Nisbah Iman – Ilmu: UKSW Keeps Talk the Talk, Walk the Talk

Telah lama Dr Oeripan Notohamidjojo mengonsep misi kehadiran UKSW di muka bumi. Salah satu misi yang dirumuskan dan karenanya dititipkannya kepada sivitas akademika UKSW dari generasi ke generasi adalah membangun nisbah yang bermakna antara iman Kristen dan ilmu pengetahuan. 24 April 1963, pak Noto menyampaikan sambutan berjudul “Relasi Ilmu Pengetahuan dan Kepercayaan” pada perayaan Pengakuan Persamaan UKSW. Dalam sambutan itu beliau memberi makna atas predikat “Kristen” dan nama “Satya Wacana” pada UKSW sebagai sebuah universitas. Dalam konteks itulah beliau mengajukan 6 model relasi ilmu pengetahuan dan iman Kristen, dengan posisi “Kepercayaan (iman) [sebagai] horizon bagi ilmu pengetahuan“, sebagai model yang tepat bagi UKSW. Relasi antara kedua[nya] adalah relasi yang dinamis, orang percaya berdiri di dunia ini dengan horizon yang lain, dengan horizon pandangan dunia, hidup, dan kepercayaan yang lain. Orang Kristen terpanggil mengintegrasikan ilmu pengetahuannya dalam horizon kepercayaan kepada Logos.

Dalam upaya memasuki alam pikir dan menjalankan misi pembangunan nisbah iman – ilmu tersebut, UKSW telah memulainya pada 9 September 2019 dengan menghadirkan Dr. Karlina Supelli menyampaikan kuliah umum di bawah tema “Alam Semesta, Ilmu Pengetahuan, dan Agama.” Langkah itu diikuti dengan penyelenggaraan seri seminar filsafat oleh Pusat Pengembangan Pemikiran Kritis (CCTD) untuk menjadi fondasi dan bagian integral bagi telaah kritis dalam konteks relasi iman – ilmu. Di 2020, webinar-webinar terkait dilakukan, termasuk diskusi membedah pemikiran Richard Dawkins dalam bukunya The God Delusion, yang menghadirkan Prof. Herawaty Sudoyo (Biolog molekuler dari Eijkman Institute), Dr. Karlina Supelli (Filsuf, STF Driyarkara), dan saya sendiri sebagai intelektual Kristen. Acara tahun lalu ditutup dengan percakapan daring dengan Prof. (Emeritus) John Lennox (Matematika dan Filsafat Ilmu, Oxford) membahas “Dialog Kritis Sains dan Iman Kristen“.

Di tahun 2021 ini upaya membangun nisbah iman – ilmu terus dilanjutkan. Seri percakapan akan diselenggarakan oleh CCTD UKSW (https://cctd.uksw.edu/) di sepanjang tahun. Pembukanya adalah pembahasan tentang narasi penciptaan di kitab Kejadian, dengan menghadirkan Dr. Bambang Noorsena, pendiri Institute for Syriac Culture Studies. Sebagai ahli teks-teks kuno, diharapkan Dr. Noorsena dapat membedah narasi penciptaan di Kejadian ini dengan keahlian textual analysis-nya. Untuk menghangatkan diskusi, saya akan menanggapi pemaparan beliau, dengan menyandingkan pemahaman tekstual itu dengan pemahaman sains modern. Fokus utama akan berada pada penciptaan alam semesta (the origin of the universe), belum akan menjelajah ke asal-muasal kehidupan (the origin of life) yang akan menjadi porsi diskusi CCTD yang berikutnya. Saya karenanya akan membawa masuk beberapa pemahaman saya tentang kosmologi, juga dari related fields. Di kedua streams itu (textual analysis terhadap narasi kejadian serta pandangan kosmologi tentang asal muasal alam semesta) tentu harus dipahami bahwa tidak hanya ada perspektif tunggal di masing-masing sisi. Kesadaran ini diperlukan untuk membangun posisi pandang yang terbuka tetapi kritis terhadap cara-cara pandang dan isi-isi pemikiran yang ada baik dalam konteks nisbah iman – ilmu ini, maupun di masing-masing.

Sedikit hal, agak aneh menyangkut saya, keterlibatan intelektual saya di domain pengetahuan yang “aneh” bagi saya ini. “Misterius,” entah mengapa kok saya tersedot ke domain pengetahuan seperti ini. Tentu saya harus posisikan diri bukan sebagai seorang kosmolog, atau astronomer, atau fisikawan, atau teologist, religious studies scholar. Saya adalah seorang awam dalam bidang-bidang itu. Namun, pertama, saya adalah seorang intelektual Kristen, seorang pemimpin sebuah universitas Kristen yang punya misi yang berat. Pak Noto sudah memasang palang yang sulit bagi siapapun warga UKSW, soal nisbah iman – ilmu, apalagi ketika kita memasuki era sains dan teknologi yang super maju. Tidak terhindarkan lagi bagi setiap intelektual Kristen di UKSW untuk mau tidak mau perlu agak familiar dengan domain-domain sains dan teknologi itu. Jelas bukan untuk menjadi seorang ahli sebagaimana ahli di bidang-bidang itu, tetapi untuk menjadi seseorang intelektual yg cukup well-informed dengan perkembangan sains dan teknologi. Ini misalnya bisa berimplikasi pada peran publik sebagai seorang intelektual, minimal ketika perkembangan sains dan teknologi memasuki ruang publik, misalnya ke ruang kebijakan publik atau program pembangunan, yang implikasinya bersifat terbuka kepada siapapun. Sederhananya, jika iman tetap mau dipahami sebagai urusan privat, orientasi-orientasi nilai (bersumber dari agama atau worldviews apapun) pada setiap individu, juga kelompok-kelompok sosial, termasuk kelompok-kelompok kepentingan, termasuk pressure groups, suka tidak suka akan berpengaruh masuk dan berimplikasi juga ke dalam ruang publik. Oleh karena itu, agar seorang intelektual Kristen dapat juga “bermain” di ruang publik dengan tetap menjaga relasi kritis imannya dengan pandangan-pandangan dunia (worldviews) yang lain, maka ia mau tidak mau, suka tidak suka, harus membuat dirinya familiar dengan apa yang menjadi powerful forces di dunia modern, di antaranya yang berasal dari perkembangan sains dan teknologi. Dalam hal itu, sebagian hal-hal berkaitan dengan domain pembicaraan dalam diskusi CCTD ini terbentuk pada diri saya karena pendidikan di waktu lampau (misalnya background pendidikan di SMA yang A1/fisika yang meminati dunia partikel/nuklir dan juga alam semesta, termasuk isu kerusakan lapisanozon yang memuat aspek kimia), tetapi terutama terbentuk karena pembelajaran otodidak yang khususnya terjadi di masa menyelesaikan program PhD, tetapi yang telah membentuk kesukaan belajar akan hal-hal itu sampai hari ini.

OK, jika anda juga berminat untuk belajar tentang hal-hal “aneh” ini, ya mari di antaranya kita belajar bersama melalui diskusi ini. Tentu tidak cukup jika stop belajar di webinar ini. Vast resources di dunia internet bisa menjadi pendamping dan energizer semangat belajar seumur hidup yang semoga terbentuk pada diri anda.

Tulisan ini ditulis dan di-share 19 Februari 2021 oleh Neil S. Rupidara, Ph.D diaplikasi Facebook.

Link FB:https://www.facebook.com/neil.rupidara

Pandemi Lahirkan Komunisme Baru?

Lasvoj Žižek adalah filsuf Marxis, juga kritikus budaya yang sangat produktif. Dia menyandang sejumlah atribut prestisius seperti peneliti senior di Institut Sosiologi dan Filsafat di Universitas Ljubljana, Profesor Distinguished Global Jerman di Universitas New York, menjadi Profesor tamu di berbagai universitas di Amerika, dan direktur internasional di Birkbeck Institute untuk Humaniora di London. Pemikiran-pemikirannya strategis dan unik lantaran berada di persimpangan berbagai disiplin ilmu, seperti filsafat, teori politik, kajian budaya, psikoanalisis, kritik film, dan teologi.

Tahun 2020, Žižek menerbitkan karyanya, PANDEMIC! COVID-19 Shakes the World (New York and London: OR Books). Melalui buku tipis ini Žižek mengartikulasi pandangannya tentang kecenderungan perubahan dunia di masa pandemik yang mengarah kepada “lahir barunya” Komunisme. Komunisme wajah baru ini melampaui segala sekat sosiologis, seperti negara bangsa, ras, etnik, agama, dan sebagainya.

Pandemi Covid-19 seolah sebagai patogen yang mengancam kehidupan, tetapi justru karenanya memaksa manusia menyadari perlunya kerjasama global. Quote Martin Luther King, “we may have all come on different ships, but we’re in the same boat now,” oleh Žižek dijadikan mantra untuk menghimbau semangat solidaritas global dalam rangka membangun dunia yang saling menolong demi hidup bersama di atas dunia yang makin “panik dan rapuh” ini.

Mendaku diri sebagai Kristen ateis, Žižek membuka narasi dengan mengutib Yohanes 20:17, “Jangan sentuh Aku. ”Kutipan itu merujuk perkataan Kristus kepada Maria Magdalena yang menjenguk ke kuburan dihari ketiga pasca pemakaman-Nya. Ternyata Kristus telah bangkit dan menampakkan diri untuk pertamakalinya. Žižek lalu mengaitkan percakapan itu dengan jawaban Kristus yang pernah ditanya para murid tentang bagaimana mengetahui bahwa Dia akan kembali setelah kenaikan-Nya ke Sorga, seperti dijanjikan-Nya? Kristus lalu menjawab bahwa Ia akan hadir dimana setiap ada cinta di antara orang-orang percaya, namun bukan hadir sebagai orang (fisik) untuk disentuh, melainkan sebagai ikatan cinta dan solidaritas di antara orang-orang. Kedua pernyataan Kristus itu disimpulkan Žižek sebagai: “jangan sentuh Aku, sentuh dan hadapilah orang lain dalam semangat cinta.”

Mengutip Hegel, Žižek lalu menegaskan bahwa “cinta telah menyatukan manusia” dalam situasi dimana pandemi Covid-19 memaksa kita saling mengambil jarak. Kehadiran tidak lagi dimaknai secara fisik, melainkan menghadirkan “cinta” dalam bentuk hubungan baru antara manusia di era Covid-19. Dalam pengertian demikian, wabah ini tidak dapat mengambil apapun dari kita. Covid-19 tidak mengalahkan kita, justru memicu terbentuknya kesadaran baru membangun solidaritas global diatas dasar cinta.

Žižek mengingatkan bahwa pandemi telah membunuh pasar sebagai instrumen operasi kapitalisme. Menghadapi pademi yang mengancam penduduk seluruh dunia menyadarkan kita bahwa mekanisme pasar tidak lagi memadai mencegah kekacauan dan kelaparan. Tindakan yang disebutnya bersifat “komunis” berkembang di tingkat global, dimana koordinasi produksi dan distribusi beroperasi di luar koordinat pasar. Ini menunjukkan bahwa mekanisme pasar mengalami kelumpuhan, sementara distribusi barang dan jasa terkait Covid-19 berlangsung melalui jalur global solidarity.

Membandingkan Wuhan, dan Cina secara umum dalam menangani pandemi Covid-19 dengan Amerika, Žižek mengklaim kesuksesan China. Dalam negara komunis, sistem memungkinkan mengkarantina jutaan penduduk secara serentak sehingga secara masif dapat membatasi, kalau tidak mau disebut menghentikan sama sekali, penyebaran virus melalui kontak antar warga. Hal yang sama tidak mungkin terjadi di Amerika, dan negara-negara demokrasi lainnya. Rezim komunisme secara efektif dapat mengendalikan situasi kepanikan pada saat dibutuhkan, sementara rezim demokrasi masih dibingungkan membedakan antara “kebebasan yang baik dengan rumor yang berbahaya.”

Sepuluh bab buku ini memberikan pesan yang kuat, bahwa situasi pandemi telah menunjukkan makin relevannya sistem komunisme menangani tantangan global. Setidaknya, bila dibandingkan dengan sistem kapitalisme (Liberalisme).

Beberapa catatan perlu dipertimbangkan sebagai kritik atas buku ini.

Pertama; Žižek mengabaikan fakta bahwa sejumlah besar negara demokrasi juga sukses menangani Covid-19. Sebut saja Australia, Selandia Baru, Taiwan, Singapura, juga negara-negara Skandinavia yang menerapkan sistem sosial-demokrasi. Bahkan Italia yang sempat terkena pukulan parah di awal pandemi setelah Wuhan, tercatat cukup berhasil mengendalikan pandemi.

Kedua; watak totalitarian dari komunisme tidak dipertimbangkan. Dalam situasi pandemi, dimana masyarakat panik, bingung dan membutuhkan arahan, sistem otoriter sangat dibutuhkan untuk menghadirkan kepastian. Namun, dalam situasi masyarakat yang normal, totalitarianisme membunuh kreativitas dan kebebasan sehingga menghambat produktivitas individu.

Jadi, sistem komunisme bukanlah variabel tunggal pengendalian penanganan pandemi Covid-19. Variabel utamanya pada ketegasan menertibkan masyarakat untuk mentaati protokol kesehatan. Kesigapan memberi respons awal penanganan memiliki kontribusi besar pada profile pengedalian. Di sini jelas sebuah sistem ideologi khas tidak sepenuhnya menjelaskan kesuksesan menangani pandemi.

Kontribusi studi Profesor Elizabeth King, peneliti kesehatan global di Universitas Michigan sangat membantu. Sebagai salah satu editor sebuah buku yang membandingkan berbagai tanggapan nasional terhadap gelombang pertama virus corona pada awal 2020, Prof. King mempelajari cara negara-negara merespons dan menangani masalah. Enam puluh peneliti dari 30 negara di Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika yang menyumbangkan tulisan menjadi bahan dasar studi. Berdasarkan itu, Prof.King berkesimpulan bahwa faktor penentu bukan pada ideologi melainkan kepercayaan masyarakat pada otoritas (pemerintah dan lembaga yang menangani pandemi Covid-19) dan transparansi informasi.

Itulah penjelasan rasional, mengapa Wuhan dan China sukses, sama halnya dengan Vietnam, Italia, Australia, New Zeland, Taiwan, dan sebagainya. Ketika awal Wuhan memberlakukan lockdown, banyak negara mengakui itu sangat dimungkinkan karena dukungan ideologis atau sistem politiknya. Namun, Italia, kemudian negara-negara demokrasi lainnya juga berhasil “meniru” Wuhan menerapkan karantina. Bahwa ada yang berhasil dan ada yang tidak, lebih dikarenakan ketersediaan arus informasi yang baik untuk membangun kepercayaan masyarakat.

Ketidakmampuan menangani berbagai rumor telah membuka ruang berkembangnya infodemi. Dalam hal ini, keliaran rumor lebih berbahaya karena merusak arus informasi akurat yang mengandung intruksi-instruksi praktis berbasis sains, edukasi dan persuasi dalam membangun sikap terpadu menghadapi pandemi Covid-19.

Tetapi, gagasan Žižek tentang perlunya membangun solidaritas kemanusiaan dan kerjasama global, yang diidentifikasinya sebagai “atribut komunisme” tetaplah penting lakukan, sebagaimana sudah dan sedang dilakukan. Meski juga perlu dicatat, bahwa atribut itu bukan monopoli khas komunisme karena juga terdapat dalam nilai-nilai lokal berbagai tradisi, termasuk di Indonesia. Lebih dari itu, untuk banyak kasus solidaritas dan kerjasama global sudah sering terjadi, misalnya dalam menangani bencana tzunami Aceh & Nias (2004), gempa bumi dan tzunami Sulawesi Tengah (2019), bencana Lombok NTB (2018), dan di bagian dunia lainnya.

Solidaritas global dan kerjasama antara negara jelas menjadi kebutuhan kini dan masa depan. Perlu diperluas ke aspek-aspek yang lebih luas, tidak hanya pada pandemi dan bencana. Misalnya studi bersama untuk memecahkan masalah-masalah mendasar terkait perubahan iklim, pemanasan global, lingkungan hidup, dan sebagainya.

Tetapi, tidak harus mengandaikan matinya pasar (kapitalisme), liberalisme dan demokrasi. Semuanya bisa berjalan berbarengan, tanpa kebutuhan saling “membunuh.” Itu akan memberi gambaran masa depan yang lebih realistis dan ideal bagi sebuah dunia baru!

Tulisan ini ditulis dan di-share 14 Februari 2021 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.

Link FB: https://www.facebook.com/real.self.9

Deteksi Varian Baru dan Solusi Covid-19: Lagi-lagi Tentang Basis Sains

Sampai dengan hari ini, dari sekian banyak proses tracking dan laporan mutasi genetik yang menghasilkan varian-varian SARS-CoV2, tampaknya tidak ada satupun varian baru yang terlapor berasal dari Indonesia? Apakah tidak ada varian baru yang muncul di Indonesia? Mungkin begitu, mungkin juga tidak demikian.

Mengapa bisa tidak demikian, alias ada kemungkinan muncul varian SARS-CoV2 di Indonesia tetapi tidak terdeteksi dan karenanya tidak ada laporannya? Kemungkinan karena masih rendah jumlah riset genome sequencing SARS CoV2 (SARS2) di Indonesia yang mendeteksi varian baru. Jika saya tidak keliru ingat data di GISAID, merujuk Gunadi et al (2020), saat itu baru ada 60 hasil sequencing dari Indonesia. Sedangkan di data GISAID total, tercatat sudah ada 445 genomes dari Indonesia saat ini, artinya secara total nasional sudah lumayan (walau di tingkat institusi yang melakukan riset jumlah yang dikerjakan tetap sedikit). Sebagai bandingan, dari Brazil tercatat sudah ada 2901 genomes di database GISAID. India (3871), Denmark (3103), Irlandia (2746), Mexico (826), dan Senegal (234).

Lalu, kalau sudah ada 445 genomes mengapa tidak ada deteksi varian baru di Indonesia? Saya tidak tahu persisnya mengapa. Para peneliti di bidang biomolekuler yang tepat menjawabnya. Namun, mungkin riset kita baru sampai pada mendeteksi apakah varian tertentu (dhi. D614G) dari existing variants, sudah beredar di Indonesia. Misalnya, riset UGM yang membuktikan bahwa pada sampel-sampel swab penderita Covid-19 di DIY dan Jateng yang dilakukan whole genome sequencing, terdeteksi varian D614G sebagai yang dominan (75%, terdeteksi pada 3 dari 4 sampel yang diuji UGM).

Jika begitu, apakah kondisi itu membenarkan sikap saya bahwa kita belum cukup memberi fokus perhatian pada pengembangan basis sains dalam penanganan Covid-19? Sebagai perbandingan, jika melihat link video yang saya sertakan di bawah untuk memahami pekerjaa genome sequencing yang dilakukan di Inggris, saat di Inggris terjadi lonjakan pertambahan kasus baru yang tinggi, mereka langsung menduga terjadinya mutasi genetik dan segera melakukan genome sequencing terhadap sampel-sampel swab yang diambil. Dengan infrastruktur pendukung riset genome sequencing sebagaimana ditunjukkan dalam video itu, kita juga menjadi tahu mengapa di negara-negara maju seperti Inggris genome sequencing menjadi “relatif mudah” dikerjakan, diproses pada skala yang lebih besar, untuk memberi basis kesimpulan yang lebih solid. Jika demikian, yang saya bayangkan adalah di lab-lab yang mengerjakan genome sequencing di Indonesia, alatnya terlalu sederhana dan terbatas kapasitasnya. Dan, lembaga yang memiliki genome sequencer juga sangat terbatas. Tidakkah dengan melihat kondisi seperti itu, pemerintah Indonesia tidak tergerak hatinya untuk bertindak mengintervensi? Misalnya, buatlah laboratorium massif di Kemenkes dengan peralatan yang mumpuni agar proses genome sequencing bisa dinaikkan skalanya secara signifikan. Atau, bantulah lembaga-lembaga riset untuk melalui hibah peralatan-peralatan riset. Mungkin negara sudah perlu memiliki lembaga semacam National Institute of Health (NIH) di AS yang membawahi bidang-bidang riset strategis di bidang kesehatan. Apa yang NIH kerjakan dalam menangani sejumlah epidemi sebelum Covid-19 telah memberi mereka basis yang cukup dalam merespon pandemi Covid-19 (walaupun sempat ditingkahi gaya kepemimpinan Presiden Trump). Dalam hal serupa, kepada Menko Perekonomian selaku Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, UKSW bagaimanapun telah mengusulkan diberdirikannya lembaga pelaksana surveilans, audit, dan intervensi kesehatan masyarakat yang di beberapa negara dinamakan center for disease control (and prevention), CDC. CDC di negara seperti Taiwan telah menjadi otoritas penting dalam penanganan epidemi seperti Covid-19.

Lebih dari itu, jika dari pemberitaan-pemberitaan global hari ini kita pahami bahwa varian-varian baru SARS2 makin resisten terhadap vaksin, apa yang tampak makin dibutuhkan adalah penguatan basis sains untuk memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan fenomena-fenomena baru seperti Covid-19 ini, agar solusi-solusinya pun duduk di atas basis sains yang makin solid. Oleh karena itu, pembangunan sektor risetlah yang kita perlu diperkuat untuk menjadi basis respon penanganan Covid-19 yang lebih solid, juga untuk menghadapi apapun epidemi atau penyakit-penyakit menular atau non-menular yang bersifat deadly.

Beberapa messages saya belakangan ini berposisi sebagai penekanan dan penekanan kembali, untuk menegaskan mengapa negara ini perlu membangun kapasitas sektor pengetahuan, yang mestinya akan memerkuat sektor-sektor aplikasinya.

Tulisan ini ditulis dan di-share 14 Februari 2021 oleh Neil S. Rupidara, Ph.D diaplikasi Facebook.

Link FB: https://www.facebook.com/neil.rupidara

Covid-19 dan Membangun Kapasitas Sains Nasional: Sikap India vs Indonesia

Ketika Covid-19 melanda Indonesia, pemerintah melakukan langkah cukup cepat dalam merealokasi APBN dan APBD. Saya menilai itu sangat tepat. Namun, ketika melihat anggaran Kemristek dipangkas habis dari Rp. 42 hingga tersisa 2 T, saya pikir, rasanya ada yang tidak duduk tepat dalam cara berpikirnya. Menangani sebuah penyakit baru yang dengan seketika mengobrak-abrik tatanan-tatanan dunia, butuh basis sains yang kuat sehingga harusnya pemerintah tetap memiliki alokasi anggaran yang cukup utk membiayai riser-riset terkait Covid-19. Namun pemerintah rasanya punya kalkulasi lain.

Mungkin kondisi kita memang masih sedemikian rupa sehingga penanganan Covid-19, sekalipun masif dilakukan, masih harus direspon dengan cara yang bukan membangun basis sains-nya. Pikiran saya karenanya menjadi tidak tepat. Sedari awal saya berpikir, bahwa Indonesia sudah harus membangun kapasitas sainsnya. Harus lebih banyak riset dilakukan terhadap fenomena Covid-19 dan efek-efeknya yang bersifat novel agar ia lebih dipahami, agar penanganannya pun bisa dilakukan secara lebih tepat. Juga, kalau yang dibangun adalah kapasitas sains, kegunaan di masa depan adalah terbangunnya kesiapan seandainya datang lagi epidemi serius yang lain serupa Covid-19 di suatu waktu. Namun, karena bukan begitu cara pikir pemerintah, maka bisa dipahami jika anggaran Kementerian Riset dan Teknologi terpangkas habis-habisan.

Sebaliknya, saya melihat fenomena lain datang dari India baru-baru ini. India adalah salah satu negara di dunia yang paling serius dihantam Covid-19. Angka kasus positif secara akumulatif di India sudah melampaui 10 juta orang. Mungkin karena itulah, India (baru) bisa melihat kerapuhan dirinya dalam merespon Covid-19. Karena itu, maka mungkin India tidak ingin hal yang sama terjadi lagi di masa depan dengan kini memberikan komitmen membangun kapasitas sains-nya, terutama di bidang virologi. Berita di bawah menunjukkan adanya pembalikan arah dari posisi ketidaksiapan India di saat Covid-19 datang menerjangnya, yakni misalnya ada keterbatasan infrastruktur riset dan testing, ke penyiapan diri guna mengantisipasi problem-problem penyakit menular di masa depan.

OK, tiap negara berbeda dalam cara berpikir. Namun, kedua kasus ini menunjukkan bahwa India akhirnya berada pada jalur negara yang tidak hanya menangani Covid-19 sebagai pandemi dalam perspektif jangka pendek. India kini sudah lebih bersikap antisipatif. Semoga, ini menjadi bahan perbandingan yang baik bagi pemerintah kita.

Tulisan ini ditulis dan di-share 7 Februari 2021 oleh Neil S. Rupidara, Ph.D diaplikasi Facebook.

Link FB: https://www.facebook.com/neil.rupidara

Pentingnya riset pengobatan alternatif untuk Covid-19

Efektivitas Vaksin Menurun terhadap Varian-Varian Baru SARS-CoV2? Vaksinasi Terus Berjalan Tetapi Harus Kembangkan Juga Cara-Cara Lain Atasi Covid-19!

Dalam catatan akhir tahun kemarin, saya mengungkapkan beberapa points kritis menyoal kecenderungan kegagalan kita berhadapan dengan SARS-CoV2, disingkat SARS-2, di sepanjang 2020. Makhluk pendatang baru ini mungkin sedang berposisi menertawakan kita. Ia sudah menunggangbalikkan tatanan-tatanan kehidupan kita. Ia sempat membuat kita lari meninggalkan panggung-panggung kehidupan kita. Dalam persembunyian sementara, kita berupaya mencari formasi adaptasi perilaku tetapi kita tetap tampak kedodoran menghadapinya. Begitu kita keluar kembali dari persembunyian, masih banyak yang perilakunya gagal beradaptasi dengan suasana pandemi ini. Sebaliknya, SARS-2 “terampil” beradaptasi, bermutasi. Dia seolah lebih cerdik dibanding kita, padahal kita mengaku makhluk paling cerdas, yang karena kecerdasan kita, sebagian makhluk manusia pun merasa merekalah yang menciptakan Tuhan, tapi masih gagal mengatasi Covid-19.

Karena seolah tampak gagal berperang melawan Covid-19, kini kita seolah menggantungkan diri pada vaksin, seolah vaksinlah satu-satunya senjata kita melawan Covid-19. Bangsa-bangsa berlomba mengejar vaksinasi massal secepat-cepatnya. Indonesia juga. Namun, di saat kita menjadi sedemikian rupa bersikap bergantung pada vaksin, SARS-2 sepertinya tidak mau kalah begitu saja. Mutasi-mutasi genetik-nya seolah mulai menunjukkan kesiapan dia membangun pertahanan diri mengantisipasi serangan antibodi yang distimulasi oleh vaksin. Uji klinis salah satu vaksin menunjukkan penurunan efektivitas yang signifikan di Afrika Selatan, salah satu pusat mutasi genetik SARS-2 terkini, varian B.1.351. Masih ada mutasi genetik di Brazil (P. 1) yang sedang diteliti para ahli, dengan disertai rasa was-was, apakah muncul kemampuan dari hasil mutasi baru itu dalam menetralisir kemampuan vaksin menstimulasi sistem imun untuk mengatasinya (di atas basis formasi genetik sebelumnya). Ini jelas situasi yang mengkhawatirkan. Bukan pesimis, tetapi kita harus tetap logis dan kritis. Kita tahu penyakit ini bukan penyakit pasif. Anggapan awal bahwa mutasi genetiknya yang lambat akan membuat vaksin efektif kini berjumpa dengan bukti baru yang tampak terbalik. Solusi yang dibangun di atas versi “masa lalu” SARS-2 karenanya harus dicermati benar keefektifannya ketika berhadapan dengan versi-versi barunya. Kita harus bersikap antisipatif.

Kalau vaksin berkurang efektivitasnya terhadap varian-varian baru SARS-2, lalu kita harus bagaimana? Kita harus tetap mencari solusi lain. Vaksin mestinya alat ampuh tetapi vaksin bukan senjata satu-satunya. Dalam hal mengatasi Covid-19, kita bagaimanapun tahu bahwa sejumlah orang yang pernah mengidap Covid-19, imun tubuhnya bisa mengalahkan SARS-2 “dalam diam”. Imun tubuh yang baik karenanya sebuah senjata kita. Sebagian lagi sembuh karena pengobatan. Obat-obatan tertentu karenanya adalah senjata yang lain. Ini semua sudah kita ketahui, yang dari kedua cara itu, dari 102an juta penduduk dunia yang terserang virus ini, 74 juta telah sembuh. Itu artinya 72,5% telah berhasil mengalahkan virus, dengan menggunakan dua senjata itu. Itu terjadi di saat belum ada vaksin. Di saat belum ada vaksin. Memang, kita harus juga mencatat bahwa 2,16% orang “kalah perang” dalam situasi itu. Namun, jika kita belajar benar selama ini, kita mestinya juga tahu situasi dan faktor yang menyebabkan kalah perang terjadi. Jikapun vaksin adalah salah satu senjata berkaliber besar untuk melawan SARS-2 tetapi karena efektivitas-nya kini tertekan di hadapan variants baru SARS-2, sedangkan tadi ada 72% (dari 102 juta penduduk) orang bisa mengalahkan virus ini tanpa pakai vaksin, maka kita harus sudah mulai berpikir bahwa bukan hanya racing di pembelian vaksin dan vaksinasi massal yang harus dikerjakan oleh pemerintah-pemerintah. Pemerintah harus tidak boleh bergantung hanya pada vaksin versi sekarang. Menunggu produksi vaksin turunan baru yang mungkin bisa melawan variants baru SARS-2 akan makan waktu (dan biaya), dengan peluang SARS-2 juga mungkin bermutasi lagi. Kita karenanya tidak boleh menunggu masalah datang baru buru-buru cari solusi (dan bisa gagal lagi). Kita sudah harus cari solusi itu sejak sekarang! Sudah terlalu mahal pengorbanan kita berperang melawan Covid-19 dan kita masih dalam posisi (bisa) kalah (lagi) sampai hari ini. Jadi, jangan tunggu kalah lagi baru mata menjadi terang bahwa kita tetap kalah.

Program vaksinasi bagaimanapun tetap harus didukung untuk menjadi sebagian solusi, tetapi warning ini harus diajukan agar kita selalu waspada. Sambil demikian, mari cari solusi-solusi alternatif, yang di antaranya juga jauh lebih murah daripada vaksin. Salah satu senjata lain adalah pengobatan alternatif. Solusi mengatasi Covid-19 dengan medikasi alternatif sempat mendapat cecaran pertanyaan serius dan menempatkan Indonesia dalam posisi berkemungkinan menjadi negara produsen ilmu pengetahuan semu. Itu tampaknya dikarenakan kurangnya riset-riset ilmiah yang solid untuk mendukung klaim-klaim keberhasilan medikasi alternatif. Karena itu, solusi yang harus dibuat adalah perkuat basis ilmiah dari program medikasi alternatif.

Apakah itu akan efektif mengatasi Covid-19? Belum tahu. Kalau belum tahu, mengapa menempuh jalan remang-remang? Sama dengan berkembang keraguan atas efektivitas vaksin berhadapan dengan variants baru SARS-2, lalu mengapa solusi-solusi yang jauh lebih murah tetapi yang mungkin juga bisa atasi Covid-19 tetapi yang harus lebih didukung dengan riset-riset ilmiah yang memadai untuk memberi basis ilmiah yang kuat tidak mau kita dukung? Harus didukung! Aktifkan mesin-mesin riset untuk mencari solusi-solusi alternatif terhadap Covid-19. Para peneliti pembuat vaksin ibaratnya sudaj tidak tidur nyenyak untuk bekerja keras hasilkan vaksin demi kepentingan kemanusiaan, termasuk untuk kita, lalu mengapa kita berhenti pada sikap melindungi diri dengan wfh? Sama dengan mereka, para saintis kita juga harus lebih aktif di lab-lab untuk melakukan riset-riset pencari solusi mengatasi Covid-19. Kita harus menjadi bagian dari (pencari) solusi.

Satu hal sederhana tetapi sesungguhnya tidak sederhana jangan juga kita lupakan. Jika dokter-dokter dan perawat-perawat yang setiap hari berhadapan dengan risiko terpapar SARS-2 karena merawat pasien Covid-19 ada yang bagaimanapun masih bisa menjaga diri tidak terpapar virus ini, itu berarti ada formula perilaku tertentu yang bisa meminimalkan risiko tertular Covid-19 tetapi untuk menjalankannya butuh kedisiplinan tinggi, sebuah kepatuhan. Namun sebaliknya, ada juga model perilaku tidak tepat yang membuat seseorang yang sebetulnya agak jauh dari risiko terpapar Covid-19 tetapi tetap saja terkena virus pembawa penyakit ini. Perilaku yang tepat karenanya merupakan senjata penting dalam memerangi penyakit ini. Perilaku yang tepat itu termasuk juga perilaku konsumsi “makanan dan minuman” sehat sebagai penguat baik imun tubuh, maupun jiwa kita.

Ketika hendak memasuki 2021 saya membawa sikap penuh pengharapan akan keadaan yang lebih baik. Namun, bulan pertama di 2021 kini sudah akan berakhir tetapi keadaan belum juga lebih baik dari 2020. Haruskah kita pesimis? Tidak. Tidak boleh. Berpengharapan dan merumuskan tindakan-tindakan yang tepat adalah basis kita untuk berjalan di sepanjang 2021, dengan tetap menjaga kewaspadaan.Karena itu, mari bersama kembangkan sikap dan tindakan-tindakan positif dalam melawan Covid-19. Yakinlah, kita pasti bisa atasi Covid-19. So, fear not! Jika kita benarkan pepatah bahwa ada 1001 jalan ke Roma, demikian juga mestinya itu berlaku pada solusi mengatasi Covid-19. Mari mencari jalan-jalan itu. May God bless us all.

Tulisan ini ditulis dan di-share oleh Neil S. Rupidara, Ph.D di Facebook.

Link FB: https://www.facebook.com/neil.rupidara