertemuan untuk menjelaskan tentang EoR, mahasiwa diberikan bahan bacaan untuk latihan mengases. Setidaknya 7 elemen  pokok dianjurkan untuk diidentifikasi, dengan maksud  mengetahui seberapa tepat mahasiswa melakukan asesmen atau membaca dan memahami bahan bacaan secara kritis berdasarkan elemen-elemen penalaran yang dipelajari.

Mahasiswa dalam setiap kelas dibagi menjadi 10 kelompok. Terdapat 3 kelas dengan jumlah mahasiswa bervariasi antara 50-60 orang. Setiap kelompok terdiri dari antara 4-8 orang, masing-masing diberikan sebuah tema bacaan yang diambil dari 3 sumber, yaitu:

  1. Karya Simon Petrus Lili Tjahjadi berjudul PETUALANGAN INTELEKTUAL: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern.
  2. Karya Richard Paul & Linda Elder berjudul Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Professional and Personal Life
  3. Richard Paul’s Ontology

Adapun pembagian bahan-bahan (materi) Critical Reading untuk setiap kelompok sebagai berikut:

HASIL PENELITIAN & DISKUSI

Kelompok diminta mendiskusikan tema yang diberikan, namun untuk menyelesaikan instruksi dikerjakan secara individu. Pembentukan kelompok dimaksudkan supaya terjadi diskusi dan saling sharing pemahaman, mengingat bahan ‘berbau’ filsafat kerap dianggap sulit, lagipula kebanyakan bahan sumber tersedia dalam bahasa asing (Inggris).  

Menyadari bahwa ‘pembekalan materi’ elemen-elemen penalaran tidak memadai, karena hanya diberikan dalam 1 kali pertemuan, itu pun bukan praktek melainkan ceramah dan diskusi, maka tidak semua elemen dalam CT Model Paulian diberikan. Adapun Richard Paul menganjurkan delapan elemen penalaran, yaitu Purpose (Tujuan), Key Question, Inference (Kesimpulan dan Solusi), Information, Key Concepts, Assumptions, Implications & Consequences, dan Point of View. Elemen-elelemen yang dianggap sulit diidentifikasi, seperti Assumption, dan Point of View tidak dimasukkan dalam instruksi. Selanjutnya, dimasukkan dua komponen lain yang dianggap lebih mudah, yaitu:

  1. Tema. Pada bagian ini mahasiswa diminta memberi judul pada bahan yang dibacanya itu. Harapannya, mereka memberi judul setelah membaca dan memahami konten.  Mahasiswa yang memahami bahan bacaan dengan baik tentu akan memberi tema atau judul yang sesuai, sebaliknya yang tidak memahami memberi judul yang tidak sesuai.
  • Tanggapan. Komponen ini memang bukan bagian dari elemen penalaran, namun peneliti berpendapat bahwa, apabila mahasiswa sudah mampu ‘membedah sebuah bacaan’ berdasarkan elemen-elemen penalaran, semestinya dapat memberi tanggapan atas ‘karya’ tersebut, baik secara keseluruhan (umum) maupun bagian tertentu, misalnya terkait asumsinya, purposenya, konsep kunci-nya, dan sejenisnya. Tanggapan mahasiswa akan menggambarkan tingkat pemahaman, dan dalam  tingkat tertentu daya imajinasinya untuk ‘memanfaatkan’ karya tersebut bagi pengembangan pembelajaran atau pengalaman belajarnya.

Tabel Hasil Tes Identifikasi Elemen-Elemen Penalaran

Mahaiswa FEB – MK Critical Thinking  Tahun 2018

Hasil kerja mahasiswa seperti nampak di Tabel di atas mengindikasikan beberapa hal penting.

Pertama;  Sebagian besar mahasiswa masih sangat lemah pada mengidentifikasi elemen INFORMASI (hanya 0,22% yang menjawab dengan benar). Dalam CT Paulian termasuk dalam kategori elemen ini adalah pendapat ahli, data/fakta, grafik, diagram, atau pengalaman, yang digunakan untuk mendukung elemen Purpose dan menjawab Question.  Di sini nampaknya para mahasiswa masih terjebak dalam pengertian informasi secara sempit, yaitu ‘isi berita’ dari bacaan. Bahkan terdapat empat kelompok, yaitu K5, K7, K9 dan K10 dimana tidak ada seorang pun yang bisa  mengidentifikasi elemen ini. Skor tertinggi adalah kelompok 1 (K1) (N=17), yaitu 0,76 (13 dari 17 responden) yang menjawab dengan tepat.  Ini bisa jadi terkait dengan tema yang dibahas kelompok 1, yaitu “Berpikir Kritis bersama para Filsuf Pra-Socratic” dimana yang dibahas adalah gagasan tokoh-tokoh filsafat alam hingga kaum Sofis dan Socrates.  Jadi, mudah menyebut nama tokoh-tokoh dengan karya mereka, yang merupakan Informasi utama. Tetapi, sebaliknya pada identifikasi KONSEP KUNCI, kelompok ini tidak ada satu pun yang bisa melakukannya. Padahal sangat banyak konsep kunci di bacaan tersebut, antar alain Mitos, Prinsip Dasar (Arche), Realitas, Eros, Elemen alam, Pluralisme, Dualisme, Spermata, Pantha rei, dsb.

Kedua; skor tertinggi adalah identifikasi (merumuskan) TEMA (0,6). Tetapi, sesungguhnya bukanlah kabar gembira.  Sebagian besar dari mahasiswa hanya menulis ulang judul materi.  Disebabkan instruksinya yang tidak tegas (hanya meminta menuliskan tema, padahal yang dimaksud merumuskannya berdasarkan pemahaman setelah membaca konten), akhirnya dibenarkan (karena juga terkait Nilai TAS Mahasiswa). Meski demikian, 32% dari mereka dapat merumuskan tema dengan formulasi kalimat lain sebagaimana diharapkan.

Skor tertinggi kedua adalah identifikasi elemen KONSEP KUNCI (55%), meski terdapat 2 kelompok (1 dan 5) yang gagal mengidentifikasinya. Nampaknya, hal ini terkait dengan ‘sifat’ atau ‘tingkat kesulitan’ bahan bacaan. Di sejumlah bahan bacaan konsep kunci eksplesit dan tunggal sehingga mudah diidentifikasi. Misalnya, pada bahan bacaan “Socratic Questioning” yang menjadi konsep kunci hanya Socratic questioning dan Socratic discussion. Atau pada bahan bacaan “Parts of Thinking” dengan sendirinya yang dibahas sebagai konsep kunci adalah  delapan elemen penalaran sehingga mudah dikenali.

Ketiga;  pada komponen memberikan TANGGAPAN, awalnya diperkirakan akan sulit. Ternyata 42 dari 176  (24%) mahasiswa bisa memberi tanggapan yang tepat (atau setidaknya mendekati/berkualitas) sesuai harapan.

Keempat; apakah bahan bacaan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia memiliki perbedaan? Tabel  dibawah menunjukkan nilai rata-rata dari kelompok materi berbahasa Indonesia (4 Kelompok) dan kelompok materi berbahasa Inggris (6 Kelompok) untuk diperbandingkan. 

Tabel Perbandingan Skor Rata-rata

Berdasarkan Kelompok Materi Berbahasa Indonesia dan Inggris

Berdasarkan Tabel  di atas, nampak identifikasi elemen-elemen penalaran tidak memperlihatkan adanya dominasi berdasarkan kelompok bahasa. Kelompok materi berbahasa Inggris mencatat nilai rata-rata yang lebih tinggi pada tiga elemen, yaitu identifikasi Tema, dan Tujuan (purpose), dan Konsep-konsep kunci (key consepts). Sementara untuk empat elemen lainnya kelompok materi berbahasa Indonesia mencatat nilai rata-rata yang lebih tinggi.  Artinya, tidak terdapat perbedaan yang berarti. Diduga, perbedaan lebih disebabkan oleh ‘kerumitan bahan bacaan’ dari segi penyajiannya.  Misalnya, pada materi-materi berbahasa Inggris semua elemen informasi disajikan dalam bentuk contoh, pengalaman, metafora, diagram, dan tabel-tabel latihan. Kemungkinan disebabkan masih terpenjara dalam pemahaman tentang informasi dalam pengertian sempit, yaitu sebagai ‘pesan bernilai dalam sebuah bacaan,’ mahasiswa belum peka mengidentifikasi informasi dalam cakupan pengertian critical thinking Paulian. Kemungkinan lainnya, sebagai pemula yang hanya dibekali dalam satu kali pertemuan, mahasiswa lebih fokus mencari teori-teori, pendapat ahli (lain), data dan sejenisnya, yang memang tidak tersaji dalam bahan-bahan bacaan Sumber 2 maupun Sumber 3 yang dirujuk. Artinya, pada bahan-bahan bacaan berbahasa Inggris  elemen informasi tersaji secara ‘tersamar,’ yang berarti tingkat kesulitannya tinggi. Sebaliknya, di Sumber 1 elemen informasi tersaji secara eksplesit lantaran membahas  tokoh-tokoh filsafat dengan gagasan-gagasan filosofisnya, juga teori maupun metafora yang digunakannya.

IDENTIFIKASI KESALAHAN UMUM

Berikut kesalahan-kesalahan umum yang dilakukan mahasiswa ketika mengidentifikasi elemen-elemen penalaran dalam critical reading.

  1. Menjawab dengan menggunakan logika sendiri, terlepas dari konten. Ini  kemungkinan terjadi karena mahasiswa tidak membaca bahan yang menjadi acuan (bahan diskusi), atau membaca tetapi tidak memahami teks, atau membaca dan memahami tetapi tidak cukup teliti.
  • Jawaban tidak spesifik. Misalnya, bahan diskusi K7,  kesimpulan yang dibuat sendiri yaitu, “berpikir kritis sangat penting bagi mahasiswa.”

Disamping kesalahan-kesalahan umum diatas, teridentifikasi pula sejumlah kesalahan yang terjadi dalam mengidentifikasi masing-masing elemen sebagai berikut:

Elemen-1: Purpose

Kesalahan dalam mengidentifikasi elemen Purpose adalah:

  1. Merumuskan tujuanya belajar CT, misalnya sebagai kewajiban perkuliahan. Ini kesalahan yang dilakukan oleh setidaknya 4 ( dari 17) yang salah mengidentifkasi purpose.
  • Purpose juga diidentifikasi sebagai tujuan pembaca, yaitu misalnya untuk memahami atau untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
  • Ketika bahan diskusi yang membahas tokoh, misalnya Filsafat Kritis Immanuel Kant, purpose yang dirumuskan bukannya purpose tulisan (penulis), melainkan purpose Kant (dengan mereka-reka/tanpa rujukan).
  • Jawaban ngawur. Misalnya, bahan tentang The Parts of Thinking (K7), purposenya: agar membuka pikiran seseorang dalam menerima informasi verbal dan non verbal.

Elemen-2: Information

  1. Apa yang dianggapnya sebagai ‘pesan bernilai’ dari bahan yang dibaca, dan bukan konten yang dijadikan acuan penulis untuk mendukung atau menjawab purpose. Ini kesalahan karena memahami informasi dalam pengertian sempit.
  • Menjelaskan informasi yang digunakan oleh pembaca dalam menjawab pertanyaan / instruksi, yaitu dari buku sumber, internet, kuliah dosen, dan sejenisnya.

Elemen-3: Konsep Kunci

  1. Berdasarkan hasil kerja responden nampaknya masih sulit membedakan elemen Konsep  Kunci dengan elemen Kesimpulan. Misalnya bahan bacaan K5: “Menjadi Kritikus dari Pemikiran Sendiri,” seorang responden menyebutkan salahsatu  kata kunci yaitu  “dalam setiap hal yang kita lakukan perlu pemikiran kritis.”
  • Jawaban ngawur: Misalnya, bahan K6, Konsep Kunci yang dirumuskan: “Wawasan yang luas dan pengetahuan yang baik juga penting bagi penalaran atau proses berfikir.”

Elemen-4:  Kesimpulan

  1. Membuat kesimpulan sendiri, padahal yang seharusnya yang diidentifikasi adalah kesimpulan penulis (bahan acuan). Misalnya, bahan bacaan acuan ditulis oleh Richard Paul, maka elemen Kesimpulan yang harus diidentifikasi adalah kesimpulan dalam tulisan Richard Paul itu, dengan kata lain kesimpulan penulis (Richard Paul), bukan kesimpulan reader (pembaca).
  • Responden yang membuat kesimpulan sendiri pun tidak tepat, yaitu sama dengan membuat ringkasan atas bahan bacaan. Ini menunjukkan bahwa responden belum bisa membedakan antara Kesimpulan dan Ringkasan.

Kesimpulan yang dibuat bisa BENAR (sesuai dengan kesimpulan yang dibuat penulis), namun tidak selalu dibuat dengan mengacu bahan bacaan. Ada responden yang merumuskannya sendiri, meskipun formulasinya sangat berbeda namun esensinya cocok dengan kesimpulan penulis bahan bacaan (bahan acuan). Ini dapat berarti pembaca memahami konten sehingga dapat membuat kesimpulan dengan benar karena dituntun oleh alur logis.  Namun, idealnya harus dipahami bahwa kesimpulan dalam critical reading adalah kesimpulan penulis, bukan pembaca (meski pun benar).

  • Terdapat pula mahasiswa yang membuat kesimpulan yang terlalu umum. Misalnya, bahan bacaan tentang Plato, kesimpulan yang dibuat adalah “berpikir kritis itu bermanfaat bagi mahasiswa.”
  • Keisimpulan dalam CT Paulian seharusnya berkonsekuensi pada elemen implikasi. Artinya, implikasi merupakan runtun logis atau runtun efek dari elemen kesimpulan.  Kebanyakan responden merumuskan implikasi berdiri sendiri. Ada pula yang  salah mengidentifikasi kesimpulan, namum implikasi BENAR karena dibuat berdasarkan kesimpulan (yang salah itu).   Di sini, ukuran benar bukan dari sisi logic of content, melainkan karena prosedurnya benar, yaitu dipahami sebagai konsekuensi dari kesimpulan.

Elemen-5: Implikasi

  1. Impilikasi dibuat sama dengan kesimpulan. Artinya, elemen Implikasi belum bisa dibedakan dengan elemen Kesimpulan. Setidaknya 4 mahasiswa meng-copy paste apa yang sudah dibuat di Kesimpulan dan memindahkannya ke Implikasi.
  • Implikiasi dibuat berdiri sendiri, tidak terkait dengan kesimpulan penulis.
  • Ada pula yang salah membuat kesimpulan, namun nampak implikasi (kalau dikaitkan dengan kesimpulan penulis) yang dibuat benar. 

Elemen-6: Tanggapan

  1. Membuat tanggapan seperti membuat kesimpulan. Padahal, yang diharapkan adalah menanggapi secara keseluruhan atau sebagian bahan bacaan berdasarkan pemahaman setelah membaca.
  • Membuat tanggapan tepat, namun lebih teknis. Misalnya,  “penulis menggunakan konsep-konsep yang sulit dipahami, juga kurang memberikan contoh-contoh sehingga tidak memudahkan pemahaman.”

KESIMPULAN & IMPLIKASI

  1. Eksperimen ini menghasilkan kesimpulan bahwa kemampuan crtical reading mahasiswa masih rendah.  Hanya 11,9% (21 dari 176 responden) yang bisa mengerjakan semua instruksi sesuai standar. Artinya, kelompok ini menunjukkan kemampuan mengidentifikasi  elemen-elemen penalaran dengan tepat, dan ini menunjukkan bahwa ada dampak sebagai hasil pembelajaran (introduksi elemen-elemen penalaran). Disebut ‘hanya’ introduksi dikarenakan intensitasnya hanya 1 kali pertemuan, dan dilakukan dengan metode ceramah. Diduga, apabila digunakan metode simulasi atau latihan akan memberikan hasil yang lebih baik.
  • Bahasa tidak menjadi masalah dalam pembelajaran critical reading. Artinya, mahasiswa dapat mengerjakan instruksi dari bahan bacaan berbahasa Inggris maupun berbahasa Indonesia. Sejumlah kesalahan sebagaimana teridentifikasi tidak disebabkan oleh bahasa, sehingga diduga dapat teratasi dengan latihan dan pembiasaan.
  • Sebagai implikasinya, perlu pengembangan keterampilan critical reading mahasiswa. Meskipun belum ada penelitian terkait dengan keterampilan di domain critical thinking lainya, hasil ini diduga dapat memberi gambaran kasar terkait keterampilan critical writing, critical listening, maupun critical speaking mahasiswa. Untuk meningkatkan keterampilan critical reading, dan domain critical thinking lainnya dianjurkan setidaknya dua cara. Pertama; untuk bahan materi-materi ‘standar’ seperti Elemen-elemen penalaran dan Standar Intelektual digunakan metode latihan dan bukan ceramah & diskusi. Latihan memungkinkan mahasiswa langsung praktek, kemudian hasil kerjanya dievaluasi, lalu diperbaiki, seterusnya hingga keterampilannya benar-benar terasah menjadi kebiasaan. Kedua; intensitas diperlukan. Makin intensif kuantitas pembelajaran akan menciptakan efek pembiasaan. Apabila diberlakukan untuk semua mata pelajaran (mata kuliah), yaitu critical reading, dan secara umum critical thinking sebagai instrumen sekaligus “metode belajar/mengajar,’ diduga akan semakin efektif menciptakan ‘habitus pembelajaran’ di dunia pendidikan, khususnya di UKSW.

[1] Richard Paul & Linda Elder, 2006, The International Critical Thinking, Reading and Writing Test: How to Access Close Reading and Substantive Writing (second edition), Foundation for Critical Thinking

PENGENALAN KERANGKA BERPIKIR KRITIS PAULIAN

The mind is own place, and in it self can make a heav’n of hell, a hell of heav’n. John Milton (1608-1674)

Judul tersebut disesuaikan dengan kedudukan mahasiswa 201 sebagai mahasiswa baru, dan dihubungkan dengan gagasan untuk menyatukan pemikiran (Critical Thinking) kedalam kurikulum semua Fakultas/Jurusan di UKSW pada tahun 2019. Beranjak dari rencana diatas itulah Pemikiran Kritis dalam acara Orientasi Mahasiswa Baru (OMB) 2018 ini disajikan sebagai perkenalan dengan pemikiran kritis. Walaupun demikian pada tingkat terbatas akan juga diperkenalkan praktek berpikir kritis dengan pendekatan “minimalist”. Pendekatan minimalist menunjuk kepada penerapan satu elemen atau lebih dari 25 elemen Kerangka Pemikiran Kritis Paulian, terhadap teks bacaan tertentu. Hal itu kami lakukan ketika menganalisis dialog antara dosen dengan seorang mahasiswa dan tiga cerita lainnya. Ketiga cerita dimaksud terdiri dari satu “The True Story” dan dua cerita fiktif.

Kerangka pemikiran kritis Paulian (Paulian’s framework of critical thinking) menunjuk kepada keberadaan 25 elemen  pemikiran kritis (baca diagram 4) yang dihasilkan Richard Paul (alm.2015) pendiri (founding father) dan Linda Elder, President, Centre of Critical Thinking, Foundation for Critical Thinking, Sonoma University, Northern Calfornia, USA. Oleh karena itu, judul “Pengenalan Kerangka Berpikir Kritis Paulian,” hendaknya dipahami sebagai pengenalan kerangka pemikiran kritis Paulian dan analisis penerapannya secara terbatas. Didalamnya tersirat tujuan pengenalan dimaksud yaitu agar para mahasiswa angkatan 2018, secara inteletual telah dipersiapkan secara mandiri (intellectual autonomy) sehingga UKSW boleh beranggapan (assumption) bahwa mahasiswa telah siap mengikuti kuliah berpikir kritis pada waktunya.

Kutipan dari puisi John Milton dalam bukunya “Paradise Lost” (surga yang hilang) sebagaimana tersaji dalam sub judul diatas adalah suatu metafora the mind in its own place artinya, pikiran kita menempati kedudukan tersendiri dalam keberadaan kita sebagai manusia. Kita dapat mendayagunakannya, bagaikan merubah surga menjadi Negara (heaven of hell) atau dapat merubah “neraka menjadi surga” (hell of heaven). Para terrorist, radikalis-ekstremis, para penjahat, koruptor, Machiaveliani, kemiskinan dan kesengsaraan manusia oleh penyulut perang seperti ISIS di Suriah-Libanon dan Irak termasuk kelompok pertama, heaven of hell. Masih tidak jelas kategori-kategori untuk kelompok kedua, hell of heaven. Mereka yang terkorban karena perilaku kelompok pertama (yang ingin menjadikan dunia ini sebagai surganya sendiri dan membiarkan neraka bagi orang lain) yaitu, para pengungsi yang menderita akibat perang dan bencana alam misalnya, berada dalam suasana neraka walaupun mungkin dalam penderitaan mereka toh masih terhibur dengan harapan, surga akan datang kelak. Bagaimana dengan kita di UKSW ini? Heaven-hevanly? Dapatkah UKSW menjadi surga didunia menuju surge sesungguhnya, menurut iman kepercayaan kita.

Kerangka Pemikiran Kritis Paulian (KPKP) menyarankan agar menerapkan 8 elemen penalaran (elements of reasoning/EoR) yang harus memenuhi 9 standard intelektual universal (Universal Intellectual Standards/UIS) dan ketika melakukan penalaran belajar dan berusaha menerapkan, 8 kebajikan inteletual (Intellectual Virtues). Mungkin Heaven akan terasa Heavenly setelah itu).

Jika demikian bagaimana dengan hidup anda sekarang? Bagaimana perasaan anda ketika berada di UKSW paling tidak setelah menjalani OMB ini? Semoga tidak ada heaven of the hell, semoga juga tidak hell of heaven, tetapi semoga ada citra harapan, a heaven-heavenly, apapun rumusan pengertiannya yang kita lekatkan kepada metaphor ketika ini. Menurut kami, quote dari John Milton diatas sebenarnya memusat kepada pengenalan diri sendiri (to know Thyself). Apakah anda memilih menjadi mahasiswa UKSW agar dapat melihat terang kecerahan ke masa depan ketika anda bekerja? Itulah harapan kita semua, khususnya anda yang telah hadir di UKSW ini!

Semua mahasiswa baru tentu akan menikmati suasana damai di UKSW. Gunakan kesempatan ini sebaik mungkin untuk mengasah penalaran. Hidup adalah kesempatan untuk memilih bersikap terhadap realitas disekeliling kita. Kami menganggap perlu mengingatkan itu sejak dini dengan mempertimbangkan hasil penelitian di Amerika oleh Richard Paul,dkk. Mereka mengingatkan tidak hanya para murid atau  mahasiswa saja yang tidak mampu menalar dengan baik, tetapi guru mereka juga mungkin tidak mampu menalar dengan baik (To Reason Well). Mungkin saja tidak semua dosen juga tidak semua profesional dalam bernalar. Tetapi dikalangan ini mungkin banyak juga yang tidak menalar dengan baik. Kami juga mengamati bahwa kebanyakan mahasiswa memasuki ruang kelas tanpa persiapan sama sekali. Persepsi kami menunjukkan bahwa pemahaman terhadap isi kuliah sebelumnya kurang disadari sebagai prasyarat utama (pre-condition) mengikuti kuliah dan tentu menjadi mahasiswa UKSW. Khususnya untuk angkatan 2018 yang telah memperoleh pengenalan berpikir kritis perlu menyadari akan prasyarat utama ini. Semoga capaian prasyarat ini diterapkan semua dosen dan dinilai capaiannya pada setiap perkuliahannya. Hasil dari satu kedisiplinan bukanlah diukur dari kehadiran saja tapi tingkatan penguasaan materi belajar sehingga jelas kita berada ditingkat pemikiran yang mana (the unreflective, the challenge, the beginning and practicing thinkers), kata Richard Paul dan Linda Elder.

Pengenalan pemikiran kritis ini diawali dengan dua seruan para filsuf “to know thyself” (kenalilah diri sendiri), yang erat kaitan dengan “An Unexamined life is not worth living” (hidup yang tidak teruji bukanlah hidup sesungguhnya).Sudahkah anda mengenal diri sendiri? Anda adalah mahasiswa baru, kenali diri anda sebagai seorang mahasiswa, katakanlah kepada diri anda sendiri, bahwa saya bukan sebagai siswa SMU/SMA lagi, tapi maha-siswa, siswa yang yang agung! Apanya yang agung?

Kenali diri sendiri menjadi sub pokok bahasan dalam tulisan ini. Mengapa UKSW memandang perlu menyajikan MK Pemikiran Kritis secara tersendiri untuk mahasiswa angkatan 2018/2019 ini? Patut dicatat, bahwa FEB-UKSW telah memulai sejak semester I, 2014/2015, kemudian diterapkan pada magister Sistem Informatika (S2), FTI-UKSW sejak semester II TA 2016/2017? UKSW sebagai suatu sistem pembelajaran harus menerapkan pemikiran kritis kepada semua mahasiswa bahkan dosen, apabila pendekatan sistem demikian baru pertama di Indonesia. Sub pokok pembahasan kedua mencuatkan kenallah diri sendiri melalui dialog ala Socrates, antara mahasiswa dan dosen diikuti dengan pengenalan 25 elemen pemikiran kritis seperti telah dikemukan diatas (amati diagram 4 lagi). Sub pokok bahasan ketiga tentang praktek minimalist dalam berpikir kritis Paulian dengan bertitik tolak dari pemahaman konsep dan konseptualisasi. Dalam diagram 4 terlihat bahwa konsep adalah salah satu element dari 25 elemen pemikiran kritis tersebut dan diterapkan (konseptualisasi) pada tiga cerita yang terpilih untuk dibahas. Bagian terakhir adalah kesimpulan dan saran. Pusat perhatian ditekankan pada apa yang selayaknya dilakukan oleh mahasiswa baru angkatan 2018 ini dalam rangka mempersiapkan diri untuk mengikuti kuliah pemikiran kritis pada tahun 2019/2020.

Pengertian

Pada dasarnya pengertian dalam kerangka pemikiran kritis Paulian berada dalam tiga sikap proses berpikir yang harus dilalui, yaitu:

  1. Pembentukan sikap
  2. Penerapan etimologi berpikir kritis
  3. Penerapan ke 25 elemen berpikir Kritis Paulian

Critical thinking is self-guided, self-disciplened thinking wich attempts to reason at the highes level of quality in a fair-minded way. People who think critically consistenly attempts to live rationally, reasonable,  empathically. There are kindly aware of the inherently flawed nature of human thinking when left unchecked. They strive to diminish the power of their egocentric and socialcentric tendencies. They use the intellectual tools that critical thinking offers-concepts and principles that enable them to analyze, assess, and improve thinking. They work diligently to develop the intellectual virtues of intellectual integrity, intellectual humility, intellectual civility, intellectual empathy, intellectual sense of justice and confidence in reason.

The etymology & dictionary definition of critical thinking. The concept of critical thinking we adhere to reflects a concept embedded not only in a core body of research over the last 30 to 50 yeasr but also derived from roots in ancient Greek. The word critical derives etymologically from two Greek roots : “kriticos” (meaning discerning judgement) and criterion (meaning standards). Etymologically, then, the word implies the development of “discerning judgement base on standards.” In webster’s new world dictionary, the relevant entry reads “characterized by careful analysis and judgment” and is followed by the gloss, “critical – in its strictest sense – implies an attempt at objective judgment so as to determine both merits and faults”. Applied to thinking, then, we might provisionally define critical thinking that axplicitly aims at well-faunded judgment and hence utilizes appropriate evaluative standards in the attempt to determine the true worth, merit, or value of something.

25 Elemen Berpikir Kritis. Critical thinking is that mode of thinking about any subject, content, or problem – in which the thinker improves the quality of his or her thinking by skillfully taking charge of the structures inherent in thinking and imposing intellectual standard upon them. (Paul and Elder, 2001).

(Materi ini dibagikan dan disampaikan sebagai materi pengantar oleh tim CCTD UKSW dalam kegiatan Orientasi Mahasiswa Baru UKSW 2019)