SCIENCE DELUSION, BUKAN KAMPANYE TINGGALKAN SCIENCE

Kampanye global dari New Atheist (NA) yang sangat ambisius dan agresif adalah agar orang meninggalkan agama dan Tuhan. NA atau saintisme menjanjikan “surga” baru yang rasional, damai, dan lebih bermoral tanpa tuhan. Tidak hanya melalui debat-debat terbuka, wawancara dengan tokoh agama atau kreasionis (seperti rutin dilakukan Dawkins), para NA juga menyerang lewat karya (buku).Semenjak terbitnya the God Delusion (2006) karya biolog Oxford, Richard Dawkins, seakan menciptakan permainan berbalas pantun antara New Atheist (NA) atau saintisme dan Agama (Kreasionis) melalui karya. Kelompok terakhir ini “didukung” para pengkritik NA yang kebanyakan ilmuan kredibel berpandangan sekular atheis atau agnostik. “Permainan intelek khas tradisional Indonesia” itu ditandai dengan karya-karya bertema delusi (atau terasosiasi dengannya) secara berbalasan. Ada The Dawkins DELUSION? Atheist Fundamentalism and the Denial of the Divine (2007) oleh Alister E. McGrath and Joanna Collicutt McGrath, kemudian Devil Science Delusion: Asking the Big Questions in Culture of Easy Answers (2007) karya Curtis Wise. Tahun 2009 David Berlinski menerbitkan The Devil’s Delusion: Atheism and Its Scientific Pretensions. Dari kubu NA lahir the Christian Delusion sebagai kumpulan tulisan belasan ilmuan, diedit oleh John W.Loftus (2010). Masih banyak karya senada yang tidak bertema delusi tetapi isinya dalam rangka berbalas pantun itu.Kalau karya-karya delusi kubu NA selalu menyerang dan menjelekkan agama serta mengkampanyekan “surga ateisme,” maka dari pihak satunya cenderung bertahan. Umumnya hanya berupaya menjawab tantangan atau mencoba mematahkan argumen-argumen penyerang sambil menunjukkan ideal-ideal ajaran moral agama yang sama sekali diabaikan debaters NA. NA dianggap hanya mencuplik momen-momen kegelapan agama tetapi mengabaikan kekayaan moral dan formasi kemanusiaan yang ditanamkan agama sepanjang peradaban manusia.

Tahun 2012 Rupert Sheldrake, seorang yang telah menjadi ateis sejak masa remaja, namun kembali menjadi teis di masa kematangan kariernya ketika berada di India, menerbitkan The Science Delusion: Freeing the Spirit of Enquiry. Dari judulnya sudah tergambarkan integritas seorang intelektual yang memiliki otoritas keilmuan. Reputasinya meyakinkan. Ia aktif di berbagai komunitas ilmiah, antara lain Society for Experimental Biology, Society for Scientific Exploration, Zoological Society, Cambridge Philosophical Society, dan the Institute of Noetic Sciences. Ia juga pernah bekerja sebagai ahli biokimia di Universitas Cambridge, ahli fisiologi tanaman di Institut Penelitian Tanaman Internasional untuk Daerah Tropis Semi-Kering di India, dan menjadi profesor tamu di sejumlah universitas terkemuka.

Dalam karya ini Sheldrake dengan jujur menunjukkan bahwa dalam sains pun terdapat andaian-andaian filosofis yang taken for granted. Argumen ini nampaknya hendak mengatakan kepada saintisme (dalam sebutannya: fisikisme / materialisme eliminatif), bahwa aspek-aspek delusional tidak hanya monopoli agama seperti dituduhkan. Tetapi, tujuan utama buku ini bukanlah membela agama ataupun menyerang NA, melainkan menyelamatkan sains dari bahaya dogmatisasi, sebagaimana ditegaskannya di Kata Pengantar: “I have written this book because I believe that the sciences will be more exciting and engaging when they move beyond the dogmas that restrict free enquiry and imprison imaginations.”Sifat sejati sains adalah semangat penyelidikan (inquiry) yang berpikiran terbuka. Sheldrake menegaskan idealnya sains adalah proses, bukan posisi atau sistem kepercayaan. Sains inovatif terjadi ketika para ilmuwan merasa bebas untuk mengajukan pertanyaan baru dan membangun teori baru. Mengutip Thomas Kuhn melalui The Structure of Scientific Revolutions(1962) yang berpendapat bahwa dalam periode sains “normal,” kebanyakan ilmuwan berbagi model realitas dan cara mengajukan pertanyaan, yang dia sebut sebagai paradigma.

Secara meyakinkan Sheldrake mengindetifikasi sepuluh bentuk dogmatisasi sains, yang dibahasnya masing-masing dalam bab khusus. Ia memulai dengan mengulas sukses sains yang mengkontribusikan perkembangan manusia dalam berbagai aspek kehidupan melalui dua cara, yaitu teknologi dan obat-obatan. Revolusi industri dan revolusi sains jalan beriringan menciptakan sejarah dan mengarahkan peradaban, dimulai di abad ke-17. Horison pengetahuan pun berkembang sedemikian pesat, mulai dari partikel materi yang paling mikroskopis hingga keluar ruang yang maha luas dengan ratusan miliar galaksi di alam semesta yang juga terus berkembang.

Namun, nampaknya capaian mendasar yang mencengangkan itu perlahan berubah menjadi kredo. Setelah mencapai puncak sukses, sejak dua dekade terakhir di abad 21 ini, ketika pengaruh sains telah menyebar ke seluruh dunia dan meresapi semua aspek kehidupan sehingga manfaatnya nampak tak terbantahkan lagi, masalah justru mengganggu dari dalam. Kebanyakan ilmuwan menikmati zona nyaman lalu meyakini begitu saja, bahwa semua masalah pasti akan terselesaikan dengan lebih banyak penelitian dan penyelidikan melalui metode-metode yang sudah mapan. Sheldrake berargumen bahwa sains telah ditahan (mengalami kelesuan / malaise) oleh asumsi berabad-abad yang telah mengeras menjadi dogma. Itulah yang disebutnya sebagai delusi sains modern.

Delusi ilmiah terbesar adalah bahwa Sains seolah sudah mengetahui jawaban, dan hanya detailnya yang masih butuh waktu untuk diselesaikan. Bahkan, argumen yang meng-hipotesis-kan Tuhan pun diyakini hanya menunggu waktu untuk membuktikan ketiadaan tuhan. Dan, ironisnya itu sudah diperlakukan sebagai “fakta ilmiah.” Ilmu pengetahuan kontemporer juga didasarkan pada klaim bahwa semua realitas bersifat material atau fisik, dan diluar itu tidak ada realitas lagi. Misalnya, kesadaran diyakini sebagai semata-mata produk sampingan dari aktivitas fisik otak; Evolusi tidak memiliki tujuan; Tuhan hanya ada sebagai ide dalam pikiran manusia, dan karenanya hanya ada dalam kepala manusia.

Menurut Sheldrake, keyakinan itu kuat bukan karena para ilmuwan memikirkannya secara kritis, melainkan karena mereka tidak memikirkannya. Fakta-fakta sains cukup nyata. Pun, teknik yang digunakan para ilmuwan serta teknologi yang didasarkan padanya. Namun, sistem kepercayaan yang mengatur pemikiran ilmiah konvensional adalah tindakan keimanan yang didasarkan pada ideologi abad kesembilan belas. Tidaklah mengherankan bila Karl Popper menyebut pendirian para ilmuan tersebut sebagai “promissory materialism” lantaran temuan-temuan mereka sebenarnya masih didasarkan pada perlunya “penerbitan surat perjanjian untuk penemuan yang belum ada.” Artinya, mengasumsikan sebuah “bukti” yang masih berupa janji.Kesepuluh “kredo ilmiah” yang dibahas sebagai keyakinan pokok dan delusi itu oleh Sheldrake dirubah menjadi pertanyaan. Dengan mempresentasikan ragam hasil penelitian, uji lab dan testimoni, dapat ditampilkan fakta bahwa apa yang dijadikan fondasi sains seharusnya terbuka untuk dipertanyakan secara kritis dan diselidiki berbagai kemungkinan lain.

Pertama; “ilmuan meyakini begitu saja bahwa segala sesuatu pada dasarnya bersifat mekanis.” Anjing, misalnya, tidak lebih dari mekanisme kompleks dan bukan organisme hidup yang memiliki tujuan sendiri. Bahkan, oleh Richard Dawkins manusia disebut sebagai mesin, yaitu “robot yang lamban” (lumbering robots), dengan otak sebagai komputer yang diprogram secara genetik. Sains atau ilmuan tidak pernah mengajukan jenis pertanyaan (agar diselidiki kebenarannya), “apakah alam bersifat mekanis?” Sebelum abad ke-17, alam semesta dipahami sebagai organisme hidup, yang muncul melalui ajaran-ajaran filosofis, sistem kepercayaan dan sebagainya. Namun, revolusi sains mencabut “jiwa semesta” dan menggantikannya dengan sistem mekanik.

Kedua; “kredo ilmiah bahwa semua materi tidak sadar.” Materi tidak memiliki kehidupan batin atau subjektivitas atau sudut pandang. Bahkan kesadaran manusia diyakini sebagai ilusi yang dihasilkan oleh aktivitas material otak semata. Mengapa tidak pernah dipertanyakan, apakah semua materi tidak sadar?

Ketiga; “jumlah total materi dan energi selalu sama.” Ya, ini terkait hukum kekekalan materi dan energi. Hukum ini menjamin keabadian fundamental dalam dunia yang selalu berubah. Tetapi hukum ini dirumuskan sebelum Model Standar Kosmologi ditetapkan. Kebanyakan fisikawan sekarang percaya bahwa alam semesta mengandung sejumlah besar “materi gelap,” yang sifatnya benar-benar tidak jelas. Materi dan energi gelap membentuk sebagian besar massa alam semesta (sekitar 96 persen), sedangkan materi normal dan energi (yang terselidiki) hanya membentuk sekitar empat persen. Bagaimana materi gelap dan energi berhubungan dengan materi dan energi biasa? Dan apakah medan energi titik-nol, juga dikenal sebagai ruang hampa kuantum? Benarkah hukum kekekalan massa teruji dalam “fakta” realitas energi dan materi gelap dominan yang bahkan tak bisa dibayangkan?

Keempat; kredo bahwa “hukum alam ditetapkan, jumlahnya pada hari ini sama seperti pada awalnya, dan akan tetap sama selamanya.” Jelas ini adalah asumsi teoritis, bukan observasi empiris. Berdasarkan dua atau tiga ratus tahun penelitian di bumi, bagaimana kita bisa yakin bahwa hukum selalu sama dan akan selalu sama, di mana saja? Problem semantik mungkin perlu dipertimbangkan, karena konsep “hukum alam” itu sendiri bersifat antroposentrik, yang justru mengandaikan Tuhan. Lagi pula, bila “hukum sudah fixed,” bukankah keputusan itu mendahului proses dan perkembangan evolusi?

Kelima; doktrin bahwa “alam tidak memiliki tujuan, dan evolusi tidak memiliki arah.” Benarkah? Dalam perspektif mekanik, itu mudah dipahami. Tetapi, bahkan sebuah mobil atau komputer beroperasi seturut tujuan tertentu, yaitu tujuan manusia? Berbeda dengan seekor kuda yang, meski dalam hal tertentu diarahkan oleh tali kekang, dapat pula menentukan sendiri tujuannya. Lagi pula, bukankah setiap makluk, misalnya, berkembang menuju “ideal-ideal” tertentu? Sheldrake mengutip biolog E. S. Russell lewat karyanya The Directiveness of Organic Activities (1945) yang menteorikan adanya tujuan pada organisme hidup. Disamping pandangan ahli lainnya, termasuk para filsuf seperti Aristoteles, Descartes dan sebagainya yang secara prinsip mendukung “teori tujuan.”

Pada akhirnya Sheldrake menyimpulkan bahwa penolakan materialis terhadap tujuan evolusi bukan didasarkan pada bukti melainkan berupa asumsi semata. Kaum materialis terpaksa mengaitkan kreativitas evolusioner dengan faktor kebetulan atas dasar ideologis.Keenam; “semua warisan biologis adalah materi, dibawa dalam materi genetik, DNA, dan dalam struktur materi lainnya.” Benarkah tidak ada warisan diluar materi? Bukankah pewarisan-perwarisan norma, perilaku dan sifat mudah diamati tanpa bisa dikaitkan dengan aspek material dari agen? 

Ketujuh: “pikiran ada di dalam kepala dan tidak lain semata-mata merupakan aktivitas otak”. Saat melihat sebuah pohon, gambaran dari pohon yang Anda lihat bukanlah “di luar sana” sebagaimana di tempat yang terlihat itu, melainkan di dalam kepala (otak) Anda. Apakah ini fakta ilmiah, atau asumsi teoretis?

Kedelapan; “kenangan disimpan sebagai jejak material di otak dan dihapuskan saat kematian.” Sheldrake antara lain menunjukkan kegigihan ilmuan materialis meneliti otak untuk menemukan “tempat menyimpan memori.” Selama hampir seratus tahun tidak menemukan hasil, namun para ilmuan tetap ngotot, bahwa ini hanya masalah waktu. Jika membutuhkan waktu 100 tahun lagi, siapa diantara kita yang akan mem-verifikasinya? Kalau bukan dogmatis, mengapa tidak membuka ruang penyelidikan ke “hipotesis alternatif?”

Kesembilan; fenomena yang tidak dapat dijelaskan seperti telepati adalah ilusi. Benarkah semua fenomena harus bisa dijelaskan secara saintifik? Di sini Sheldrake mengajukan berbagai hasil penelitian (percobaan) dan testimoni terkait pengalaman de ja vu, pre-kognisi, telepati dan sejenisnya, yang secara saintifik konvensional tidak dapat dibuktikan. Tidak saja terjadi pada manusia melainkan juga hewan, yang dapat memperlihatkan perilaku tertentu yang menunjuk pada “akan terjadinya sesuatu” di waktu dekat. Berbagai pengujian di laboratorium psikologi dapat membuktikannya, namun sains materialistik tetap menganggapnya ilusi. Jenis hewan seperti anjing, kucing, kuda yang memiliki hubungan dekat dengan tuannya, dalam banyak pengujian, menunjukkan kemampuan “membaca niat tuannya,” bahkan sekalipun ketika dipisahkan jarak.

Kesepuluh; kredo bahwa “pengobatan mekanis adalah satu-satunya jenis yang benar-benar manjur.” Ambil saja contoh hasil pengujian Irving Kirsch yang membandingkan penggunaan antidepresan dan psikoterapi dalam menangani pasien depresi dan schizophrenia. Kesimpulannya, perbandingan langsung pada efek jangka pendek dari psikoterapi bekerja sebaik antidepresan. Namun, psikoterapi terlihat lebih baik ketika dinilai efektivitas jangka panjangnya, karena pasien yang dulunya depresi jauh lebih mungkin kambuh dan menjadi depresi lagi setelah pengobatan dengan antidepresan, daripada setelah psikoterapi. Banyak contoh lain, seperti efektifitas pengobatan alternatif, apukuntur, teknik pengobatan dan obat Cina dan sejenisnya. Namun pengobatan mekanis tetap diyakini yang terbaik tanpa kemauan mempertanyakannya.Itulah sepuluh kredo sains yang disebut delusif. Bagi saya, kritikan Sheldrake sangat menohok ke jantung saintisme. Ia menghantam fondasi dan pilar-pilar penopang utamanya, yaitu materialisme. Sebagaiamana diketahui, filsafat materialisme yang beriringan dengan ateisme mendominasi sains abad ke-19. Positivisme sebagai ujung tombaknya mens-tandarkan metode pengujian ilmiah secara ketat. Namun, proposisi fundamental sebagai satu-satunya realitas ini membutuhkan pengujian dihadapan ragam perspektif, paradigma, dan sistem pengetahuan. Positivisme yang bersumber dari rasionalisme barat berjumpa dengan perspektif timur yang lebih menekankan pada “kepekaan intuisi dan emosi” dalam memahami realitas. Di sini realitas non materi lebih mendominasi dibanding materi sehingga penjelasan lebih terbuka dan kaya. Ruang penyeledikan lebih luas dan menantang.Sebagai implikasi logis dari “pemujaan materialesme,” diterima juga secara taken for granted “mesin raksasa” peninggalan Newton yang mendasari paradigma alam mekanistik. Segala sesuatu diyakini begitu saja sebagai “sistem mekanik” yang dapat diotak-atik dan dimanipulasi untuk mendapatkan hasil sebagaimana diinginkan. Bahwa, dengan mencuplik sebuah momen kecil dari realitas dapat merepresentasi keseluruhannya. Reduksi realitas tak terhindarkan. Disinilah, pertanyaaan kritis perlu diajukan, sikap terbuka perlu didorong agar mempertimbangkan paradigma-paradigma baru, melakukan penyelidikan dan menemukan pandangan-pandangan baru yang lebih komprehensif. Di sini aktivitas keilmiahan menjadi lebih menantang dan menggairahkan.

Pada akhirnya, dengan membongkar fondasi sains yang sebenarnya bersifat asumtif dan delusional dalam hal-hal yang diyakini begitu saja, Sheldrake tidak saja menyindir secara tajam saintsme Dawkins dan teman-temannya (tetapi tidak hanya mereka), melainkan terutama menunjukkan kemungkinan-kemungkinan logis untuk dipertimbangkan ulang “tetapan-tetapan saintifik” dan dijelajahi. Sains tidak boleh terjebak dalam paradigma filsafat dan pengetahuan abad 19, lalu mendogmatisasinya sehingga menutup mata terhadap kekayaan “wajah” realitas disekitarnya, yang juga sudah banyak didukung temuan-temuan, hasil-hasil pengujian, dan pengalaman (serta pengetahuan) kolektif. Membebaskan sains dari cenkeraman dogma dan delusi itulah visi utama buku ini.Bagaimana pun, agama secara hakiki memang harus dogmatis. Tidak demikian dengan sains. Dogmatisasi sains merupakan tindakan membunuh sains. Tetapi, dogmatisasi harus diatasi dengan membongkarnya agar sains kembali ke “fitrah,” melayari samudera pencarian (inquiry) yang maha luas dengan bebas dan riang, bukan dengan meninggalkan sains! (Semuel S. Lusi)

Science and Christian Faith: A Critical dialogue a covnersation with John Lennox

Laksana panggung drama, layar dibuka dengan monolog dari seorang penggembala kucing, Richard Dawkins: “meskipun tidak dapat digiring, kucing dalam jumlah yang cukup besar membuat banyak suara, dan mereka tidak dapat diabaikan.” Penggembala kucing ini nampak merancangkan sebuah target. Bagian dari rancangan itu, dilatar panggung terdapat sebuah bus umum, yang pada kedua tepi kiri kanan terdapat iklan dengan tulisan: “There’s probably no God. Now Stop Worrying and Enjoy Your Life.”   Demikianlah John C. Lennox memulai halaman pengantar karyanya, Gunning for God : Why the New Atheists are Missing the Target (2011). Kedua karya ini sangat penting untuk memperkenalkan tokoh yang sangat penting dari kubu Creationist dalam debat dengan ilmuan ateis (Evolusionist). Profesor Lennox akan hadir untuk keluarga besar UKSW dalam webinar “SCIENCE & CHRISTIAN FAITH: A CONVERSATION WITH JOHN LENNOX” yang akan dimoderatori langsung oleh Rektor UKSW, Neil Semuel Rupidara, Ph.D. Diskusi dengan Lennox akan menjadi penutup (puncak) untuk diskusi “Nisbah Iman dan Ilmu” 2020, yang diselenggarakan dalam rangkaian kegiatan perayaan 8 WINDU UKSW.    Melalui latar di paragraf pengantar, Lennox, Profesor (emiritus) matematika dari universitas Oxford ini mengartikulasi permasalahan pokok yang hendak dibahas. Pertama; kaum new ateists tepat menggambarkan diri sebagai “kawanan kucing” yang tidak mudah diurus. Maka, target minimlanya adalah membuat kebisingan. Kedua; agresivitas gerakan mereka terlihat melalui kampanye yang gencar dilakukan di fasilitas publik, debat-debat, wawancara maupun karya tulis, yang antara lain menunjukkan alasan penolakan atas keberadaan Tuhan, yaitu “tidak dapat menikmati kehidupan.” Atau, mereka adalah orang-orang yang sangat khawatir dengan keberadaan Tuhan. Tuhan menjadi penghalang untuk hidup bebas dan menyenangkan.    Secara semantik, penggunaan terma “mungkin/ probably” dalam sebuah kampanye / iklan produk (There’s probably no God) tidak menarik bagi mereka yang kritis. Lennox akan menunjukkan kebenaran yang pertama (yaitu kelompok pembuat bising), tetapi pokok yang kedua, terutama terkait substansi keberatan the-NA menunjukkan masalah mendasar mereka sendiri, bukam masalah agama atau Tuhan. Menjawab kritik dan gugatan the-NA tentang kurangnya bukti akan keberadaan Tuhan, Lennox dengan jernih menunjukkan fakta-fakta keberadaan Tuhan dan kebenaran Kristen.    Sekadar informasi tentang John Lennox, beliau telah berulangkali berdebat dengan para ateis, khusunya the-NA. Dengan Richard Dawkins sekurangnya dua kali, dengan Christopher Hitchens juga dua kali. Selain berdebat langsung, sejumlah karya Lennox adalah untuk menjawab “olok-olokan” para the-NA pada agama dan Tuhan, terutama Kristen. Buku ini merupakan salah satu dari upaya itu, yang ditulis dan dikembangkan dari berbagai perdebatan dengan the-NA sekaligus memberikan argumen yang menunjukkan kekokohan imannya dalam mengolah ilmu. Saya ingat, dalam sebuah seri debat (yang saya lupa persisnya), Lennox menjelaskan interpretasinya yang menakjubkan atas perkataan Yesus: “Akulah pintu.” Menurutnya, “pintu” yang dimaksud merupakan metafora, yang menggambarkan “pengalaman spiritual.” Orang yang mau mengetuk pintu agar masuk melalui Yesus adalah orang yang mau terlibat menjalani pengalaman spiritual bersama Yesus. Berolah ilmu merupakan sebuah pintu masuk ke pengalaman spiritual itu sehingga melalui sains justru orang makin mengenali Yesus. Penjelasan Lennox mungkin tidak persis seperti itu (secara sintaksis), tetapi maknanya tidak jauh dari itu. Pesan ini menjadi penting bagi banyak ilmuan beragama, khususnya lagi akademisi Kristen, yang kerap bimbang seolah berdiri di atas dua rel yang berseberangan.    Dalam momen debat lainnya dengan Christopher Hitchens membahas karya si ateis ini, God is Not Great: How Religion Poisons Everything (2007), Lennox membuka dengan pernyataan yang sangat kuat: Science is not great. Technology poisons everything. Ia lalu menguraikan, bahwa sains masih menghadapi banyak teka-teki yang hanya bisa di-hipotesis-kan, dan bukan sebagai fakta ilmiah yang kokoh untuk dijadikan pegangan final. Technologi juga tidak selalu membawa dampak positif, melainkan banyak dampak negatif yang bahkan mengancam kehidupan manusia.     Kebisingan Para Kucing. Apa yang telah dilakukan the-NA terlihat nyata. Prosentasi ateis berkembang pesat di Eropa dan Amerika. Sejumlah kebisingan yang dilakukan terpantau gamblang. Di Italy matematikawan Piergiorgio Odifreddi membuat kontroversi, terutama pada tahkta Vatikan, melalui esainya berjudul “Mengapa kita tidak bisa menjadi Kristen” (Why we can not be Christians). Tidak hanya disitu, ia juga mengganti Trinitas dengan tiga nama ilmuan, Pythagoras, Archimedes, dan Newton.    Di Inggris, melalui organ humanis dikampanyekan secara terbuka dan vulgar promosi-promosi ateis. Di bus-bus umum kampanye itu dibuat. Di Halte-halte Meme ditebar. Lennox mengisahkan, ateis Jerman ingin meniru Inggris dengan kampanye melalui fasilitas umum namun tidak diijinkan. Entahlah dimasa depan?    Argumen the-NA memang fokus menghabisi Tuhan dan agama. Dalam upaya itu, mereka berusaha menunjukkan melalui “bukti-bukti saintifik” bahwa apa yang diklaim agama lebih dapat dilakukan oleh evolusi (sains). Moralitas, kedamaian, kebaikan, dan sebagainya itu memiliki akar kuat dalam evolusi sehingga bisa dijelaskan. Untuk menjadi manusia baik tidak harus melalui agama, karena sains dapat menyediakannya dengan lebih valid dan terukur. Kepercayaan kepada Tuhan dituduh sebagai delusi, sebuah gejala neurotic yang memiliki akar psikologis karenanya bisa dijelaskan secara lebih meyakinkan oleh neuro-sains. Pokoknya, dengan berbagai argumen psikologi maupun biologi evolusioner the-NA berusaha menunjukkan bahwa Tuhan dan agama tidak lagi relevan.    Lebih jauh, ditunjukkan bahwa Tuhan dan agama justru menjadi sumber kejahatan. Banyak perang disebabkan oleh agama. Timur Tengah hancur-hancuran karena agama. Menara kembar WTC dihancurkan 2011 mengakibatkan hampir 3000-an manusia mati karena agama. Ayat-ayat kitab suci juga menggambarkan wajah agama dan Tuhan yang lalim, otoriter, pendendam, haus darah, dan sebagainya. Dalam bahasa Dawkins, Tuhan hanyalah khayalan (delusi), dan berbagai keajaiban yang diyakini agama hanyalah ilusi. Tokoh-tokoh utama yang menjadi pegangan, seperti Yesus diragukan, bahkan historitas-Nya dipertanyakan. Seperti disebutkan, di buku ini Lennox mempresentasikan banyak bukti “ketidakbenaran” tuduhan agitatif the-NA, yang dengan sendirinya memastikan kebenaran ajaran Kristen. Harus ditegaskan di sini, bahwa di karya ini Lennox menghadapi kritik-kritikan the-NA dalam posisi sebagai intelektual / ilmuan Kristen, karenannya ia berargumentasi dengan menggunakan fakta-fakta ilmiah (bukan fakta biblika semata).    Sembilan bab dari buku ini ditujukan menjawab kritik-kritik the-NA. Sejumlah poin penting dapat saya ringkaskan.    Pertama; the-NA berulangkali menuduh Tuhan dan Agama merupakan musuh dari Rasio/nalar dan Sains (Are God and Faith Enemies of Reason and Science?) Benarkah? Berargumentasi dari ajaran Kristen, jawabannya jelas, tidak! Sejak awal penciptaan di taman Eden, hal pertama yang Allah perintahkan kepada Adam adalah menamai, dan karenanya mengklasifikasikan benda (termasuk hewan dan tumbuhan) dan fenomena. Ini menjadi kegiatan mendasar bagi semua cabang ilmu, yaitu menamai, mengkategori, dan sebagainya. Jadi, titik awal sejarah alam semesta bagi keyakinan Kristen telah dimulai dengan “kegiatan ilmiah.” Alasan lainnya lagi, esensi dari Sepuluh Hukum sudah menginstrusikan agar “mengasihi Tuhan Allah dengan segenap pikiran.” Lennox juga mengutip Alfred North Whitehead yang mengatakan adanya bukti kuat bahwa pandangan dunia alkitabiah terlibat erat dalam kebangkitan ilmu pengetahuan yang meroket di abad keenam belas dan ketujuh belas. C. S. Lewis meringkas sebagai berikut: “Manusia menjadi ilmiah karena mereka mengharapkan hukum di alam dan mereka mengharapkan hukum di alam karena mereka percaya pada pemberi hukum.”    Lennox juga membandingkan Kepler dengan Anthony Flew. Selanjutnya Kepler sebagai seorang Kristen, menunjukkan “kesetiaannya” pada data ilmiah untuk menyatakan planet-planet beredar dalam sebuah garis elips. Pandangan ini melepaskan pandangan dogmatisme agama yang diwarisi dari ajaran Aristoteles, yakni bahwa planet beredar dalam lingkaran bulat sempurna. Betapa dengan segala risiko penolakan dialami Kepler namun ia tetap teguh pada temuan sains. Kepler sadar bahwa ia harus menolak “iman-nya” sendiri, namun ia tidak dapat berbuat lain kecuali berpegang pada bukti dan temuan saintifk. Demikian pula, Anthony Flew yang sempat menyandang julukan sebagai ateis besar abad 20, ketika pencarian saintifiknya membentur kerumitan kompleksitas kehidupan, lalu rasionalitasnya terbuka kepada keniscayaan Tuhan. Ia tidak dapat berbuat lain, kecuali “murtad” menjadi teis (deisme). Flew pun mendapatkan banyak penolakan dari the-NA dan dituduh telah mengalami kemunduran intelektual oleh usia. Betapa sulitnya keluar dari sebuah perangkap dogmatik, sebuah paradigma ke paradigma lainnya atas dasar “fakta-fakta” ilmiah, bahkan oleh saintisme sejenis the-NA.   Tidak hanya menjawab kritik, Lennox juga membalas menyerang dengan mengatakan bahwa para ateis, termasuk Stephen Hawking berusaha keras meniadakan Tuhan dengan cara-cara yang tidak logis. Setelah menemukan hukum-hukum alam begitu persisi, Hawking mengatakan alam tidak memerlukan keberadaan Tuhan. Ia berargumen dalam The Grand Design (2010), bahwa oleh “kesempurnaannya” alam semesta bisa menciptakan dirinya sendiri. Argumen ini dianggap tidak koheren sebab sesuatu harus menciptakan sesuatu yang lain, dan bukan mencipta diri sendiri.    Sikap berbeda diperlihatkan Sir Isaac Newton. Ketika menemukan hukum gravitasi, Newton tidak berkata: “sekarang saya memiliki hukum gravitasi, saya tidak membutuhkan Tuhan.” Newton justru menulis Principia Mathematica yang terkenal dalam sejarah sains, dengan harapan bahwa buku itu akan “membujuk orang yang berpikir” untuk percaya kepada Tuhan. Pesan penting dibalik sikap Newton adalah bahwa hukum fisika dapat menjelaskan cara kerja mesin jet, tetapi tidak menjelaskan bagaimana mesin itu muncul.    Masih banyak pokok penting yang dibahas dibagian ini, seperti Faith and Science, Faith, Proof, and Evidence, Faith and Human Cognity, dan sebagainya. Tetapi, dari semua pembahasannya, saya menyukai kesimpulannya: “Secara epistemis, ateisme mereka buta, anti-sains, dan tidak koheren, meskipun secara emosional para pendukung tampaknya tidak dapat menerima hal ini. Namun, jika seseorang masih bersikeras untuk mengambil pandangan bahwa semua keyakinan adalah keyakinan yang buta, maka ia juga harus mengabaikan Ateisme Baru; karena, seperti halnya ateisme lama, ini juga masalah iman. Sungguh ironis bahwa Ateis Baru adalah contoh klasik dari hal yang mereka benci: mereka dicirikan oleh keyakinan buta bahwa semua keyakinan adalah keyakinan buta. Sungguh ironis bahwa Ateis Baru bahkan tidak melihat bahwa mereka sendiri didorong oleh iman, bahkan ketika mereka berusaha untuk menghancurkannya.”   Kedua; Agama Meracuni Segala sesuatu, benarkah? (Is Religion Poisonous?).    Lennox memulai pembahasan bab ini dengan menampilkan berbagai hasil survei yang menuunjukkan jumlah besar orang berpandangan bahwa agama berbahaya. Terutama, terkait dengan meningkatnya gerakan fundamentalisme Islam, yang disimpulkan sebagai: “memberi pengaruh besar dalam menyiagakan dunia akan bahaya agama.” Juga berbagai survei kepada agama Kristen, yang menyimpulkan kecenderungan yang tidak berbeda jauh, untuk memperkuat argumen the-NA bahwa agama menjadi racun mematikan.    Apakah benar agama Kristen meracuni? Tidak menyangkal fakta banyaknya kekerasan dan kejahatan terjadi atas nama agama Kristen, apalagi sebagai orang Irlandia yang merasakan dampak itu, Lennox berargumen bahwa perlu dibedakan antara “pemerintahan Kristen” dengan “ajaran Kristen.” Ajaran Kristen bersumber dari perintah Yesus, dan perintah yang paling terutama adalah mengasihi, bahkan terhadap musuh. Dengan tegas harus diakui, bahwa setiap tindakan kekerasan dan kejahatan, meski misalnya mengatasnamakan Kristen, bukanlah ajaran Kristus. Sampai di akhir hidup-Nya, Yesus menentang kekerasan dan permusuhan.    Lennox dengan kritis mengurai “aura” the-NA yang justru sangat beracun. Dalam berbagai pengalaman debatnya dengan ateis, khususnya dengan Dawkins ia telah melihat sikap dan gagasan-gagasan mereka mengatasnamakan reasionalitas dan sains, tetapi yang terlihat adalah iman buta yang anti-teis. Mereka menutup mata terhadap segala kehancuran yang ditimbulkan. Lennox menunjuk pengakuan para ilmuan Rusia dan Polandia, yang mengkritiknya: “Dawkins telah kehilangan kontak dengan realitas sejarah abad kedua puluh. Biarkan dia datang ke sini dan berbicara dengan kami, jika dia benar-benar terbuka untuk mendengarkan bukti hubungan antara ateisme dan kekejaman.” Tentu saja, antara lain yang dirujuk adalah Hitler, Stalin, Pol Pot, para pemimpin ateis yang mengatasnamakan ideologi untuk mempraktekkan kejahatan dan kekejaman yang tak terlupakan. Ada contoh kecil lain yang lebih mengesankan. Seorang anak muda di Amerika setelah membaca karya Hitchens, God is Not Great dan mendengar ceramahnya, ia pulang ke rumah dan memberi tahu orang tuanya bahwa dia telah memutuskan menjadi ateis. Orang tua, terutama ibunya shock, dan terus berusaha meyakinkannya untuk kembali kepada iman. Anak itu bergeming. Seketika, hubungan keluarga yang harmonis selama ini, yang dibangun diatas dasar iman, menguap oleh sbeuah racun mematikan yang merampas kedamaian. Sepotong surga yang dihancurkan dalam sekejab oleh racun ateisme. Pengakuan para ilmuan ateis Rusia patut diperhatikan juga, “Kami pikir kami bisa menyingkirkan Tuhan dan mempertahankan nilai bagi umat manusia. Kami salah. Kami menghancurkan baik Tuhan dan manusia.”    Ketiga; Dapatkah Menjadi Bermoral (baik) tanpa Tuhan? (Can We be Good Without God?)   Melawan kengototan Dawkins dan teman-temannya bahwa sains (evolusi) dapat menjelaskan moral, dan bahwa manusia dapat bersikap baik tanpa agama dan Tuhan, Lennox merujuk banyak sumber kredibel yang mengkonfirmasi “kenetralan” sains. Richard Feynman, fisikawan peraih Nobel, misalnya mengatakan bahwa “sains tidak secara langsung mengajarkan yang baik atau buruk…… Nilai-nilai etika berada di luar ranah ilmiah.” Jelasnya, sains tidak memiliki metode untuk memutuskan apa yang etis. Metode sains sama sekali berada diluar urusan etik. Bahkan, setiap kosa kata etis, moral, baik, adil dan sejenisnya sudah selalu terkait dengan Tuhan dan agama, sebab darimana terma itu awal mulanya muncul dan digunakan, kalau bukan dari agama atau setidaknya filsafat? Intinya di sini adalah semua frasa itu tidak muncul dari sains (termasuk evolusi).     Pandangan Holmes Rolston, profesor filsafat agama dan lingkungan (Environmental And Religious Philosopher) di Colorado State University, yang dikutip Sam Harris dalam God is Not Great justru menohok dalam kasus ini: “Sains telah membuat kita semakin kompeten dalam pengetahuan dan kekuasaan, tetapi juga membuat kita semakin tidak percaya diri tentang benar dan salah. Evolusi masa lalu tidak mudah untuk dihubungkan dengan masa depan etis. Tidak ada rute yang jelas dari biologi ke etika – terlepas dari kenyataan bahwa di sinilah kita … Asal usul etika bermasalah.”    Keempat; Benarkan Yesus bangkit dari Kubur? (Did Jesus Rise from the Dead?)   Dalam debat dengan Dawkins terkait The God Delusion, Lennox mempresentasikan bukti-bukti yang mengindikasi kebangkitan Yesus. Dawkins tidak saja mengabaikan, ia bahkan menganggap tidak ada. Tidak mengherankan kalau Lennox kemudian berkesimpulan bahwa the-NA tidak serius untuk terlibat dengan bukti kebangkitan Yesus Kristus. Lebih buruk lagi, keseluruhan sikap mereka terhadap sejarah secara umum dicirikan oleh prasangka pikiran tertutup belaka. Pada kenyataannya, the-NA bukan berdiri di atas sains seperti diklaimnya, mereka membangun “agama baru” untuk menggantikan agama-agama serta Tuhan. Dawkins dan Hitchens misalnya bertindak lebih jauh, dengan mempertanyakan kebenaran historisitas Yesus. Mereka sama sekali menutup mata terhadap bukti-bukti historis keberadaan Yesus.    Mengutip salah satu tokoh terkemuka studi sejarah tentang Yesus, seorang agnostic, Ed Sanders dari Duke University Amerika, yang menceritakan secara detil riwayat Yesus: Lahir sekitar tahun 4 Masehi, disunat, dibabtis oleh Yohanes, memanggil murid-murid, mengajarkan Kerajaan Allah, mengadakan makan malam terakhir dengan para murid, ditangkap dan diadili, murid-muridnya melarikan diri, disalibkan di bawah pemerintahan Pontius Pilatus. Detil-detil hostoris ini persis seperti dicatat dalam Injil. Tetapi, masih banyak informasi detil lainnya yang disampaikan oleh “sejarawan Yesus” ini, yang intinya mengobrak-abrok pandangan spekulatif the-NA yang dasarnya semata-mata sikap anti-teis.    Christopher Tuckett, Prosefor Studi Perjanjian Baru di Universitas Oxford, penulis buku teks Universitas Cambridge tentang Yesus menulis bahwa tidak masuk akal teori yang dibuat-buat tentang keberadaan Yesus sebagai ciptaan Kristen semata. Fakta bahwa Yesus ada, bahwa ia disalibkan di bawah Pontius Pilatus (untuk alasan apa pun) dan bahwa ia memiliki sekelompok pengikut yang terus mendukung perjuangannya, tampaknya menjadi bagian dari landasan tradisi sejarah.    Lennox menuntaskan pembahasan topik ini dengan membeberkan manuskrip-manuskrip “tua” di abad-abad awal tentang kisah Yesus dan Kristen, termasuk kematian dan kebangkitannya dalam versi cerita para bangsawan dan pemikir, baik berkebangsaan Syria, Romawi maupun Yahudi. Argumen-argumen logis dengan mengaitkan narasi Alkitab dan kesaksian atau naskah-naskah non Kristen membuat “bobot ilmiah” dari karya ini tidak dapat diragukan.    Secara gemilang Lennox tidak menyisahkan satu pun tantangan the-NA. Semua serangan the-NA terhadap Kristen dan Tuhan tidak saja dihadapinya, ia bahkan memberikan serangan balik yang mematikan. Tetapi, kekayaan utama dari buku ini adalah, memperkaya khasanah debat dari kubu Kreasionis dengan perspektif seorang ilmuan berdedikasi dan intelektual Kristen. Lennox memperkuat iman para ilmuan kreasionis dan ilmuan beragama (percaya Tuhan), serta secara meyakinkan membuktikan bahwa beriman dan berilmu itu sejalan: ya, sebagai pintu masuk kepada Tuhan! 
Dialektika dalam Webinar   Ditengah situasi dimana banyak akademisi cenderung meninggalkan iman seiring mendalami hasrat dan tegangan keilmuannya. Sekurang-kurangnya, sejumlah ilmuan menganggap iman dan sains begitu berbeda, bahkan bertabrakan sehingga mereka berdiri bimbang di atas dua tepian. Di titik ini, godaan membuang iman lebih kuat lantaran dianggap tidak memiliki evidensi.   Lennox, Professor Matematika Universitas Oxford, juga penyandang Ph.D di bidang filsafat memperlihatkan kebalikannya. Baginya, sains memberikan banyak bukti, baik materil maupun rasional akan kebenaran iman. Diarahkan oleh pertanyaan-pertanyaan kritis yang diajukan moderator, Neil Semuel Rupidara, Ph.D. yang juga Rektor UKSW, terkait relasi Iman dan Ilmu.    Lennox yang dari segi usia sudah sepuh, namun dengan jernih dan tegas memberikan penjelasan-penjelasan mencerahkan. Bahkan, sejumlah pertanyaan audience juga ditanganinya dengan baik.    Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh moderator mencakup antara lain biografi Lennox sebagai ilmuwan dan filsuf Kristen, hubungan dan ketegangan antara iman Kristen dan sains sepanjang sejarah, permulaan alam semesta, asal mula kehidupan dan evolusi, tentang moralitas, kesadaran dan kecerdasan buatan, serta masa depan umat manusia. Pertanyaan-pertanyaan besar dengan durasi waktu dialog yang hanya 70-an menit tentu tidaklah cukup, namun mampu dikelola secara efektif oleh moderator.   Hal penting yang sering luput dari perhatian kita adalah bahwa sains modern yang dimulai abad 16-17 dipioneri / dirintis oleh ilmuan-ilmuan yang memiliki iman Kristen yang kuat, seperti Galilei, Michael Faraday, Pascal, Kepler, Newton, Boyle, dan sebagainya. Mereka peletak dasar sains yang juga memiliki iman yang kokoh. Artinya, mereka menunjukkkan bahwa iman dan ilmu tidak berbenturan. Ilmu yang sering diasosiasikan dengan rasionalitas kerap dianggap sebagai musuh iman. Sebaliknya, Iman dituduh anti sains, irasional, dan sejenisnya. Tuduhan, terutama dari kaum New Atheis (Richard Dawkins CS) yang disebut Lennox sebagai saintisme (menjadikan sains sebagai ideologi) jelas keliru, tidak saja karena sikap dogmatis melainkan juga sikap anti-teis mereka.    Terkait teori penciptaan, Alkitab mengatakan kepada kita bahwa alam semesta memiliki awal. Ini berbeda dengan sains. Terhadap hal ini, kebanyakan saintis mengakui bahwa alam semesta diawali dari peristiwa big bang. Sejauh ini kaum kreasionis dan penganut Tuhan menggantungkan harap pada big bang, sebagai plakat kemenangan iman atas sains. Sejauh sains membuktikan adanya permulaan, di situ Tuhan memiliki tempat yang tidak bisa digerser. Meski, terus juga ada upaya saintis terus mencari alternatif penjelasan non teistik.    Bagaimana pun, big bang merupakan konsep yang diajukan awalnya sebagai “olok-olokan” oleh pendeta Georges Lemaître terhadap ilmuan Edwin Hubble di tahun 1920-an ketika Hubble berteori bahwa alam semesta dimulai dari sebuah atom primordial tunggal. Ide muncul dari hasil pengamatan bahwa galaksi semakin cepat menjauh dari titik kita berada, ke segala arah mencitrakan adanya semacam ledakan yang menciptakan pemencaran. Seterusnya, penemuan radiasi gelombang mikro kosmik di tahun 1960-an ditafsirkan sebagai gema big bang oleh Arno Penzias dan Robert Wilson.   Lennox menegaskan, meski sains nampak mendukung teori ini, yang mengimplistkan adanya titik awal (penciptaan), Iman Kristen tidak dapat digantungkan pada big bang. Bukan karena olok-olok Lemaître, melainkan karena iman mendorong kita untuk terus melakukan pencarian saintifik agar menemukan kebenaran. Iman tentu tidak berkebaratan dengan big bang, multiverse, string theory, m-theory atau apapun yang telah dihasilkan dan terus diupayakan para saintis. Tetapi, iman tidak melekat pada satupun temuan-temuan itu, justru supaya terus membuka ruang pencarian. Iman kepada Tuhan melalui pesan Alkitab, yang memberikan kepastian adalah pada Kejadian 1 ayat 1: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” Artinya, penciptaan itu sebuah kepastian iman. Tidak dapat diragukan. Tetapi detil penciptaan merupakan ruang pencarian sains, yang juga eksplisit dalam narasi penciptaan sebagai perintah Tuhan kepada manusia (Adam), yaitu supaya menamai hewan dalam air, di atas daratan, di udara, juga tumbuh-tumbuhan di taman Eden, serta mengkategorisasinya. Tuhan dalam iman Kristen membuka ruang sains untuk mengekplorasi dan menemukan.    Di sini Lennox sudah membantah tuduhan agama dan iman sebagai anti sains dan irasional. Sebaliknya, Lennox justru menunjukkan bahwa “mengerjakan sains” merupakan mandat di awal penciptaan yang harus dilakukan oleh manusia. Maka, tidaklah mengherankan bila Lennox mengatakan menemukan bukti-bukti iman melalui sains. Bagi Lennox, rumus-rumus matematika sendiri merupakan pembuktian logis atas iman, demikian juga kode DNA, fine-tunning, tatanan benda-benda langit yang teratur dan indah memukau, dan sebagainya.   Pada akhirnya, Lennox menutup dengan pesan untuk selalu bersikap rendah hati. Bahwa dalam dialog, bahkan debat yang melibatkan iman kita harus jujur dan rendah hati, bila ada pertanyaan yang tidak kita ketahui katakan saja kita belum tahu. Kerendah-hatian intelektual (intellectual humility) merupakan sikap iman yang benar, atau bisa juga disebut sebagai sikap “takut Tuhan,” yang merupakan permulaan dari pengetahuan, sebagaimana motto UKSW. Terimakasih Prof.John Lennox atas pengayaannya. Serasa sebagai sebuah khotbah yang penuh berkat. Terimakasih juga Neil Semuel Rupidara Ph.D yang bukan saja memoderatori dialog, melainkan juga dengan “keberanian intelektual (intellectual courage) mengundang ilmuan luar biasa ini di UKSW, meski di kelas virtual. Terimakasih juga para penanya yang ikut memicu diskusi, juga para peserta yang cukup antusias hingga melampaui kapasits ruang zoom. Last but not least: doa pembuka dari pak Iwan Setyawan (PR 1) dan doa penutup dari pak Joseph E.Mambu (PR 4) merupakan bagian utuh dari berkat dialog kritis “Iman dan Ilmu” ini.    Kiranya kita semua diberkati untuk terus bergerak memberkati UKSW, memberkati masyarakat, negara dan gereja yang kita layani. Hiduplah gerba ilmiah kita.

Nisbah iman dan ilmu: Membedah Pemikiran Richard Dawkins

Diskusi “Nisbah Iman dan Ilmu” UKSW 20 November 2020 yang membahas pemikiran Richard Dawkins berlangsung efektif, namun dengan waktu yang sangat terbatas tetap menyisahkan sejumlah pertanyaan penting yang tidak terkupas tuntas. Pertanyaan yang muncul di chat room sangat banyak sehingga admin perlu membaca cepat untuk memilih yang dianggap “sesuai” lalu didistribusikan ke pembicara. Tetap saja tergolong masih banyak sehingga pembicara hanya dapat memberi jawaban secara general. Dengan peserta pendaftar mencapai 1300-an, meski yang menjadi partisipan di ruang zoom hanya 700-an, serta youtube channel 80-an itu bisa dibayangkan “keramaiannya.” Tentu ada yang serius, ada pula yang terkesan ikut ramai, tetapi admin harus bekerja ekstra keras untuk mengawal dan menertibkan kebisingan sekaligus mendistribusi bahan diskusi. Ini faktor teknis yang menyebabkan banyak esensi luput: pertanyaan-pertanyaan mendasar yang belum terjawab tetap mengganjal. Mungkin juga, ini sudah bagian lain dari tantangan belajar online.Diskusi menghadirkan tiga pembicara, yaitu Prof.Herawati Sudoyo, pakar Biomolekuler dari Eijkman Institute, Dr.Karlina Supelli, filsuf dan pakar astronomi dari STF Driyarkara, dan Dr.Neil Semuel Rupidara, pakar Kajian Kelembagaan dan Rektor UKSW. Ibu Herawati sebagai pakar biologi molekuler, bidang yang masih satu “species” dengan Dawkins membahas dari perspektif gen dan DNA; apakah bisa menurunkan “nilai dan moral” dengan potensi menggeser peran agama dan tuhan?Tesis ini penting dibahas lantaran menjadi salah satu fondasi saintifik yang dijadikan Dawkins sebagai evidensi evolusi untuk memperkuat klaim tuhan delusionalnya. Dr.Neil menunjukkan bias-bias dari susunan proposisi Dawkins, sejauh terkait agama dan tuhan yang diilmiahkannya. Ini mudah dipahami, sebab dalam The God Delusion, Dawkins misalnya memutilasi narasi Alkitab dan mengambil hanya “organ-organ” yang mendukung tesis delutif tuhan, tanpa melihat keseluruhan konteks dari ayat penggalannya. Ada jalur-jalur logis khas ilmiah yang secara terang-terangan dilanggar demi menyerang agama dan tuhan, sehingga status saintifik yang disandangnya untuk menyerang agama patut dipertanyakan.Tetapi, Dr.Karlina yang “mengawal” dari sudut pandang Filsafat Ilmu mencoba membersihkan timbangan dari semua karatan-karatan prasangka yang dapat menjebak kita memberikan penilaian yang tidak proporsional (tidak ilmiah) terhadap gagasan-gagasan Dawkins. Sikap skeptis dalam sains merupakan nature dan keniscayaan yang memungkinkan kita terus mencari (inquiry), memodel, marangkai, berfantasi, dan sejenisnya agar memungkinkan pengembangan pengetahuan.Sebagai filsuf juga pakar astronomi ibu Karlina dengan elegan memberikan pemahaman yang insightful. Bahwa sains bukan saja sangat penting tetapi juga indah (sains is both wondeful and necessary). Sains bekerja dengan menguji fakta-fakta empiris, menafsirkan, menjelaskan, bahkan memprediksi gejala. Cakupan sains juga luas, tidak hanya terisolasi di lanskap realitas terbatas. Sains juga sebagai cara berpikir objektif, intersubjektif, rasional, visioner, puitis, imajinatif, dan bernilai praktis. Sejauh nilai-nilai intersubyektif bersentuhan dengan paparan empiris, sains akan mendeteksinya dengan sistem sensor saintifik. Sejauh agama membuat klaim empiris maka sains “berhak” mengujinya dengan metode saintifik. Itulah yang dilakukan Dawkins. Klaim bahwa alam semesta, berdasarkan narasi penciptaan di kitab Kejadian, berumur 5-6 ribu tahun merupakan pernyataan empiris. Alam semesta diciptakan dalam 6 hari juga bersifat empiris. Doa dapat memberi “efek kebaikan” misalnya menyembuhkan, memulihkan, dan sebagainya, juga pernyataan empiris karenanya tidak bisa lolos dari uji sains.Nampaknya ibu Herawati tidak mau masuk “tegangan berbahaya” ini, melainkan hanya sampai pada mengupas “keajaiban” susunan DNA sebagai warisan organik yang menyimpan seluruh informasi kita. Sebuah “big data” yang sangat berguna bagi kemanusiaan dan masa depan. Profesor yang bertanggungjawab atas pembuatan vaksin merah-putih untuk Covid-19 di laboratorium lembaga Molekuler Eijkman ini menyiratkan sebuah kekaguman intelektual, yang dikenal sebagai “natural religion.” Para kosmolog dan fisikawan menatap alam semesta yang maha dahsyat, susunan dan gerakan benda-benda langit dalam satu rangkaian laksana “tarian para dewa” dalam kosakata Fritjof Capra, lalu mengekspresikan kekaguman. Itulah yang dialami Einstein, Newton, Keppler, bahkan Stephen Hawking. Itulah yang disebut natural religion. Sebagai peneliti induktif yang bergelut dengan gen dan DNA ibu Herawati menemukan kekaguman dan kepuasan imajinasi saintifik pada obyek pengamatannya, gen!Insting dan kekaguman yang sama pula yang membawa Anthony Flew, ilmuan yang pernah disebut sebagai “ateis abad 20” memutuskan “murtad” dan memilih deisme. Ia menyimpulkan bahwa mesti ada “disainer super intelek” dibalik keindahan dan kemegahan alam semesta serta kompleksitas kehidupan yang nampak tertata. Flew yakin, bahwa bila menemukan di tengah hutan sebuah taman bunga yang tertata, bersih, terawat dengan sistem irigasi yang memungkikan produktivitas dan sustainabilitas taman, mesti ada pencipta taman, meski kita tidak (belum) menemukannya secara berhadap-hadapan.Terlepas hasil pengujian metode saintifik terhadap “tesis-tesis empiris agama,” apakah terbukti atau tidak, itu soal lain. Tetapi, tidak ada alasan membatasi sains dari pencarian dan pengujian. Sains ingin mengetahui segala sesuatu. Dan, ibu Karlina sebenarnya hendak menunjukkan bahwa di situlah posisi Richard Dawkins, terutama melalui bukunya The Magic of Reality (2011). Dalam kacamata dosen STF Driyarkara ini, tegangan yang terjadi bukanlah antara sains dan agama, melainkan naturalisme dan super-naturalisme. Dawkins tidak menyerang agama, melainkan menyerang super-naturalisme yang berusaha membawa prinsip-prinsip non-alam untuk membahas alam. Bukan kehadiran prinsip non alam itu yang dikhawatirkan, melainkan dayanya membunuh kuriusitas dan semangat inquiry sebagai “urat nadi” sains itu yang berpotensi bahaya. Delusi kolektif misalnya, diartikulisi sebagai bentuk pengorganisasian semangat super-naturalisme yang berpotensi sebagai anti sains, bahkan dalam sejumlah kasus membahayakan kemanusiaan dan menghancurkan martabat. Contoh lainnya, ketika awal pandemi Covid-19, sejumlah ulama agama menyatakan tidak perlu ditakuti karena virus berbahaya itu tidak akan mempan pada “orang-orang beriman.” Bahkan, diinterpretasi sebagai tentara surga untuk menyerang kaum kafir.Dosen Filsafat Ilmu ini membagi Naturalisme dalam dua matra. Pertama; filsosfis. Naturalisme filosofis fokus pada realitas, bahwa dunia fisis-alami merupakan totalitas ada. Tidak ada realitas diluar alam-fisis. Kedua; naturalisme metodologis, yang berkaitan dengan cara kerja sains serta sumber dan justifikasi pengetahuan ilmiah. Berkaitan dengan realitas super-natural, dengan mengutip Huxley, sains tidak menyanggah atau meneguhkannya.Disitulah posisi Richard Dawkins. Bahwa realitas hanya terkait dengan segala sesuatu yang dapat dicerap indra, dideteksi dengan instrumen ilmiah, serta diprediksi melalui model ilmiah. Apapun yang bersentuhan dengan paparan realitas empirik, atau realitas natural, haruslah dimasukkan ke sistem sensor saintifik untuk menguji kadar keilmiahannya. Bahwa, masih banyak hal yang belum bisa terjawab atau terdeksi dengan sensor ilmiah bukanlah alasan untuk lari kepada “kebenaran super-natural.” Mungkin, justru membutuhkan kerja sains yang lebih revolusioner, atau metode sains baru yang lebih radikal.Menurut saya, agama dan iman seharusnya tidak terganggu dihadapan “pengadilan sains.” Tetapi, agama dapat belajar dari temuan sains untuk memperbaiki dan memperkaya interpretasi serta kualitas sikap imannya. Toch, banyak kali para penganut iman Tuhan hanya berkelindan dengan keindahan ayat-ayat suci, baik secara puitik maupun moral insigth, tanpa keseriusan menghidupkannya untuk membangun moral kemanusiaan. Bukti klaim keindahan agama sebagai pembawa damai, kasih, kebenaran, kebaikan, keadilan dan sejenisnya kerap hanya slogan-slogan indah dekoratif yang berbunga-bunga di mimbar-mimbar ceramah dan senjata dakwah. Kita dapat beragama dan beriman, disamping menghidupkan ajaran moral agama dalam tindak keseharian, sambil tetap mengembangkan motode-metode sains untuk menyelidiki “klaim empirik” agama. Di sini proposal POMA (Partially Overlapping Magistrare) perlu dipertimbangkan sebagai pengganti NOMA (Non Overlapping Magistrare) sebagaimana diusulkan Stphen Jay Gould, terutama di lembaga-lembaga pendidikan yang dibangun diatas filosofis religi seperti UKSW.Akhirnya, pertanyaan-pertanyaan mengganjal yang tertinggal dari webinar biarkan disitu, justru agar terus memicu kesadaran kita untuk larut dalam tarian ritual kuriusitas saintifk. Hanya dengan cara itu kita terus bertumbuh: dalam ilmu pengetahuan juga dalam iman!

Webinar: Membedah Pemikiran Dawkins dalam Ragam Perspektif

CCTD UKSW melaksanakan webinar sebagai bagian dalam melaksanakan program dialektika iman dan ilmu. Adapun webinar dengan tema ” Membedah Pemikiran Dawkins dalam Ragam Perspektif,” dilaksanakan tanggal 13 November 2020 pukul 17.00-19.00 wib, via Zoom Clouds meeting dan live channel Yuotube UKSW.    Webinar ini diikuti oleh dosen dan mahasiswa UKSw, serta beberapa peserta dari luar UKSW.Pembicara yang dihadirkan dalam webinar ini mewakili tiga cara pandang terhadap ilmu pengetahuan, yakni: 1) Dr. Suwarto Adi (Dosen teologi UKSW/ memandang dari perspektif teologi); 2) Drs. Agna S. Krave, M.Sc.,Ph.D (Dosen Biologi/ memandang dari perspektif evolusi dan biologi); 3) Semuel S. Lusi (CCTD UKSW/ memandang dari perspektif filsafat).   Buku God Delusion karya Richard Dawkins memang dibuka dengan pengalaman masa kecil dia, yang kurang berani menyatakan pendapatnya tentang agama dan Tuhan kepada orang tuanya. Dalam logika dia, agama dan Tuhan itu tidak bersesuaian dengan ilmu pengetahuan, yang sangat bertumpu pada rasionalitas. Sementara, mungkin pada masa kanak-kanaknya, Dawkins kuatir kalau mendialogkan iman dan ilmu, atau Tuhan dan pengetahuan secara terbuka dengan orang tuanya akan mendapat larangan. Sikap demikian yang kemudian dikritik Dawkins, agama lalu menjadikan anak-anak berpikir tahayul. Selain itu, buku ini juga hendak mempersoalkan tentang Tuhan, yang selalu dikaitkan dengan (kekuatan) supranatural. Tuhan yang bersifat personal pun dalam perspektif Alkitab bagi dia tidak mencerminkan Tuhan yang sesungguhnya. Tuhan yang supranatural itu, menurutnya, tidak logis. Sebab, itu tidak bisa dicerna akal manusia. Sementara, Tuhan Alkitab juga baginya tidak masuk akal, karena mencerminkan hal-hal yang bertentangan dengan logikanya, yang terbatas. Karena Tuhan Alkitab itu, menurutnya, penuh dengan kekerasan, penuh hal-hal yang tidak sesuai nalar umum manusia.    Dawkins secara tegas menyatakan bahwa ateis yang dimaksud di sini adalah seseorang yang percaya tidak ada intelegen kreatif supranatural melampaui dunia fisik dan dunia alam. Selain alam semesta yang bisa diobervasi, tidak ada jiwa yang keluar dari tubuh dan tidak ada keajaiban, keculai fenomena alam yang (bersifat) indrawi yang tidak kita pahami (Dawkins 2006, 14 dst). Bahkan, ketika Einstein membuat pernyataan: “Saya tidak mencoba membayangkan Allah personal; pada struktur semesta hal itu cukup menakjubkan, sejauh hal itu membiarkan indra kita yang tak memadai mengapresiasinya” (Dawkins 2006, 11), buru-buru dia “membela” bahwa Einstein tidak mempunyai iman agawami. Apa yang dia ungkapkan harus dibedakan dengan iman agama supranatural, karena dia tidak pernah menyebutkan nama Tuhan (Dawkins 2006, 13).    Berdasarkan pemikiran Einstein itulah, kemudian Dawkins membuat pembedaan antara agama Einstein, yang bersifat naturalis dengan agama supranatural –yang tak bisa dijangkau akal, atau tahayul. Agama yang terakhir itulah yang disebutnya sebagai igauan, khayalan, delusional. Katanya, “By ‘religion’ Einstein meant something entirely different from what is conventionally meant. As I continue to clarify the distinction between supernatural religion on the one hand and Einsteinian religion on the other, bear in mind that I am calling only supernatural gods delusional” (Dawkins 2006, 15).    Bagi Dawkins, agama supranatural tidaklah harus dipercaya. Karena itu, hal-hal yang di luar akal mesti ditolak. Keajaiban, sebagai bagian dari agama supranatural, hanya igauan saja. Dengan dasar itulah, judul bukunya disebut The God Delusion. Sebab, pada dasarnya, agama seperti itu tidak akan memberi pengaruh apa-apa dalam hidup manusia. Namun, bukan agama seperti itu yang dianut oleh sebagian besar manusia. Tuhan yang bersifat personal itulah yang diyakininya. Selanjutnya, dia mulai membuat tiga jenis keyakinan pada Tuhan yang bersifat personal: Deisme (Tuhan menciptakan dunia, lalu mundur dari kehidupan manusia), Theisme (setelah mencipta, Tuhan masih terlibat dalam kehidupan manusia), dan Pantheisme (Tuhan hadir dalam segala sesuatu yang ada di dunia ini: manusia, alam, benda-benda, dan sebagainya).    Bermula dari sinilah, Dawkins membuat kritik yang tajam terhadap Tuhan personal tersebut. Itulah yang membuatnya, walau dia paham terhadap konsep ke-Tuhan-an, menganut ateisme. Atau, berdasarkan pemikiran logika dan ilmu pengetahuan yang dia hayati, dia membuat pernyataan bahwa tidak ada Tuhan dalam keyakinan (hidup)nya. Apalagi, berdasarkan kitab-kitab, khususnya Kristen, diperlihatkan bahwa Tuhan itu sepertinya kontradiktif. Atau, karena terlalu posesif, Tuhan membuat hidup manusia tidak bebas. Orang mesti terikat pada ritus-ritus dan ajaran-ajaran yang “membelenggu” hidupnya. Demikian juga Yesus. Baginya, Yesus itu tidak lebih baik dari Tuhan dalam PL. Yesus mengajarkan menolak kekerasan, namun sekaligus menerima kekerasan sebagai bentuk penebusan. Mengikuti logika Freud, pengorbanan Yesus, itu adalah sado-masokisme. Membiarkan dirinya didera penderitaan dan kekerasan demi kebahagiaan orang lain.    Bahkan, sebelum itu dia menjelaskan bahwa hampir pasti Tuhan itu tidak ada. Apa dasarnya? Pada bagian sebelumnya, Dawkins sudah berusaha menjelaskan bahwa argumen yang mendukung keberadaan Tuhan itu adalah non-sense: mulai dari penjelasan teologis (akan dibahas tersendiri); penjelasan keindahan karya manusia dan semesta –datang dari siapakah karya musik, puisi, dan lainnya yang indah, kecuali dari Tuhan; pengalaman personal –nanti akan saya kaitkan dengan pemikiran Rahner; pemikiran Kitab Suci –menurut perspektif ilmu pengetahuan, berbagai sumber penulisan itu seringkali bertolak belakang, dan pemikiran teologis. Yang pada ujung akhirnya, Dawkins bilang bahwa Tuhan hampir tidak ada. Dia kembali menegaskan: “A designer God cannot be used to explain organized complexity because any God capable of designing anything would have to be complex enough to demand the same kind of explanation in his own right. God presents an infinite regress from which he cannot help us to escape. This argument, as I shall show in the next chapter, demonstrates that God, though not technically disprovable, is very very improbable indeed.” Artinya, kalau dunia ini mengalami kemunduran, hal itu menjelaskan bahwa Tuhan sebetulnya hampir tidak ada (Dawkins 2006, 109).    Dawkins menjelaskan fenomena kelahiran agama. Atau, lebih spesifik, dia membahas apa akar utama agama. Berdasarkan teori Darwin tentang evolusi, Dawkins menjelaskan bahwa agama itu lahir sebagai produk sampingan proses kehidupan dan seleksi alam yang akan melahirkan orang yang kuat yang bisa beradaptasi dengan alam. Artinya, orang-orang yang kalah, atau mereka yang tidak atau kurang rasional, melalui proses seleksi, akan menyandarkan hidupnya pada sesuatu yang non-rasional, supranatural, yang disebut Tuhan. Jadi, agama itu adalah ekspresi kegagalan, ketakutan, kecemasan. Akibat “kalah” dalam persaingan orang melarikan diri dalam agama. Inilah penjelasannya bahwa agama adalah produk sampingan peristiwa sosial (Dawkins 2006, 200-202).    Apakah ada kemiripan antara agama dengan moral? Kalau iya, di mana titik temunya? Kalau tidak, apa bedanya moral dan agama? Apakah untuk menjadi orang baik, agama diperlukan? Dawkins, sekali lagi, mendasarkan pada teori evolusi Darwin menjelaskan moralitas -yang dinilai lebih dulu ada dibanding agama—juga produk samping dari seleksi alam. Bagaimana penjelasannya, kita ikuti bagian berikut.    Berdasarkan penelitian yang dikutip dari Hause dan Singer, Dawkins menjelaskan bahwa ketika berada dalam situasi sulit yang membutuhkan keputusan etis penting, tidak ditemukan ada perbedaan signifikan antara mereka yang beragama dengan yang ateis. Dalam kasus menyelamatkan orang, misalnya, orang selalu melakukan kalkulasi “mengorbankan sedikit” untuk “menyelamatkan orang banyak”. Artinya, keputusan moral tidak berkaitan dengan keyakinan agama, tetapi dengan kesadaran moral –versi Kant—dan tugas absolut seseorang untuk berbuat baik berdasarkan kebebasan. Karena itu, Dawkins berkesimpulan: “Kita tidak membutuhkan Tuhan untuk menjadi baik atau jahat” (Dawkins 2006, 226).    Ujung akhirnya, Dawkins menyarankan supaya anak-anak tidak dipaksa “menelan” ajaran orang tuanya tentang Tuhan dan Agama. Karena, menurutnya, memaksa atau mendorong anak-anak memiliki iman adalah pelecehan (Dawkins 2006, 315). Mereka sesungguhnya belum berpikir tentang inti iman itu seperti apa. Mengutip Nicholas Humphrey, lebih lanjut Dawkins menyatakan: “Pendidikan agama dan moral, khususnya anak-anak yang diterima di rumah, di mana orang tua dibebaskan –bahkan diharapkan—menentukan bagi anak-anak mereka apa yang dinilai sebagai kebenaran dan kepalsuan, benar dan salah” (Dawkins 2006, 326) adalah kekaliruan. Di sinilah awal mula pemaksaan keyakinan terjadi. Selanjutnya, dia menegaskan bahwa “Berkaitan dengan hal itu, orang tua tidak mempunyai izin yang diberikan Tuhan (God-given licence) untuk menanamkan atau membentuk anak-anak mereka (sesuai pilihan mereka), bagaimanapun caranya: tidak ada hak untuk membatasi wawasan (horizons) pengetahuan anak-anak mereka, untuk mendidiknya dalam suatu atmosfer ajaran dan tahayul, atau memaksa mereka mengikuti jalan sempit dan sulit atas keyakinan mereka” (Dawkins 2006, 326). Baginya, iman haruslah rasional, dan pendidikan menjadi kunci penting. Jangan sampai pendidikan menjadikan anak-anak mengembangkan pikiran tahayul dan tidak rasional. Intinya, Dawkins menghendaki: “We want children to know why it is they believe what they believe and to defend it” (Dawkins 2006, 337)    Webinar ini menarik, karena ketiga pembicara berupaya membongkar pemikiran Dawkins, dan meletakannya dalam kacamata iman. Ketiga pembicara bersepakat bahwa dalam melihat iman dan ilmu harus menggunakan metode atau pisah bedah ilmiah yang tepat. Dawkins salah menggunakan pisah bedah ini, dan memaksakan mengkaji posisi iman dari perspektif ilmu pengetahuan modern.    Beberapa peserta dalam diskusi ini juga ikut mempertanyakan alur pikir Dawkins dan pengujian pisau bedah yang digunakan untuk menyerang agama.Pada akhirnya Dawkins menyerang agama dengan pisau sains, namun ia tidak memahami cara kerja sains dalam menunjukan objektivitas iman. Ia hanya menggunakannya tanpa menjadi seorang saintifik yang menggunakan pisau tersebut secara tepat.

Webinar: Liberal Arts Membentuk Pemimpin Masa Depan

CCTD UKSW melaksanakan Webinar dengan tema “Liberal Arts Membentuk Pemimpin Masa Depan.” Webinar tersebut dilaksanakan tanggal 6 November 2020, pukul 17.00-19.00 wib, dengan menggunakan aplikasi Zoom Clouds Meeting dan disiarkan live lewat chanel Youtube UKSW. Adapun pembicara dalam webinar ini adalah 1) Dr. Sunardi (Dosen FKIP UKSW); 2) Izack Y.M. Lattu, Ph.D (Pusapdem UKSW); 3) Esthi Susanti Hudiono (Pengamat seni berdampak pendidikan) 4) Semuel S. Lusi (CCTD UKSW). Keempat pembicara memaparkan tentang bagaimana Liberal Arts memberi stimulus dalam dunia akademik, untuk melahirkan DNA pemimpin dari pendidikan tinggi.    Kerapkali Liberal Arts (LA) dioposisikan dengan pendidikan profesional atau vokasi (kejuruan). Sepintas kesan, bagi kebanyakan praktisi pendidikan tinggi, mengadopsi LA akan membebani Prodi menyebabkannya tidak bisa maksimal membentuk dan mengakselerasi profesionalitas mahasiswa lantaran “harus berbagi subyek” dengan LA. Cara pandang demikian menyimpan asumsi bahwa LA bukanlah bagian integratif dari proses pembentukan profesionalitas mahasiswa. Bagaikan calon spesialis kedokteran mata tidak mau membuang waktu mempelajari homo sapiens dan fungsi organ-organ tubuh lainnya, atau bidang dekatan lain seperti psikologi, apalagi agama (religiusitas), karena dianggap tidak terkait dengan organ mata. Benarkah demikian?    Fokus investigasi Stross melalui bukunya A Practical Education: Why Liberal Arts Major make Great Employees (2017) adalah pada alumni Universitas Stanford yang bukan jurusan Teknik, melainkan dari jurusan humaniora dan sains serta yang memilih jurusan lantaran mengikuti nurani dan passioan ketimbang pertimbangan kemudahan mendapatkan pekerjaan melalui jalur linear (keahlian khusus). Kelompok ini dianggap paling rentan menghadapi ketidakpastian dalam upaya memulai mencari pekerjaan, apalagi membayangkan jenis karier professional. Stross tidak saja mewawancari para alumni melainkan juga “bos/atasan” tempat alumni bekerja. Sampling ini membuat karya Stross menarik karena mengungkap informasi-informasi penting yang sangat dibutuhkan, terutama bagi pengembangan pendidikan Liberal Arts. Disamping membahas “alumni LA Stanford,” banyak juga dibahas sejarah dan pergulatan sejumlah pimpinan (presiden/ rektor) college dan universitas terkait penerapan Liberal Arts, membuat buku ini sangat kaya informasi dan pengetahuan.    Bagaimana hasilnya? Lulusan “non spesifik/vokasi” ternyata banyak juga yang diterima kerja, bahkan di Silicon Valley (SV) yang memang bertetangga dekat dengan Stanford. Lainnya bekerja di tempat lain atas rekomendasi alumni atau melalui koneksi alumni. Lebih-lebih lagi para pengusaha di SV tidak saja menyukai lulusan Stanford, di banyak kesempatan mereka memilih jurusan LA di Stanford. Para majikan tempat alumni bekerja mengakui mereka berkontribusi secara konkret dan ketika diberi tanggung jawab yang lebih besar dapat menghasilkan lebih banyak prestasi. Apa yang dapat dikontribusikan para alumni tersebut sepenuhnya didapatkan di bangku kuliah. Namun, dan ini catatan penting, “alumni LA umumnya kesulitan mendapatkan pekerjaan pertama.”   Ada lulusan jurusan filsafat menjadi manajer di perusahaan kereta api, alumni jurusan sejarah menjadi bendahara perusahaan navigasi, ada yang menjadi penulis, pengacara, bahkan alumni jurusan agama menjadi programer dan pengusaha start up sukses, dsb. Menariknya lagi, testiomoni para alumni berdasarkan pengalaman mereka di dunia kerja menyimpulkan bahwa studi seni liberal terbukti sangat praktis sehingga membantu mereka mengembangkan inisiatif dan menangani masalah-masalah teknis dalam pekerjaan.   Secara gemilang Stross membahas saling belajar antara Harvard University, Stanford University (didirikan 1885 oleh suami istri Lelan Stanford) dan the University of Virginia (didirikan 1823 oleh Thomas Jefferson, Presiden ketiga Amerika 1801-1809). Tepatnya, bagaimana Stanford dan University of Virginia belajar dari Harvard. Sebagai pengusaha sukses dengan pengalaman mengelola sumberdaya manusia Lelan Stanford tahu persis lulusan macam apa yang dibutuhkan oleh industri dan masyarakat California. Melalui kacamata bisnisnya tuan Stanford melihat kurikulum Harvard tidak praktis karenanya ia merencanakan mendirikan universitas yang un-Harvard. Stanford memvisikan universitasnya akan membekali para lulusan dengan keterampilan praktis untuk menjawab kebutuhan kerja di seluruh California. Limapuluhdua (52) tahun sebelumnya, ketika Thomas Jefferson akan mendirikan Uiversity of Virginia, ia juga tidak mau memodel Harvard karena menganggapnya sangat teknis dan vokasional: ia menghasilkan para menteri, pengacara, dokter, politisi, dan sebagainya. Jefferson ingin setiap mahasiswa di University of Virginia diberi “pilihan yang tidak terkendali” (uncontrolled choice) dalam merencanakan kuliah. Apa pun yang dipikirkan mahasiswa untuk meningkatkan potensialitasnya dapat dimungkinkan oleh universitas, karenanya bagi Jefferson pilihan tidak terkendali itu adalah Liberal Arts.   Pendidikan vokasi (applied science) di Amerika diawali berdirinya The U.S.Military Academy tahun 1802 yang fokus di bidang teknologi untuk menghasilkan para enginer. Menyusul berbagai jenis pendidikan yang memilih fokus ke pertanian, militer, teknik, sains dan sebagainya. Pendidikan nir laba yang juga berdiri di sekitar 1800-an justru fokus pada kursus singkat di bidang pembukuan, aritmatika, korespondensi bisnis, dan tulisan tangan. Gerakan menuju pendidikan profesional terapan makin menyebar luas setelah berlakunya Morrill Act tahun 1862. Morrill Act atau dikenal juga dengan Land-Grant College Act of 1862 memberikan hibah tanah kepada negara bagian untuk mendanai pembangunan dan pengembangan pendidikan tinggi yang fokus pada “pertanian dan seni mekanik,” lalu mengilhami berkembang luasnya pendidikan berbasis kejuruan.   William Barton Rogers, alumni the College of Williams and Mary mendirikan Massachusetts Institute of Technology (MIT) tahun 1861 sekalian dengan museum fine arts. Menariknya, meski MIT fokus di riset teknologi ia menerapkan Liberal Arts sejak awal. Disain kurikulumnya didasarkan pada apa yang dikenal sebagai Rogers Plan yang bertumpu pada tiga prinsip pokok, yaitu nilai pendidikan dari pengetahuan yang berguna, kebutuhan “belajar sambil melakukan”, dan mengintegrasikan keterampilan profesional dengan Liberal Arts. Tidak mengherankan kalau alumni-alumni MIT banyak juga yang menjadi pemimpin berkaliber dunia, antara lain Kofi Anan (Sekjen PBB dan penerima Nobel Perdamaian), William D. Nordhaus (penerima Nobel bidang Ekonomi tahun 2018), George F. Smoot (penerima Nobel bidang Fisika 2006), Youssef Boutros Ghali (menteri Ekonomi Mesir), Yahya Muhaimin (menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI), Benjamin Netanyahu (PM Israel), Tony Tan Keng Yam (Presiden Singapura), dan masih banyak lagi. Banyak alumni MIT langganan sebagai penerima nobel untuk berbagai bidang, seperti Fisika, Matematika, Ekonomi, Perdamaian, dan sebagainya.    Charles W. Elliot merupakan salah satu anggota pendiri yang juga menjabat sebagai profesor kimia analitis di MIT. Elliot kemudian terpilih menjadi Presiden di Universitas Harvard (1869) setelah mengajukan proposal Reformasi Pendidikan Tinggi Amerika melalui dua seri artikel yang diterbitkan di jurnal terkemuka The Atlantic Monthly. Konsepsi pembaruan pendidikan Elliot tidak hanya mencakup kurikulum, melainkan kegunaan utama pendidikan yaitu pengembangan karakter melalui pengembangan spiritualitas. Elliot menekankan pada kebebasan mahasiswa membuat pilihan cerdas, dan menolak pendidikan yang memberikan pelatihan kejuruan atau teknis khusus. Di masa kepemimpinanya di Harvad itulah Elliot mengadopsi sistem elektif (elective system) yang memperluas cakupan mata kuliah yang ditawarkan kepada mahasiswa dan menyediakan pilihan tak terbatas sehingga mengizinkan mahasiswa memilih sendiri program studi mereka. Tujuannya agar memungkinkan mahasiswa menemukan “kecenderungan alami” mereka dan melanjutkannya kedalam studi khusus. Model elective ini kemudian memberi ciri khusus pada pendidikan berbasis Liberal Arts. Elliot menjadi presiden termuda di di Harvard pada usia 35 tahun.   Studi Stross juga mengungkap fakta menarik lainnya. Misalnya merujuk sebuah survei oleh Asosiasi Kolese dan Universitas Amerika tahun 2013 menemukan 95% pengusaha setuju bahwa perusahaan mereka memprioritaskan pekerjakan orang dengan keterampilan intelektual dan interpersonal agar membantu berkontribusi pada inovasi di perusahaan. 93% setuju dengan pernyataan bahwa “kandidat menunjukkan kemampuan berpikir kritis, berkomunikasi dengan jelas, dan kemampuan menyelesaikan masalah kompleks lebih penting daripada jurusan kesarjanaan mereka. Juga, survei Wall Street Journal tahun 2015 terhadap para eksekutif Amerika menunjukkan sebanyak 92% menyatakan bahwa keterampilan lunak (soft skill) sama atau lebih penting dari keterampilan teknis, dan 89% mengatakan kesulitan menemukan kandidat dengan keterampilan soft skill. Temuan ini dapat membawa kita pada kesimpulan yang tak terhindarkan, bahwa pendidikan berbasis Liberal Arts merupakan pilihan yang niscaya. Dia menjadi kebutuhan di dunia yang dilanda disrupsi (mengalami perubahan fundamental), kebutuhan kerja dan spesifikasi yang tidak bertahan, kebutuhan akan kompetensi pemikiran kritis, daya adaptasi dan sejenisnya.    Ketika menyampaikan pidato peneguhan sebagai presiden Stanford University pada 1 September 2016, MARC Tessier-Lavigne menekankan dukungannya pada LA, padahal dia sendiri adalah ahli di bidang brain development (Psikologi) dan juga sempat mendalami STEM (sains, teknologi, enginer dan matematika). Ia merupakan salah satu pioner dalam bidang pengembangan bioteknologi dan neurosains. Tessier-Lavigne bahkan mengkritik orang tua mahasiswa dan para politisi yang hanya memaku pilihan studi pada STEM. Baginya, keterampilan terpenting yang perlu diberikan kepada mahasiswa adalah penalaran kritis dan moral, ekspresi kreatif, apresiasi terhadap keragaman, yang hanya dapat dipersiapan melalui pendidikan LA secara masif. Tessier-Lavigne menerangkan bahwa istilah “liberal” dalam “pendidikan liberal” mengacu pada “membebaskan pikiran”, pembebasan yang terancam oleh “tekanan yang memuncak untuk fokus kejuruan” (the “liberal” in “liberal education” referred to “liberating the mind,” liberation that was threatened by “the mounting pressure for a vocational focus”). LA juga membantu mempersiapkan mahasiswa memiliki kemampuan beradabtasi seumur hidup. Sang presiden lalu membuat tagline baru di Stanford, yaitu “the liberal is the vocational,” serta mempopulerkan konsep terkait lainnya yakni, “a broad-based education” sebagai ‘perlawanan’ terhadap pendidikan kejuruan yang fokus pada bidang spesifik.    Pandangan umum ini nampaknya bukan menutup mata terhadap banyak hasil studi yang membuktikan kebutuhan dunia kerja akan kompetensi LA, melainkan karena merasa ‘aneh’ dengan status “serjana umum/bebas” yang secara literal terlihat tidak menunjuk keahlian apapun. Karya Stross membuktikan bahwa ketika para alumni LA diberi kesempatan bekerja, pengalaman lapangan mereka mengafirmasi kekuatan LA sebagai sebuah kejuruan karena menjadi kebutuhan praktis yang memberi kontribusi besar di tempat kerja. Umumnya diakui, bahwa kesulitan lulusan LA adalah pada kesempatan mendapatkan pekerjaan pertama. Jarang ada lowongan kerja bagi sarjana LA, karena lowongan formal selalu untuk titel serjana dengan keahlian khusus seperti sarjana kedokteran, sarjana ekonomi, akuntansi, hukum, teknik, dsb. Maka, Stanford terutama di “Biro Perencanaan Karier” harus bekerja keras juga untuk “sebuah kampanye” meyakinkan para pemilik pekerjaan untuk tidak ragu memberi kesempatan. Seperti telah dikemukakan, studi Stross menunjukkan, bahwa ketika mendapatkan kesempatan lulusan LA cepat belajar dan segera menonjol. Lebih-lebih lagi, secara umum, bayaran untuk sarjana LA pada puncak karier hanya berada dibawah bayaran untuk keahlian di bidang literasi digital, dan berarti lebih tinggi dari bayaran pengacara, dokter, insinyur dan lainnya.   Masih kurangkah bukti, bahwa LA benar-benar sebuah kejuruan? Apakah konteks Indonesia sama atau berbeda sama sekali? Nampaknya belum tersedia riset atau hasil survei untuk dijadikan pijakan kesimpulan, tetapi bukankah di sekitar kita tidak kurang bukti orang-orang yang bekerja tidak lagi sesuai bidang kejuruan ketika kuliah? Atau setidaknya, mereka nampak sudah meng-upgrade kompetensinya dengan mendalami juga bidang-bidang lain? Jadi, mengapa pendidikan tinggi di Indonesia masih ngotot dengan pendidikan keahlian dan kurang membuka diri bagi LA? Bagaimana pula dikaitkan dengan konsep “Kampus Merdeka” dari Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Nadiem Makarim? Apakah rancangan itu mengarah ke penerapan Liberal Arts di Indonesia, sebagaimana di almamater S2-nya Harvard University? Bagaimana pula perguruan tinggi menyikapi atau memahami konsepsi mas manteri itu?    Di UKSW Rektor Neil S.Rupidara, Ph.D sudah banyak kali berbicara, baik di internal kampus maupun di media dan ruang-ruang diskusi publik tentang semangat pendidikan Liberal Arts. Secara historis UKSW dibangun diatas semangat LA. Sejak rektor pertama Dr.Oeripan Notohamidjojo disain kurikulum pendidikan di UKSW sudah mencerminkan kentalnya ciri LA. Bahwa ditengah perjalanan mengalami abrasi merupakan tugas mulia untuk mengembalikan roh itu. Dengan demikian, UKSW setidaknya sedang dalam proses “revitalisasi” elemen-elemen LA sesuai semangat zaman. Mungkin karena itu, Liberal Arts memang sebuah kejuruan. Namun, alasannya tentu bukan hanya itu!

Ateisme tak bisa tanpa Tuhan

Memberikan Kata Pengantar pada karya Frank Turek ini, Ravi Zacharias, seorang apologet mantan ateis yang pernah berdebat langsung dengan Dawkins dan para ateis lainnya, mengawali dengan menceritakan sebuah “insiden kecil” dalam debat antara Richard Dawkins dan Pendeta Anglikan Inggris, Giles Fraser pada Februari 2012. Seperti biasanya, Dawkins menggebu-gebu lancarkan serangan ke Tuhan dan agama, sambil mengemukakan hasil jajak pendapat yang menyimpulkan bahwa kekristenan di Inggris telah memudar. Jajak pendapat yang diadakan Richard Dawkins Foundation for Reason and Science itu menemukan 2/3 responden tidak dapat menyebutkan Injil pertama dalam Perjanjian Baru. Rupanya data itu dijadikan dasar penarikan kesimpulan.

Pengambilan kesimpulan yang sembrono itu tidak disia-siakan sang Pendeta. Ia mempersoalkan indikatornya, tetapi dengan sangat cerdik langsung membuktikannya. Fraser mengkonfirmasi, apakah sebagai biolog dan pakar evolusi, Dawkins mengusai karya Charles Darwin, On the Origin of Species (1876) mengingat buku itu adalah semacam “kitab suci” teori evolusi? Dawkins mengiyakan. Lalu, Fraser melanjutkan, “apakah Anda bisa mengucapkan secara lengkap judul karya Darwin itu?” Mengingat judul aslinya memang cukup panjang (On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life), Dawkins dengan agak gugup memikirkan jawaban, menenangkan diri beberapa saat lalu memulai dengan lima kata pertama yang familiar. Tetapi, segera tersandung di kata berikutnya dan berseru, “Uh…..,” akhirnya, “Oh my God.” Dawkins tidak dapat mengingat judul lengkapnya. Debat seharusnya sudah berakhir TKO! Bukan karena sang atheis fundamentalis memanggil “tuhan” dalam frustrasinya, melainkan karena membuktikan bahwa cara dia membuat kesimpulan jauh dari standar saintifik, yang bahkan mencelakakan diri sendiri. Mengikuti logikanya sendiri, bukankah disimpulkan saat itu juga, bahwa evolusi telah memudar, lantaran salah seorang ahli pendukung utamanya tidak dapat mengingat judul “kitab suci” evolusi? Kisah itu persis dibahas dengan sangat cerdas oleh Turek dalam karya ini. Turek sendiri seorang apologet kawakan yang telah menulis sejumlah buku terkait, termasuk salah satu yang bestseler ditulis bersama Norman L. Geisler, “I Don’t Have Enough Faith to Be an Atheist” (2004). Intinya, Turek mengatakan bahwa para ateis selalu tergantung pada teis (tuhan), untuk menyusun premis-premis pembangun argumen melawan tuhan. Tanpa berpijak tuhan (dan agama) ateis tidak punya apa-apa untuk berargumen. Ateis mencuri dari Tuhan untuk menyerang tuhan. Judul “Stealing from God: Why Athetists Need God to make their Case” memang tidak berlebihan, dengan dukungan bukti-bukti argumen logis maupun contoh-contoh kasus yang kaya. Tidaklah mengherankan, bahkan diendors seorang ateis seperti Lee Strobel: “Sebagai jurnalis di Chicago Tribune, saya meliput beberapa kejahatan mengerikan yang membantu memperkuat ateisme saya. Saya tidak menyadari bahwa saya melakukan serangkaian kejahatan intelektual dengan mencuri dari Tuhan untuk melawan Dia.

Frank Turek dengan cemerlang mengekspos C.R.I.M.E.S. ateisme dengan cara yang tidak akan pernah Anda lupakan.”Turek memformulasikan judul buku ini secara lebih inspiratif, yang menggambarkan keseluruhan konten yang dibahasnya, “Stealing from God: The Intellectual CRIMES of Atheism. CRIMES tidak saja menjelaskan makna terma Inggris yang berarti “kejahatan” (lantaran “mencuri dari Tuhan”), melainkan juga akronim untuk membuktikan enam (6) “lanskap realitas Tuhan” yang digunakan (dicuri) ateis untuk menyerang tuhan (Catatan: pembedaan Tuhan dan tuhan sengaja saya buat dengan alasan saya sendiri, bukan dari penulis buku ini). Prinsipnya, Turek mengatakan bahwa “….pandangan dunia ateis baru (new atheists) tidak dapat menjelaskan kebenaran paling dasar dari kenyataan dan aspek terpenting dalam kehidupan” (hal.20). Itu menjadi alasan, mengapa mereka tetap tergantung pada Tuhan untuk menyerang. Turek memulai dengan terlebih dahulu mendudukkan sebuah topik esensial, yang menurut saya sangat menohok. Topik yang dipersoalkan itu adalah tentang “jenis tuhan” yang diserang kaum new ateis dengan Tuhan yang dipercaya kaum beragama. Dengan menunjuk perbedaannya sudah bisa diyakinkan serangan yang salah sasaran, seolah memasukkan “angin” ke dalam balon lalu mengklaim telah meringkus angin. Ambilah contoh, para new ateis menyebut tuhan, misalnya dalam the God Delusion karya Richard Dawkins, sebagai dewa (Perjanjian Lama) yang cemburu, seorang control-freak picik, tidak adil, tak kenal ampun, pembersih etnis yang haus darah dan pendendam, seorang misoginis, homofobik, rasis, pembunuhan bayi, genosida, filicidal, megalomaniacal, sadomasochistic, penindas jahat,” dan sejenisnya. Di sisi lain Turek mengidentifikasi Tuhan kaum teis adalah, antara lain Self-existing (Ada dengan sendirinya, tidak disebabkan sesuatu yang lain dan sebagai dasar dari semua makhluk), Infinite (Tak Terbatas), Omnipotent & Omnipresent (Mahakuasa, dapat melakukan apapun yang mungkin secara logis, juga Mahahadir yaitu serba ada di mana-mana), Omniscient (Mahatahu, mengetahui segalanya, mengetahui semua keadaan aktual maupun yang mungkin terjadi), dan lainnya seperti Maha Kudus, Maha Sempurna, Maha Kasih dan sebagainya.

Menurut saya, dengan menunjukkan perbedaan itu, perdebatan sudah selesai. Kalau para new ateis “menyerang dewa jerami,” mengapa para teis ikut sibuk? Toh, tidak ada kaitannya. Itulah sebabnya, sebagai apologet Kristen, Turek cukup fair. Menurutnya, ketimbang mendebatkan “Apakah Tuhan itu ada?” lebih menarik memperdebatkan pertanyaan “Apa yang lebih menjelaskan realitas: ateisme atau teisme?” Dengan itu keduanya memiliki beban pembuktian untuk mendukung posisi masing-masing. Ateis tidak bisa begitu saja mengidentifikasi apa yang mereka anggap sebagai kekurangan teisme, melainkan harus membuat kasus yang meyakinkan bahwa segala sesuatu disebabkan oleh materi dan hanya terdiri dari materi, termasuk misalnya awal alam semesta, the fine-tuning, hukum-hukum alam, hukum-hukum logika, informasi (kode genetik), pikiran dan kesadaran, free will, tujuan moralitas, dan kejahatan (Evil).

Mengacu pertanyaan “Apa yang lebih menjelaskan realitas: ateisme atau teisme?” itulah Turek merancang serangan dan membangun argumen dengan menggunakan keenam variabel realitas akronim CRIMES. Keenam area realitas yang diidentifikasi (sebagai yang dicuri) itu adalah Causality, Reason, Information & Intentionality, Morality, Evil dan Science. Keenam argumen itu dibahas masing-masing secara memadai dalam bab tersendiri.

Pertama; CAUSALITY, no one created something out of nothing? Meragukan hukum kausalitas (seperti misalnya skeptisisme David Hume) adalah meragukan hampir semua yang kita ketahui tentang realitas, termasuk kemampuan bernalar dan untuk melakukan aktivitas saintifik. Semua argumen, semua pemikiran, semua sains, dan semua aspek kehidupan bergantung pada hukum kausalitas. Poin pentingnya, apakah segala sesuatu memiliki awal/permulaan? Belum ada argumen meyakinkan untuk membantahnya. Stephen Hawking pun percaya itu. Dalam perayaan ulang tahun Hawking ke-70, kosmolog Alexander Vilenkin (yang merupakan seorang agnostik) berkata: “All the evidence we have says that the universe had a beginning.” Tetapi, pertanyaan utamanya lalu, siapa atau apa yang menyebabkan permulaan segala sesuatu? Kaum ateis berargumen bahwa alam semesta menjadi penyebab untuk “ada” nya sendiri, dan mengatakan bahwa hanya membutuhkan waktu untuk membuktikannya. Jadi, mereka mengkalim diri “benar, tetapi butuh waktu.” Terakhir, Lawrence Krauss dalam karyanya A Universe from Nothing: Why There Is Something Rather than Nothing (2012) memberi argumen bahwa “oleh fluktuasi kuantum, segala sesuatu dapat berasal dari Ketiadaan (Nothing).” Tetapi, lewat penjelasan berbelit tanpa bisa menjelaskan sesuatu pun tentang Nothing itu, Krauss lalu mengatakan (mungkin dengan nada agak frustrasi), bahwa “semua hal yang dimulai mungkin memiliki penyebab, bahkan jika penyebabnya agak kabur dan tanpa tujuan.” Ia meragukan kausalitas juga? Setelah menunjukkan keraguannya, Krauss mengatakan bahwa hal terpenting adalah segala sesuatu yang dikenali sebagai fisik pasti memiliki penyebab fisikal. Lantaran Tuhan bukan realitas fisika maka argumen Krauss sudah tidak relevan, patah dengan sendirinya.

Kedua; REASON. Semua ilmuan, termasuk ateis menerima adanya hukum logika (laws of logic). Pertanyaan utamanya adalah, apakah hukum logika bersifat materil atau imateril?. Tidak dapat disangkal lagi, imateril. Nah, kalau demikian mengapa ateis ngotot bahwa realitas itu hanya bersifat materil? Atau, mereka terpaksa harus menegasi hukum logika? Turek juga menggunakan argumen Parmenides tentang hukum non-kontradiksi logis: ketika Anda mengatakan tuhan tidak ada, sesungguhnya anda telah terlebih dahulu harus mengakui adanya tuhan (sebagai sesuatu dalam pikiran Anda), barulah berdasarkan itu Anda dapat bersikap. Bagaimana menolak atau mendiskusikan sesuatu yang “tiada?” Bukankah itu kontradiksi?

Ketiga; INFORMATION & INTENTIONALITY. Seandainya Yoyok seorang ateis, berjalan-jalan di suatu pagi, menatap ke langit yang cerah, tiba-tiba terlihat awan menggumpal membentuk tulisan, “HAI YOYOK, INI AKU ALLAH. HENTIKAN BUALAN MU SEKARANG!,” apakah Yoyok akan mengatakan bahwa itu sebuah kebetulan? Meski, memang sebuah fenomena alam yang “tak biasa”? Dengan segera pula ia menemukan rumus fisika, menjelaskan kecepatan angin dalam tingkat tertentu, jenis awan tertentu, kadar materi dalam gumpalan dengan jumlah tertentu, lalu membentuk formasi tertulis secara persisi, lalu berlogika: dengan waktu yang cukup, awan akan terbentuk seperti itu secara alami karena terdapat semacam evolusi awan. Apakah penjelasan Yoyok masuk akal? Tentu saja! Dapatkan hukum alam yang disebut buta oleh kaum ateis, membentuk formasi kebetulan yang begitu persisi, sesuai dengan nama yang melihat serta orientasi religiusnya, dan bahkan lebih berupa sebuah pesan “yang cocok” untuknya? Itulah yang terjadi dengan argumen DNA, yang oleh Stephen Meyer disebut sebagai tandatangan Tuhan dalam karya bestsellernya Signature in the Cell: DNA and the Evidence for Intelligent Design (2009). Lewat penelitian DNA Mayer menunjukkan bahwa setiap orang memiliki nama unik lebih dari tiga miliar huruf yang ditulis dalam sel yang begitu kecil sehingga tidak terlihat dengan mata telanjang. Itulah kode genetik yang menyimpan informasi lengkap laksana big data subyektif yang menyimpan seluruh data diri Anda. Masalahnya bukan hanya itu, fine-tuning jagad raya pun merupakan “tandatangan Tuhan” lainnya yang tak mudah dibantah. Namun. dalam berbagai perdebatan, para atheis, misalnya Michael Ruse menyebut kesimpulan Mayer “terlalu religius, bukan saintifik,” ahli kimia Peter Atkins mengatakan “nonsense,” dan biolog Peter Ward mengatakan, “hal yang supernatural tidak dapat diuji.” Jadi, sebuah argumen klasik rupanya masih valid didengungkan di sini: “mungkinkah sebuah mesin ketik (atau katakanlah komputer) diberikan kepada jutaan monyet yang diwarisi turun temurun, akankah suatu saat mereka secara kebetulan dapat menghasilkan sebuah karya Shakespeare?”

Keempat; Morality. Semua orang, termasuk ateis peduli atas moralitas. Meski kaum ateis megatakan evolusi buta, namun kenyataan bahwa manusia mengimpikan kebaikan. Tidak ada yang mendukung NAZI secara moral, tidak ada yang mendukung terorisme, dan bila seorang bocah diculik dan dimutilasi semua orang pasti sepakat itu tindakan tak bermoral. Lalu, darimana sumber moralitas? Kaum ateis mengatakan dari evolusi, ada juga yang mengatakan moralitas tidak bersifat obyektif, dan sebagainya. Tetapi toh, ada standar tertentu yang menjadi patokan untuk menyebut sebuah tindakan masuk kategori bermoral atau tidak, disamping yang relatif. Evolusi tidak melahirkan moralitas, bahkan tidak dapat menjelaskannya. Mengatakan moralitas tidak punya sumber samahalnya dengan mengatakan sebuah buku bagus ada begitu saja, tanpa penulis.Tetapi, ateis dapat menggunakan argumen Euthyphro. Euthyphro adalah karakter dalam salah satu tulisan Platon yang mengajukan pertanyaan, “apakah Tuhan tunduk pada moralitas objektif atau Tuhan adalah sumber moralitas yang sewenang-wenang.” Dilemanya adalah, Apakah Tuhan melakukan sesuatu karena itu baik (yang akan menyiratkan ada standar Kebaikan di luar Tuhan), atau apakah itu Baik karena Tuhan melakukannya (yang akan menyiratkan bahwa Tuhan dengan sewenang-wenang membuat moralitas)? Moralitas adalah nature Tuhan, karenanya Tuhan menjadi standar yang tak berubah. Dengan kata lain, standar kebenaran yang kita kenal sebagai hukum moral mengalir dari kodrat Tuhan sendiri, dengan keadilan dan cinta yang Tak Terbatas.

Kelima; EVIL. Apakah kejahatan itu ada, secara obyektif? Akal sehat menyediakan semua informasi yang kita butuhkan untuk melihat bahwa keberadaan kejahatan merupakan kontradiksi bagi ateisme. Jika kejahatan nyata, secara obyektif ada, maka ateisme itu salah. Kritik paling gencar kaum ateis adalah pembuktian ketiadaan Tuhan melalui “realitas” kejahatan. Kalau Tuhan (yang maha baik) ada, mengapa terdapat kejahatan? Pada saat yang sama, “teori ateis standar” meyakini evolusi buta, yang tidak mengenal baik, buruk, adil, jahat, dan sebagainya. Bahwa, kita hanya menari menurut “musik DNA” kita. Tetapi, pada saat yang sama, mereka mengkritk, bahkan marah atas “kelakuan jahat” orang religius atas nama tuhan. Jadi, mana sikap ateis yang sebenarnya? Menurut Agustinus dari Hippo (350-430 M), adanya kejahatan justru membuktikan Tuhan. Ia berargumentasi dengan susunan premis sebagai berikut: Tuhan menciptakan segala sesuatu. Kejahatan adalah sesuatu.

Maka kesimpulannya, Tuhan menciptakan kejahatan!? Silogisme ini sepintas benar. Namun, menurut Agustinus, premis minornya salah, karena kejahatan bukanlah sesuatu (fisik), sehingga tidak diciptakan. Kalau demikian, apa? Kejahatan adalah ketidaan kebaikan. Dengan demikian, kejahatan justru membuktikan keberadaan Tuhan. Kejahatan seperti karatan di mobil Anda. Jika mobil terawat maka karatan pasti diambil dan dibersihkan. Dengan kata lain, kejahatan hanya masuk akal apabila ia menempel pada kebaikan (Tuhan).

Keenam; SCIENCE, jika ateisme benar kita tidak akan bisa mengerjakan sains dengan handal. Persoalannya bukanlah agama (Tuhan) melawan sains, melainkan justru ateisme melawan sains. Sains telah membuktikan, misalnya kode genetik (DNA) dan fine-tuning, yang menunjukkan secara persisi “sesuatu” yang mustahil tanpa designer super cerdas. Meski sulit dijelaskan dengan rasio ateis, tanpa bukti tandingan untuk mengingkari disain super intelek, ateis tetap kokoh pada sikap dogmatis yang mengingkarinya, dengan mentesiskan apa yang disebut “teori-janji-yang-akan-dipenuhi.” Ya, “kami pasti bisa membuktikannya, berikan saja kami waktu.” Sains, dalam hal ini hanya menyajikan fakta apa adanya, sementara manusia menggunakan fakta yang sama untuk memberikan penafsiran. Teis tidak bermasalah dengan penemuan sains, tetapi ateis bekerja sangat keras untuk memanipulasi sains sebagai “alat justifikasi” untuk menegasi Tuhan. Argumen-argumen ateis bahwa hanya mengakui realitas fisik tidak selalu konsiten. Nyatanya (dan inilah poin pentingnya ) Krauss, Dawkins, dan teman-temannya tidak dapat mengerjakan sains tanpa filosofi. Sementara mereka biasanya berusaha memahami sebab dan akibat fisik, sains yang mereka bangun sendiri berdiri di atas prinsip-prinsip filosofis yang bukan bersifat fisik alias metafisik. Prinsip-prinsip metafisik membantu ilmuwan membuat definisi yang tepat dan jelas, kemudian barulah menafsirkan semua data yang relevan secara rasional. Jadi, prinsipnya Saintisme (para new ateis) tidak memiliki “titik pijak otonom” dalam menciptakan argumen melawan teisme. Mereka selalu “membutuhkan” teisme untuk membangun argumen. Kerapkali, mereka juga perlu mengutip dari ayat-ayat kitab suci (meski secara serampangan) untuk merancang serangan. Memetaforakan tuhan dalam “bahasa dan obyek sains” untuk mendiagnosis, lalu memberikan analisis dan kesimpulan ilmiah tentang tuhan. Ateisme seolah tidak dapat berkata apa-apa tanpa tuhan. Dengan kata lain, ateis berperang melawan tuhan, namun harus meminjam senjata dari tuhan juga. (semuel S. Lusi)