J. Anderson Thomson, Jr., MD with Clare Aukofer (2011). Why we Believe in God(s): A Concise Guide to the Science of Faith. Virginia: Pitchstone Publishing Charlottesville .
The New Atheis (the-NA) dan berbagai karya bernada “perang terhadap agama” menyembul dari tumpukan beling pecahan kaca dan puing-puing kehancuran gedung kembar WTC, September 2002. Bagaikan bayi yang lahir prematur karena tercekik tekanan tragedi, mereka mewarisi semangat balas dendam akut. The-NA menawarkan sebuah “surga saintisme,” namun dengan cara penuh provokasi dan agresifitas menyerang agama yang diyakini mengandung virus mematikan. Buku ini adalah salah satu diantara banyak karya yang lahir dalam situasi chaotik itu.
Matthew, anak lelaki Anderson Thomson termasuk satu diantara ribuan korban tabrakan pesawat di gedung kembar 11 September 2002. Sebagai praktisi psikologi forensik Thomson terbiasa menangani “kasus-kasus kerja otak yang menyediakan alasan bagi sebuah tindakan,” sebagaimana halnya mengapa orang rela korbankan diri demi membunuh orang lain. Goresan luka bathin yang mendalam dari agama dalam persitiwa yang merenggut nyawa putranya itu terlihat, antara lain dalam halaman persembahan, yaitu kepada Jack cucunya, dengan harapan “he will grow up in a world freer of religion’s destructiveness.”
Thomson juga terlibat di Yayasan Richard Dawkins for Reason and Science sebagai Pengawas. Boleh dikatakan, Yayasan ini menjadi dapur memasak berbagai gagasan dan teori apologetik melawan agama. Tema karya-karya Thomson sekitar psikologi evolusioner dan eksplorasi basis kognitif dan evolusioner dari keyakinan religius. Ia mengembangkan teori tentang asal-usul kognitif dari keyakinan agama (the cognitive origins of religious belief), dan kerap menjadi pembicara utama di konferensi-konferensi ateis seperti American Atheists dan Atheist Alliance International.
Dalam sebuah wawancara dengan Austin American-Statesman, ia berkata, “ada konflik besar yang tidak dapat didamaikan antara sains dan agama. Agama adalah kosmologi, biologi, dan antropologi asli umat manusia. Agama memberikan penjelasan tentang asal mula dunia, kehidupan, dan manusia. Sains sekarang memberi kita penjelasan yang semakin lengkap untuk tiga besar itu.” Pernyataan ini membawa pada kesimpulan, sebagaimana khas pada gaya berpikir the-NA, “agama tidak dibutuhkan lagi sebab sains sudah menjelaskan segalanya dengan lebih tepat dan meyakinkan.”
Buku ini mengupas teori penulisnya, yaitu agama (kepercayaan) sebagai hasil kerja kognitif. Dengan metode pembuktian psikologi evolusioner, Thomson hendak meyakinkan pembaca akan kebenaran teorinya, dan berharap disebarluaskan agar menggantikan (menghapus) harapan kosong agama yang tidak saja delusional melainkan juga mengandung kekuatan destruktif yang mengancam kemanusiaan dan kehidupan. Seperti diungkapkannya dalam bagian Pengantar, buku ini sebagai bentuk kecintaan pada sains, yang juga “cahaya dari karya-karya dan perjuangan intelek the four horsmen.” Dua hal yang, menurut saya, bertentangan!
Saya sengaja mengawali komentar atas karya ini dengan mengupas perspektif (point of view) penulis agar memudahkan pembaca memahami (membayangkan) isi buku ini. Prinsipnya, Thomson adalah bagian dari the-NA. Dengan mengetahui POV penulis kita dapat menempatkan buku ini secara fair sekaligus menyikapinnya secara kritis.
Anda tidak usah terkecoh, misalnya dengan nama anaknya, Matthew, yang terasosiasi dengan penulis injil pertama. Bahkan judul-judul Bab mengambil dari frasa-frasa Alkitab, yang tentu akrab bagi pembaca berlatar Kristen, seperti “In the Beginning Was the Word,” “Our Daily Bread,” “Deliver Us from Evil,” “Thy Will Be Done”, “Lest Ye Be Judged, dan sebagainya. Tentu saja obyek dan subyek dalam pembahasan judul-judul itu dibalik sebagaimana khas pada “permainan kata” The-NA. Tapi bentuk sabotase ini lebih menggambarkan kelicikan untuk menggantikan Tuhan dengan “tuhan” ciptaan saintisme. Ini memperkuat keyakinan saya sejauh ini, bahwa the-NA terlihat tidak bisa berpikir tanpa merujuk pada Alkitab (frasa-frasa Penciptaan).
Buku yang diberi Kata Pengantar oleh Ricahrd Dawkins ini terdiri dari 10 bab. Meski demikian, tesis utamanya terdapat pada bab 8, yang dijuduli “Wherever Two or More of You Are Gathered.” Judul yang dicuplik dari frasa Alkitab (lihat Matius 20:18) memang sengaja, seperti terlihat dari pujian Dawkins, namun digunakan untuk kepentingan evolusi kognitif, yakni bahwa munculnya agama semata-mata sebagai mekanisme pertahanan diri dengan cara menciptakan dan merawat semangat sosial (kebersamaan) sebagaimana diteorikannya. Sebagai tema sentral, dapat dengan mudah dikaitkan dengan bab-bab sebelum maupun sesudahnya.
Baiklah kita masuk ke argumen utama untuk memahami isi buku ini.
Memperkuat teori selfis gen dari Dawkins, Thomson menegaskan bahwa agama mengeksploitasi emosi kerabat. Eksploitasi emosi kerabat digunakan, misalnya untuk perekrutan dan pelatihan pelaku bom bunuh diri atas nama “persaudaraan seagama” dan tuhan. Para perekrut dan pelatih karismatik menciptkan sel-sel kerabat fiktif atas nama agama, lalu mendapatkan para martir yang diiming-iming juga dengan tiket surga, tempat dimana mereka segera memuaskan fantasi seksualnya bersama puluhan bidadari.
Tentu yang dimaksud di sana adalah kelompok teroris yang sejauh ini mengatasnamakan Islam. Tetapi bukan hanya itu. Semangat persaudaraan seagama juga ada dalam semua agama, termasuk Kristen, Yahudi, Hindu, Budha dan sebagainya.
Agama tentu memiliki sejarah. Tetapi pasti diciptakan untuk menghadapi tantangan dan kompleksitas pada masanya, ketika pengetahuan belum dikenali. Proses yang lama itu berulang-ulang dan turun temurun akhirnya dapat dilacak jejak evolusinya pada sistem kognitif.
Bentuk-bentuk ritual, pemujaan, tari-tarian, puji-pujian kepada dewa yang tidak kelihatan tidak lebih sebagai mekanisme sosial untuk pertahanan diri. Bila dilacak, perilaku ini ditemukan dalam pusat syaraf yang memproduksi semacam “perasaan barsama yang dipersatukan,” baik oleh semangat untuk memupuk keberanian dan membunuh rasa cemas dan takut, semangat mencintai, maupun semangat memusuhi. Jadi, kekuatannya pada konsolidasi solidaritas. Thomson akan mencontohkan puji-pujian koor di kalangan Kristen, dimana dia pun pernah menjadi anggota, atau melakukan puji-pujian secara berulang-ulang maka akan terbentuk kebersamaan yang solid, rasa percaya diri, dan seolah mendapatkan “curahan anugerah” dari dewa. Padahal, proses berulang itu memicu sebuah “titik” di jejaring syaraf yang segera memproduksi “sel kesenangan dan keriangan.”
Konsep psikologinya disebut Neurotransmiter monoamine (NM). NM memiliki ragam bentuk seperti dopamin, epinefrin, endorfin, oksitosin, dan sebagainya. Dopamin umumnya dikaitkan dengan kesenangan. Area otak manusia sangat berlimpah akan dopamin, yang disebut juga nukleus accumbens. Dopamin akan menyala dan dipenuhi kegembiraan ketika merespons rangsangan tertentu, seperti makanan favorit, seks, opium dan sejenisnya. Itulah yang memicu respons “lakukan lagi, dan lagi, dan lagi,” semacam ketagihan akut karena menikmati “suasana kesenangan.”
NM epinefrin dan norepinefrin umumnya dikenal sebagai adrenalin dan noradrenalin. Adrenalin meningkatkan detak jantung, membuat kita merasa cemas, memfokuskan perhatian, dan menyebabkan berkeringat. Tetapi juga dapat memberikan ledakan kekuatan temporal yang diluar kebiasaan. Bahkan, terkadang memungkinkan prestasi fisik tak masuk akal, seperti seorang ibu dapat membunuh singa yang manerkam anaknya, atau seseorang mampu melompati pagar setinggi dua meter ketika dikejar anjing atau penjahat.
Endorfin juga memainkan peran vital sebagai zat kimia saraf yang sangat penting bagi agama. Ia merupakan candu internal atau disebut juga “morfin endogen.” Fungsi utamanya adalah memblokir rasa sakit saat cedera terjadi, yang diproduksi ketika berolahraga, sedang bergembira, tawa, mendengar musik kesukaan, orgasme, dan sebagainya. Perempuan yang melahirkan mengalami produksi endrofin memadai sehingga ia dapat “melupakan” rasa sakit, bahkan tergantikan keriangan begitu melihat bayi yang dilahirkannya.
Cukup mengherankan, Thomson merasa takjub perihal bagaimana nenek moyang kita bisa menemukan kombinasi aktivitas sejenis ritual, pemujaan dan sejenisnya, yang dapat merangsang dan meningkatkan serotonin, dopamin, epinefrin, norepinefrin, oksitosin, dan endorfin, lalu menciptakan aktivitas otak yang unik. Baginya, itulah kunci memahami tempat abadi ritual di semua budaya (hal 64). Jadi, meski tidak dapat menjelaskan bagaimana “kembinasi itu ditemukan oleh nenek moyang kita yang masih primitif,” ia mengakui temuan canggih itu menjelaskan kepada kita hal penting terkait fenomena beragama.
Jadi ringkasnya, perasaan terberkati, rasa syukur, dan lainnya yang diatribusikan sebagai “pengalaman spiritual” oleh penganut agama sesungguhnya hanyalah “aktifnya” area-area tertentu di pusat syaraf, yang kemudian memproduski zat-zat yang menyalakan spiritualitas kita. Karena itu, bukanlah disebabkan karena ada dewa di luar sana. Kalau demikian, bagaiaman dengan tuhan? Diamana tuhan dalam kerja-kerja neuron?
Menurut teorinya, tuhan terdapat dalam aktivitas lobus temporal (temporal lobes). Itulah “titik tuhan” (god-spot) atau god-module. Para pengidap epilepsi dilaporkan paling sering mendapatkan pengalaman spiritual lantaran kondisi lobus temporalnya yang mudah teraktivasi. Atas dasar teori inilah Michael Persinger, seorang psikolog di universitas Laurentian Kanada di era 1980-an bereksperimen dengan membuat “helm tuhan.” Orang ditempatkan di ruangan gelap dan sunyi, penglihatan dan persepsi suara diblokir, dan helm yang secara magnetis menstimulasi lobus temporal ditempatkan di atas kepala. Pemakai helm akan mendapatkan “pengalaman spiritual” ketika titik itu terpicu. Sebuah sumber yang pernah saya baca menyebutkan bahwa Richard Dawkins pernah mencoba helm buatan Persinger ini, namun nampak tidak memuaskannya.
Sejumlah tokoh spiritual (agama), oleh Thomson disebutkan kemungkinan mengidap epilepsi. Sekali lagi, “kemungkinan!???” Beberapa yang disebut adalah rasul Paulus, yang menurutnya kemungkinan mengalami serangan epilepsi ketika dalam perjalanan ke Damaskus (yang dalam Alkitab disebut sebagai titik balik pertobatannya karena mengalami perjumpaan dengan Yesus Kristus). Lalu, sejumlah pendiri dan pemimpin dari berbagai agama dunia juga kerap dirawat karena epilepsi lobus temporal, seperti Santa Teresa dari Avila, Feodor Dostoevsky, Marcel Proust, dan lainnya.
Tentu, terhadap argumen ini tidak mudah diferivikasi. Apakah semua orang yang melaporkan mengalami pengalaman spiritual mengidap epilepsi? Mengingat apa yang dialami Paulus juga dilaporkan dialami lebih banyak orang di Alkitab, apakah semuanya mungkin korban epilepsi semata? Tentu, sains di masa kini mudah membuktikannya.
Bagaimana asal usul moralitas? Apakah moralitas benar-benar bersumber dari Tuhan atau agama? Pertanyaan ini dijawab di Bab VII, yang diberi judul “Thy Will be Done” (Jadilah Kehendak Mu). Dengan mengutip sejumlah eksperimen Thomson menyimpulkan bahwa moralitas (sikap baik buruk), bahkan sikap adil itu sudah melekat sejak lahir.
Salah satunya yang dirujuk adalah eksperimen profesor psikologi Yale, Paul Bloom dan timnya. Experimen ini menemukan bahwa bayi berusia tiga bulan sudah memiliki perasaan bawaan tentang benar dan salah, baik dan buruk, bahkan adil dan tidak adil. Para bayi diperlihatkan wayang yang sedang mendaki gunung. Ada wayang lain yang menghalangi pendakian, sementara lainnya lagi berusaha menolong wayang yang dihalangi. Para bayi meniru wayang penolong dan menjauhi wayang penghalang.
Michael Tomasello, psikolog perkembangan yang menjadi pengarah Institut Max Planck untuk Antropologi Evolusi di Leipzig, Jerman juga melakukan eksperimen serupa. Penelitian terhadap kapasitas bawaan anak-anak itu menyimpulkan bahwa manusia dilahirkan altruis yang kemudian baru mulai belajar dan mempelajari cara mengenali kepentingan pribadinya. Thomson menyebutnya sebagai moral dasar. Mengikuti moral dasar menurutnya jauh lebih bermoral, ketimbang mengikuti moral agama yang dimanipulasi sehingga jauh dari perihal bermoral.
Saya perlu memberi catatan, bahwa kesimpulan penelitian ini tentu berbeda dengan Jean Piaget (1896-1980). Sebagai peneliti di bidang psikologi perkembangan, melalui eksperimennya Piaget berkesimpulan bahwa anak-anak di usia dini belum mampu berpikir logis sehingga cenderung masih berpikir untuk diri sendiri (egosentris). Sikap adil dan alturis (seperti disebut Tomosello) baru ada sebagai capaian dari berpikir dan bersikap rasional. Itupun tidak sepenuhnya karena setiap orang berkecenderungan egosentris atau sosio-centris dan harus berupaya keras untuk mengatasinya, yakni dengan mengembangkan daya kritis guna mencapai fair-minded thinker.
Secara keseluruhan, karya ini bagus. Sebagai pakar psikologi forensik dan terutama mengembangkan penelitian di sekitar evolusi kognitif terkait religiusitas, Thomson (dan Clare) menjelaskan secara ringkas dan padat hasil-hasil riset panjang terkait fenomena beragama. Tidak banyak informasi baru sesungguhnya, namun cukup memperkaya wawasan. Saya sendiri mensyukurinya dan tidak melihat “daya sengatnya” kepada hal ber-Tuhan dan beragama.
Dalam karya James W. Jones, Can Science Explain Religion? The Cognitive Science Debate (2016) yang sudah saya tulis di wall saya sebelumnya, telah ditunjukkan bahwa “sains kognitif” memang mampu menjelaskan secara teknis titik-titik kognitif yang mengaktivasi pengalaman religius, moralitas, dan hal terkait lain yang biasa diatrtibusikan kepada agama dan Tuhan. Karya ini tentu tergolong sebagai salah satunya.
Tetapi, pertanyaannya adalah, lalu apa? Jones berargumen bahwa temuan-temuan kognitif itu tidak menjelaskan apa-apa tentang memgapa orang percaya Tuhan, mengapa alam semesta ada, bagaimana segala sesuatu bermula dan sebagainya. Mampu menjelaskan “titik-titik pemicu dalam syaraf” yang menyebabkan orang mengalami tuhan, tidak sama dengan menjelaskan mengapa orang percaya Tuhan, bukan?
Selain mendukung argumen Jones, saya ingin berkomentar dengan sebuah narasi lain.
Andaikan sebentuk kehidupan menemukan habitatnya dalam seperangkat komputer. Makluk super kecil sejenis bakteri yang bahkan belum bisa terekam oleh teknologi. Mereka mengembangkan kehidupan dan pada suatu saat juga peradaban. Hingga di satu titik waktu, beberapa dari antara koloni itu mengembangkan alat dan riset, lalu menjelaskan bahwa koloni mereka hidup pada situasi yang sangat cocok (fine tunning), dan seandainya ada sedikit saja kemelesetan maka kehidupan tidak dimungkinkan. Mereka juga berterori, bahwa sangat sulit membayangkan adanya kehidupan lain di luar sana.
Muncul pertanyaan dari anggota kelompok lain, mungkinkah situasi “dunia dan koloni kita” diciptakan? Para cerdik pandai di antara makluk itu mengatakan, mustahil! Segala sesuatu sebab yang memungkinkan eksistensi telah dan akan dapat dijelaskan secara persisi.
Maka, demikianlah koloni super kecil itu meneruskan kehidupan dalam perangkat komputer, dalam keyakinan bahwa di luarnya tidak ada benda lain, juga tidak mungkin ada kehidupan!
Tulisan ini ditulis dan di-share 14 Maret 2021 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.
Link: https://www.facebook.com/real.self.9