Dua hari lalu tema webinar ulang tahun majalah Basis ke-70 adalah Albert Camus dan Pandemi. Pembicara tema ini adalah Prof. Dr. A. Sudiarja dengan penanggap Dr. A Setyo Wibowo. Moderator webinar ini adalah Yulius Tandyanto, M. Fil. Tema webinar diumumkan berjudul “Albert Camus dn Pandemi”. Oleh Pak Sudiarja jadi tema “Absurditas dan Pemberontakan”. Tema ini dibicarakan berdasarkan 2 novel Albert Camus yang tunjukkan perkembangan pikiran Albert Camus tentang asurditas. Berangkat dengan deskripsi Pak Sudiarja melalui novel tentang absurditas dalam novel pertama. Lalu di novel kedua Albert Camus memberi jalan keluar atasi asurditas dengan lakukan pemberontakan pribadi. Mengapa Albert Camus terkait dengan pandemi? Novel berjudul Sampar memaparkan pandemi sampar yang terjadi di Aljazair. Suasananya memang mirip dengan pandemi Covid 19 yang berhasil menampilkan wajah manusia dengan aneka perilaku absurdnya.
Albert Camus aku pelajari dengan serius pada saat menulis tentang N.H. Dini untuk buku “Perempuan-Perempuan Menggugat, Literasi Rupa Sejarah Perempuan Indonesia”. Sebanyak kurang lebih 33 novelnya kukejar untuk kumiliki. Sayang hanya beberapa yang kubaca antara lain adalah Sebuah Kapal dan terjermahan novel Albert Camus. Pertanyaanku adalah mengapa N.H. Dini menterjemahkan novel Albert Camus padahal dia bukan seorang penerjemah? Karier sebagai penerjemah tidak kutemui. Waktu mengkaji N.H. Dini, aku berhasil menemukan psiko-sosial dinamika jiwa N.H. Dini. Hanya saat itu aku belum menemukan perjumpaan batin N.H. Dini dengan Albert Camus.
Uraian Pak Sudiarja tentang Albert Camus membantuku menemukan perjumpaan itu. Pak Sudiarja menganalisis bahwa filsafat absurditas muncul dari pikiran Albert Camus yang dipicu oleh pengalaman hidupnya yang getir. Ia penduduk jajahan Prancis di Aljazair di mana ayah meninggal ketika masih kecil. Ibunya kemungkinan buta huruf dan miskin. Entah bagaimana Albert Camus bisa pindah ke Prancis dan kemudian bersahabat dengan Jean Paul Sartre. Keduanya masuk partai komunis. Persahabatan ini pecah kemungkinan karena Albert Camus meninggalkan komunisme dan Camus tidak percaya pada revolusi setelah tahu bahwa komunisme menjadi diktator proletariat yang membelokkan teori Karl Marx.
Lalu Albert Camus percaya pada pemberontakan pribadi dalam melawan absurditas hidup.
Pak Sudiarja membahas Albert Camus berdasarkan 2 novel yang telah telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Kedua novel ini telah kubaca. Kedua novel itu adalah L`Etranger (Terasing) yang terbit pada tahun 1942 dan La Peste (Sampar) yang terbit pada tahun 1947. Albert Camus menulis novel, essay dan naskah drama (menyukai teater). Albert Camus sulit dikatagorikan karena ia menampakkan diri sebagai eksistensialis namun menolak disebut sebagai eksistensialis dan mengaku sebagai atheis. Albert Camus pemenang nobel price untuk katagori sastra.
Refleksi yang sungguh menarik yang dibahas Pak Sudiarja. Katanya Albert Camus tidak memberi definisi atas absurditasnya. Dari paparannya disimpulkan bahwa hidup seharian itu sendiri adalah absurd (tak masuk akal dan tak bermakna). Untuk mengatasi ketidakmaknaan hidup bagi Albert Camus adalah menerima dan menghadapi dengan berani melalui pemberontakan. Ia menolak pilihan masuk ke dalam agama dengan “membunuh dirinya sendiri” dan menyerahkan diri pada Tuhan. Dengan demikian hidup menjadi tak absurd lagi. Meski hidup tak bermakna namun Albert Camus menolak bunuh diri. Ada tulisannya tentang bunuh diri filsafat ketika filsuf menghilangkan absurditas hidup. Barangkali ia kritik Soren Kierkergaard yang memilih bersikap dan bertindak berani dengan percaya pada Tuhan. Keberanian Albert Camus tidak ditunjukkan dengan beriman tetapi jadi atheis dan mencintai hidup. Albert Camus dipengaruhi antara lain oleh Friedrich Nietzche.
Pak Setyo Wibowo menanggapi Pak Sudiarja dengan memberi gambaran absurd dengan contoh perannya sebagai dosen yang setiap semester melakukan hal yang sama. Contoh ini kemudian dikaitkan dengan cerita Sisyphus yang dikutuk dewa membawa batu ke gunung lalu dijatuhkan kemudian diangkat lagi untuk dibawa ke puncak gunung. Tanggap Pak Setyo bahwa barangkali yang membuat Bahagia adalah proses menuju ke puncak gunung itu meski absurd rutinitas yang dilakukan.
Aku perlu waktu lama merenung percakapan ini untuk memahami Albert Camus. Kemudian aku menemukan kemiripan latar hidup N.H. Dini yang dilahirkan dengan kultur Jawa Semarang yang bertindak tak langsung dan pandai sebunyikan perasaan dalam rangka menghormati orang lain. Dengan latar hidup ini lalu N.H. Dini kawin dengan diplomat Perancis yang dibesarkan dengan kultur yang berbeda secara serius. N.H. Dini kemudian hadapi absurditas hidup di Prancis. Terpapar pada suasana kolonial dengan relasi “tuan dan bawahan” dialami oleh Albert Camus dan N.H. Dini. Dalam kekosongan makna dan kebingungannya lalu N.H. berjumpa dengan pikiran Albert Camus yang ajarkan lakukan pemberontakan. Pemberontakan di level pribadi yang cocok dengan kultur Jawanya. Karena itu N.H. Dini kemudian memberontak dengan caranya yang berakhir dengan perceraian. N.H. Dini kemudian dalam analisisku bahwa ia berhasil melakukan transformasi kejawaannya dengan memasukkan kultur barat yang individualistik. Jadilah N.H. Dini yang tampilkan wajah Jawa dan Prancis. Ia menolak disebut feminis sebagaimana Albert Camus menolak untuk disebut eksistensialis.
Pemberontakan terhadap absurditas hidup seharian ini adalah pesan penting yang disampaikan Albert Camus. Hanya pada setiap orang tema pemberontakannya bisa berbeda. Konteks hidup masing-masing orang yang membedakan. N.H. Dini memberontakan terhadap “ketidakhormatan” suaminya dengan caranya. Pak Setyo Wibowo dengan caranya sendiri melawan rutinitas mengajar. Lalu pada diriku apa yang kuberontaki? Dari refleksi yang kulakukan adalah aku memberontak terhadap ketidakbenaran dan ketidakadilan kronis yang menimpaku. Pemberontakankupun juga bukan pemberontakan frontal. Bisa memberontak secara frontal ketika sudah tersudut sampai tak bisa bergerak. Jika masih bisa berkelit maka aku memilih berkelit. Jadi aku punya banyak wajah pemberontakan atas ketidakmasuk-akalan dan rasa ketidakkeadilan yang kualami. Relasi menjadi punya gradasi dan level yang begitu rumit bagiku.
Nah ada yang tak sepaham aku dengan Albert Camus yakni terletak pada penolakan terhadap transendensi diri ke yang absolut. Padaku justru transendensi diri ke yang absolut yang kulakukan ini menjadi sumber inner powerku dalam menghadapi hidup yang absurd oleh feodalisme, patriarki, kapitalisme, demokrasi yang tak terlalu tunduk pada hukum dan hak asasi manusia. Aku tidak lari ke hedonisme dengan umbar nafsu fisik dan psikis. Aku jadi pelaku “akestis” moderat karena kenikmatan duniapun tak kutolak sepenuhnya. Cara ini membuat hidupku bahagia. Yang sama lain dengan Albert Camus adalah jalani hidup dengan bertanggung jawab dan bisa terima misteri hidup dengan hanya jalani dengan penuh tanggung jawab. Jadi aku berspiritualitas bukan dengan dasar takut dan putus asa tetapi atas dasar pilihan rasional. Yang kemudian setelah dijalani ternyata memang ada sesuatu yang indah dan surprise terjadi.
Pelajaran yang bisa dipetik dari Albert Camus dalam hadapi covid 19 adalah terima absurditas yang terjadi dengan tetap bertanggungjawab menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain. Caranya adalah ikuti pembelajaran yang diberikan pakar dan sesama. Lalu bersolider dengan sesama dengan peduli atas keselamatan sekeliling dengan memberikan apa yang bisa diberikan. Covid 19 harus dihadapi dengan berani namun waspada. Kematian yang absurd di depan mata kita. Lalu? Terima, hadapi dengan berani dan waspada. Konyol kalau kita memberontak terhadap virus yang ada dengan tak pedulikan cara hadapinya. Yang kita berontaki adalah ketakutan yang ditimbulkan oleh makhluk tak kasad mata itu.
Selamat ulang tahun Basis. Semoga tetap menemani pembaca dengan pikiran-pikiran pemicu yang mencerahkan. Tabik.
Tulisan ini ditulis dan di-share7 Juli 2021 oleh Esthi Susanti Hudiono diaplikasi Facebook.