GURU DAN MAHASISWA PENELITI

Legasi Pak Probowinoto di bidang pendidikan dirumuskan dalam kata pempahlawanan yang dilontarkan oleh Pak Willi. Pempahlawanan yang berarti berproses terus. Pak Willi menghidupi filosofi pendidikan dari Bapak Notohamidjojo yang jadi rektor pertama UKSW. Rektor yang direkrut Pak Probowinoto ketika dirikan UKSW.

Kata kunci untuk pempahlawanan Pak Probowinoto adalah dekolonialisasi gereja dan integrasi orang-orang Kristen ke dalam Indonesia. Beliau hadir aktif, bebas dan berani di detik-detik kritis dengan memimpin orang-orang Kristen untuk lakukan transformasi. Beliau bergerak di antara lembaga Kristen dan kelompok kebangsaan. Karena itu ada yang sebut diri Pak Probowinoto sebagai pelintas batas. Batas-batas lama dibongkar untuk disesuaikan dengan format Indonesia. Pak Probowinoto telah membuat sejarah yang memungkinkan jalan Indonesia Kristen Protestan dibuat.

Karena itu proyek Pak Probowinoto adalah proyek menjadi terus hingga sekarang. Peran terbesar Pak Probowinoto adalah dalam semangat mendirikan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi melalui yayasan yang didirikan. Pak Probowinoto mengambil posisi king maker. Beliau yang pilih para pelaksana yang dikenali yang mungkinkan komunikasi dari hati ke hati terjadi. Legasi Pak Probowonoto ada pada garis kesinambungan yang dijaga oleh para pelaksana yang antara lain oleh rektor-rektor yang ada. Para rektor ini sendiri telah mengembangkan yang ada sebagai jawaban atas situasi dan kondisi yang ada.

Rektor UKSW harus bicara soal pendidikan karena keberadaan awalnya adalah memproduksi guru melalui perguruan tinggi bukan lalui program pintas. Karena itu tidaklah salah jika Pak Willi dan Pak Neil membicarakan filosofi pendidikan.

Kehadiran beliau akhirnya berhasil mengkonsolidasikan ide dan semangat yang ada. Pak Willi yang menginterpretasikan legasi Pak Probowinoto menyebutkan GURU PENELITI. Selama ini yang kita kenali adalah GURU PENGAJAR. Guru pengajar ini akan dan menjadi ketinggalan jaman dan barangkali akan tak terlalu terpakai oleh revolusi industri 4.0. Meski tak terucap oleh Pak Neil namun saya menangkap semangat yang sama untuk dosen. Pak Neil juga menghendaki DOSEN PENELITI.

Salah satu alasan saya tak ragu gabung UKSW dengan tinggalkan pekerjaan lama adalah tulisan Pak Neil tentang peran UKSW dalam memproduksi pengetahuan. Peran pengecer ilmu pengetahuan yang jadi jati diri mayoritas yang ada ini berani diubah. Untuk jadi memproduksi ilmu pengetahuan, jalan yang ditempuh melalui 2 cara. Pertama melalui dunia ide melalui filsafat kritis yang dikelola oleh Pusat Studi Pengembangan Berpikir Kritis. Kedua melalui riset yang digalangkan terus. Refleksi dan riset yang berdialektika dalam kenyataan di dunia global ini jadi kunci dan jadi kompas.

Kunci yang terbaca melalui renungan dan pengalaman. Secara ajaib PERJUMPAAN lintas generasi dari orang-orang yang dibesarkan UKSW telah terjadi. Jika memungkinkan maka mencetak mahasiswa peneliti adalah panggilan jaman. Guru pengajar jika ingin bertahan hidup maka harus jadi guru fasilitator. Fasilitator untuk murid/mahasiswa berjiwa peneliti diri, orang lain dan lingkungan melalui refleksi dan riset. Untuk ini barangkali harus membongkar mind set soal penelitian yang ribet dan mahal. Bekerja/melakukan sambil meneliti adalah model yang telah digali dan memungkinkan untuk dilakukan.

Tulisan ini ditulis dan di-share 28 Maret 2021 oleh Esthi Susanti Hudiono diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/profile.php?id=1376597700

Evolusi Biologi: Apakah evolusi mewariskan moralitas?

Dawkins dalam The Selfish Gene dan The God Delusion yang telah dibahas dan didiskusikan oleh CCTD-UKSW tahun 2020, mengatakan bahwa moralitas diwariskan oleh gen, dan dapat ditemukan jejaknya melalui evolusi. Atas dasar itu, Dawkins, Yuval Harari dan teman-temannya yang disebut sebagai saintisme menyimpulkan bahwa agama dan Tuhan tidak diperlukan sebab alasan-alasan moral tidak lagi membutuhkanya.

Dua buku sebelumnya yang saya ringkaskan serta komentari di wal FB saya membahas dari aspek psikologi kognitif (juga pendekatan evolusi), dan merujuk berbagai hasil penelitian untuk menunjukkan bahwa “jejak evolusi kognitif” juga dapat membuktikan tempat produksi “gejala-gejala religius” dalam syaraf-syaraf otak kita. Zat-zat dopamin, epinefrin, endorfin, dan oksitosin dalam neuron kita dapat memproduksi “rasa syukur dan terberkati,” sehingga tidak memerlukan agama dan tuhan.

Jadi, saintisme di evolusi biologi maupun evolusi kognitif mengklaim telah menemukan “titik penyebab” manusia primitif menghadirkan tuhan dan moralitas, namun meleset dalam mengekspresikannya. Kemelesetan terjadi karena belum memiliki cukup pengetahuan, sehingga menyembah obyek abstrak yang tak dikenalinnya. Kini pengetahuan telah menemukan data empirik yang berlimpah sehingga dapat menjelaskannya.

Banyak pertanyaan filosofis dapat muncul di sini. Namun, sebelum masuk ke situ kita masih membutuhkan penjelasan lebih lengkap dan rinci terkait dengan klaim-klaim saintisme tersebut. Misalnya, terkait evolusi biologi, dimana dan bagaimana moralitas “tertanam” dalam DNA, lalu mewariskannya secara turun temurun? Apakah sejak bibit bersama semua makluk yang disebut the Last Universal Common Ancestor (LUCA)? Kalau demikian, apakah tumbuhan juga mewarisi moralitas? Apa kaitan logik antara proses evolusi dan persoalan moral? Apakah moralitas adalah hasil adaptasi atau Exaptasi? Dan pertanyaan lain yang dapat berkembang dalam diskusi.

Untuk itu CCTD-UKSW kembali melaksanakan nisbah iman dan ilmu via zoom. Diskusi akan difasilitasi oleh Jubhar Christian Mangimbulude, PhD, dari Universitas Halmahera. Pak Jubar memperoleh gelar Master of Science dalam bidang Mikrobiologi Lingkungan dari Vrije Universiteit Amsterdam The Netherlands, kemudian gelar Philosophy of Doctor (Ph.D) dalam Bidang Environmental Biotechnology dari Microbial Cell Physiology Department, Earth and Life Sciences Faculty, juga dari Vrije Universiteit. Beliau juga pernah menjadi Dekan Fakultas Biologi UKSW, lalu Rektor Uniera.

Dalam dialektika webinar tersebut tampaklah ada proses perubahan dari evolusi makro (yang hanya memperhatikan karakteristik dan perilaku makluk hidup) menuju pada evolusi mikro (perubahan pada gen, hormon dan kinerja otak).

Proses perubahan tersebut disebabkan oleh konektivitas antara gen dengan lingkungan diluar dirinya. gen berkompetisi untuk menjadi pemenang, namun dalam beberapa konteks gen berkolarborasi atau bekerjasama dengan lingkungan diluarnya. Proses evolusi yang harusnya bersifat selfish, pada pengamatan mikro tampak terjadi kerjasama.

Selain itu, evolusi biologi juga disebabkan oleh berbagai pengaruh dalam lingkungan bumi. faktor materi dan imaterial juga mempengaruhi proses evolusi. Yang dimaksud dengan imaterial adalah instrumen lain yang belum diketahui dan belum dapat didefenisikan.

Dialektika dalam diskusi terjadi secara menarik. Apakah intelektual dapat diwariskan? sebagaimana moral juga apakah dapat diwariskan?

Nonton diskusi lengkapnya:

MORALITAS DAN SIAPA MANUSIA

Pencarianku yang barangkali tidak akan tuntas selesai adalah mencari jawaban SIAPA MANUSIA? Ketika kuliah ada 9 teori manusia yang kupelajari secara intensif dalam kaitan dengan bangun landasan metode bimbingan dan konseling. Yang membingungkan adalah teori-teori itu ada yang bertentangan idenya. Argumentasi yang kupelajari masih sebatas di tataran filsafat dan barangkali psikologi sosial.

Perhatianku pada elemen fisik/fisiologi ketika aktif urus HIV dan kesehatan reproduksi perempuan. Studi mandiri yang membawaku belajar tentang neuroscience. Beruntung lagi ada diskusi dengan spesialis yang riset hubungan kekebalan tubuh dengan stres. Studi ini nuntunku untuk melihat hubungan antar dimensi manusia.

Webinar yang baru berlangsung dari Pusat Studi Pengembangan Berpikir Kritis UKSW terkait dengan pertanyaan tentang apakah evolusi mewariskan moralitas, memberi stimulus penting padaku. Pemberi materi seorang biolog yang S-1nya dari UKSW dan sekarang ada di Halmahera. Tema ini penting bagi Pak Jubhar barangkali karena beliau masuk ranah perdamaian dalam aksi.

Charles Darwin bertanya:”Moralitas itu hasil proses evolusi biologi atau kebudayaan?”. Meski pertanyaan itu telah berusia beberapa abad namun hingga sekarang belum bisa dijawab tuntas. Namun telah bisa dijawab sebagian.

Interpretasiku setelah ikuti webinar itu adalah moralitas ada di semua dimensi manusia (fisik, psikis, sosial dan spiritual) yang berinteraksi secara aktif, kontektual dan situasional. Otak yang terlibat saja ada 6. Pak Jubhar menyatakan dengan merujuk Cowel bahwa moralitas membutuhkan interaksi antara beberapa daerah otak yang terpisah tetapi terhubung.

Otak manusia yang disebut korteks memainkan peran penting. Dari bacaanku yang lain menyatakan bahwa pertumbuhan otak manusia hingga usia 25 tahun. Pertumbuhan otak manusia ini mudah diganggu dan menjadi rusak atau cacat oleh narkoba dan kimiawi lain. Pecandu narkoba yang begitu tega pada orangtua dengan menjuali barang-barang keluarga dan lakukan manipulasi, aku pahami dari rusaknya korteks oleh proses ketidakseimbangan hormon yang ada.

Hormon oksitosi dan serotonin disebut Pak Jubhar sebagai elemen moralitas manusia. Pahamlah aku tentang keterkaitan hormon dengan perilaku kesetiaan dan ketenangan pikiran yang dihasilkan oleh meditasi. Juga mulai bisa lihat hubungan hati nurani dengan dimensi lain.

Manusia berproses berubah terus. Gen manusia yang sebelumnya egois dan kompetitif kemudian sekarang mulai berubah butuh kolaborasi. Kebutuhan berkolaborasi ini tentu penjelasannya tidak tunggal. Banyak elemen dimensi manusia yang terhubung secara micro maupun makro yang memungkinkan terjadi. Kolaborasi bisa jadi mantera untuk manusia bertahan hidup untuk masa kini dan yang akan datang. Siapa yang telah menyadari gerakannya? Aku sudah sadari gerakannya dan berpretensi untuk bisa menjelaskan.

Dari segi perkembangan studi yang kutekuni adalah aku mulai dari teori-teori yang kupertanyakan terus dalam praktek tentang siapa manusia. Beruntung sekali bahwa praktek kerjaku bisa menoleh pada ilmu lain seperti fisiologi, filsafat, sosiologi, antropologi, spiritualitas, ekonomi dan politik. Jawaban dari pencarianku semoga bisa kutuliskan sebagai sumbanganku pada bidang Bimbingan dan Konseling. Meski secara formal jalur itu tak bisa kumasuki namun ruang untuk hadir di dunia pendidikan melalui kacamata psikologi tetap kumiliki. Revolusi industri 4.0 yang memungkinkan peranku diakomodir dengan cara unik. Semoga bisa kutuntaskan perjalanan ini.

Tulisan ini ditulis dan di-share 21 Maret 2021 oleh Esthi Susanti Hudiono diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/profile.php?id=1376597700

MEKANISME SYARAF MENCIPTA TUHAN?

J. Anderson Thomson, Jr., MD with Clare Aukofer (2011). Why we Believe in God(s): A Concise Guide to the Science of Faith. Virginia: Pitchstone Publishing Charlottesville .

The New Atheis (the-NA) dan berbagai karya bernada “perang terhadap agama” menyembul dari tumpukan beling pecahan kaca dan puing-puing kehancuran gedung kembar WTC, September 2002. Bagaikan bayi yang lahir prematur karena tercekik tekanan tragedi, mereka mewarisi semangat balas dendam akut. The-NA menawarkan sebuah “surga saintisme,” namun dengan cara penuh provokasi dan agresifitas menyerang agama yang diyakini mengandung virus mematikan. Buku ini adalah salah satu diantara banyak karya yang lahir dalam situasi chaotik itu.

Matthew, anak lelaki Anderson Thomson termasuk satu diantara ribuan korban tabrakan pesawat di gedung kembar 11 September 2002. Sebagai praktisi psikologi forensik Thomson terbiasa menangani “kasus-kasus kerja otak yang menyediakan alasan bagi sebuah tindakan,” sebagaimana halnya mengapa orang rela korbankan diri demi membunuh orang lain. Goresan luka bathin yang mendalam dari agama dalam persitiwa yang merenggut nyawa putranya itu terlihat, antara lain dalam halaman persembahan, yaitu kepada Jack cucunya, dengan harapan “he will grow up in a world freer of religion’s destructiveness.”

Thomson juga terlibat di Yayasan Richard Dawkins for Reason and Science sebagai Pengawas. Boleh dikatakan, Yayasan ini menjadi dapur memasak berbagai gagasan dan teori apologetik melawan agama. Tema karya-karya Thomson sekitar psikologi evolusioner dan eksplorasi basis kognitif dan evolusioner dari keyakinan religius. Ia mengembangkan teori tentang asal-usul kognitif dari keyakinan agama (the cognitive origins of religious belief), dan kerap menjadi pembicara utama di konferensi-konferensi ateis seperti American Atheists dan Atheist Alliance International.

Dalam sebuah wawancara dengan Austin American-Statesman, ia berkata, “ada konflik besar yang tidak dapat didamaikan antara sains dan agama. Agama adalah kosmologi, biologi, dan antropologi asli umat manusia. Agama memberikan penjelasan tentang asal mula dunia, kehidupan, dan manusia. Sains sekarang memberi kita penjelasan yang semakin lengkap untuk tiga besar itu.” Pernyataan ini membawa pada kesimpulan, sebagaimana khas pada gaya berpikir the-NA, “agama tidak dibutuhkan lagi sebab sains sudah menjelaskan segalanya dengan lebih tepat dan meyakinkan.”

Buku ini mengupas teori penulisnya, yaitu agama (kepercayaan) sebagai hasil kerja kognitif. Dengan metode pembuktian psikologi evolusioner, Thomson hendak meyakinkan pembaca akan kebenaran teorinya, dan berharap disebarluaskan agar menggantikan (menghapus) harapan kosong agama yang tidak saja delusional melainkan juga mengandung kekuatan destruktif yang mengancam kemanusiaan dan kehidupan. Seperti diungkapkannya dalam bagian Pengantar, buku ini sebagai bentuk kecintaan pada sains, yang juga “cahaya dari karya-karya dan perjuangan intelek the four horsmen.” Dua hal yang, menurut saya, bertentangan!

Saya sengaja mengawali komentar atas karya ini dengan mengupas perspektif (point of view) penulis agar memudahkan pembaca memahami (membayangkan) isi buku ini. Prinsipnya, Thomson adalah bagian dari the-NA. Dengan mengetahui POV penulis kita dapat menempatkan buku ini secara fair sekaligus menyikapinnya secara kritis.

Anda tidak usah terkecoh, misalnya dengan nama anaknya, Matthew, yang terasosiasi dengan penulis injil pertama. Bahkan judul-judul Bab mengambil dari frasa-frasa Alkitab, yang tentu akrab bagi pembaca berlatar Kristen, seperti “In the Beginning Was the Word,” “Our Daily Bread,” “Deliver Us from Evil,” “Thy Will Be Done”, “Lest Ye Be Judged, dan sebagainya. Tentu saja obyek dan subyek dalam pembahasan judul-judul itu dibalik sebagaimana khas pada “permainan kata” The-NA. Tapi bentuk sabotase ini lebih menggambarkan kelicikan untuk menggantikan Tuhan dengan “tuhan” ciptaan saintisme. Ini memperkuat keyakinan saya sejauh ini, bahwa the-NA terlihat tidak bisa berpikir tanpa merujuk pada Alkitab (frasa-frasa Penciptaan).

Buku yang diberi Kata Pengantar oleh Ricahrd Dawkins ini terdiri dari 10 bab. Meski demikian, tesis utamanya terdapat pada bab 8, yang dijuduli “Wherever Two or More of You Are Gathered.” Judul yang dicuplik dari frasa Alkitab (lihat Matius 20:18) memang sengaja, seperti terlihat dari pujian Dawkins, namun digunakan untuk kepentingan evolusi kognitif, yakni bahwa munculnya agama semata-mata sebagai mekanisme pertahanan diri dengan cara menciptakan dan merawat semangat sosial (kebersamaan) sebagaimana diteorikannya. Sebagai tema sentral, dapat dengan mudah dikaitkan dengan bab-bab sebelum maupun sesudahnya.

Baiklah kita masuk ke argumen utama untuk memahami isi buku ini.

Memperkuat teori selfis gen dari Dawkins, Thomson menegaskan bahwa agama mengeksploitasi emosi kerabat. Eksploitasi emosi kerabat digunakan, misalnya untuk perekrutan dan pelatihan pelaku bom bunuh diri atas nama “persaudaraan seagama” dan tuhan. Para perekrut dan pelatih karismatik menciptkan sel-sel kerabat fiktif atas nama agama, lalu mendapatkan para martir yang diiming-iming juga dengan tiket surga, tempat dimana mereka segera memuaskan fantasi seksualnya bersama puluhan bidadari.

Tentu yang dimaksud di sana adalah kelompok teroris yang sejauh ini mengatasnamakan Islam. Tetapi bukan hanya itu. Semangat persaudaraan seagama juga ada dalam semua agama, termasuk Kristen, Yahudi, Hindu, Budha dan sebagainya.

Agama tentu memiliki sejarah. Tetapi pasti diciptakan untuk menghadapi tantangan dan kompleksitas pada masanya, ketika pengetahuan belum dikenali. Proses yang lama itu berulang-ulang dan turun temurun akhirnya dapat dilacak jejak evolusinya pada sistem kognitif.

Bentuk-bentuk ritual, pemujaan, tari-tarian, puji-pujian kepada dewa yang tidak kelihatan tidak lebih sebagai mekanisme sosial untuk pertahanan diri. Bila dilacak, perilaku ini ditemukan dalam pusat syaraf yang memproduksi semacam “perasaan barsama yang dipersatukan,” baik oleh semangat untuk memupuk keberanian dan membunuh rasa cemas dan takut, semangat mencintai, maupun semangat memusuhi. Jadi, kekuatannya pada konsolidasi solidaritas. Thomson akan mencontohkan puji-pujian koor di kalangan Kristen, dimana dia pun pernah menjadi anggota, atau melakukan puji-pujian secara berulang-ulang maka akan terbentuk kebersamaan yang solid, rasa percaya diri, dan seolah mendapatkan “curahan anugerah” dari dewa. Padahal, proses berulang itu memicu sebuah “titik” di jejaring syaraf yang segera memproduksi “sel kesenangan dan keriangan.”

Konsep psikologinya disebut Neurotransmiter monoamine (NM). NM memiliki ragam bentuk seperti dopamin, epinefrin, endorfin, oksitosin, dan sebagainya. Dopamin umumnya dikaitkan dengan kesenangan. Area otak manusia sangat berlimpah akan dopamin, yang disebut juga nukleus accumbens. Dopamin akan menyala dan dipenuhi kegembiraan ketika merespons rangsangan tertentu, seperti makanan favorit, seks, opium dan sejenisnya. Itulah yang memicu respons “lakukan lagi, dan lagi, dan lagi,” semacam ketagihan akut karena menikmati “suasana kesenangan.”

NM epinefrin dan norepinefrin umumnya dikenal sebagai adrenalin dan noradrenalin. Adrenalin meningkatkan detak jantung, membuat kita merasa cemas, memfokuskan perhatian, dan menyebabkan berkeringat. Tetapi juga dapat memberikan ledakan kekuatan temporal yang diluar kebiasaan. Bahkan, terkadang memungkinkan prestasi fisik tak masuk akal, seperti seorang ibu dapat membunuh singa yang manerkam anaknya, atau seseorang mampu melompati pagar setinggi dua meter ketika dikejar anjing atau penjahat.

Endorfin juga memainkan peran vital sebagai zat kimia saraf yang sangat penting bagi agama. Ia merupakan candu internal atau disebut juga “morfin endogen.” Fungsi utamanya adalah memblokir rasa sakit saat cedera terjadi, yang diproduksi ketika berolahraga, sedang bergembira, tawa, mendengar musik kesukaan, orgasme, dan sebagainya. Perempuan yang melahirkan mengalami produksi endrofin memadai sehingga ia dapat “melupakan” rasa sakit, bahkan tergantikan keriangan begitu melihat bayi yang dilahirkannya.

Cukup mengherankan, Thomson merasa takjub perihal bagaimana nenek moyang kita bisa menemukan kombinasi aktivitas sejenis ritual, pemujaan dan sejenisnya, yang dapat merangsang dan meningkatkan serotonin, dopamin, epinefrin, norepinefrin, oksitosin, dan endorfin, lalu menciptakan aktivitas otak yang unik. Baginya, itulah kunci memahami tempat abadi ritual di semua budaya (hal 64). Jadi, meski tidak dapat menjelaskan bagaimana “kembinasi itu ditemukan oleh nenek moyang kita yang masih primitif,” ia mengakui temuan canggih itu menjelaskan kepada kita hal penting terkait fenomena beragama.

Jadi ringkasnya, perasaan terberkati, rasa syukur, dan lainnya yang diatribusikan sebagai “pengalaman spiritual” oleh penganut agama sesungguhnya hanyalah “aktifnya” area-area tertentu di pusat syaraf, yang kemudian memproduski zat-zat yang menyalakan spiritualitas kita. Karena itu, bukanlah disebabkan karena ada dewa di luar sana. Kalau demikian, bagaiaman dengan tuhan? Diamana tuhan dalam kerja-kerja neuron?

Menurut teorinya, tuhan terdapat dalam aktivitas lobus temporal (temporal lobes). Itulah “titik tuhan” (god-spot) atau god-module. Para pengidap epilepsi dilaporkan paling sering mendapatkan pengalaman spiritual lantaran kondisi lobus temporalnya yang mudah teraktivasi. Atas dasar teori inilah Michael Persinger, seorang psikolog di universitas Laurentian Kanada di era 1980-an bereksperimen dengan membuat “helm tuhan.” Orang ditempatkan di ruangan gelap dan sunyi, penglihatan dan persepsi suara diblokir, dan helm yang secara magnetis menstimulasi lobus temporal ditempatkan di atas kepala. Pemakai helm akan mendapatkan “pengalaman spiritual” ketika titik itu terpicu. Sebuah sumber yang pernah saya baca menyebutkan bahwa Richard Dawkins pernah mencoba helm buatan Persinger ini, namun nampak tidak memuaskannya.

Sejumlah tokoh spiritual (agama), oleh Thomson disebutkan kemungkinan mengidap epilepsi. Sekali lagi, “kemungkinan!???” Beberapa yang disebut adalah rasul Paulus, yang menurutnya kemungkinan mengalami serangan epilepsi ketika dalam perjalanan ke Damaskus (yang dalam Alkitab disebut sebagai titik balik pertobatannya karena mengalami perjumpaan dengan Yesus Kristus). Lalu, sejumlah pendiri dan pemimpin dari berbagai agama dunia juga kerap dirawat karena epilepsi lobus temporal, seperti Santa Teresa dari Avila, Feodor Dostoevsky, Marcel Proust, dan lainnya.

Tentu, terhadap argumen ini tidak mudah diferivikasi. Apakah semua orang yang melaporkan mengalami pengalaman spiritual mengidap epilepsi? Mengingat apa yang dialami Paulus juga dilaporkan dialami lebih banyak orang di Alkitab, apakah semuanya mungkin korban epilepsi semata? Tentu, sains di masa kini mudah membuktikannya.

Bagaimana asal usul moralitas? Apakah moralitas benar-benar bersumber dari Tuhan atau agama? Pertanyaan ini dijawab di Bab VII, yang diberi judul “Thy Will be Done” (Jadilah Kehendak Mu). Dengan mengutip sejumlah eksperimen Thomson menyimpulkan bahwa moralitas (sikap baik buruk), bahkan sikap adil itu sudah melekat sejak lahir.

Salah satunya yang dirujuk adalah eksperimen profesor psikologi Yale, Paul Bloom dan timnya. Experimen ini menemukan bahwa bayi berusia tiga bulan sudah memiliki perasaan bawaan tentang benar dan salah, baik dan buruk, bahkan adil dan tidak adil. Para bayi diperlihatkan wayang yang sedang mendaki gunung. Ada wayang lain yang menghalangi pendakian, sementara lainnya lagi berusaha menolong wayang yang dihalangi. Para bayi meniru wayang penolong dan menjauhi wayang penghalang.

Michael Tomasello, psikolog perkembangan yang menjadi pengarah Institut Max Planck untuk Antropologi Evolusi di Leipzig, Jerman juga melakukan eksperimen serupa. Penelitian terhadap kapasitas bawaan anak-anak itu menyimpulkan bahwa manusia dilahirkan altruis yang kemudian baru mulai belajar dan mempelajari cara mengenali kepentingan pribadinya. Thomson menyebutnya sebagai moral dasar. Mengikuti moral dasar menurutnya jauh lebih bermoral, ketimbang mengikuti moral agama yang dimanipulasi sehingga jauh dari perihal bermoral.

Saya perlu memberi catatan, bahwa kesimpulan penelitian ini tentu berbeda dengan Jean Piaget (1896-1980). Sebagai peneliti di bidang psikologi perkembangan, melalui eksperimennya Piaget berkesimpulan bahwa anak-anak di usia dini belum mampu berpikir logis sehingga cenderung masih berpikir untuk diri sendiri (egosentris). Sikap adil dan alturis (seperti disebut Tomosello) baru ada sebagai capaian dari berpikir dan bersikap rasional. Itupun tidak sepenuhnya karena setiap orang berkecenderungan egosentris atau sosio-centris dan harus berupaya keras untuk mengatasinya, yakni dengan mengembangkan daya kritis guna mencapai fair-minded thinker.

Secara keseluruhan, karya ini bagus. Sebagai pakar psikologi forensik dan terutama mengembangkan penelitian di sekitar evolusi kognitif terkait religiusitas, Thomson (dan Clare) menjelaskan secara ringkas dan padat hasil-hasil riset panjang terkait fenomena beragama. Tidak banyak informasi baru sesungguhnya, namun cukup memperkaya wawasan. Saya sendiri mensyukurinya dan tidak melihat “daya sengatnya” kepada hal ber-Tuhan dan beragama.

Dalam karya James W. Jones, Can Science Explain Religion? The Cognitive Science Debate (2016) yang sudah saya tulis di wall saya sebelumnya, telah ditunjukkan bahwa “sains kognitif” memang mampu menjelaskan secara teknis titik-titik kognitif yang mengaktivasi pengalaman religius, moralitas, dan hal terkait lain yang biasa diatrtibusikan kepada agama dan Tuhan. Karya ini tentu tergolong sebagai salah satunya.

Tetapi, pertanyaannya adalah, lalu apa? Jones berargumen bahwa temuan-temuan kognitif itu tidak menjelaskan apa-apa tentang memgapa orang percaya Tuhan, mengapa alam semesta ada, bagaimana segala sesuatu bermula dan sebagainya. Mampu menjelaskan “titik-titik pemicu dalam syaraf” yang menyebabkan orang mengalami tuhan, tidak sama dengan menjelaskan mengapa orang percaya Tuhan, bukan?

Selain mendukung argumen Jones, saya ingin berkomentar dengan sebuah narasi lain.

Andaikan sebentuk kehidupan menemukan habitatnya dalam seperangkat komputer. Makluk super kecil sejenis bakteri yang bahkan belum bisa terekam oleh teknologi. Mereka mengembangkan kehidupan dan pada suatu saat juga peradaban. Hingga di satu titik waktu, beberapa dari antara koloni itu mengembangkan alat dan riset, lalu menjelaskan bahwa koloni mereka hidup pada situasi yang sangat cocok (fine tunning), dan seandainya ada sedikit saja kemelesetan maka kehidupan tidak dimungkinkan. Mereka juga berterori, bahwa sangat sulit membayangkan adanya kehidupan lain di luar sana.

Muncul pertanyaan dari anggota kelompok lain, mungkinkah situasi “dunia dan koloni kita” diciptakan? Para cerdik pandai di antara makluk itu mengatakan, mustahil! Segala sesuatu sebab yang memungkinkan eksistensi telah dan akan dapat dijelaskan secara persisi.

Maka, demikianlah koloni super kecil itu meneruskan kehidupan dalam perangkat komputer, dalam keyakinan bahwa di luarnya tidak ada benda lain, juga tidak mungkin ada kehidupan!

Tulisan ini ditulis dan di-share 14 Maret 2021 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/real.self.9

DAPATKAH SAINS MENJELASKAN AGAMA?

James W. Jones (2016). Can Science Explain Religion? The Cognitive Science Debate. Oxford University Press. Dari judul sudah terbayangkan isi buku ini. Sebuah isu besar yang sangat krusial karena menjadi titik pertempuran abadi antara sains dan agama, atau lebih tepatnya antara penganut paradigma penciptaan versus evolusi. Tanpa tedeng-aling, Jones membuka layar di Pengantar dengan mengamplifikasi desingan peluru saling serang kedua kubu. Atas pertanyaan di judul, penganut penciptaan berseru serempatk, “tidak dapat, sebab agama itu sakral.”

Para ilmuan kognitif, bidang yang digeluti penulis buku ini, sebaliknya menjawab tak kalah meyakinkan, bahwa sumber asal keyakinan agama telah ditemukan sebagai “hasil kerja syaraf” semata. Karena itu, keyakinan pada agama merupakan “pandemi” yang harus diatasi. Pernyataan anthropolog Jesse Bering mungkin mewakili semangat permusuhan itu: “we’ve got God by the throat and I’m not going to stop until one of us is dead.” Nada yang tak asing sebagaimana terbiasa kita dengar dan baca dari banyak karya, sebut saja beberapa seperti Daniel Dennet, Christpher Hitchens, Richard Dawkins, Paul Bloom, Pascal Boyer, Jesse Bering, dan lainnya.

Asal tahu saja, James W. Jones merupakan pengajar “sains dan agama” selama lebih dari 40 tahun sejak 1971. Ia menyandang dua gelar doktor (Ph.D), yaitu dibidang filsafat agama dan psikologi klinis sekaligus sebagai profesional yang bersertifikat praktisi. Praktik dan karya-karyanya melibatkan banyak bidang saling-kait seperti psikologi kognitif, kognisi dan emosi dalam depresi, neuropsikologi, pengobatan pikiran-tubuh atau psikofisiologi, biofeedback, dan hipnotis. Tambahan terpenting lagi, Jones juga seorang imam Gereja Episkopal yang aktif mempraktikkan kontemplasi “versi” Kristen (Barat) maupun Budhis (Timur). “Bonus” paling menentukan adalah Jones pernah berada pada posisi “evolusi,” yang dengan lantang menyuarakan agama sebagai fenomena manusia semata yang melibatkan proses psikologis dan alamiah.

Dengan demikian, Jones sangat berotoritas membahas “topik mengerikan” ini. Ia tidak saja memiliki kompetensi keilmuan profesional melainkan juga ragam perspektif di sekitar topik pembahasan. Dua topik kunci yang dibahas dalam buku ini, yang menjadi titik bidik sains terhadap agama, yaitu unsur supernatural dalam agama dan perihal kehidupan setelah kematian.

Di tangan kaum ilmuan kognitif (non-theis), “lokasi “ perdebatan terkait kedua topik di atas telah lama berpindah dari jurnal-jurnal ilmiah dan konferensi akademis yang cenderung elitis dan tertutup ke domain publik yang terbuka. Ini terbukti bahwa polemik antireligius yang militan, yang konon didasarkan pada ilmu kognitif, telah menghiasi daftar buku terlaris dan muncul di acara spesial televisi. Para juru bicaranya meraih popularitas serasa selebriti, seperti Richard Dawkins, Dainel Dennet, Lawrence Krauss, Sam Harris, dan sebagainya.

Melalui karya ini, Jones ingin berargumen melawan tesis-tesis para “ilmuan kognitif,” antara lain beberapa nama seperti disebutkan di atas. Prinsipnya, menurut Jones para ilmuan kognitif meyakini fenomena kepercayaan pada Tuhan hanyalah gejala “kelainan pada jejaring syaraf kesadaran,” yang karenanya dapat diatasi. Dengan metode uji saintifik diyakini patologi bertuhan (beragama) itu dapat dijelaskan.

Buku ini terbagi dalam lima (5) bagian. Bab I memberikan gambaran umum tentang klaim ilmu kognitif atas agama. Klaim itu berpunpun pada dua persoalan pokok (dua topik kunci) seperti disebutkan di atas yang dianggap sebagai dasar keyakinan semua agama. Di sini ditunjukkan apa dan bagaimana klaim itu dilakukan.

Bab II membahas dan memberikan analisis terhadap perihal, apa makna “metode ilmu kognitif” dalam memahami agama sebagaimana ditunjukkan di bab sebelumnya. Ilmu kognisi menjelaskan bahwa pikiran memiliki dua level, yaitu level tidak sadar yang disebut pikiran intuitif dan level sadar yang disebut pikiran reflektif. Kognitisme meminjam evolusi untuk memperkuat “metode uji” atas keyakinan agama, yang prinsipnya tiba pada kesimpulan bahwa perihal beragama merupakan sebuah “evolusi kognisi” yang bersumber pada tingkat kesadaran minimalis (bahkan kondisi diluar kesadaran) yaitu tingkat berpikir intuisi, atau oleh Fraser Watts disebut subsistem “implasional.”

Sistem intuitif dibangun diatas keyakinan bahwa segala sesuatu pasti memiliki sebab. Ketika sesuatu tiba-tiba tidak berfungsi sebagaimana seharusnya, secara intuitif kita mencari tahu penyebabnya. Mekanisme inilah yang menibakan manusia pada keyakinan eksisnya “penyebab utama” yang disebut Tuhan. Sistem intuitif mengatur atau mensabotase pemikiran rasional dengan menciptakan agama (keyakinan) agar menjelaskan hal-hal yang belum bisa dijelaskan oleh pikiran sadar. Para ilmuan kognitif yakin bahwa sistem ini terlalu mendominasi karenanya harus dihilangkan agar rasionalitas bisa bekerja lebih jernih dalam mengases realitas. Cara menghilangkannya adalah dengan mengembangkan akal sadar (conscious reason) kita.

Setelah Bab I dan Bab II menjelaskan klaim atau tuduhan-tuduhan sains kognitif (disebut juga fisikalisme–physicalism) atas agama atau keyakinan, serta metode yang digunakannya untuk membuktikan klaim-klaim tersebut, di Bab III nampaknya Jones hendak menguji sebarapa sahih klaim-klaim tersebut. Di sini disimpulkan bahwa metode sains kognitif membantu memahami proses yang menuntun seseorang untuk memiliki keyakinan, tetapi tidak berarti apa-apa tentang kebenaran atau kesalahan keyakinan tersebut. Artinya, temuan ilmu kognitif sama sekali tidak melemahkan atau menyangkal pandangan religius. Lain dari itu kesadaran intuitif yang dituduh sebagai penghambat rasionalits, dalam banyak pengalaman klinis terbukti justru memicu kesadaran reflektif, bahkan membantu membuka ruang pengalaman ke perspektif yang lebih luas, holistik dan integratif.

Bab IV menunjukkan hasil uji atas klaim fisikisme berdasarkan pengalaman profesionalnya sebagai praktisi. Berdasarkan “uji klinis” disimpulkan bahwa sains kognisi tidak dapat memberikan penjelasan memadai tentang penyebab mental (mental causation) untuk menjelaskan temuan penelitian dalam pengobatan perilaku, meditasi, hipnosis, dan bidang psikofisiologi lainnya. Model fisikisme tidak memadai untuk membongkar “akar-akar agama atau keyakinan” dalam kognisi. Ketidakmemadaian itu terletak justru pada perspektifnya yang memandang dunia hanya sebagai realitas fisika. Meskipun ada banyak hal yang dapat dipelajari dari studi ilmiah kognitif tentang agama, upaya menjelaskan atau menyanggah agama disebutnya terlalu dibesar-besarkan.

Ambil saja contoh dalam pengalaman meditasi. Melalui meditasi para praktisi masuk ke pengalaman langsung dengan sumber ilahi yang imanen, sebagaimana diakui berbagai kalangan yang rutin melakukan praktik religius. Meski fenomena ini disebut sebagai “kuasi-empiris,” pengalaman “obyektif” ini menuntut pemahaman yang berbeda tentang sifat manusia daripada yang ditawarkan oleh fisikisme yang paling nonreduktif sekalipun. Kenyataannya, kaum teis (dalam kasus terbiasa dengan praktik kontemplasi religiusnya) memiliki sumber daya ekstra untuk mengatasi masalah-masalah kesadaran dibanding kaum fisikisme.

Setelah menunjukkan berbagai keterbatasan fisikisme memahami agama, di Bab V Jones mencoba mengkonstruksi “hubungan ideal” antara agama dan sains. Prinsipnya, hubungan itu dapat terjadi secara bermakna dengan melampaui, atau memperluas perspektif masing-masing. Misalnya, mengutip sejumlah pandangan seperti David Griffin (yang mengajukan konsep “panpsychists” bahwa harus ada kesadaran yang terdistribusi melalui dunia material), juga Chalmers dan Velman yang intinya mengajukan pandangan bahwa kesadaran perlu dilihat sebagai bagian dari dimensi alam semesta karenanya tidak dapat direduksi menjadi sekadar fisika. Kesadaran dapat dilihat secara baru sebagai semacam konstanta fisika fundamental agar tidak fokus pada kesadaran (neuron) subyek yang dijadikan obyek observasi. Selain itu, pandangan pluralistik dianjurkan sebagai pendekatan untuk melihat dunia sebagai sebuah taman keragaman. Dengan cara itu, baik sains kognitif maupun agama dapat hidup damai dalam penerimaan terhadap ragam pemahaman dan ragam perspektif dunia.

Meski buku ini ditujukan bagi pembaca umum, banyaknya konsep-konsep teknis psikologi, neurologi dan psikofiologi atau sejenisnya, menjadikannya tidak cukup mudah dipahami. Saya pun harus membaca paragraf-paragraf penting beberapa kali untuk menangkap intinya. Itu pun tidak menjamin akurasi pemahaman saya mengingat latar belakang saya bukanlah dari disiplin ilmu itu. Namun, pesan-pesan utama dapat dipahami, setidaknya dalam memahami tujuan buku ini.

Pendekatan evolusi yang digunakan ilmu kognitif dapat menjelaskan asal muasal sistem kognitif yang melahirkan “kerpercayaan religius,” meski hanya terbatas di permukaan. Persis, karena, sebagaimana sains umumnya, pisau bedah sains kognitif terikat pada partikel-partikel fisik. Keterbatasan lainnya, sains kognitif tidak menjelaskan faktor mengapanya, dan terutama lagi, mengapa meski kepercayaan agama telah ditentang bahkan dihantam badai pengetahuan (juga filsafat) sepanjang pelayaran peradaban, alih-alih mati ia seolah makin kokoh sebagai hasil dari mekanisme “survival of the fittest.”

Jones secara meyakinkan dapat menunjukkan kegagalan sains kognisi membedah kepercayaan (agama), namun juga gagal menunjukkan hubungan ideal keduanya. Saya menganggap kedua perspektif itu hanya perlu saling terbuka dalam dialog untuk memahami satu terhadap yang lain, tanpa harus terbeban oleh ambisi melakukan judgement. Mengingat keduanya memiliki klaim ontologis yang berbeda, metode yang dikembangkan untuk mengakses “sumber kebenaran” juga berbeda. Metode sains tidak dapat mengases “realitas kepercayaan” untuk membuat kesimpulan saintifik, sama halnya dengan metode agama atau keimanan tidak dapat digunakan untuk menyimpulkan realitas sains.

Nampaknya jalan keluar yang dianjurkan Jones, misalnya dengan memperluas kesadaran subyek ke arah “kesadaran alam semesta” atau disebutnya sebagai bagian dari konstanta fisika, akan condong kepada “religious naturalism” atau kesadaran spiritual: sesuatu yang diusung Dawkins dan the-new-atheits yang justru dijadikan sasaran kritik buku ini. Dawkins bahkan “dengan bangga” menyebut itu sebagai bentuk “agama” yang dianut antara lain oleh Newton, Einstein dan Darwin, yang manifestasinya pada kekaguman atas keindahan, keteraturan dan kerumitan alam semesta, bahkan kesakralan kosmos.

Apakah Jones mengusung agama non-teistik? Kalau demikian, saya tidak sepakat pada kesimpulannya!

Tulisan ini ditulis dan di-share 9 Maret 2021 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/real.self.9

Narasi Penciptaan menurut Alkitab & Respon Sains

CCTD-UKSW telah mengawali program 2021 dengan webinar bertema “Narasi Penciptaan dan Respons Sains.” Webinar terlaksana 3 Maret 2021 dengan pembicara Dr.Bambang Noorsena dan Neil S.Rupidara, Ph.D. Bambang Noorsena “belajar” kurang lebih 10 tahun di Timur Tengah. Sejak 1995 ia melakukan riset di gereja-gereja Timur di Yordan dan Syria, lalu mempelajari The Dead Sea Scrolls (naskah-naskah Laut Mati) di Israel, kemudian secara khusus mengambil studi di Cairo, Mesir (2003-2005). Sekembalinya ke Indonesia 2005 ia mendirikan Institute for Syriac Culture Studies (ISCS) yang menginisiasi berbagai dialog teologis dan budaya lintas agama dan lintas denominasi. Melalui itu reputasinya sebagai intelektual Kristen terbangun dan dikenal bahkan ke forum-forum internasional. Sementara itu Neil S. Rupidara adalah Rektor UKSW, pakar manajemen kelembagaan, namun juga peminat “alamiah” di bidang sains, khususnya dialog sains dan iman (Kristen). Posisi pak Neil mengajukan tanggapan berdasarkan isu-isu kontemporer sekitar kritik sains atas narasi Penciptaan, sekaligus menunjukkan bagaimana capaian kosmologis mendekati “titik-titik persinggungan” yang memicu ketegangan dalam dialog sains-iman.

Secara umum, webinar berjalan menarik dan di ruang chat banyak peserta mengajukan pertanyaan atau pernyataan. Lembar evaluasi yang terisi menggambarkan respons yang sangat positif, meski beberapa peserta juga mengeluhkan kurangnya waktu untuk diskusi. Minat peserta juga terlihat dari jumlah pendaftar yaitu 324 dari 300 yang ditarget, meski yang hadir di ruang webinar hanya 117.

Tulisan ini tidak dimaksudkan membahas diskusi dari presentasi kedua pembicara, melainkan sebagai hasil penghayatan dan internalisasi atas pokok diskusi webinar tersebut.

Fokusnya pada narasi Kejadian 1:1: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi,” yang bisa dipahami sebagai kick off ruang dan waktu. Dalam sains, diakui secara umum terletak pada big bang sebagai permulaan ruang waktu. Titik awal penciptaan versus titik awal evolusi. Versi kitab Kejadian 1:1 ini mengisyaratkan ruang waktu diciptakan dari kekosongan (dari akar kata Ibrani: bara), dan tercipta dalam kesempurnaan dan kelengkapannya. Lengkap, dalam pengertian segala isinya mencakup semua bahan dan “materi dasar” sebagai embrio untuk segala sesuatu yang akan dijadikan di tahap berikutnya. Lengkap, namun belum tertata.

Sementara, pada versi sains evolusi, big bang sebagai titik awal tanpa penjelasan darimana materi dasar teori big bang serta bagaimana ia terbentuk. Apa yang disebut sebagai partikel primitif pembentuk big bang, atau secara “sinis” disebut sebagai partikel tuhan, menjadi incaran para ilmuan, yang bila ditemukan diyakini sebagai momen menemukan tuhan.

Sebagai Pencipta, Allah berada di luar ruang dan waktu. Sebab, ruang dan waktu adalah buah ciptaan. Sains sebaliknya, berambisi menjelajahi ruang dan waktu untuk menemu-buktikan ke(tidak)berdaaan Tuhan. Sains sejauh ini mengklaim sudah berhasil menjelajahi setidaknya 5% ruang, yang lalu dijadikan dasar oleh sejumlah penganut saintisme untuk menyimpulkan ketidakmungkinan keberadaan Tuhan. Sebagian besar ruang terisi materi dan energi gelap yang terhadapnya saintis tidak dapat mengatakan apa-apa. Bahkan, sekalipun kelak mampu menjelajahi setiap detil ruang, upaya menemukan Tuhan dalam “pengertian manusia, sebagaimana misalnya menemukan sebuah benda paling langka,” nampaknya justru tidak masuk akal. Tepat, karena “pencipta tidak berada dalam ciptaannya.” Bill Gates tidak akan pernah ditemukan dalam Microsoft, Steve Jobs tidak mungkin ditemukan dalam Apple, tukang periuk tidak bisa ditemukan dalam periuk buah tangannya.

Setelah ruang dan waktu diciptakan secara sempurna dan lengkap, Allah mulai menjadikan segala sesuatu dengan fungsinya masing-masing, lalu menata atau meng-kosmoskan-nya.

Dari yang tadinya chaos kini tertata lalu ditempatkan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Itulah sebabnya, terma “mencipta” (Ibrani: bara, hanya diterapkan pada Allah) hanya ada di pasal 1:1 dan ayat-ayat selanjutnya menggunakan terma “menjadikan.” Mencipta pada ayat (1) terambil dari ketiadaan atau kekosongan (creatio ex nihilo). Sementara, terma “menjadikan” dan mencipta pada ayat selanjutnya mengambil dari bahan dasar yang sudah ada. Allah memulai dengan menjadikan terang untuk menerangi ruang. Terang itu dipisahkan dari gelap. Menarik disini, bahwa kitab Kejadian tidak menyebutkan secara eksplisit, apakah kegelapan diciptakan oleh Allah? Mungkinkah gelap secara hakiki merupakan bagian dari terang, hanya dipisahkan agar menjadi penanda siang dan malam? Setelah ada penerangan dalam ruang ciptaan-Nya, Allah lalu menjadikan benda-benda lain, mulai dari cakrawala, laut dan daratan, benda-benda langit, tumbuhan dan hewan, sehingga memuncak pada manusia.

Perhatikan kornologi dan sekuensnya. Ruang dan waktu diciptakan, diterangi, lalu berturut-turut dijadikan laut dan darat –> tumbuhan –> benda-benda penerang sebagai penanda waktu –> hewan di laut, darat dan udara –> lalu manusia. Alkitab tidak menyebut penciptaan (penjadian) matahari dan bulan, melainkan benda-benda penerang.Meski narasi penciptaan dalam kejadian bukan narasi saintifik (bahkan tidak memiliki kaitan meski dari pihak saintis terus dikait-kaitkan) melainkan narasi liturgos dalam rangka memuliakan Pencipta, bagi saya, “teori Penciptaan” dengan demikian menjadi jauh lebih meyakinkan. Khusus terkait penjelasan tentang titik awal.

Bandingkan dengan teori evolusi (terutama melalui evolusi kosmik) yang tidak menjelaskan apa-apa tentang bahan dasar big bang, apa dan bagaimana pra big bang. Lawrence Krauss (A Universe from Nothing, Why There is Something Rather than Nothing, 2012) berteori bahwa big bang bisa muncul dari ketiadaan. Ia menteorikan bahwa lantaran fluktuasi kuantum acak menyebabkan materi dan antimateri muncul secara spontan dari ketiadaan, yang karenanya berkemungkinan menghadirkan sesuatu. Bagi saya ini tidak masuk akal. Lebih mudah meyakini secara nalar ada Pencipta sebagai penyebab pertama yang tidak memiliki sebab, ketimbang meyakini (ironisnya secara saintifik) ketiadaan sebagai penyebab utama. Lebih-lebih lagi memberikan atribut “keabadian dan ketakterbatasan” kepada ketiadaan, ruang dan waktu, sangatlah tidak masuk akal.

Saintisme seolah merampok atribut khas Tuhan lalu mengenakannya kepada sebuah entitas ciptaan mereka yang disebut nothingness. Dalam banyak kesempatan Richard Dawkins mengutip teori Krauss, dan menegaskan bahwa “nothing is something.” Sebuah pernyataan ambigu, seperti halnya mengatakan bahwa “metafisika adalah fisika.”

Bambang Noorsena mengungkap sebuah konsep menarik, yaitu realisme Alkitabiah (Biblical realism), dimana pandangan terhadap alam semesta didasari spirit yang menjadikan dunia dan seisinya dalam ketergantungan dan tanggungjawab pada Tuhan Pencipta. Jadi, tidak memiliki kaitan (tidak berurusan) dengan sains. Namun, realisme ini memicu pencarian saintifik. Di dunia Barat waktu adalah peluang (uang). Sementara, di dunia Yunani dan Timur waktu, sebagaimana matahari dan bulan, didewakan. Pandangan tentang alam dunia Timur dan Yunani juga sebagai dewa/dewi. Alkitab menyebut penjadian benda-benda penerang, dan tidak eksplisit menyebut matahari maupun bulan. Fakta ini membuktikan tuduhan, misalnya oleh Richard Dawkins dalam The Magic of Reality (2011), bahwa narasi penciptaan sama atau dianggap menduplikasi sejumlah narasi dongeng mistis yang lebih tua seperti dongeng rakyat di Tasmania, Mesopotamia, dan lainnya, tidaklah benar. Konstruksi narasi penciptaan versi Kristen merupakan sebuah “ritual pemujaan” kepada Sang Pencipta, dan bukan sebuah pendasaran saintifik, laporan faktual.

Meski demikian perkembangan sains dan peradaban (khususnya Barat) tidak dapat melepaskan diri darinya. Bahkan, saintisme terlihat menolaknya dalam doktrin keilmuan namun merangkulnya erat dalam semangat. Seolah tanpa “narasi penciptaan” saintisme kehilangan fondasi untuk memancangkan pilar-pilar argumennya. Dengan tepat disebut oleh Theodor van Leuwen, sebagaimana dikutib Bambang Noorsena, sebagai Biblical realism.

Banyak wawasan terbuka melalui webinar ini. Tetapi, menjadi sangat jelas, bahwa narasi penciptaan tidak untuk sains, atau apapun, selain untuk Tuhan, sang Pencipta. Tentu, tidak tertutup digunakan atau memengaruhi apapun di luarnya, tetapi itu bukanlah peruntukannya. Kejelasan lainnya adalah, bahwa Pencipta berada di luar ciptaannya. Implikasinya, ambisi menemu-buktikan eksistensi Tuhan dalam ruang dan waktu merupakan pekerjaan sia-sia, kecuali atas kehendak-Nya. Bagian-bagian lain dari Kitab Suci menggambarkan “penemuan Pencipta” yang diekpresikan bahasa-bahasa puitis guna mengafirmasi “tanggungjawab sebagai pengelola termasuk penjelajah” ruang dan waktu.

Narasi penciptaan “hanya” menyisahkan tahapan pengelolaan yang “dimandatkan” kepada manusia, dengan peruntukan tunggal, yaitu memuji dan memuliakan Pencipta. Kesimpulan ini memiliki implikasi penting lainnya, yaitu bahwa narasi penciptaan tidak berurusan dengan apapun di luar peruntukannya. Meski demikian, sebagai makhluk berpikir yang selalu dicirikan kuriusitas (keingintahuan), kita tidak luput dari godaan “mengais remah-remah pengetahuan” dari narasi penciptaan, entah versi Kristen atau versi lainnya.

Ada sejumlah pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan melalui webinar ini. Dimana titik awal moralitas? Apakah sebelum kejatuhan Adam dan Hawa sudah ada dosa? Apa makna frasa “semuanya baik” yang digunakan pada setiap akhir menjadikan? Apakah kronos penciptaan yang begitu runtun dengan berpuncak pada penciptaan manusia menyiratkan, atau lebih tepat (kelak) dikonfirmasi sebagai fine tuning oleh sains? Atau konfirmasi evolusi biologi, setidaknya terkait tahapan-tahapan kronologis munculnya kehidupan? Apa makna “kekosongan” yang disiratkan sebagai keadaan sebelum penciptaan (untuk dibedakan dari “kekosongan” yang menjelaskan keadaan awal bumi di Kejadian 1:2) sama dengan yang diandaikan oleh “teori” Lawrence Krauss, nililisme Protagoras, Nietzsche, dan sebagainya? Kiranya pertanyaan-pertanyaan di atas, dan tentu masih akan muncul pertanyaan-pertanyaan terkait lainnya, akan dibahas dalam fragmen-fragmen diskusi “Nisbah Iman dan Ilmu” lainnya. Dua yang terdekat diselenggarakan CCTD-UKSW adalah “Evolusi Biologi: Apakah Evolusi Mewariskan Moralitas?”, dan “Big Bang dan Evolusi Kosmik.”