Menguji Standar Pemikiran Kritis the-NA (tulisan-2): KEBAJIKAN EPISTEMIK

JUDUL BUKU: New Atheism: Critical Perspectives and Contemporary Debates (Sophia Studies in Cross-cultural Philosophy of Traditions and Cultures. Volume 21). Springer International Publishing. EDITORS: Christopher R. Cotter, Philip Andrew Quadrio, Jonathan Tuckett. TAHUN TERBIT: 2017. Chapter 4: Epistemic Vices in Public Debate: The Case of ‘New Atheism’

Pada tulisan-1 saya telah membahas Chapter 3 yang ditulis oleh Christopher R. Cotter dibawah judul “New Atheism, Open-Mindedness, and Critical Thinking.” Seperti sudah saya tunjukkan kesimpulan Cotter tegas bahwa, disebabkan the-NA tidak open-minded maka tidak dapat disebut sebagai critical thinkers. Pada tulisan-2 ini saya bahas paparan Ian James Kidd di Chapter 4 (hal.50-68) tentang “kebajikan epistemik,” masih dalam kaitannya dengan the New Atheism (the-NA).

Kebajikan epistemik adalah sebuah konsep yang menghubungkan antara karakter dan penyelidikan ilmiah (proses ilmiah). Dalam praktiknya, pembahasan kebajikan epistemik dapat melibatkan juga identifikasi bukan hanya kebajikan melainkan juga keburukan (kejahatan) epistemik. Kebajikan epistemik mencakup sikap-sikap keingintahuan (kuriositas), kerendah-hatian (intellectual humility), kejujuran dan keberanian (intellectual integrity & courage), termasuk kolaborasi dalam melakukan penyilidikan ilmiah, berdebat, berteori, dan sebagainya. Sebaliknya, kejahatan epistemik meliputi sikap arogansi, dogmatis, ketidakjujuran, ketidakadilan (unfairnes) dan ketidaksensitifan epistemik.

Sebagaimana diketahui, banyak kalangan telah mengritik (terkadang terkesan menuduh) the-NA melakukan kejahatan epistemik. Melalui tulisan ini, Kidd hendak menguji apakah kritik-kritik yang dihujamkan kepada the-NA itu benar? Untuk melakukan analisis Kidd menggunakan konsep kebajikan epistemik sebagai indikator, khususnya arogansi dan dogmatisme.

Kidd merangkum berbagai kritik (atau tuduhan) kepada the-NA. Cimino dan Christopher Smith menyebutkan the-NA biasanya “kontroversial dan memecah belah, bersemangat dan agresif’ dengan cara yang mengikis peluang untuk musyawarah dan pertukaran rasional” (2010, 152). Richard Harries mengeluhkan the-NA memainkan “nada dominan, kebenaran intelektual, serta cenderung menghalangi perdebatan” (2010, xi). McGrath dan McGrath berkomentar bahwa sulit menulis tanggapan untuk The God Delusion dan menyebutnya sebagai “kumpulan factoids nyaman yang terlalu dilebih-lebihkan untuk mencapai dampak maksimum dan longgar sehingga sulit dimaknai sebagai argumen (2007, 13). Semua keluhan dan kritik di atas merupakan gejala dari kejahatan epistemik (misalnya, orang yang memiliki kejujuran intelektual tidak melebih-lebihkan). Di sini ciri-ciri dokmatis dan arogansi terlihat jelas.

Pada tulisan-1 saya juga telah menyebut, antaralain John Lennox yang pernah dua kali berdebat dengan Richard Dawkins menyatakan the-NA mengabaikan semua bukti-bukti yang dikemukakan untuk menjawap tuduhan mereka atas penganut agama. Lennox lalu menyebut the-NA bukan ateis melainkan anti-teis. Kritik lainnya adalah bahwa semua tuduhan the-NA tentang agama dan tuhan sama sekali tidak menggambarkan “wajah agama dan Tuhan” yang dianut kaum agamawan. Namun, semua itu seolah dianggap “angin lalu” oleh the-NA.

Secara metodologis Kidd akan mengkonsultasikan antara “pernyataan dan sikap the-NA” dengan “kritik dan tanggapan” para pengkritik. Teknisnya tak terhindarkan untuk memunculkan sumber-sumber rujukan, tetapi saya hanya mempresentasikan beberapa seperti di atas sekadar agar membantu memahami bagaimana Kidd tiba pada kesimpulan tulisannya. Juga, masih akan terlihat muncul ketika Kidd melakukan analisis. Konsep yang digunakan untuk mengkalibrasi “kedua pihak” adalah norma epistemik, yang tentu elemen intinya adalah kebajikan epistemik dengan berbagai cakupan sebagaimana telah dibahas di awal tulisan (lihat paragraf ke-2).

Konsep dan metodenya merujuk dua pakar kebajikan epistemik, Robert C. Roberts dan W. Jay Wood melalui karya mereka, Intellectual Virtues: An Essay in Regulative Epistemology (2007). Roberts dan Wood menjelaskan bahwa kesombongan epistemik dipahami sebagai “disposisi termotivasi untuk menyimpulkan secara ilegal beberapa hak dari keunggulan seseorang terhadap orang lain,” misalnya dengan menilai diri sendiri berhak atas status istimewa, perlakuan, atau hak berdasarkan superioritas intelektual atau sosial mereka. Dengan cermat Roberts dan Wood menandai dua spektrum kesombongan, yaitu yang lemah dan kuat. Mereka menilai bahwa orang-orang yang sangat sombonglah (kuat) yang benar-benar pantas diberi label “kesombongan,” disebabkan kesombongan mereka menyertakan penolakan terhadap koreksi (2007, 245–246).

Apakah the-NA sombong secara epistemik? Kidd mengaku analisisnya belum bisa memberi jawaban pasti, namun mungkin saja jawabannya, DIAFIRMASI! Menurutnya tuduhan arogansi epistemik terhadap the-NA kemungkinan besar berhasil sebab tiga komponen inti (rasa superioritas, hak kepemilikan, dan pembebasan-inferral) semuanya hadir dalam citra diri the-NA, juga dalam perilaku dan sikap yang mereka tunjukkan.

Kecenderungan the-NA yang menetapkan dan menegaskan konsepsi tentang hakikat keyakinan religius tanpa berkonsultasi dengan literatur teologis, filosofis, dan sosial yang relevan dapat ditafsir sebagai kesombongan epistemik, khususnya hak untuk mempertahankan iman. Ketergantungan the-NA pada catatan sejarah hubungan antara sains dan agama yang oleh sejarawan disebut Model Konflik juga diajukan sebagai contoh pendukung. Model ini sudah usang di studi agama, meski diakui masih popular.

Usang karena dianggap lebih melayani polemik ketimbang tujuan analitis, disamping dianggap mengaburkan kompleksitas hubungan antara sains dan agama. Alasan lainnya, tugas mengembangkan dan memperdebatkan hubungan antara sains dan agama membutuhkan keterampilan historis yang cermat dan disiplin serta kepekaan historiografis. Sayangnya, tidak ada seorang pun anggota the-NA yang bisa membuktikannya.

Konsep lain terkait kebajikan epistemik adalah sikap dogmatis. Penganut dogmatis “dengan sengaja berpaling dari wawasan kedalam kekuatan keberatan lawan bicara,” dan sebaliknya “menyerukan argumen bantuannya bahwa dia tahu atau setengah tahu untuk mengelak” (Roberts dan Wood 2007, 195). Dalam kasus seperti ini debat tidak dapat mengalami kemajuan. Sebabnya karena argumen yang buruk diulang-ulang sementara argumen baik (dari lawan debat) diabaikan dan disingkirkan (lihat Kidd 2015, 2017). The-NA menggunakan pemecatan, polemik, dan ejekan, menciptakan lingkungan sosial dan epistemik yang tidak nyaman, menimbulkan ketegangan dan konflik; dan karenanya merongrong penyelidikan kolektif/kolaboratif . Contoh yang umum adalah kecenderungan the-NA yang terus-menerus merendahkan orang-orang beragama, yang dalam kata-kata Dawkins sendiri, “korban” dari “virus akalbudi” (2006, 216–218), atau Sam Harris menggambarkan teologi Kristen sebagai “kisah kutu buku laki-laki yang menyebarluaskan kepura-puraan moral”'(2011, 5, 48).

Bagi saya, Kidd terlalu hati-hati, atau barangkali tidak punya intellectual courage (meski saya tidak menemukan alasannya) untuk menyimpulkan secara tegas, bahwa the-NA memang melakukan epistemic vice, oposisi dari kebajikan epistemik. Kidd menganjurkan perlunya kajian pelengkap dari perspektif konteks sosial dari “frasa-frasa yang digunakan the-NA yang menjadi sumber kritik.” Bukti kehati-hatian Kidd bisa dilihat sebagai bentuk kejujuran intelektual di sisi lain.

Kesimpulan Kidd berdasarkan pendekatan kajian epistemologi kebajikan (virtue epistemology) terkesan kabur, yaitu hanya “the-NA rentan terhadap tuduhan kejahatan epistemik, dalam hal ini arogansi dan dokmatisme epistemik.” Sebaliknya, Kidd mengingatkan potensi para pengkritik the-NA terjebak melakukan serangan ad hominem (menyerang karakter dan bukan argumen) yang merupakan bentuk falasi dalam debat. Bila, dengan menggunakan sumber-sumber epistemologi kebajikan analisis Kidd tidak ditujukan membuat kesimpulan melainkan hanya mengartikulasikan “suasana debat kedua pihak,” saya pun menganggap artikulasi Kidd tidak cukup kuat, dan cenderung mencari titik moderat.

Padahal semua contoh kasus dan bentuk-bentuk kritik atau keluhan sebagai sumberdaya analisis yang digunakan Kidd sangat berlimpah sehingga sulit menghindari sebuah kesimpulan tegas. Sekali lagi, menurut saya kesimpulan seharusnya sangat tegas, “bahwa the-NA jauh dari sikap kebajikan epistemik, atau melakukan kejahatan epistemik.” Bagi mereka yang sering membaca buku-buku the-NA maupun para pengkritiknya, membaca tulisan Kidd bagaikan mengikuti debat langsung (secara live) antara kedua pihak. Karenanya tidak asing dengan bukti-bukti yang digunakan Kidd dalam analisisnya.

Tetapi, pembahasan Kidd menyadarkan kita untuk mempertimbangkan memasukkan “kebajikan epistemik” sebagai elemen penting dalam membangun kebajikan intelektual (intellectual traits). Sebagai tahapan tertinggi dalam piramida pengetahuan, kiranya kebaijkan epsitemik memperkaya rumusan (dan harapannya performa) kebajikan intelektual dalam bangunan sistem atau kosmologi pengetahuan kita, khususnya melalui model pengembangan pemikiran kritis (critical thinking).

Dari tulisan Kidd, kita juga belajar untuk berhati-hati dalam membuat kesimpulan. Tetapi, jangan sampai kehati-hatian membuat kita mengabaikan kekayaan evidence. Hasrat untuk bersikap moderat merupakan jebakan lainnya!

Tulisan ini ditulis dan di-share 22 Mei 2021 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/real.self.9

POST-TRUTH DAN HOAX ALAN SOKAL

Alasan utama post-truth perlu dibahas sebagai bagian dari Filsafat Ilmu adalah ancaman dan bahkan daya rusaknya pada fondasi-fondasi kebenaran dan obyektivitas. Sulit membayangkan perlunya metode atau epistemologi bagi post-truth. Ia menemukan kerangka filosofisnya pada relativisme Sofis yang hidup kira-kira sezaman dengan Socrates (400-an tahun SM). Itulah sebabnya, dalam kursus Filsafat di UKSW tahun 2019/2020 Dr.Setyo Wibowo, pakar filsafat Yunani Antik dari STF Driyarkara menyebut post-truth sebagai neo-sofisme. Atau, dalam kursus Filsafat Ilmu 14 Mei 2021 Dr.Haryatmoko,SJ., menyebutnya sebagai anak kandung post-modernisme (posmo).

Post-truth bukanlah frasa yang mengatribusi kemewaktuan seperti “setelah kebenaran,” melainkan situasi dimana kebenaran tidak lagi diperlukan. Fakta, data dan validitas informasi bukan lagi unsur utama dalam membangun premis atau menyimpulkan realitas.

Sebuah kasus yang relevan dan menonjol untuk dirujuk adalah apa yang disebut sebagai “hoax Sokal.” Alan Sokal adalah profesor Matematika di University College London dan profesor fisika di New York University. Sokal adalah pengkritik post-modernisme dan melawan kerja-kerja ilmiah yang sesat. Ia juga pengkritik keras positivisme logis.

Tahun 1996 Sokal mengirim tulisan berjudul “Transgressing the Boundaries: Toward a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity” (Melampaui Batas: Menuju Hermeneutika Transformatif dari Gravitasi Kuantum) ke jurnal Social Text (terbitan Duke University Press). Salahsatu Jurnal “ilmiah” terkemuka di Amerika ini fokus membahas isu-isu budaya posmo, dikawal oleh ilmuan terkemuka seperti Edward Said, Oskar Negt, Nancy Fraser, Étienne Balibar, dan Jacques Rancière. Judul yang “menggiurkan” sesuai selera posmo itu dimuat di edisi 46/47 Spring-Summer (hal.217-252).

Beberapa minggu kemudian, Sokal menulis di jurnal Lingua Franca berjudul Physicist Experiments with Cultural Studies, yang menjelaskan bahwa tulisannya di Social Text itu hanyalah hoax. Ia mengakui tulisan itu sebenarnya parodi untuk memperolok-olok kaum posmo yang menolak obyektifitas dan kebenaran universal.

Perhatikan, dua kata kunci yang sangat menggiurkan bagi posmo, yaitu hermeneutic dan quantum gravity. Dua kata kunci ini membawa kita pada analisisnya dan kesimpulannya, bahwa konstanta Eisntein dalam teori gravitasi sebenarnya bukan konstanta melainkan hasil kontruksi bahasa (hermeneutika). Bagi ilmuan sejati, tautan antara kedua frasa itu sudah cukup memperjelas gambaran sebuah “hoax ilmiah” yang tidak mungkin dipercaya. Bagaimana pun, kesimpulan Sokal itu diambil dari ramalan dekonstruksi Jacques Derrida, yang dirumuskan Sokal secara cerdik, menarik tapi mencolok dan “nakal”:

“Dengan demikian menjadi semakin jelas bahwa ‘realitas’ fisik, tidak kurang dari ‘realitas’ sosial, pada dasarnya adalah konstruksi sosial dan linguistik” (It has thus become increasingly apparent that physical ‘reality,’ no less than social ‘reality,’ is at bottom a social and linguistic construct).”

Perhatikan, formulasi sintaksisnya begitu indah. Peminat budaya posmo mungkin lebih terpukau pada keindahan bahasa ketimbang kebenaran substantif. Pembongkaran hukum fisika ke sekadar struktur bahasa jelas membius nalar.

Dalam karyanya “Beyond the Hoax: Science, Philosophy, and Culture” (2008) Sokal membuka “rahasia” atau alasannya secara detil mengapa ia menulis “hoax” ke sebuah jurnal “kredibel” dari kaum posmo. Menurutnya, tujuan tulisannya adalah untuk menguji standar intelektual dari para akademisi humaniora Amerika Serikat. Ia ingin menguji, apakah jurnal kajian budaya posmo terkemuka di Amerika itu akan mempublikasikan artikel yang penuh omong kosong jika terkesan bagus dan sejalan dengan pra-konsepsi ideologi para editor jurnal? Sokal meyakini tulisannya dimuat karena kesimpulan yang ditawarkannya sesuai dengan selera dan doktrin para editor Social Text.

Tulisannya di Lingua Franca menyebutkan bahwa para editor terkesan tidak merasa perlu menganalisis kualitas pembuktian, keterkaitan argumen, dan bahkan relevansi argumen dengan kesimpulan. Sokal mengaku meski menggunakan metode satire, motivasinya benar-benar serius lantaran mengkhawatirkan penyebaran, bukan hanya omong kosong dan pemikiran ceroboh, tapi juga jenis pemikiran omong kosong dan ceroboh yang menyangkal adanya realitas obyektif.

“Hoax Sokal” secara teknis mungkin tidak dapat dibenarkan. Namun, dapat menjadi sebuah teladan betapa seorang Alan Sokal peduli dengan kebenaran ilmiah dan terpanggil oleh tanggung jawab akademik untuk membelanya. Bagaimana dengan para ilmuan Indonesia? Bagaimana dengan para akademisi kita, ketika menghadapi semburan post-truth politik yang berseliweran di panggung-panggung politik, bahkan ironisnya dilakukan juga oleh politisi berlatar akademisi, atau berpendidikan perguruan tinggi dengan titel akademiki yang keren? Bahkan, bagaimana dapat menahan diri dan menghadapi kerja-kerja akdemik yang menyalahi proses dan standar-standar ilmiah?

Hoax Sokal tentu bukan kasus tunggal. Januari 2014, The Atlantic memuat tulisan berjudul “It’s Surprisingly Easy to Get a Fake Study Published in an Academic Journal.” Lead tulisan menunjukkan kesimpulan studi yang mengejutkan, yaitu bahwa “operasi sengit dari studi palsu yang dipublikasikan di jurnal akademis menunjukkan kelemahan serius dalam penerbitan akademis pada umumnya. Jurnal terlalu bersemangat untuk menerbitkan studi yang mengejutkan, dan ketelitian peer review goyah.”

Tulisan itu membahas “eksperimen” John Bohannon yang menyerahkan studi akademis ke 304 jurnal ilmiah yang ditinjau oleh rekan sejawat (peer-reviewed). Penelitian Bohannon terkait molekul yang diekstrak dari lumut, yang tampaknya menjanjikan sebagai pengobatan kanker. Tulisanya diterima untuk dipublikasi oleh 157 jurnal. Masalah serius disini adalah Bohannon bukanlah ilmuan sungguhan melainkan jurnalis. Ia sengaja menyisipkan materi tidak ilmiah untuk menguji apakah akan tertangkap oleh peer reviewer jurnal atau tidak. Lagi pula, belum ada informasi tentang hasil uji klinis terhadap temuan itu. Bayangkan!

Tentu masih banyak kasus sejenis terkait “hoax ilmiah,” tidak saja di Amerika melainkan juga di negara-negara lain termasuk Indonesia. Tetapi, hoax Sokal dan eksperimen Bohannon dapat membantu kita menyadari sesuatu: bahwa dunia akademik (ilmiah) pun tidak lolos dari terpaan post-truth. Peer reviewer sebagai pengawal dan penjamin publikasi ilmiah berkualitas dengan standar-standar ilmiah ketat ternyata cukup mudah dijebol. Sebuah alarm adanya bahaya serius melanda dunia akademik. Bagaimana sikap kita?

Pertemuan terakhir dari enam pertemuan kursus Filsafat Ilmu di UKSW kiranya akan memberikan pencerahan dan pengayaan terkait persoalan dan pertanyaan-pertanyaan di atas. Materi bertema “Post-truth dan Tanggungjawab Ilmiah/Akademik” akan dibawakan oleh Dr.Haryatmoko, SJ., melalui zoom meeting.

Catatan: buku Alan Sokal, “Beyond the Hoax” tersedia dalam bentuk PDF. Bagi yang berminat silahkan request. FREE!

Tulisan ini ditulis dan di-share 18 Mei 2021 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/real.self.9