Pendidikan yang Membebaskan ala Paulo Freire

Latar Berpikir

Terpilihnya founder dan CEO Gojek, Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di Kabinet Indonesia Maju oleh Presiden Joko Widodo mengagetkan banyak pengamat maupun praktisi pendidikan.  Ide presiden dibalik penunjukkan Nadiem Makarim, seperti dilansir NCBC Indonesia (24/10/2019) adalah: “perlu orang yang mengerti bagaimana mengimplementasikan inovasi-inovasi yang ada. Berani keluar dari kotak, berani out of the box, berani tidak rutinitas, berani tidak monoton sehingga memunculkan sebuah loncatan-loncatan besar…”[2] Mengawali kepemimpinannya Nadiem mengeluarkan apa yang disebut “4 Kebijakan Merdeka Belajar,”  yaitu (1) menghapus USBN, (2) mengganti system Ujian Nasional, (3) Perampingan RPP dan (4) Sistem Penerimaaan Peserta Didik Baru.  Pada kesempatan lain, Mendikbud mengatakan, “Saya ingin mengajak mengubah paradigma kepemimpinan yang tadinya itu sebagai penguasa atau pengendali atau regulator, menjadi paradigma kepemimpinan yang melayani.[3]”    Sebagai kelanjutannya, 24 Januari 2020 Mendikbud mendeklarasikan program Kampus Merdeka, yang mencakup empat kebijakan pokok, yaitu otonomi PT dalam membuka Progdi baru,  re-akreditasi yang bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela, kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH), serta pemberikan hak bagi mahasiswa untuk secara sukarela boleh mengambil ataupun tidak sks di luar kampusnya sebanyak dua semester atau setara dengan 40 sks.

Frasa “Merdeka Belajar” yang digunakan oleh Mendikbud, serta gebrakan-gebrakan yang dicanangkannya, cukup dekat dengan pikiran-pikiran filosofis (pedagogi) filsuf Brazil yang sangat mendunia, yaitu Paulo Freire. Lantaran frasa itu sudah melekat pada Freire, setiap berbicara tentang Pendidikan yang Memerdekakan atau Membebaskan hampir pasti berbicara tentang pikiran-pikiran filsafat pendidikan dari Freire.

Paulo Regrus Neves Freire atau popular sebagai Paulo Freire lahir di Recife, Brazil pada 19 September 1921, dari keluarga kelas menengah.  Ibunya seorang Katolik taat, tetapi ayahnya seorang ‘saintis’ yang berprofesi sebagai polisi militer. Posisi saintis lebih menggambarkan ‘status religius” sang ayah.  Perbedaan status kegamaan kedua orang tuanya menjadi iklim yang membentuk pandangan-pandangan filosofis Freire yang terbuka, rasional, dan humanis.

Ketika depresi ekonomi melanda dunia, terutama Amerika di tahun 1929, Brazil juga terkena dampak.  Kehidupan ekonomi keluarga Freire mengalami penurunan, dan makin parah ketika ayahnya meninggal 1931 sewaktu Friere berusia hampir 10 tahun. Keluarga itu benar-benar jatuh miskin dan kerap menghadapi kelaparan. Tetapi kemudian kembali mengalami pemulihan sehingga memungkinkan Friere menyelesaikan kuliahnya. Setelah tamat ia bekerja di Dinas Kesejahteraan Sosial dimana ia banyak berurusan dengan kelompok-kelompok miskin kota. Pengalaman langsung dan pekerjaannya ini memberikan pemahaman mendalam baginya tentang esensi kemiskinan serta masuk dalam perenungan filosofis untuk mencari terobosan solutif.  Inilah yang menghentarnya kepada praxis filosofis ala Marxian.

Tahun 1960-an, ¾ rakyat Barzil masih tergolong buta huruf[4]. Pemilu hanya bisa diikuti oleh rakyat yang bisa membaca dan menulis karenanya sebagian besar rakyat kehilangan hak pilih.  Hal ini menyulitkan terjadinya perubahan. Dalam posisinya ketika itu sebagai Direktur Pengabdian Masyarakat di Universitas Recife, Freire mengembangkan program-program pemberantasan buta huruf yang dianggap berhasil. Ini berkat dukungan politik dari pemerintahan presiden Joau Goulart. Sayangnya, kudeta milter tahun 1964 menyingkirkan Goulart, dan kelompok progresif termasuk Freire ditangkap serta dijebloskan ke penjara, kemudian diasingkan ke Chili. Di Chili Freire sukses mengembangkan metode yang membantu mengentaskan jumlah buta huruf secara mengesankan di negara tetangga dekat Brazil itu.  Dalam pengasingan inilah ia menyempurnakan metode pendidikan yang digumulinya, dan meraih reputasi internasional di bidang pedagogi terutama setelah menerbitkan salahsatu karya masterpiece-nya, yang masih banyak dirujuk hingga kini, yaitu Pedagogy of the Oppressed (1970). Ia menjadi Profesor dan mengajar tamu di berbagai universitas di Amerika, Eropa kemudian juga Asia dan Afrika.  Antara tahun 1970-1979 ia menjadi konsultan pendidikan untuk Dewan Gereja Dunia (WCC) di Jenewa, sebelum akhirnya kembali ke Brazil dan menjadi Menteri Pendidikan.

Karya-karya lainnya yang terkenal:

  1. Cultural Action for Freedom (1972)
  2. Education for Critical Consciousness (1973)
  3. Education: The Practice of Freedom (1976)
  4. The Politics of Education: Culture, Power and Liberation (1985)
  5. A Pedagogy for Liberation: Dialog on Transforming Education (1987)
  6. Pedagogy of Hope: Reliving Pedagogy of the Oppressed  (1994)
  7. Teachers as Cultural Workers (2005) 

Pemikiran-pemikiran filosofis maupun teologis yang memengaruhi corak filsafat pendidikan Paulo Freire antara lain:

  • Marxisme; yaitu filsafatnya bersifat praxis, reflektif terhadap konteks dan berpola aksi-refleksi.
  • Eksitensialisme; menekankan pada autentisitas pendidikan serta hakikat pembebasan/kebebasan individu sebagai ultimate.
  • Fenomenologi; yang menekankan pada kesadaran aktif subyek sebagai syarat pencarian pengetahuan dan eksplorasi realitas, juga kesadaran posisi diri dalam realitas.
  • Teologi Pembebasan; yang menekankan pada tiga isu, yaitu pembebasan manusia dari ancaman globalisasi, pembebasan manusia dari berbagai ancaman dosa sosial, dan perlunya paradigma baru untuk memperbaiki sistem dan struktur social yang telah rusak.

Kritik dan Pandangan tentang Pendidikan

Freire mengembangkan kritik yang tajam terhadap dunia pendidikan. Menurutnya, esensi pendidikan seharusnya adalah membebaskan.  Tidak seperti pendidikan umumnya, yang bukan saja tidak membebaskan, bahkan secara sistemik menciptakan penindasan.

Pandangan dan Kritiknya terhadap sistem pendidikan antara lain:

  • Pendidikan di dunia berkembang berorientasi pada kepentingan kolonial, gayanya kolonial yang diinisiasi untuk mempersiapkan rakyat terjajah bekerja bagi kolonial dengan gaji serendah-rendahnya.  Itulah sebabnya, pendidikan di Negara-negara terjajah dikondisikan untuk kepentingan kolonial sehingga terkelola dalam iklim menindas.
  • Pendidikan sudah salah arah karena melatih orang untuk kerja, bukannya membebaskan manusia dari ketertindasan kemudian memperbaiki sistem dan struktur masyarakat yang menindas dan tidak adil. Tentu saja ‘melatihkan keterampilan’ itu baik, tetapi bukanlah esensi dari pendidikan.  Sebab, sudah ada lembaga-lembaga pelatihan yang dibangun untuk melatihkan keterampilan.
  • Pendidikan seharusnya merupakan alat untuk membebaskan manusia dari ketertindasan. Pendidikan membebaskan peserta didik dari segala situasi terkekang dan membentuk kesadaran kritisnya terhadap realitas. Pendidikan menghasilkan manusia-manusia kritis yang menjadikan konteks (lingkungan sekitar) sebagai ‘laboratorium,’  yaitu dengan metode menginvestigasi  realitas atau konteks.  Dengan kata lain, manusia kritis adalah yang mengenal lingkungannya, potensi-potensinya, dan bertumbuh darinya serta mengembangkannya.
  • Pendidikan melanggengkan struktur yang sudah ada karena memang tidak direncanakan untuk mentransformasinya.  Maka, bila struktur masyarakatnya sudah menindas dan tidak adil akan menjadi lestari oleh sistem pendidikan model itu. Seharusnya pendidikan membebaskan peserta didik, lalu peserta didik inilah yang akan membebaskan struktur dan sistem sosial.
  • Pendidikan seharusnya merupakan proses humanisasi, yaitu menjadikan peserta didik menjadi manusia sejati, bukan melakukan dehumanisasi dengan merampas kebebasan dan mengekang kreatifitas peserta didik.
  • Pendidikan yang dialami oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini tak ubahnya seperti pendidikan dengan “sistem bank” (banking education) dimana guru berperan sebagai subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid, sedangkan murid hanya sebuah deposit belaka. Pendidikan seperti ini merupakan  bentuk penindasan terselubung terhadap kreatifitas murid. Murid dituntut mengikuti jalan pemikiran guru tanpa diberi kesempatan untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah. Alternatif agar terbebas dari penindasan gaya pendidikan “sistem bank” adalah apa yang disebutnya metode “pendidikan hadap masalah” (problem-posing education).  Ketika membahas topik ini, Ira Shor[5] mengaitkannya dengan pedagogi kritis Paulo Freire, yang menurutnya esensi karya Freire terletak pada fokus problem-posing sebagai dasar pendidikan dialogis, bagaimana resistensi terhadap proses ini dapat diatasi, dan bagaimana pertanyaan tentang kekuasaan dan pengetahuan menjadi ekspresi sentral dari perkembangan kesadaran kritis.
  • Pendidikan konvensional bersifat antidialogis dan satu arah. Model pendidikan antidialogis ditandai dengan usaha menguasai manusia, sedangkan model pendidikan dialogis selalu bersifat kooperatif. Didalam “Pedagogy of the Oppressed[6]” disebutkan bahwa teori-teori tindakan antidialogis dikenal istilah-istilah antara lain penaklukan, pecah dan kuasai, manipulasi, dan serangan budaya, dan sejenisnya. Sementara teori-teori tindakan dialogis menggunakan istilah-istilah seperti kerja sama, persatuan untuk pembebasan, organisasi, dan sintesa kebudayaan.
  • Pendidikan seharusnya berbasis kultural, yaitu menjawab kebutuhan aktual kita, kebutuhan aktual masyarakat kita. Artinya, tujuan pendidikan pada akhirnya untuk memahami budaya dan mengembangkannya.  Bukannya meninggalkan budaya sendiri  dan menggantinya dengan budaya lain.
  • Transformasi pendidikan tidak akan terjadi tanpa transformasi sosial. Transformasi pendidikan seharusnya menjadikan manusia sebagai subyek, membebaskan peserta didik, karena merekalah yang akan mentransformasi masyarakat. Jadi, transformasi masyarakat hanya niscaya melalui transformasi pendidikan yang fokus ke peserta didik sebagai subyek aktif yang bermakna. Di sini Freire menegaskan pendidikan sebagai praxis pembebasan, dimana nilai-nilainya bersifat humanistik.

Kontinum Kesadaran

Secara umum, menurut Freire, pendidikan harus bisa membentuk kesadaran kritis peserta didik. Transformasi menuju kesadaran kritis berlangsung melalui tiga tahap, yaitu kesadaran Magis, kesadaran Naif dan kesadaran Kritis.  Sebelum tahapan kesadaran Magis disebut sebagai kondisi pra kesadaran atau kesadaran intransitif.  Lalu, tahapan antara kesadaran Naif dan kesadaran Kritis terdapat kesadaran Fanatik yang disebutnya sangat berbahaya. Pada tahapan tertinggi, yaitu kesadaran Kritis orang sudah dapat melepaskan diri dari ketertindasan, dan secara kritis memiliki daya investigatif terhadap realitas dan lingkungan sekitarnya sehingga mentransformasi masyarakat (sistem dan struktur sosial).

  1. “Kesadaran” intransitive (pra kesadaran), adalah situasi dimana orang belum sadar terhadap keadaan organisasi. Karena itu fokusnya hanya pada gaji, keterpenuhan kebutuhan materi: “yang penting kebutuhan makan minum terpenuhi,” dan sejenisnya. Hidup seolah hanya menjadi mesin pemenuhan kebutuhan fisik, dan tidak perduli dengan keadaan di luarnya.
  • Kesadaran Magis: menggunakan argumen alamiah: “memang nasib saya sudah begini, sudah takdir tuhan bagi saya seperti itu.”  Freire menyebutnya sebagai mitos inferioritas alamiah, yang berciri deterministik dan fatalistik. Orang sadar akan keadaan sebenarnya, namun tidak tahu apa yang perlu dilakukan. “Saya hanya orang kecil di sini, bisa buat apa?” Orangnya pasrah sepenuhnya pada keadaan. Tipe ini akan mudah dimanfaatkan oleh kaum penindas. Merupakan kesadaran level terbawah. Orientasinya: PASRAH PADA KEADAAN
  • Kesadaran Naif.  Tipe ini sudah sadar adanya penindasan. Sadar ada masalah. Hanya saja pengetahuannya belum memadai, situasinya belum memungkinkan untuk berbuat apa-apa untuk merubah keadaan atau berjuang secara mandiri.  Ia merujuk masa lalu, bahwa dulu keadaan pernah sangat baik, mempersoalkan masalah ini dan itu, berdebat, menyalahkan orang lain, mencari kambing hitam dan sebagainya. Orientasinya  MENGGESER FOKUS (MASALAH) ke orang lain.
  • Kesadaran fanatik.   Ia mengerti ada masalah, ada sistem yang menindas, namun alih-alih mencari solusi justru ia mencari penindas baru untuk mengganti penguasa (penindas) agar balik menindas. Yang terjadi adalah mengganti penindas, sementara struktur dan sistem penindasan tetap lestari.  Kesadaran di level ini sangat berbahaya, karenanya Freire menyebutnya dengan “destructive fanaticism”  atau  “a sensation of total collapse of their world.”[7]  Orientasi: MERAWAT PENINDASAN.
  • Kesadaran Kritis.  Sadar ada masalah, berorientasi mencari solusi dan proaktif melibatkan diri membuat terobosan atau sekurangnya ingin membuka ruang dialog untuk menginisiasi perubahan.  Tidak mau pasrah pada masalah, tidak mau menambah masalah dengan mencari kambing hitam. Melainkan aktif mencari solusi untuk keluar dari masalah atau terlepas dari ‘rantai penindasan.’ Orientasi: MEMUTUS RANTAI PENINDASAN MENUJU PEMBEBASAN. Pada tingkat kesadaran ini, orang mau aktif mengintervensi dunia sebagai  “transformers of that world”[8] sebagaimana ungkapan Freire, “education does not change the world.  Education changes people. People change the world.”

Penutup

Hingga saat ini filsafat pendidikan yang membebaskan ala Paulo Freire nampak makin relevan.  Beberapa kali menteri pendidikan, Nadiem Makarim menekankan tentang sistem  pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang menyenangkan, yang beorientasi produk/hasil, dan sejenisnya, merupakan konfirmasi atas kebenaran kritik Freire. Ide Mendikbud menghilangkan Ujian Nasional (UN) disebut sebagai salah satu bentuk upaya memerdekakan pola pendidikan lama.  Sejumlah komentar menyatakan bukan hanya murid yang dibebaskan tetapi juga guru.  Sebagai ganti UN, seperti disampaikan Mendikbud dalam Rapat Koordinasi bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten /Kota Se-Indonesia di Jakarta 11 Desember 2019, yaitu asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. [9]

Ketika pendidikan kita masih fokus pada pengendalian, transfer pengetahuan, komunikasi belajar mengajar yang asimetris, memperlakukan mahasiswa sebagai pembelajar dan guru atau dosen sebagai pengajar dan sumber utama, suasana pendidikan yang menekan, tidak menggembirakan, semua itu oleh Freire dianggap sebagai bentuk penindasan. 

Pendidikan dan proses belajar mengajar seharusnya membebaskan, menjadikan siswa sebagai subyek, dosen atau pengajar sebagai pendamping atau fasilitator yang memfasilitasi mahasiswa menemukan dirinya, kekuatan dan talentanya, passion untuk mengobservasi dan mengeksplorasi lingkungan dan memahaminya, menjelajah dan mengembangkan sendiri pengetahuan sesuai kebutuhannya.  Melalui cara itulah transformasi struktur dan sistem sosial dimungkinkan terjadi.

Apakah UKSW sudah ada dalam situasi ideal ala filsafat pendidikan Paulo Freire? Tentu saja, belum.  Akankah UKSW bergerak ke arah itu?  Tergantung pada tekad, komitmen dan kemauan kerja keras kita semua. 


[1] Catatan pengantar untuk diskusi Filsafat Taman, “Pendidikan yang Membebaskan ala Paulo Freire” 17 Januari 2020 di taman Noto UKSW bersama Ahmad Bahruddin, inisiator dan Ketua Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah Salatiga.

[2] Cnbcindonesia.com (dikunjungi 17/01/2020)

[3] Pikiranrakyat.com (dikunjungi 17/01/2020)

[4] Freire, Paulo (2005, first published 1974).  Education for Critical Consciousness. London and New Your: Continuum, halaman 37

[5] Mclaren, Peter & Leonard, Peter (Eds). (1993).  Paulo Freire: a Critcal Encounter. London & New York: Rountladge. Hal.25-26

[6] 1970: 109. Lihat juga: Freire, Paulo (2005, first published 1974). Ibid. Halaman 40-42

[7] Pedagogy of the Oppressed (1970: 35-36)

[8] Ibid, hal.73

[9] Tribunnews.com (12/12/2019)

Penulis: Semuel S.Lusi (  Pengajar Filsafat dan Critical Thinking, Peneliti di Center for Critical Thinking Development (CCTD) UKSW)

Belajar Filsafat Ilmu dalam Kursus FIlsafat

Senin, 21 Januari 2020 pukul 16.00 wib hingga 20.30 wib CCTD UKSW mengadakan kursus filsafat di ruang Probowinoto gedung G UKSW. Topik Filsafat ilmu merupakan topik ke tiga dalam enam rangkaian diskusi filsaat. Sebelumnya para peserta kursus telah mempelajari Sejarah Filsafat dan FIlsafat Ketuhanan.

Pemateri utama dalam topik filsafat ilmu adalah Dr. A. Setyo Wibowo, SJ, yang merupakan pengajar di STF Driyakara Jakarta. Pemateri menyajikan filsafat ilmu sebagai episteme yang terus berkembang dan menyentuh banyak wilayah realitas. Mulai dari penyingkapan kebenaran pengetahuan lewat falsifikasi, verifikasi, hingga rasionalime, kristisisme dan masuk ke fenomenologi, positivisme serta berakhir di idealisme. Perkembangan penyingkapan kebenaran tersebut disebabkan karena keterbatasan manusia dalam memahami realitas. Ilmu tidak hanya disingkapi menggunakan pendekatan ilmu alam, namun juga upaya fisio-sosial yang dikembangkan oleh Comte untuk membentuk hukum sosial, yang berguna untuk meramal sebuah struktur pengetahuan di masa akan datang.

Pada masa renaisans, pengetahuan berkembang secara masif dari ilmu alam hingga menyentuh ranah humaniora. Fenomenologi Husserl membantu para ilmuwan untuk membentuk karakteristik episteme bagi kehidupan humaniora. Pemateri mengajak peserta untuk mendiskusikan metode dan perkembangan karakteristik ilmu dari masa filsafat ilmu alam hingga masa humaniora secara sederhana dan menarik.

Pada akhir sessi, pemateri membahas tentang keberadaan post-truth dan neo-sofisme. Keberadaan kedua hal ini dapat menyebabkan kebenaran menjadi relatif dan subjektif. Untuk itu perlu pemahaman tentang metode pengetahuan yang tepat, sehingga manusia tidak dimanipulasi oleh manipulator kebenaran seperti pengikut post-truth dan neo-sofisme.

Kursus ini diikuti oleh sekitar 40-an dosen dan mahasiswa pasca sarjana dari berbagai disiplin ilmu di UKSW. Peserta sangat menikmati materi yang disajikan dan selalu terlibat dalam diskusi spontan saat materi diberikan.

Survei: Kesadaran Kritis 83% sebagai Modal Transformasi Kelembagaan

Survei dilakukan terhadap Dosen peserta dikusi filsafat taman, “Pendidikan yang Membebaskan ala Paulo Freire,” 17 Januari 2020. Survei diikuti oleh 31 peserta  terdiri dari 23 dosen dan 8 mahasiswa (S1, S2 dan S3).   Hasil survei menunjukkan bahwa 83% responden telah berada di level Kesadaran Kritis. Lainnya tersebar dengan prosentase yang sangat kecil, yaitu Kesadaran Intransitif 9%,  Kesadaran Magis 4% dan Kesadaran Fanatik 4%.   Survei ini tidak dimaksudkan mengevaluasi kondisi “pendidikan yang menindas” seperti kritik Freire, melainkan dimodifikasi untuk melihat potensi transformasi kelembagaan di UKSW. 

  • Kesadaran Kritis. 83% yang berada pada level kesadaran kritis merupakan modal besar untuk memulia terobosan. Mereka yang berada pada level ini memiliki  ciri antara lain menyadari adanya masalah yang sedang dihadapi. Mereka dengan sadar memilih fokus pada upaya mencari solusi dan secara proaktif (dengan inisiatif sendiri) melibatkan diri membuat terobosan atau sekurangnya memiliki intensi membuka ruang dialog untuk menginisiasi perubahan. Dalam bahasanya Paulo Freire, mereka aktif mencari solusi untuk keluar dari masalah atau terlepas dari ‘rantai penindasan.’ Dengan kata lain, orientasi dari kelompok ini adalah  MEMUTUS RANTAI PENINDASAN MENUJU PEMBEBASAN. Oleh Freire mereka disebut sebagai “transformers of that world.
  •  “Kesadaran” Intransitive (pra kesadaran) sebesar 9%.  Ini level pra sadar, dimana orang belum memiliki kesadaran akan situasi organisasi. Mereka hanya fokus pada hal-hal yang bersifat materi seperti gaji, tunjangan dan insentif lainnya yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan material. Orang-orang pada level kesadaran ini belum bisa diajak terlibat dalam upaya mentransformasi organisasi, namun bisa dicerahkan atau disadarkan akan kondisi organisasi.
  • Kesadaran Magis 4%. Pada level kesadaran ini orang bersikap pasrah.  “Memang nasib saya sudah begini, sudah takdir tuhan.”  Freire menyebutnya sebagai mitos inferioritas alamiah, yang berciri deterministik dan fatalistik. Orang sadar akan keadaan sebenarnya, namun tidak tahu apa yang perlu dilakukan. Tipe ini akan mudah dimanfaatkan oleh kaum penindas yang beorientasi melestarikan ‘penindasan’ demi kekuasaan. Merupakan kesadaran level terbawah. Orientasinya: PASRAH PADA KEADAAN.
  • Kesadaran Fanatik 4%.   Kelompok ini mengerti ada masalah, ada sistem yang tidak beres, namun alih-alih mencari solusi justru ia mencari penindas baru untuk mengganti penguasa  agar balik menindas. Yang terjadi hanyalah mengganti penindas, sementara struktur dan sistem penindasan tetap lestari.  Kesadaran di level ini sangat berbahaya, karenanya Freire menyebutnya dengan “destructive fanaticism”  atau  “a sensation of total collapse of their world.”  Orientasi: MERAWAT PENINDASAN.

Kesimpulan: survei ini tidak representatif karena hanya dilakukan di sebuah kelas diskusi.  Namun, setidaknya dapat memberi gambaran, bahwa UKSW punya modal dan potensi untuk melakukan transformasi kelembagaan.  Untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat dan signifikan survei  perlu dikembangkan ke berbagai unit (fakultas/progdi dan unit-unit lainnya). 

Pendidikan yang memerdekakan ala Bahruddin

Berpikir kritis harus dimulai dari merdeka dalam belajar. Banyak anak-anak disekitar kita mengalami keterjajahan dalam belajar. Bahkan hingga kaus kaki pun dibuat sedemikian rupa agar seragam, menurut Bahruddin (penggagas komunitas belajar Qaryah Tayyibah dan assesor BAN PAUD/NNF).

Anak-anak tidak akan muncul nalar kreatif dan inovatifnya, apabila terus menerapkan pola pendidikan gaya “bank,” seperti yang hingga saat ini diterapkan dibanyak sekolah-sekolah formal. Pendidikan gaya “bank” akan membuat anak-anak terus menabung pengetahuan yang ditransfer dari guru, dan pada akhirnya mereka hanya akan mencairkan pengetahuan tersebut saat Ujian Nasional. Realitasnya dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak tidak menggunakan pengetahuan yang didapatkan dari sekolah. Dengan demikian gaya “bank” tidak menjawab kebutuhan masyarakat, namun membebani anak-anak dengan standar yang terlampau tinggi.

Bahrudin saat menyampaikan materinya di Forum Diskusi Filsafat UKSW pada tanggal 17 Januari 2020 pukul 14.00-18.00, dengan santai mengatakan bahwa untuk mendidik anak menjadi pintar tidak perlu guru yang punya banyak pengetahuan. Namun lebih butuh guru yang siap ngayomin anak tersebut. Guru harus menjadi teman anak diskusi, dan bermain, sehingga kreatifitas anak muncul.

Dalam diskusi yang digagas oleh Pusat Pengembangan Pemikiran Kritis (P3K) dan Pusat Pengajaran & Pembelajaran Inovatif (P3I), dan bertempat di Gedung Administrasi Pusat (GAP) UKSW, Bahruddin mengingatkan kembali bahwa pendidikan yang membebaskan membutuhkan kemampuan investigasi realitas disekitar lingkungan anak. Dengan melakukan investigasi realitas, maka pembelajaran akan lebih menyenangkan dan mengoptimalkan kinerja otak sang anak.

DIskusi yang dihadiri sekitar 30-an peserta yang terdiri dari dosen dan mahasiswa pasca sarjana ini, diakhiri dengan sessi tanya jawab yang memunculkan banyak ide untuk menerapkan pendidikan yang memerdekakan disekitar kita. Bahruddin telah berhasil dengan komunitas belajar Qaryah Tayyibah untuk menjadi sumber inspirasi pendidikan yang memerdekakan di Indonesia. Sudah saatnya nalar kritis bebas dengan pola pendidikan yang membebaskan.

Post-truth dan Peran Intelektual di Pilkada Serentak 2020

Ketika Ralph Keyes mendeklarasikan hadirnya era post-truth tahun 2004, para ilmuwan sinis dan mengabaikannya. Baru, setelah Trump memenangi pilpres AS tahun 2016, mereka terbelalak dan menyadari sebuah ketidakberesan. Bagaimana dengan Indonesia, terutama menyongsong tahun Pilkada serentak 2020?

Kathleen Higgins,  dosen filsafat dan penulis Nietzsche dari fakultas filsafat University of Texas menulis di  scientificamerican.com  dengan lead, “If politicians can lie without condemnation, what are scientists to do?”

Higgins antara lain menunjuk ketidakmarahan kaum intelektual (akademisi) melihat seliweran berita-berita bohong dan fakta-fakta palsu di panggung kampanye pilpres sebagai bukti pengakuan atas kecermatan ‘penglihatan’ Ralph Keyes. Apakah mereka telah pasrah dan terpaksa ikut merayakan deklarasi Keyes? Apakah ini pertanda ‘matinya’ ontologi, dan dengan sendirinya epistemologi? Bukankah itu berarti terkuburnya  filsafat, teologi, dan tentu saja, sains?

Sebagai pakar Nietzsche tentu saja Higgins terganggu. Bukan semata-mata karena statusnya sebagai filsuf dan akademisi, melainkan juga karena para penganut relativisme kebenaran dan relativisme moral itu merujuk filsafat Nietzsche sebagai induk semang aliran berpikirnya.  Mereka mengabaikan kenyataan bahwa Nietzsche sangat menganjurkan kejujuran hati nurani. Pun, betapa sang penganjur nihilisme itu secara ironis mengorientasikan manusia ideal übermans, makhluk soliter kepada bintang pemandu, sebuah bentuk pegangan juga? Artinya, nihilisme sesungguhnya tidaklah nihil absolut!

Di Indonesia pun para ilmuan atau akademisi nampak tidak cukup terganggu dengan fenomena post-truth politics (politik pasca kebenaran). Apakah dianggap banal? Memang sudah masa-nya era post-truth?  Seperti telah terjadi sejak Pilkada DKI 2017 hingga Pilpres 2019, akankah terjadi juga di Pilkada serentak 2020?

Post-truth  di Pentas Politik Indonesia

Post-truth politics atau politik paska kebenaran (PPK) sudah menjadi wabah baru di panggung-panggung politik dunia. Pilar-pilar kebenaran, fakta dan data ditenggelamkan oleh gelombang emosi yang terampil diulik dan diracik oleh para politisi paska kebenaran. Ubar kebencian kepada lawan politik dan teror ketakutan dijadikan perekat menyatukan emosi massa. Tidak penting apa yang dikatakan ditopang data valid atau tidak, lebih penting memiliki daya provokasi  agar dikapitalisasi menjadi arus dukungan. Pragmatisme menjadi panduan tindak, dimana  kebenaran direduksi sebagai sekadar “apa yang berguna bagi kepentingan kelompok dalam memenangkan kontestasi.” Daya pungkas dari racikan racun PPK adalah pada casing, yang  disamarkan dengan bungkus simbol suci agama, lalu menggunakan tangan dan mulut oknum elit ulama untuk menarik-lepaskan busur panah post-truth  menghujam  dan menyasar mangsa.

PPK sesungguhnya sudah lama hadir di panggung politik Indonesia. Namun, umum diakui mulai marak di Pilkada DKI 2016,  ketika paslon Ahok-Djarot berhadapan dengan Anies-Sandi.  Menurut hasil penelitian yang dirilis sejumlah lembaga, kedua kubu sama-sama menggunakan strategi PPK, meskipun salahsatunya terlihat lebih gencar, massif dan sistematis. 

Intensitas  PPK di pemilu pilpres 2019 nampak lebih terencana.  Jauh sebelum pelaksanaannya, wacana kecurangan dan ketidaknetralan penyelenggara Pemilu, termasuk aparat, sudah dihembus-hembuskan. Terkesan sebagai sebuah pengkondisian, yang lalu mengafirmasi dugaan ‘terencana.’ Selama masa kampanye meningkat ke wacana people  power,  diperkuat berbagai kreasi kampanye masif yang berusaha menutupi keberhasilan pemerintah sambil memagnifikasi kegagalannya. Berbagai angle serangan ke kubu petahana dan institusi penyelenggara pemilu tak henti-henti dimuntahkan. Respons pemerintah untuk menertibkan kecenderungan anarkhi dan semburan kebencian dengan licik dibalikkan sebagai tindakan otoriter anti demokrasi. 

Tahun 2020 adalah tahun politik pilkada serentak.  Setidaknya 270 kepala daerah, masing-masing  9 Gubernur,  224 Bupati dan 37 Walikota  akan diperebutkan.  Akankah pemungkas  PPK masih dijadikan senjata andalan? Harapan kita tentu saja, tidak!  Peran kaum intelektual diperlukan untuk menyudahi permainan berbahaya ini.  Toch, telah terbukti lebih banyak mengalami kegagalan.

Sebagai patologi, post-truth hanyalah bentuk ketergelinciran kaum terdidik yang sedang berburu kuasa lewat jalan pintas dengan melanggar rambu-rambu. Mereka terlena mengejar hasrat kuasa, namun tidak sudi berinvenstasi pada kerja-kerja ilmiah guna mendisain program-program unggulan sebagai produk jualan ke massa pemilih. Mereka juga cenderung miskin protofolio dan rekam jejak prestasi di bidang pembangunan masyarakat, pembangunan kota, atau kinerja yang relevan dengan posisi politik yang ingin diduduki. Kasus Jokowi yang dari Walikota Solo sukses mejadi gubernur DKI, lalu memenangkan Pilpres 2014 dilanjutkan di 2019 merupakan contoh sebuah sukses “investasi intelektual.”  Pun, protofolio kesuksesan Nurdin Abdullah memimpin Kabupaten Bentaeng memberi alasan bagi masyarakat Sulawesi Selatan memenangkannya di pilgub Sulawesi Selatan. Ridwan Kamil memenangi pilgub Jawa Barat karena kinerjanya membangun kota Bandung.  Mereka tidak butuh “dopingan vitamin hoax” lantaran sudah mengakumulasi sumberdaya relevan lewat rekam jejak kinerja, yang berfungsi sebagai “tiket VIP” untuk memimpin.

Intinya, trik-trik post-truth digunakan oleh kandidat yang miskin protofolio kesuksesan.  Mereka menghasrati posisi publik diluar jalur karier prestasi. Untuk mengkompensasi ketiadaan tiket kepemimpinan mereka nekad menggunakan ‘tiket palsu’ dari para broker seperti pemoles citra, pemilik (pebisnis) massa, dan perekayasa narasi dan data rekaan. Mengandalkan kekuatan finansial mereka mencipta realitas-realitas palsu, baik untuk menambal citra jomblang dan memolesnya dengan kosmetik yang lebih tebal, sekaligus mengkloning virus hoax lainnya untuk menyerang dan menghancurkan citra baik lawan politik.  Lebih jauh, aturan-aturan main formal, kinerja penyelenggara, fondasi nilai bersama seperti konstitusi dan hukum, nilai moral dan standar kebenaran digoyang untuk direlatifkan, kemudian dengan berbagai daya-upaya  menukarnya dengan standar-standar palsu yang diusung.

Tanggungjawab Ilmuwan

Pasca Berxit dan kemenangan Trump, yang diamini dikontribusi permainan hoax dan tebaran kebencian, para ilmuan, terutama psikolog human development dan  para filsuf memberi perhatian lebih pada riset sebuah konsep kebijakan intelektual yaitu kerendah-hatian (intellectual humility).  Minat ilmiah ini dibangun diatas asumsi bahwa para ‘pemain politik’ juga merupakan kaum intelek, atau setidaknya didukung oleh kaum intelek di struktur elit pengambil keputusan.  Selain itu, tentu saja menggugah kepekaan kaum intelektual / akademisi untuk menjawab tantangan PPK, yang sebenarnya secara kebablasan diberi panggung dengan sebutan era dan world  (post-truth era dan post-truth world).

Relativasi kebenaran dan moral memiliki ancaman serius pada sains, filsafat dan agama. Pencarian sains (dan filsafat) untuk pengetahuan tentang realitas mengandaikan pentingnya kebenaran, baik sebagai tujuan itu sendiri maupun sebagai cara menyelesaikan masalah. Apa jadinya bila kebenaran dipinggirkan? Demikian pula, aksiologi sains mengandaikan terbentuknya sikap rendah hati, yaitu kesadaran bahwa meski terdidik, bahkan, misalnya, tergolong super cerdas, masih lebih banyak hal yang belum sepenuhnya diketahui.

Para ilmuan seharusnya tidak hanya sibuk dibalik tumpukan buku-buku, bersembunyi di kenyamanan ruang-ruang kelas ber-AC dan laboratorium, sementara perkembangan aktual di masyarakat meminggirkan kebenaran dan moralitas dari kebutuhan.  Implikasinya akan serius karena pada akhirnya standar baru yang dijadikan pegangan oleh masyarakat adalah jenis ‘kebenaran’ dari para politisi penganut pasca kebenaran.  Terutama, para ilmuan sosial dan humaniora sebaiknya lebih aktif membantu masyarakat memahami fenomena post-truth agar menyadari sedang ngetrend-nya sebuah ketidak-normalan. Dengan demikian masyarakat disadarkan dari bius post-truth yang sengat kerap disamarkan dalam kapsul agama, lalu menaruh kepercayaan pada (metode-metode) sains.

Berbeda dengan ilmuan Indonesia yang nampak adem, American scientist secara proaktif bergerak dalam upaya ‘merebut kembali’ kepercayaan publik terhadap sains.  Hasil-hasil riset diperjuangkan untuk dipertimbangkan dalam kebijakan-kebijakan publik. Misalnya, tentang pemanasan global, perubahan iklim, kesehatan, dan sebagainya yang merupakan isu-isu sentral politik yang ‘seksi’ dimanipulasi dan dijadikan jualan dalam kampanye politik.    

Saya yakin juga, bahwa mereka yang terlibat dalam kubu-kubuan politik di Pilpres 2019, juga kelak di Pilkada 2020 merupakan kaum terdidik.  Bila mereka berpikir pilihan ‘ideologi  PPK” hanyalah strategi praktis untuk memenangkan kontestasi, dan akan mengembalikan keadaan setelah berkuasa, itu spekulasi berbahaya. Kenikmatan memenangi konstetasi dengan strategi post-truth akan membuat Anda semakin mengandalkannya sehingga menjadikan ‘gaya kepemimpinan’ dalam mengelola kekuasaan. Selanjutnya dilestarikan, dimodifikasi dan terus diinovasi demi mempertahankan kekuasaan serta memperluasnya. 

Diamnya kaum intelek bukan sekadar bunuh diri, melainkan juga membunuh peradaban. Implikasi dari ‘kemenangan post-truth’ akan sangat serius. Bila ditangan para manipulator agama, manusia akan terlempar kembali ke abad pertengahan, dimana sekelompok elit agama saja yang menjadi penentu standar kebenaran dan moralitas. Kebenaran tidak terletak pada obyeknya, melainkan pada titah pemegang kuasa agama, yang berperan melampaui kebenaran. Maka, secara umum kemenangan PPK akan membawa manusia membangun peradaban di atas konstruksi informasi palsu yang lemah dan menyesatkan. Lalu, peradaban macam apa yang akan kita capai bila politik dibangun diatas dasar kepalsuan?

Semoga di tahun politik pilkada serentak 2020 ini para intelek dan kaum terpelajar berperan lebih aktif menghadirkan metode-metode sains dalam Pilkada, mulai dari proses perekrutan kandidat, disain isu kampanye (analalisis kebutuhan),  rancangan metode dan strategi pemenangan hingga publikasi hasil. Medsos hendaknya dipenuhi berbagai diskusi dan analisis wacana menggunakan prinsip-prinsip sains, yang secara langsung maupun tak langsung ikut mengedukasi melalui literasi media sosial. Dengan demikian, kiranya masyarakat dapat terinformasi secara tepat serta bersikap kritis terhadap isu-isu kampanye maupun rekam jejak para  kandidat. Demokrasi substansif hanya bisa tersaji lewat kerja-kerja sains, dan bukan manipulasi fakta yang menjadi sumber polusi nalar!

Semuel S. Lusi,  peneliti pada Center for Critical Thinking Development-UKSW Salatiga, dan co-founder  Indonesia Menalar