Dialektika filsafat ketuhanan di UKSW

CCTD UKSW kembali melaksanakan kursus filsafat dengan topik “Filsafat Ketuhanan”. Kursus dilakukan pada hari senin (2/12/2019), bertempat di ruang Probowinoto gedung G UKSW, dari pukul 16.00 hingga 20.00 wib. Pemaparan topik ini, dibagi dalam dua sessi, yakni sessi pertama tentang dialektika filsafat ketuhanan dengan atheis, agnostik dan pemikiran lainnya, yang menyerang eksistensi Tuhan. Dan sessi kedua, tentang hakekat filsafat ketuhanan.

Prof. Franz Magnis-Suseno sebagai pemateri, menyajkan konten filsafat ketuhanan secara menarik. Ia memaparkan penolakan eksistensi Tuhan lewat beberapa pemikiran masa modern, yakni pemikiran filsuf Feurbach, bahwa Tuhan merupakan proyeksi diri manusia. Juga Sigmund Freud seorang psikoanalis yang menyatakan bahwa agama merupakan suatu bentuk ilusi. Serta filsuf Jean-Paul Sartre, yang mengungkapkan bahwa dengan adanya Allah, maka manusia tidak bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Dan bahkan hingga munculnya Agnostisisme pada abad ke-20, yang menyatakan bahwa Allah tidak dapat diketahui. Magnis mengungkapkan bahwa, pemikiran-pemikiran tersebut tidak mampu menjelaskan tentang Tuhan, dan mengakhirinya dengan ketiadaan Tuhan. Dan hal tersebut merupakan kekeliruan dalam memahami filsafat ketuhanan. Karena menurut Magnis, dalam berbicara tentang Tuhan tidak bisa menggunakan bahasa yang univok, namun menggunakan bahasa penyangkalan. Konsep “hati nurani” merupakan bentuk memahami Tuhan dalam diri manusia. Karena hati nurani merupakan obyek yang sudah ada sejak manusia lahir dan terus berkembang mengawal penalaran manusia tentang sesuatu. Dengan demikian, Tuhan bukanlah materi yang sama dengan obyek filsafat lainnya.

Selanjutnya Magnis mengungkapkan bahwa dalam filsafat Ketuhan, berbicara tentang imanensi dan transedensi, kehendak bebas manusia, dan penderitaan. Dengan mendialektikakan ketiga hal tersebut, maka akan terbentuk diskursus tentang Tuhan.

Dengan pemaparan demikian, maka menimbulkan banyak diskusi. Peserta kursus dan Magnis mendiskusikan berbagai hal tentang ketuhanan. Dalam diskusi tersebut, Magnis membatasi bahwa Tuhan yang dipahami dalam kursus ini, menggunakan metode filsafat. Untuk itu terbuka untuk didialektikakan. Hal ini berbeda dengan Tuhan spiritual dalam filsafat timur. Selain itu, konsep “hati nurani” sebagai bagian dari etika juga diposisikan secara tepat dalam memahami Tuhan.

Magnis dan peserta mampu membuat empat jam kursus filsafat tidak membosankan. Dialektika yang dibangun, serta kekayaan sudut pandang menambah gairah ruang diskusi. Diskusi dalam kursus Filsafat berakhir pada pukul 20.00 wib. Dan diakhiri dengan foto bersama kurang lebih 58 peserta kursus dengan Franz Magnis-Suseno.