Epistemologi & Metodologi Fenomenologi.

CCTD UKSW kembali melanjutkan seri kursus epistemologi dan metodologi. Pada 13 Mei 2022, pukul 14.00-16.00 WIB, Thomas A. Tjaya, Ph.D sebagai pemateri membawa materi dengan pendekatan dialog, membuat para peserta terlibat aktif dalam sessi ke-7 ini. Topik epistemologi dan metodologi fenomenologi disajikan dengan menarik dan penuh diskusi antar pemateri dan peserta.

Bagaimana kita melihat dan memahami realitas diluar kita? Menurut Husserl kita tidak bisa memahami realitas diluar diri kita, apabila realitas tidak menampakan diri pada subyek. Husserl mengembalikan proses mendapatkan pengetahuan ke asal mula pengalaman untuk mendapatkan pengetahuan, yakni benda-benda yang ada diamati. Pengamat diminta kembali pada benda-benda yang akan membantu kita untuk mendapatkan pengalaman dalam melahirkan pengetahuan. Pada akhirnya obyek merupakan apa yang menampakkan diri pada kesadaran manusia. Hal inilah yang melahirkan pendekatan fenomenologi. Karena fenomen merupakan apa yang menampakkan diri pada kesadaran manusia. Dalam kesadaran tersebut membentuk perspektif terhadap benda yang dilihatnya.

Menurut Husserl, Nomena merupakan intensional dari kesadaran kita saat berhadapan dengan realitas. Dalam intensionalitas tersebut hanya akan didekati oleh satu aspek saja, dan bukan melihat secara keseluruan. Dalam fenomenologi membutuhkan sikap alamiah dari realitas yang ada diluar sana. Jadi siapa pun yang meneliti dan mengamati dunia, maka ia melihat dunia yang tetap sama dan tidak berubah. Untuk itu hindari diri dari membuat asumsi yang membuang sikap alamiah. Sikap alamiah dapat dilihat secara spesifik dengan membuat pengurungan (epoche-bracketing) untuk melihat realitas alamiah secara rinci. Contoh sikap alamiah adalah dengan melihat dunia sebagaimana apa adanya. Walaupun ada asumsi saat mengamati realitas. Namun diupayakan sikap alamiah dalam melihat realitas. Misal jika kita memandang sebuah benda dari depan, maka diupayakan mengungkapkan ralitas didepan yang dilihat. Bagian belakang yang tidak terlihat, tidak perlu diungkapkan. Karena akan bias dan mengandung banyak asumsi. Jadi sikap alamiah berupaya melihat realitas sebagaimana yang tampak.

Fenomenologi membutuhkan tanggungjawab dalam memahami realitas, sehingga kebenaran tidak direduksi.

Video lengkap:

Epistemologi & Hermeneutika.

Jumat, 22 April 2022, pukul 14.00-16.00 WIB, Pusat Pengembangan Pemikiran Kritis UKSW kembali melaksanakan Kursus Epstemologi & Metodologi. Pada sessi kali ini Dr. Dwi Kristanto, dosen dari STF Driyarkara, memaparkan tentang dialektis dalam epistemologi hermeneutika.

Benarkah sains dapat menjadi pengamat realitas yang benar-benar netral? Pertanyaan yang menjadi awal dari pemaparan materi oleh Dr. H. Dwi Kristanto.

Sains dalam melakukan aktifitas verifikasi tidak pernah netral. Karena selalu ada backgroud knowledge dibalik kerja-kerja sains.

Menurut Heisenberg, hukum alam belum bersifat mutlak, namun dugaan. Untuk itu ada interpretasi dalam natural sains. Aktivitas mengetahui tidak lepas dari aktivitas menafsir. Pada saat seseorang mencari tahu tentang realitas obyek tertentu, maka yang dilakukan orang tersebut adalah menafsir obyek yang tidak dikenal dihadapannya.

Dalam lingkaran hermeneutika, pengetahuan diperoleh lewat aktivitas mengintegrasikan dan kontekstualisasi bagian-bagian (partikular) dalam keseluruan. Dengan melakukan aktivitas ini, maka kita mengetahui dan memahami segala sesuatu.

Dalam pemaparan materinya romo Dwi memaparkan tujuan dan hakekat dari hermenutika, hingga perkembangannya dalam konstruksi ilmu pengetahuan.

Ada tiga kondisi yang perlu diselidiki agar manusia bisa memahami, yakni: Hakekat Kesadaran, Hakekat Kebenaran, dan Hakekat Bahasa.

Dialog antara pemateri dan peserta membuat diskusi ini semakin menarik.

Video lengkap sessi 7: