REALITAS AKTUAL DAN EMPIRIS DI ANTARA AKTIVIS DAN PRAKTISI

Filsafat ilmu melalui Ibu Karlina berhasil mengkatagorikan berbagai macam realitas tempat kerja ilmu. Selama ini yang saya pahami adalah ada ranah teori dan lapangan. Di mana lapangan ini adalah area aksi untuk atasi masalah besar yang ada. Lapangan dalam perspektif HIV, perempuan, anak, kemiskinan, seni, etnisitas dengan nilai kesetaraan inilah yang kurenangi. Kekerasan dan diskriminasi sebagai pemandu untuk membaca situasi dan kondisi. Untuk ini saya dapat julukan aktivis dan atau praktisi.

Terus terang saja saya bingung dan bertanya terus dengan katagori yang dilekatkan pada saya. Mengapa? Karena pada dasarnya saya juga masuk area teori. Teori-teori dan kerangka konseptual yang ada saya terapkan dan saya pertanyakan kepersisannya. Pendek kata saya jadi observer partisipatif dalam kerja yang mau lakukan perubahan. Katagori intelektual saya sematkan sendiri karena pada dasarnya saya adalah seorang peneliti manusia. Ketika kusematkan katagori ini lalu aku dapat julukan intelektual publik yang dibedakan dengan intelektual kampus. Soal intelektual publik dan kampus akan saya bahas di kesempatan lain.

Kali ini saya mau bahas beda aktivis dengan praktisi yang masuki realitas aktual. Realitas aktual yang kumasuki dengan juga masuk realitas eksperimen (ini yang luput dari pengamatan orang lain tentang diri saya).

Kerja aktivis bisa terkait dengan ideologi idealis seperti perempuan, gender, hak asasi manusia dan kemanusiaan. Ruang yang dimasuki aktivis adalah ruang yang digugat dan mau diubah. Karena itu kerjanya bisa tak ikuti sistem dan norma yang berlaku. Perubahan sosial adalah tujuannya. Semangatnya ubah bukan beradaptasi. Ini yang membuat aktivis punya wajah garang dan tak simpatik serta punya bias dari semangat pokoke.

Sedang kerja praktisi ikuti sistem yang ada dan ambil posisi sebagai pelaku yang melayani kebutuhan pasar. Praktisi berurusan dengan bayaran dan pasar. Kata profesional adalah jadi penggerak. Ada semangat mengubah berdasarkan harapan konsumen. Karena mengabdi pada pasar maka muncul problem dalam kaitan dengan brand yang pentingkan kemasan ketimbang isi. Barangkali juga tak berurusan dengan ketulusan.

Tulisan ini ditulis dan di-share 18 April 2021 oleh Esthi Susanti Hudiono diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/profile.php?id=1376597700

Filsafat Manusia

Hakikat Filsafat Manusia (FM) adalah mempelajari manusia seada-adanya sebagai manusia. Itulah sebabnya, kajian FM dimulai dengan melihat manusia dalam kesamaan dengan pengada-pengada lainnya seperti batu, kayu, laut, planet, galaksi, kuda, monyet dan sebagainya. Setelah memahami kesamaannya, kajian FM akan masuk lagi ke level yang lebih spesifik malampaui sekadar pengada, yaitu sebagai pengada hidup (living being). Sebagai living being, manusia memiliki kesamaan ciri dengan hewan dan tumbuhan. Itulah yang presentasikan oleh Dr. Thomas Hidya Tjaya pada kursus Filsafat 2020.

Disamping kesamaan ciri, living being juga memiliki kesamaan kodrat. Pertama; kemampuan untuk menyempurnakan diri sendiri (autoperfektif), yaitu tumbuh, mengembangkan diri, mengerti sesuatu, mengambil keputusan, dsb. Kemampuan ini menunjukkan bahwa pengada hidup memiliki kesatuan substansial (substantial unity) yang membuatnya selalu bersifat identik dengan dirinya sejak kelahiran hingga kematiannya. Kedua; kesatuan substantial juga bersifat dinamis dan menstrukturkan. Hal ini memampukan pengada hidup yang sekompleks manusia dapat bernafas, bergerak, mendengarkan, belajar, dan sebagainya.

Ketiga; kesatuan substantial bersifat natural (bukan artifisial) yaitu sudah dimiliki oleh pengada hidup sejak awal dan menstrukturkannya sejak awal (bukan hasil penggabungan). Pengada hidup juga dimungkinkan memiliki kesadaran (sampai batas tertentu), yang menyebabkannya hadir pada dirinya sendiri demi penyempurnaan diri.

Keempat; kesatuan substantial bersifat subjektif (terkait dengan subjek), yaitu menyangkut sebuah “aku” (the I). Kesatuan substansial ini dialami sebagai subjek atau aku, tidak dapat direduksikan sebagai objek atau alat apapun. Sifat lainnya adalah kompleks, dimana pengada hidup terdiri atas berbagai bagian yang tergantung pada satu sama lain, namun memiliki suatu konfigurasi yang khas sehingga dapat memenuhi suatu fungsi tertentu.

Kodrat kelima dari pengada hidup adalah suatu substansi natural yang tersusun dari tubuh dan jiwa, dari keseluruhan yang berorgan dan kesatuan fundamental, dari suatu struktur inderawi dan subjektivitas metainderawi.

Jadi, living being memiliki kesamaan ciri juga kesamaan kodrat. Sejauh ini, manusia sebagai manusia belum bisa dibedakan dengan jelas dari pengada hidup lainnya, kecuali pada kompleksitas dan semacam gradasi, misalnya pada tubuh dan jiwa. Semua makluk hidup memiliki tubuh dan jiwa, namun pada manusia kompleksitas dan gradasinya lebih tinggi. Struktur ontologis pengada hidup ini belum menunjukkan perbedaan khas pada manusia yang membuatnya disebut manusia.

Manusia tentu memiliki perbedaan dari pengada hidup. Itulah fokus kajian dari FM, yaitu mempelajari struktur ontologis manusia. Struktur ontologis manusia mencakup empat lapis. Lapis terluar adalah TUBUH, kemudian JIWA, lalu HATI, dan akhirnya yang menjadi inti atau jatidirinya, yaitu ROH.

Apa yang telah jelaskan oleh Dr.Thomas Hidya Tjaya pada pertemuan kedua, 8 April 2021 adalah dua lapis terluar, yaitu Tubuh dan Jiwa, disamping menjelaskan kesamaan kodratnya dengan pengada hidup lainnya. Pada kedua lapisan terluar memang juga dimilki pengada lain, namun berbeda pada komplekasitas, performa dan gradasi-gradasi tertentu.

Membahas Tubuh, Romo Thomas merujuk metafisika Thomas Aquinas, agere sequitur esse (action follows being), yang mengandung asumsi bahwa pengada hanya dapat melakukan kegiatan tertentu apabila terdapat basis ontologis memadai dalam struktur pengada tersebut. Artinya, melalui “aksi” atau kegiatan dan fungsi yang dilakukannya dapat menggambarkan “being”nya sebagai basis ontologis yang memungkinkan aksinya. Dipicu oleh pertanyaan peserta (pak Poedji Soesila), romo Thomas menjelaskan ketika Yohanes Pembaptis mengirim muridnya menanyai Yesus, “apakah Engkau adalah Mesias yang kami nantikan, atau kami harus menantikan orang lain,” Yesus meminta murid-murid itu kembali kepada Yohanes dan memberi jawab: “kamu telah melihat orang lumpuh berjalan, orang buta melihat, bahkan orang mati dibangkitkan.” Jawaban itu menunjuk “aksi-Nya” sebagai indikasi yang menegaskan “being-Nya,” yang seolah-olah masih diragukan. Pembuktian “aksi” menghapus semua keraguan.

Secara umum Tubuh manusia menempati ruang dalam dunia, memiliki bentuk material tertentu, dapat diukur dan dihitung, dan terikat pada perubahan dan waktu. Tubuh memiliki kumpulan organ yang memungkinkan untuk memperbarui dan memproduksi diri. Juga, tubuh manusia diperlengkapi pancaindera yang membuatnya sadar akan lingkungannya serta bereaksi secara afektif.

Manusia juga memiliki kekhasan tubuh dibanding maklhuk lain, yaitu posisi tegak. Posisi tegak ini membuat manusia mampu melihat benda-benda dari atas, dan sekaligus menunjukkan dan memudahkan peningkatan aktivitas roh. Berkat kombinasi kevertikalan dengan kesadaran dan peralatan, “wajah manusia dibebaskan dari segala fungsi kealatan, penyerangan, atau pertahanan. Wajah, mulut, lidah, bibir, semuanya tersiapkan bagi perkataan atau bahkan sebelum perkataan, bagi mimik dan ekspresi. Wajah bercahaya dan mengambil rupa pribadi…yang disebut ‘engkau’; seorang pribadi, yang terletak dalam hubungan gratuitas.”

Dapat disimpulkan bahwa melalui aksi, Tubuh mengekspresikan “being-nya.” Itu berarti “being” bersifat potensil dan hanya bisa diaktualisasi lewat aksi. Aksi yang mempet atau macet akan menutupi atau menghalangi being. Dengan demikian, aksi sebagai fungsi tubuh untuk mengaktifkan being. Pada hewan, bentuk-bentuk aksinya terbatas, sebatas untuk menjalani kehidupan tetapi pada manusia dimungkinkan bentuk-bentuk aksi yang kompleks, yang terus berkembang, yang menggambarkan being yang berbeda dengan hewan dan tumbuhan.

Di lapis berikutnya terdapat Jiwa. Jiwa merupakan kesatuan substansial mencakup prinsip-prinsip dasar yang membuat manusia hidup. Di masa lalu, manusia primitif menganggap darah sebagai “jiwa” yaitu penentu hidup. Orang terluka lalu keluar darah yang banyak akan membuatnya mati. Juga, nafas dianggap sebagai jiwa karena menjadi menentu hidup.

Platon membedakan tubuh dari jiwa dan menganggap jiwa lebih unggul dari tubuh. Jiwa adalah substansi yang mendahului tubuh (eksistensi). Jiwa seolah lebih agung dan lebih esensial dari tubuh. Bahkan, tubuh dianggap sebagai “asing” dimana jiwa terjebak didalamnya, lalu menginisiasi kebebasan dari “perangkap” tubuh itu.

Aristoteles, murid Platon setuju bahwa jiwa dan tubuh berbeda, namun menganggapnya satu substansi. Sebab, menurut Aristoteles tidak bisa ada tubuh tanpa jiwa, sebaliknya tidak ada jiwa tanpa tubuh. Berbeda dengan Platon, Aristoteles meyakini eksistensi (tubuh) mendahului substansi namun tidak dapat dipisahkan. Masuk dalam kategori jiwa adalah aktivits mental intelektual. Jiwa sebagai tempat beradanya akal budi, yang membuat manusia dapat berpikir serta merasakan. Jiwa merupakan unsur batiniah yang tak terlihat, yang mencakup pikiran, emosi dan kehendak. Dengan itu manusia dapat berpikir, merasakan (misalnya mengasishi), dan membuat pilihan-pilihan.

Masih dua lapisan dalam struktur ontologis manusia yang belum sempat dibahas, yaitu Hati dan Roh. Harapannya, di bulan Juni atau Juli CCTD-UKSW kembali mengadakan webinar bersama romo Thomas Hidya Tjaya untuk menuntaskannya.

Semoga dengan memahami “being” sebagai manusia seada-adanya manusia dapat memandu kita untuk “merancang aksi” yang sesuai guna membuktikan hakikat kita. Sebab “aksi” adalah representasi dari being atau substansi atau hakikat kita sebagai manusia. Aksi yang tidak memadai akan mereduksi hakikat kemanusiaan kita!

Paskah & Sains

Bagian terakhir dari tulisan dalam rangka Paskah 2021 ini, saya ingin fokus membahas jawaban atas pertanyaan utama sebagaimana saya ajukan di tulisan awal, yaitu “apakah kebangkitan Yesus bersifat fakta atau mitos?” Apakah iman pada kebangkitan Yesus hanyalah istana pasir atau memiliki dasar kokoh yang bisa dipertanggungjawabkan dihadapan pengadilan nalar?

Saya ingin mengutip argumen John C. Lennox, Profesor matematika dari universitas Oxford dalam Gunning for God: Why the New Atheists are Missing the Target (2011). Dalam membahas bukti-bukti kebangkitan Yesus, Lennox menyebut pembuktian sebagai bentuk akumulatif. Akumulatif dimaksud yaitu dengan mempertimbangkan empat fakta pendukung, yaitu Kematian Yesus, Penguburan Yesus, Makam kosong dan Para saksi mata. Berdasarkan empat fakta di atas, yang sebelumnya sudah saya sebut sebagai “telah tervalidasi secara saintifik,” tidak bisa ada kesimpulan lain kecuali Yesus telah bangkit.

Perhatikan, bahwa pertama-tama kematiannya telah terkonfirmasi, kemudian dikuburkan oleh Yusuf Arimatea, tiga hari kemudian kubur kedapatan kosong, lalu banyak orang menyaksikan bertemu dan bahkan Yesus masih mengajar mereka. Akhirnya Yesus terangkat ke langit di hari ke-40.

Bayangkan, masih 40 hari Yesus berada di tengah-tengah murid-murdi-Nya. Waktu yang tidak sedikit. Kalau “penglihatan” para murid itu sebuah halusinasi atau berita karangan, atau karena kambuhan epilepsi, bukankah terlalu berisiko membuat sampai 40 hari? Dalam waktu lebih dari satu bulan itu Yesus tidak hanya bertemu murid-murid, melainkan jumlah “massa” yang cukup banyak (terbanyak disebutkan lebih dari 500 orang), yang tentu dikemudian hari kebanyakan dari mereka ikut menyaksikan perjumpaan dengan Yesus.

Alkitab juga mencatat Yesus menampakkan diri sebanyak 10 kali sebelum terangkat. Artinya rata-rata setiap 4 hari Ia berada di ruang publik. Dan, para murid hampir selalu, atau kebanyakan berada dalam penampakan-penampakan itu.

Seandainya berita itu sebuah karangan (fiksi), tidakkah lebih “aman” bila mengarang perjumpaan dengan Yesus hanya singkat, misalnya sehari, dan lagi pertemuannya terbatas hanya dengan murid-murid (yang berkonspirasi mengarang cerita), lalu Yesus memberi pesan kemudian naik ke langit?

Markus 3:21 dan Yohanes 7:3-5 juga mencatat hal menarik, yaitu Yakobus saudara Yesus, anak Maria dan Yusuf. Dia bukan pengikut Yesus, tetapi setelah kebangkitan Yesus barulah Yakobus menjadi pengikut dan akhirnya diangkat menjadi rasul. Bagaimana dia menjadi pengikut? I Korintus 15:17 mencatat Yesus menampakkan diri kepadanya, dan lewat penampakkan inilah Yakobus menjadi percaya. Adik-adiknya yang lain, yaitu Yudas, Yoses (Yusuf) dan Simon juga akhirnya percaya dan menjadi pengikut Yesus paska penampakkan kepada Yakobus. Mereka berempat adalah anak Maria dan Yusuf, yang juga “orang tua” Yesus.

Bagaimana menjelaskan fakta ini? Saya menduga mereka sama dengan masyarakat umumnya menganggap “kakak sulung mereka,” yaitu Yesus dan murid-murid-Nya menjalankan gerakan politik. Karenanya tidak mau terlibat, meski ibu mereka, Maria tercatat dalam Alkitab mengikuti aktivitas Yesus. Terakhir di kayu salib Yesus melihat ibu-Nya lalu menitipkannya kepada Yohanes. Tetapi, ketika Yesus menampakkan diri kepada Yakobus mereka tidak dapat tidak, menjadi percaya bahwa Yesus adalah Mesias yang mati dan telah bangkit. Tidak ada alasan lain yang lebih rasional untuk menjelaskan, mengapa sebelumnya mereka tidak percaya Yesus tetapi kemudian percaya, kecuali ada kejadian “luar biasa” yang membuat keempatnya percaya secara sertamerta.

Baiklah kita bicara tentang sumber-sumber pendukung tentang historitas Yesus, yaitu kelahiran, karya pelayanan, penyaliban, kematian hingga kuburan yang kosong.

Menurut John C.Lennox bukti-bukti pendukung untuk teks asli Perjanjian Baru (PB) terkoleksi 5.664 buah manuskrip (naskah) dalam bahasa Yunani (bahasa asli PB) yang telah di-katalog-kan. Tambahan, 9000 naskah terjemahan awal ke bahasa Latin, Siria, Koptik, dan Arab. Masih ada lagi 38.289 kutipan PB oleh para bapa Gereja mula-mula antara abad kedua hingga abad keempat masehi. Begitu lengkapnya, sehingga menurut Lennox, bilapun kita kehilangan PB masih akan dapat direkonstruksi berdasarkan kutipan-kutipan yang terdata lengkap itu.

S.Joshua Swamidass dari Washington University dalam tulisannya berjudul the Resurrection, Evidence, and the Scientist (2020) menyebut dukungan data yang lebih banyak. Pada 2014 lebih dari 66.000 manuskrip awal telah diketahui. Jumlah ini berlipat-lipat banyaknya dibanding teks kuno manapun. Banyak darinya diberi tanggal karbon sebelum zaman Yesus di bumi dan beberapa abad pertama setelahnya. Swamidass mencatat hampir tidak berubah dalam manuskrip paling awal dan polanya konsisten. Ada variasi dalam manuskrip, tetapi tidak ada yang membatalkan keandalan catatan Kebangkitan Yesus secara jasmani.

Dapatkah sikap obyektivitas saintifik membawa Ehrman, Richrad Dawkins dan teman-teman the-NA nya memeriksa manuskrip-manuskrip itu sebelum membuat kesimpulan yang menolak historitas Yesus?

Dengan memeriksa semua manuskrip yang telah di-katalog itu, sangat mungkin mereka juga menemukan bukti-bukti tertulis tentang karya Yesus, penyaliban, kematian hingga kebangkitan-Nya. Bahkan, seorang profesor Ilmu Nuklir dan Teknik dari MIT, Ian Hutchinson mengaku percaya pada kebangkitan jasmani Yesus hanya berdasarkan pengakuan dan integritas para murid-Nya, serta ilmuan brilian lain seperti Robert Boyle (dari hukum gas ideal, salah satu pendiri Royal Society tahun 1660), James Clerk Maxwell (1862 mengatur elektromagnetisme), Blaise Pascal, Johann Kepler, Gregor Mendel, Michael Faraday, Francis Collins dan sebagainya, yang percaya kebangkitan Yesus sebagai fakta.

Prof.Bart Ehrman menolak kemungkinan kebangkitan Yesus dalam alasan tidak natural (melawan hukum alam), dan tidak disaksikan oleh mereka yang secara langsung melihat Yesus (disini Ehrman nampaknya mengabaikan Petrus, Yohanes, Yakobus, dan Paulus), disamping jarak antara naskah tertulis dengan momen kejadian 35 tahun dianggap terlalu jauh. Meski, lawan debatnya Lane Graig telah merujuk sumber yang jaraknya hanya 5-7 tahun.

Dapatkah Ehrman dan teman-temannya menyebutkan sebuah naskah kuno yang valid dengan kriteria yang diinginkannya? Adakah naskah atau kejadian lain yang memiliki dukungan bukti manuskrip sebanyak PB? Baiklah, kita periksa perbandingannya dengan naskah-naskah sekular berotoritas yang terkategori memiliki dukungan terbanyak.

Sekali lagi kita pinjam data dari John Lennox. Menurutnya, bukti dokumenter yang tersedia untuk karya sastra kuno lain, misalnya, Annals (The Annals of Imperial Rome), karya sejarawan Romawi, Tacitus (seperti sudah saya sebut di tulisan sebelumnya) yang menjadi rujukan sejarah Romawi hingga hari ini, ditemukan salinan beberapa bagiannya tahun 850 M. Bagian lainnya (bab/buku 11-16) bertanggal di abad ke-11. Artinya, jarak waktu antara kompilasi asli dan manuskrip paling awal sekitar 700 tahun. Sebagai sejarawan, Ehrman tentu tahu Annals sebagai naskah sejarah berotoritas, dan juga ia mungkin pernah merujuknya. Lalu, mengapa Ehrman keberatan dengan naskah PB yang hanya berjarak 35 tahun?

Naskah sekuler kuno lainnya, yang memiliki dukungan dokumen terbanyak adalah Iliad karya Homeros pada sekitar 800 SM. Karya ini didukung 643 salinan manuskrip yang berasal dari abad kedua Masehi. Artinya, jarak waktunya sekitar seribu tahun. Toch, dianggap sebagai sumber berotoritas, bukan?

Jadi, bagaimana menjawab keraguan tentang “kebangkitan Yesus?” Para saksi mata sebagaimana tertulis dalam Alkitab tidak sedikit. Jumlahnya lebih dari 500 orang. Lalu, para murid dan para rasul memberitakan “kabar sukacita” kebangkitan Yesus itu dengan sangat berani. Kebanyakannya menjalani risiko disiksa, dihukum mati, bahkan disalib dengan tubuh terbalik (kepala di bawah). Mungkinkah mereka ini rela mengalami siksa dan mati sia-sia demi membela sebuah kabar bohong?

Dalam diskusi bebas dengan pak Neil Rupidara (Rektor UKSW), terlontar sebuah ungkapan yang menarik. Mengikuti teori evolusi (evolusi sosial), seharusnya kelompok yang dapat beradabtasi dengan lingkungan yang bertahan dan selamat. Kasus komunitas Kristen mula-mula bertentangan dengan teori ini. Dengan kesaksian dan keyakinan mereka justru ditolak dan dijadikan sasaran pemusnahan oleh lingkungan dimanapun mereka berada.

Secara politik, sosial maupun ekonomi mereka ditolak dan terkucil. Alih-alih musnah mereka makin berkembang. Apa yang membuat mereka memiliki ketahanan begitu hebat, kalau bukan karena mengimani sebuah kebenaran yang tak bisa ditukarkan dengan apa pun? 300 tahun kemudian kaisar Roma, penguasa dunia ketika itu, yakni Konstantin Agung-lah yang takluk, beradabtasi dan mengikuti kelompok ini. Apakah penganut teori evolusi meluputkan sesuatu di sini?

Setelah menguraikan semua di atas, apakah jawaban konkrit atas pertanyaan pokok yang telah diajukan?

Tidak diragukan bahwa bukti-bukti yang tersedia sangat banyak. Manuskrip dari sumber-sumber non Kristen, yang juga digunakan sebagai rujukan otoritatif untuk kajian sains Sejarah, antara lain Annals (Sejarah Romawi, ditulis 116 M) dan Jewish Antiquities sebuah karya historiografi oleh sejarawan Yahudi, Flavius Josephus (ditulis antara 93/94 M) yang memuat kisah Yesus secara cukup detil. Setidaknya fakta pokok Paskah terkonfirmasi didalam kedua sumber awal ini. Jumlah bukti manuskrip pendukung yang berkatalog nampaknya tidak tersaingi oleh teori atau kisah sekuler manapun sepanjang sejarah peradaban. Adakah yang bisa mengajukan apa saja yang memiliki sedemikian banyak bukti pendukung?

Bila semua kelindan data manuskrip yang jumlahnya ribuan itu, ditambah lagi dengan sumber-sumber internal Kristen, diperlakukan sama dengan “sumber-sumber pengamatan” yang dijadikan dasar oleh para saintis untuk memodelkan teori big bang dan evolusi, bukankah seharusnya “teori kebangkitan Yesus” sudah dapat disimpulkan tanpa keraguan? Adakah para saintis yang berdebat di tema ini telah memeriksa manuskrip-manuskrip ber-katalog yang disebutkan di atas?

Akhirnya harus ditegaskan lagi bahwa iman terbuka bagi sains. Sumber-sumber yang menjadi dasar iman, sejauh yang bersentuhan dengan dunia empirik, selalu terbuka untuk divalidasi dan diuji. Para saintis sebaiknya tidak berprasangka dan menggeneralisir begitu saja seolah kepercayaan agama sama dengan mitos yang tidak memiliki bukti-bukti pendukung.

Sains jelas dapat menjadi penopang keyakinan iman dengan metode investigasi menghadirkan bukti-bukti empirik. Keyakinan itulah yang menjadi salahsatu alasan CCTD-UKSW merancang kursus Filsafat Ilmu yang akan dimulai 9 April 2021. Harapannya, melalui kursus ini dapat dipahami “keluasan” epsitemologis dan metode-metode keilmuan dalam meneropong dan membangun pemahaman atas “fakta-fakta iman,” moralitas, nilai, seni dan sastra. Sebuah pemahaman yang berkembang atas “desakan” evolusionis Richard Dawkins, bahwa sains tidak dapat dihalangi untuk menilai dan melakukan asesmen atas klaim-klaim iman, moralitas dan sejenisnya. Saya sepakat akan hal ini.

Perstiwa kebangkian Yesus memiliki dukungan data melimpah namun, pertanyaannya apakah sains memiliki metode yang tepat untuk memahami fakta-fakta itu? Fakta-fakta kebangkitan sangat meyakinkan namun belum dapat “dilihat” oleh penglihatan standar sains sejauh ini. Ini tantangan baru bagi sains untuk menerobos batas-batasnya sendiri.

Fakta Paskah tetap terbuka untuk diselidiki oleh sains, sebab sains bukanlah musuh iman melainkan mitra yang dapat memperkaya iman. Sains membantu menjelaskan perihal “apa dan bagaimana” atas semua fenomena alami, yang juga menjadi medan ekspresi dari iman. Di level ekspresi iman inilah metode sains dapat digunakan untuk melakukan validasi, yaitu, misalnya pada lingkup perilaku atau perbuatan (aspek etika).

Melalui metode saintifik koherensi iman dan perbuatan dapat terpantau untuk ditumbuh-kembangkan secara terencana. Sebab, bukankah iman tanpa perbuatan adalah mati? Bukankah iman hanya bisa dibuktikan melalui perbuatan? (Yakobus 2).

Selamat merayakan Paskah kebangkitan Yesus. Dialah sulung dalam kebangkitan, yang berarti perintis jalan bagi semua umat manusia yang akan mengalami kebangkitan pada waktunya.

Kiranya seluruh umat manusia makin bertumbuh dalam perbuatan kasih, dan diberkati oleh domba Paskah, sumber dan bukti kasih agape yang terukur!

Tulisan ini ditulis dan di-share 4 April 2021 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/real.self.9