Kampanye global dari New Atheist (NA) yang sangat ambisius dan agresif adalah agar orang meninggalkan agama dan Tuhan. NA atau saintisme menjanjikan “surga” baru yang rasional, damai, dan lebih bermoral tanpa tuhan. Tidak hanya melalui debat-debat terbuka, wawancara dengan tokoh agama atau kreasionis (seperti rutin dilakukan Dawkins), para NA juga menyerang lewat karya (buku).Semenjak terbitnya the God Delusion (2006) karya biolog Oxford, Richard Dawkins, seakan menciptakan permainan berbalas pantun antara New Atheist (NA) atau saintisme dan Agama (Kreasionis) melalui karya. Kelompok terakhir ini “didukung” para pengkritik NA yang kebanyakan ilmuan kredibel berpandangan sekular atheis atau agnostik. “Permainan intelek khas tradisional Indonesia” itu ditandai dengan karya-karya bertema delusi (atau terasosiasi dengannya) secara berbalasan. Ada The Dawkins DELUSION? Atheist Fundamentalism and the Denial of the Divine (2007) oleh Alister E. McGrath and Joanna Collicutt McGrath, kemudian Devil Science Delusion: Asking the Big Questions in Culture of Easy Answers (2007) karya Curtis Wise. Tahun 2009 David Berlinski menerbitkan The Devil’s Delusion: Atheism and Its Scientific Pretensions. Dari kubu NA lahir the Christian Delusion sebagai kumpulan tulisan belasan ilmuan, diedit oleh John W.Loftus (2010). Masih banyak karya senada yang tidak bertema delusi tetapi isinya dalam rangka berbalas pantun itu.Kalau karya-karya delusi kubu NA selalu menyerang dan menjelekkan agama serta mengkampanyekan “surga ateisme,” maka dari pihak satunya cenderung bertahan. Umumnya hanya berupaya menjawab tantangan atau mencoba mematahkan argumen-argumen penyerang sambil menunjukkan ideal-ideal ajaran moral agama yang sama sekali diabaikan debaters NA. NA dianggap hanya mencuplik momen-momen kegelapan agama tetapi mengabaikan kekayaan moral dan formasi kemanusiaan yang ditanamkan agama sepanjang peradaban manusia.
Tahun 2012 Rupert Sheldrake, seorang yang telah menjadi ateis sejak masa remaja, namun kembali menjadi teis di masa kematangan kariernya ketika berada di India, menerbitkan The Science Delusion: Freeing the Spirit of Enquiry. Dari judulnya sudah tergambarkan integritas seorang intelektual yang memiliki otoritas keilmuan. Reputasinya meyakinkan. Ia aktif di berbagai komunitas ilmiah, antara lain Society for Experimental Biology, Society for Scientific Exploration, Zoological Society, Cambridge Philosophical Society, dan the Institute of Noetic Sciences. Ia juga pernah bekerja sebagai ahli biokimia di Universitas Cambridge, ahli fisiologi tanaman di Institut Penelitian Tanaman Internasional untuk Daerah Tropis Semi-Kering di India, dan menjadi profesor tamu di sejumlah universitas terkemuka.
Dalam karya ini Sheldrake dengan jujur menunjukkan bahwa dalam sains pun terdapat andaian-andaian filosofis yang taken for granted. Argumen ini nampaknya hendak mengatakan kepada saintisme (dalam sebutannya: fisikisme / materialisme eliminatif), bahwa aspek-aspek delusional tidak hanya monopoli agama seperti dituduhkan. Tetapi, tujuan utama buku ini bukanlah membela agama ataupun menyerang NA, melainkan menyelamatkan sains dari bahaya dogmatisasi, sebagaimana ditegaskannya di Kata Pengantar: “I have written this book because I believe that the sciences will be more exciting and engaging when they move beyond the dogmas that restrict free enquiry and imprison imaginations.”Sifat sejati sains adalah semangat penyelidikan (inquiry) yang berpikiran terbuka. Sheldrake menegaskan idealnya sains adalah proses, bukan posisi atau sistem kepercayaan. Sains inovatif terjadi ketika para ilmuwan merasa bebas untuk mengajukan pertanyaan baru dan membangun teori baru. Mengutip Thomas Kuhn melalui The Structure of Scientific Revolutions(1962) yang berpendapat bahwa dalam periode sains “normal,” kebanyakan ilmuwan berbagi model realitas dan cara mengajukan pertanyaan, yang dia sebut sebagai paradigma.
Secara meyakinkan Sheldrake mengindetifikasi sepuluh bentuk dogmatisasi sains, yang dibahasnya masing-masing dalam bab khusus. Ia memulai dengan mengulas sukses sains yang mengkontribusikan perkembangan manusia dalam berbagai aspek kehidupan melalui dua cara, yaitu teknologi dan obat-obatan. Revolusi industri dan revolusi sains jalan beriringan menciptakan sejarah dan mengarahkan peradaban, dimulai di abad ke-17. Horison pengetahuan pun berkembang sedemikian pesat, mulai dari partikel materi yang paling mikroskopis hingga keluar ruang yang maha luas dengan ratusan miliar galaksi di alam semesta yang juga terus berkembang.
Namun, nampaknya capaian mendasar yang mencengangkan itu perlahan berubah menjadi kredo. Setelah mencapai puncak sukses, sejak dua dekade terakhir di abad 21 ini, ketika pengaruh sains telah menyebar ke seluruh dunia dan meresapi semua aspek kehidupan sehingga manfaatnya nampak tak terbantahkan lagi, masalah justru mengganggu dari dalam. Kebanyakan ilmuwan menikmati zona nyaman lalu meyakini begitu saja, bahwa semua masalah pasti akan terselesaikan dengan lebih banyak penelitian dan penyelidikan melalui metode-metode yang sudah mapan. Sheldrake berargumen bahwa sains telah ditahan (mengalami kelesuan / malaise) oleh asumsi berabad-abad yang telah mengeras menjadi dogma. Itulah yang disebutnya sebagai delusi sains modern.
Delusi ilmiah terbesar adalah bahwa Sains seolah sudah mengetahui jawaban, dan hanya detailnya yang masih butuh waktu untuk diselesaikan. Bahkan, argumen yang meng-hipotesis-kan Tuhan pun diyakini hanya menunggu waktu untuk membuktikan ketiadaan tuhan. Dan, ironisnya itu sudah diperlakukan sebagai “fakta ilmiah.” Ilmu pengetahuan kontemporer juga didasarkan pada klaim bahwa semua realitas bersifat material atau fisik, dan diluar itu tidak ada realitas lagi. Misalnya, kesadaran diyakini sebagai semata-mata produk sampingan dari aktivitas fisik otak; Evolusi tidak memiliki tujuan; Tuhan hanya ada sebagai ide dalam pikiran manusia, dan karenanya hanya ada dalam kepala manusia.
Menurut Sheldrake, keyakinan itu kuat bukan karena para ilmuwan memikirkannya secara kritis, melainkan karena mereka tidak memikirkannya. Fakta-fakta sains cukup nyata. Pun, teknik yang digunakan para ilmuwan serta teknologi yang didasarkan padanya. Namun, sistem kepercayaan yang mengatur pemikiran ilmiah konvensional adalah tindakan keimanan yang didasarkan pada ideologi abad kesembilan belas. Tidaklah mengherankan bila Karl Popper menyebut pendirian para ilmuan tersebut sebagai “promissory materialism” lantaran temuan-temuan mereka sebenarnya masih didasarkan pada perlunya “penerbitan surat perjanjian untuk penemuan yang belum ada.” Artinya, mengasumsikan sebuah “bukti” yang masih berupa janji.Kesepuluh “kredo ilmiah” yang dibahas sebagai keyakinan pokok dan delusi itu oleh Sheldrake dirubah menjadi pertanyaan. Dengan mempresentasikan ragam hasil penelitian, uji lab dan testimoni, dapat ditampilkan fakta bahwa apa yang dijadikan fondasi sains seharusnya terbuka untuk dipertanyakan secara kritis dan diselidiki berbagai kemungkinan lain.
Pertama; “ilmuan meyakini begitu saja bahwa segala sesuatu pada dasarnya bersifat mekanis.” Anjing, misalnya, tidak lebih dari mekanisme kompleks dan bukan organisme hidup yang memiliki tujuan sendiri. Bahkan, oleh Richard Dawkins manusia disebut sebagai mesin, yaitu “robot yang lamban” (lumbering robots), dengan otak sebagai komputer yang diprogram secara genetik. Sains atau ilmuan tidak pernah mengajukan jenis pertanyaan (agar diselidiki kebenarannya), “apakah alam bersifat mekanis?” Sebelum abad ke-17, alam semesta dipahami sebagai organisme hidup, yang muncul melalui ajaran-ajaran filosofis, sistem kepercayaan dan sebagainya. Namun, revolusi sains mencabut “jiwa semesta” dan menggantikannya dengan sistem mekanik.
Kedua; “kredo ilmiah bahwa semua materi tidak sadar.” Materi tidak memiliki kehidupan batin atau subjektivitas atau sudut pandang. Bahkan kesadaran manusia diyakini sebagai ilusi yang dihasilkan oleh aktivitas material otak semata. Mengapa tidak pernah dipertanyakan, apakah semua materi tidak sadar?
Ketiga; “jumlah total materi dan energi selalu sama.” Ya, ini terkait hukum kekekalan materi dan energi. Hukum ini menjamin keabadian fundamental dalam dunia yang selalu berubah. Tetapi hukum ini dirumuskan sebelum Model Standar Kosmologi ditetapkan. Kebanyakan fisikawan sekarang percaya bahwa alam semesta mengandung sejumlah besar “materi gelap,” yang sifatnya benar-benar tidak jelas. Materi dan energi gelap membentuk sebagian besar massa alam semesta (sekitar 96 persen), sedangkan materi normal dan energi (yang terselidiki) hanya membentuk sekitar empat persen. Bagaimana materi gelap dan energi berhubungan dengan materi dan energi biasa? Dan apakah medan energi titik-nol, juga dikenal sebagai ruang hampa kuantum? Benarkah hukum kekekalan massa teruji dalam “fakta” realitas energi dan materi gelap dominan yang bahkan tak bisa dibayangkan?
Keempat; kredo bahwa “hukum alam ditetapkan, jumlahnya pada hari ini sama seperti pada awalnya, dan akan tetap sama selamanya.” Jelas ini adalah asumsi teoritis, bukan observasi empiris. Berdasarkan dua atau tiga ratus tahun penelitian di bumi, bagaimana kita bisa yakin bahwa hukum selalu sama dan akan selalu sama, di mana saja? Problem semantik mungkin perlu dipertimbangkan, karena konsep “hukum alam” itu sendiri bersifat antroposentrik, yang justru mengandaikan Tuhan. Lagi pula, bila “hukum sudah fixed,” bukankah keputusan itu mendahului proses dan perkembangan evolusi?
Kelima; doktrin bahwa “alam tidak memiliki tujuan, dan evolusi tidak memiliki arah.” Benarkah? Dalam perspektif mekanik, itu mudah dipahami. Tetapi, bahkan sebuah mobil atau komputer beroperasi seturut tujuan tertentu, yaitu tujuan manusia? Berbeda dengan seekor kuda yang, meski dalam hal tertentu diarahkan oleh tali kekang, dapat pula menentukan sendiri tujuannya. Lagi pula, bukankah setiap makluk, misalnya, berkembang menuju “ideal-ideal” tertentu? Sheldrake mengutip biolog E. S. Russell lewat karyanya The Directiveness of Organic Activities (1945) yang menteorikan adanya tujuan pada organisme hidup. Disamping pandangan ahli lainnya, termasuk para filsuf seperti Aristoteles, Descartes dan sebagainya yang secara prinsip mendukung “teori tujuan.”
Pada akhirnya Sheldrake menyimpulkan bahwa penolakan materialis terhadap tujuan evolusi bukan didasarkan pada bukti melainkan berupa asumsi semata. Kaum materialis terpaksa mengaitkan kreativitas evolusioner dengan faktor kebetulan atas dasar ideologis.Keenam; “semua warisan biologis adalah materi, dibawa dalam materi genetik, DNA, dan dalam struktur materi lainnya.” Benarkah tidak ada warisan diluar materi? Bukankah pewarisan-perwarisan norma, perilaku dan sifat mudah diamati tanpa bisa dikaitkan dengan aspek material dari agen?
Ketujuh: “pikiran ada di dalam kepala dan tidak lain semata-mata merupakan aktivitas otak”. Saat melihat sebuah pohon, gambaran dari pohon yang Anda lihat bukanlah “di luar sana” sebagaimana di tempat yang terlihat itu, melainkan di dalam kepala (otak) Anda. Apakah ini fakta ilmiah, atau asumsi teoretis?
Kedelapan; “kenangan disimpan sebagai jejak material di otak dan dihapuskan saat kematian.” Sheldrake antara lain menunjukkan kegigihan ilmuan materialis meneliti otak untuk menemukan “tempat menyimpan memori.” Selama hampir seratus tahun tidak menemukan hasil, namun para ilmuan tetap ngotot, bahwa ini hanya masalah waktu. Jika membutuhkan waktu 100 tahun lagi, siapa diantara kita yang akan mem-verifikasinya? Kalau bukan dogmatis, mengapa tidak membuka ruang penyelidikan ke “hipotesis alternatif?”
Kesembilan; fenomena yang tidak dapat dijelaskan seperti telepati adalah ilusi. Benarkah semua fenomena harus bisa dijelaskan secara saintifik? Di sini Sheldrake mengajukan berbagai hasil penelitian (percobaan) dan testimoni terkait pengalaman de ja vu, pre-kognisi, telepati dan sejenisnya, yang secara saintifik konvensional tidak dapat dibuktikan. Tidak saja terjadi pada manusia melainkan juga hewan, yang dapat memperlihatkan perilaku tertentu yang menunjuk pada “akan terjadinya sesuatu” di waktu dekat. Berbagai pengujian di laboratorium psikologi dapat membuktikannya, namun sains materialistik tetap menganggapnya ilusi. Jenis hewan seperti anjing, kucing, kuda yang memiliki hubungan dekat dengan tuannya, dalam banyak pengujian, menunjukkan kemampuan “membaca niat tuannya,” bahkan sekalipun ketika dipisahkan jarak.
Kesepuluh; kredo bahwa “pengobatan mekanis adalah satu-satunya jenis yang benar-benar manjur.” Ambil saja contoh hasil pengujian Irving Kirsch yang membandingkan penggunaan antidepresan dan psikoterapi dalam menangani pasien depresi dan schizophrenia. Kesimpulannya, perbandingan langsung pada efek jangka pendek dari psikoterapi bekerja sebaik antidepresan. Namun, psikoterapi terlihat lebih baik ketika dinilai efektivitas jangka panjangnya, karena pasien yang dulunya depresi jauh lebih mungkin kambuh dan menjadi depresi lagi setelah pengobatan dengan antidepresan, daripada setelah psikoterapi. Banyak contoh lain, seperti efektifitas pengobatan alternatif, apukuntur, teknik pengobatan dan obat Cina dan sejenisnya. Namun pengobatan mekanis tetap diyakini yang terbaik tanpa kemauan mempertanyakannya.Itulah sepuluh kredo sains yang disebut delusif. Bagi saya, kritikan Sheldrake sangat menohok ke jantung saintisme. Ia menghantam fondasi dan pilar-pilar penopang utamanya, yaitu materialisme. Sebagaiamana diketahui, filsafat materialisme yang beriringan dengan ateisme mendominasi sains abad ke-19. Positivisme sebagai ujung tombaknya mens-tandarkan metode pengujian ilmiah secara ketat. Namun, proposisi fundamental sebagai satu-satunya realitas ini membutuhkan pengujian dihadapan ragam perspektif, paradigma, dan sistem pengetahuan. Positivisme yang bersumber dari rasionalisme barat berjumpa dengan perspektif timur yang lebih menekankan pada “kepekaan intuisi dan emosi” dalam memahami realitas. Di sini realitas non materi lebih mendominasi dibanding materi sehingga penjelasan lebih terbuka dan kaya. Ruang penyeledikan lebih luas dan menantang.Sebagai implikasi logis dari “pemujaan materialesme,” diterima juga secara taken for granted “mesin raksasa” peninggalan Newton yang mendasari paradigma alam mekanistik. Segala sesuatu diyakini begitu saja sebagai “sistem mekanik” yang dapat diotak-atik dan dimanipulasi untuk mendapatkan hasil sebagaimana diinginkan. Bahwa, dengan mencuplik sebuah momen kecil dari realitas dapat merepresentasi keseluruhannya. Reduksi realitas tak terhindarkan. Disinilah, pertanyaaan kritis perlu diajukan, sikap terbuka perlu didorong agar mempertimbangkan paradigma-paradigma baru, melakukan penyelidikan dan menemukan pandangan-pandangan baru yang lebih komprehensif. Di sini aktivitas keilmiahan menjadi lebih menantang dan menggairahkan.
Pada akhirnya, dengan membongkar fondasi sains yang sebenarnya bersifat asumtif dan delusional dalam hal-hal yang diyakini begitu saja, Sheldrake tidak saja menyindir secara tajam saintsme Dawkins dan teman-temannya (tetapi tidak hanya mereka), melainkan terutama menunjukkan kemungkinan-kemungkinan logis untuk dipertimbangkan ulang “tetapan-tetapan saintifik” dan dijelajahi. Sains tidak boleh terjebak dalam paradigma filsafat dan pengetahuan abad 19, lalu mendogmatisasinya sehingga menutup mata terhadap kekayaan “wajah” realitas disekitarnya, yang juga sudah banyak didukung temuan-temuan, hasil-hasil pengujian, dan pengalaman (serta pengetahuan) kolektif. Membebaskan sains dari cenkeraman dogma dan delusi itulah visi utama buku ini.Bagaimana pun, agama secara hakiki memang harus dogmatis. Tidak demikian dengan sains. Dogmatisasi sains merupakan tindakan membunuh sains. Tetapi, dogmatisasi harus diatasi dengan membongkarnya agar sains kembali ke “fitrah,” melayari samudera pencarian (inquiry) yang maha luas dengan bebas dan riang, bukan dengan meninggalkan sains! (Semuel S. Lusi)