PROBOWINOTO, KUYPER, KARL MAY dan NOTOHAMIDJOJO

Webinar seri pertama dari 10 rangkaian webinar yang direncanakan PSHN-UKSW berjalan lancar dan berbobot. Meski ada gangguan koneksi internet namun secara umum bisa disebut sukses, dilihat dari pesertanya yang datang dari ragam latar. Dari generasi-generasi yang mengenal pak Probowinoto secara langsung, seperti politisi senior Parkindo dan PDIP, Sabam Sirait, Prof. Willy Toisuta Rektor ke-3 UKSW, Dr. Niko Kana yang juga penulis (bersama N. Daldjoeni) buku biografi Probowinoto, juga putra pak Probowinoto. Bang Bernard Naionggolan dan bang Robert Sitorus dari YKI (yang bisa disebut sebagai ahli waris Parkindo), bung Sigit Trianto (Sekum LAI, tempat dimana pak Probo pernah berkontribusi), bung Nevos Daely dari YAKKUM (yang juga dirintis Probowinoto), dan masih banyak lagi.

Hadirnya generasi muda, politisi muda Kristen, aktivis gereja maupun ormas, PP GMKI dan para senior GMKI, juga alumni UKSW menggambarkan betapa pikiran-pikiran dan tindakan Probowinoto memiliki dampak. Setidaknya diminati dan dirindukan.

Saya mencatat banyak pengayaan, terutama dari Prof. Willy Toisuta yang mengingatkan agar melihat figur Probowinoto dan karyanya yang konkrit bagi bangsa dan gereja (kekristenan), tidak hanya pada apa yang dilakukannya, melainkan apa yang diidealkannya di masa depan. Lewat pikiran dan karyanya, pak Willy mengingatkan kontribusi pak Probo dalam merintis dan mengembangkan teologi sosial, ethics capital sebagai penetrasi untuk technical enterpreneurship, juga ciri spesifik pada pemikiran kebangsaannya yang mandiri dan unik, serta non-kompromistis pada apa yang dianggapnya benar. Pak Sabam Sirait juga mengingatkan pemikiran-pemikiran Probowinoto selalu autentik dan berkontribusi besar bagi bangsa melalui Parkindo dan pendidikan maupun kesehatan.

Terkait dengan “keunikan” dan autentisitas pemikiran dan sikap Probowinoto, ketika membahas kontribusinya bagi kebangsaan saya pernah menyebut posisinya sebagai “non-kooperatif-kritis” atau bisa juga sebagai menciptakan sintesa. Di awal merdeka ketika Belanda hendak kembali menancapkan cengkermannya, para pejuang ekumene (sekaligus pejuang pergerakan kebangsaan) terbelah dalam tiga sikap, yaitu kooperatif (seperti S.T.G,Mulia dan Rumambi) dan non-kooperatif ekstrim (Amir Syarifuddin). Probowinoto memiliki posisi sendiri, yang saya sebut non-kooperatif-kritis atau menawarkan sintesa, yaitu tidak kooperatif tetapi membuka ruang untuk kerjasama dalam hubungan kemitraan. Dari sebelumnya hubungan dengan gereja dan misionaris Belanda yang dominatif menjadi kemitraan.

Ini memang posisi yang sangat tidak mudah, mengingat kondisi gereja ketika itu masih serba kekurangan, lemah, dan belum terkonsolidasi solid. Namun, Probowinoto tetap kokoh memegang prinsip bahwa Gereja harus menjadi Indonesia karenanya tidak bisa membiarkan Gereja Belanda kembali mencengkramnya. Gereja Belanda sudah masa lalu. Itu yang oleh antropolog Vrije Universiteit (VU), Philip Quarles van Ufford disebut sebagai dekolinialisasi Gereja.

Untuk menangkap suasana batin dan tantangan yang dihadapi Probowinoto, perlu kita pahami keterkaitan GKJ, GKI, GKP, GKJTU yang waktu itu masih belum terpisah, merupakan hasil misi gereja Gereformeed (GKN) Belanda, yang didirikan oleh Abraham Kuyper. GKN dikenal juga sebagai Neo-Calvinis.

Kuyper adalah seorang teolog, filsuf, juga politisi. Sebagai politisi ia mendirikan Anti-Revolutionary Party (ARP), atau dikenal juga sebagai Partai Kristen Demokrat, yang kelak memenangkan pemilu Belanda sehingga menjadi Perdana Menteri tahun 1901-1905. Di masa inilah Politik Etik diberlakukan di Hindia Belanda, yang melahirkan kelas menengah pribumi melalui berbagai sekolah yang dibangun. Dengan kata lain, ARP merupakan sayap politik GKN, atau katakanlah pelayanan GKN di bidang politik. Kelak ARP dan Belanda sadar bahwa Politik Etik menjadi senjata makan tuan, namun bagi sejumlah kalangan misionaris yang “pro-kemerdekaan” justru disyukuri sebagai “buah dari pemberitaan kabar baik.”

Dari nama partainya, termasuk juga VU (vrije/ free) yang didirikan Kuyper, mudah diduga bahwa idealismenya terkait dengan revolusi Perancis. Seperti diketahui, revolusi Perancis merupakan gerakan sekuler yang melucuti kekuasaan negara yang korup bersamaan dengan gereja. Oleh Kuyper dan sejumlah kalangan Kristen, revolusi Perancis dianggap sebagai anti gereja (agama). Itulah sebabnya, neo-Calvinis merupakan “perlawanan” terhadap revolusi Perancis.

Revolusi yang membawa Indonesia mencapai proklamasi kemerdekaan, oleh GKN dan sayap politiknya itu disamakan dengan revolusi Perancis. Bahwa, kemerdekaan Indonesia berbau sekular dan itu berarti gereja dan orang kristen akan dihabisi atau dilucuti. Gereja-gereja di Jawa yang “berada dibawah pengaruh” Probowinoto, yang seharusnya merupakan anak kandung GKN dianggap telah membunuh ibu kandungnya. Dua gebrakan Probowinoto dijadikan indikator, yaitu pendirian Permoesyawaratan Gereja-gereja Protestan (Mei 1946) dimana Probowinoto dan A.M.Tambunan (kemudian menjadi Menteri Sosial, lalu Wakil Ketua DPR-RI) menjadi Ketua dan Sekretaris, dan Konferensi Kwitang 1947.

Berdirinya PKN (Parkindo) November 1945 dijadikan sebagai argumen oleh para misonaris untuk meyakinkan gereja-gereja dan ARP di Belanda bahwa orang-orang Kristen Indonesia berjuang bagi kemerdekaan tidak dipercayai atau tidak diterima. Terutama, bahwa perjuangan PKN dan kaum kristen untuk merdeka juga dilandaskan pada Alkitab, yang artinya tidak sekuler seperti dituduhkan. Namun, proklamasi kemerdekaan tetap dianggap hasil kongkalikong Soekarno-Hatta dengan Jepang, dan menjadi musuh Kristen.

Itulah konteks, mengapa perjuangan Probowinoto sangat tidak ringan. Setelah “memenangkan negosiasi untuk dekolonialisasi gereja” di konferensi Kwitang ia harus menghadapi forum Sidang Sinode GKN di Endhoven tahun 1948. van Ufford juga menyamakan konverensi Kwitang sebagai “Linggarjati Kerken” (gereja Linggarjati) untuk menggambarkan pelucutan kekuasaan gereja Belanda atas gereja-gereja di Indonesia, sebagaiimana perjanjian Linggarjati di sektor negara.

Untuk menegaskan, sebagaimana negara menghadapi agresi militer Belanda yang awalnya menumpang sekutu untuk kembali menguasai Indonesia, demikian situasi mirip dihadapi gereja. Di situlah persisnya membayangkan peran Probowinoto, yang terkesan sendirian bernegosiasi menghadapi mantan guru-gurunya. Mereja unggul dalam segala hal: ilmu dan teologi, misiologi, fasilitas, dan segalanya. Sementara, Probowinoto hanya mengandalkan penghayatan iman dan kecintaan pada negerinya yang baru diproklamasikan.

Probowinoto, dengan risiko menghadapi berbagai sindiran (sebagai anak pembunuh ibu kandung, dan sebagainya) tidak gentar menghadiri sidang itu Endhoven. Ia bahkan berhasil meyakinkan forum, dan akhirnya sebagian besar “Kwitang Accor” diterima. Sikap Porbowinoto dipahami, dan GKN juga NHK akhirnya menerima bahwa mereka “hanya” bisa jadi mitra gereja-gereja di Indonesia, dan bukan lagi pengambil keputusan.

Sikap Probowinoto ini konsisten ketika DGI/PGI dibentuk 1950, ia berdebat dengan Rumambi terkait pasal 5 AD yang memasukan perwakilan zending dalam struktur. Probowinoto “menang” dan pasal itu dihilangkan, tetapi kemudian diatur bahwa zending bisa masuk ke Indonesia melalui kemitraan. Jadi, yang dibentuk adalah lembaga kemitraan.

Ada hal lain yang menarik di share oleh pak Sonny C. Wibisono (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), putra Probowinoto. Informasi itu mungkin “remeh” namun, menurut saya punya kontribusi penting dalam kehidupan Probowinoto. Pak Sonny menyebutkan ayahnya mengoleksi buku-buku Karl May, yang isinya juga sering diceritakan pada anak-anaknya. Bagi yang membaca buku ini (saya termasuk penggemar fanatiknya), isinya menceritakan berbagai petualangan sang tokoh di suku-suku Indian yang masih primitif. Terakhir karyanya berjudul Bumi Baru, menceritakan petualangan ke gurun pasir Timur Tengah bertemu dengan suku-suku padang pasir, termasuk sempat “tiba” di Aceh.

Dalam karya Niko L.Kana & Daldjoeni, disebutkan ketika masih di kelas tiga HIK Solo, kakak kelasnya Oeripan (kemudian menjadi Notohamodjojo) “menasehati” Probowinoto agar tidak lagi membaca buku-buku cerita karena itu bacaan anak-anak. Oerip memberikan buku-buku sastra dan filsafat kepada Probowinoto dan ternyata menjadi kegemarannya sehingga dilahapnya sampai habis. Itulah rupanya yang membuat beliau memutuskan untuk “banting setir” ingin belajar Sastra kuno.

Probowinoto berharap bisa mempelajari Sastra kuno di Yogya, namun gurunya ds. A. Pos yang ditemuinya mengatakan tidak ada jurusan sastra kuno, tetapi kalau mau bisa diperoleh di jurusan Teologi. Jadilah Probowinoto masuk teologi. Seperti diakuinya, ia tidak pernah bercita-cita menjadi pendeta, gurupun tidak (makanya ia pernah ingin keluar dari HIK di Sala untuk masuk kedokteran).

Dalam berbagai share, seperti disampaikan pak Suwarto (moderator) dan pak Willy disinggung karakter Probowinoto sebagai pelintas dan interwoven. Verkuyl menyebutnya sebagai penjembatan. Karakter itu menggambarkan jiwa pertualangan dan keperintisan. Mungkinkan itu juga dipengaruhi kisah-kisah petualangan Karl May?

Entahlah. Membutuhkan penelusuran lebih serius untuk menyimpulkan. Tetapi, pastinya semua potongan kisah yang kita peroleh melalui webinar pertama ini kiranya makin dilengkapi pada rangkaian webinar berikutnya. Melalui rangkaian webinar yang dirancang PSHN-UKSW, semoga “figur Probowinoto” secara utuh bisa kita rekonstruksi dari potongan kisah-kisah berikutnya.

Tulisan ini ditulis dan dishare oleh Semuel S. Lusi di Facebook.

Link: https://www.facebook.com/real.self.9