Lemahnya Keterampilan Membaca Kritis

Kalau membaca adalah jendela dunia, maka Indonesia masih butuh kerja keras membuat jendela, terutama jendela-jendela yang lebar dan kokoh.

Data yang pernah dirilis UNESCO mengungkap minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, artinya dari setiap 1000 orang hanya satu yang rajin membaca.  World’s Most Literate Nations juga pernah merilis hasil survei tahun 2016 menunjukkan tingkat literasi Indonesia berada di rangking 60 dari 61 negara. Kesimpulannya, kemampuan membaca dan tingkat literasi masyarakat Indonesia sangat rendah.  Data ini banyak membuat gusar stakeholder  pendidikan  dan penggiat literasi di Indonesia.

Sayangnya, belum ada survei untuk mengetahui, dari kelompok minoritas yang tergolong “gemar membaca,” berapa yang bisa membaca secara kritis. Bila survei dilakukan, faktanya mungkin akan lebih memprihatinkan.

Membaca kritis membutuhkan metode. Kesalahan umum dalam membaca adalah tanpa  standar karenanya kerapkali sambil membaca teks pembaca sibuk sendiri dengan pikiran dan dinamika didalamnya. Akibatnya gagal memahami secara utuh logic of content dari tulisan yang dibaca. Padahal, tujuan membaca adalah memahami pikiran penulis, yang oleh  Richard Paul & Linda Elder (2013) dibahasakan sebagai masuk ke dalam pikiran penulis.

Elemen-elemen Membaca Kritis

Paul dan Elder mengembangkan studi Berpikir Kristis di Sonoma University mencakup tiga domain dengan sekurangnya 25 standar untuk mengevaluasi kualitas kritis sebuah produk penalaran, baik bentuk tulisan maupun orasi verbal. Ketiga domain dimaksud yaitu Intellectual Standard meliputi sekurangnya delapan indikator, Elements of Reasoning (EoR) juga mencakup delapan unsur, dan Intellectual Traits (kebajikan intelektual) meliputi sembilan elemen. Tentu tidak mudah menerapkan semua standar tersebut, namun tidak bisa terhindarkan bila benar-benar ingin membentuk kaum intelek yang kritis dan berkarakter bijak.  

Pengalaman menerapkannya bagi mahasiswa UKSW Salatiga, meski memberikan hasil awal yang mengecewakan, namun terlihat ada prospek setelah beberapa kali dilakukan di kelas berbeda. Terutama, dalam melatih keterampilan membaca kritis (critical reading), dimana mahasiswa diberikan bahan bacaan yang berbeda-beda lalu ditugaskan mengidentifikasi kedelapan elemen penalaran (EoR). 

Adapun kedelapan elemen penalaran dimaksud adalah purpose, question, information, concept, inference, implication,  assumption, dan point of view. Setiap produk penalaran, termasuk tulisan (bacaan) pasti memiliki tujuan (purpose), serta ingin menjawab pertanyaan atau membahas persoalan (question) tertentu. Untuk menjawab tujuan dan question, dibutuhkan informasi pendukung (information), berupa data, pendapat orang, pengalaman, gambaran fakta, contoh kasus dan ‘bukti-bukti empirik’ lainnya. Berdasarkan informasi dibuat interpretasi dan kesimpulan (inferences & conclusion), serta implikasi dari kesimpulan. Setiap tulisan menggunakan konsep (concept) dan menggambarkan sudut pandang atau perspektif penulis (point of view). Dalam membuat kesimpulan penulis mengalaskannya pada asumsi-asumsi tertentu yang menentukan sikap atau pendapatnya (assumption). Asumsi merupakan keyakinan dasar yang diatasnya penulis membangun premis, pernyataan atau kesimpulan.

EoR merupakan ‘rancang bangun’ penalaran, baik tulisan maupun lisan (orasi). Karenanya, EoR dapat digunakan sebagai ‘indikator asesmen’ untuk menguji kekritisan produk penalaran. Empat dimensi penalaran yang menjadi obyek penerapan EoR selain membaca (critical reading) adalah menulis (critical writing), mendengar (critical listening) dan berorasi (ciritical speaking).

Kemampuan Membaca Kritis

Penelitian di kelas Berpikir Kritis yang melibatkan 176 mahasiswa FEB UKSW tahun ajaran 2017/2018 memberikan hasil yang kurang menggembirakan. Mahasiswa dibagikan bahan-bahan bacaan berbeda-beda. Ada yang tema filsafat, ada yang tema-tema berpikir kritis. Juga, ada yang mendapatkan bahan bacaan berbahasa Indonesia, ada pula berbahasa Inggris. 

Mahasiswa diminta membaca lalu mengidentifikasi delapan elemen penalaran dalam bacaan.  Hasilnya, yang bisa mengidentifkasi elemen purpose hanya 55%,  Question 43%, Information 22%, Concept 34%, Inference & Interpretation 36%, Implication 28%, dan Assumption 24%.  Harus diakui bahwa ‘gaya penyajian’ dalam setiap tulisan ikut memengaruhi tingkat kesulitan dalam menemukan elemen-elemen tertentu, disamping faktor kekurangpahaman. 

Kesalahan umum yang ditemukan antara lain, misalnya dalam mengidentifikasi informasi sering tidak membaca cermat untuk menemukan data, pendapat orang, kasus dan fakta empirik lainnya yang digunakan penulis untuk membangun premis dan argumentasi. Umumnya dipahami informasi sebagai ‘pesan bernilai’ dari bahan bacaan sehingga temuannya tidak spesifik. Ketika membaca beberapa kalimat dan menangkap makna tertentu langsung disimpulkan sebagai informasi. Berkaitan dengan elemen kesimpulan, kesalahan umum terjadi  adalah membuat ringkasan dari pembahasan. Padahal, kesimpulan harusnya merupakan interpretasi terhadap informasi (data) serta jawaban tegas terhadap pertanyaan atau solusi terhadap pokok masalah yang dibahas (elemen question). Lebih parah lagi, elemen Implikasi disamakan dengan Kesimpulan dan Asumsi. Nampak masih ada kesulitan membedakan ketiganya.    

Meski eksperimen hanya pada EoR, seharusnya masih ada tahap lanjutan untuk mengases kedalaman karya tulis (bacaan).  Yaitu, mengidentifikasi Intellectual Standard dan Intellectual Trait. Misalnya, setelah mengidentifikasi elemen purpose, perlu dinilai apakah purpose memenuhi standar clarity (jelas), logic, dan  fairness (mempertimbangkan perspektif lain) atau tidak?  Apakah kesimpulan tulisan memenuhi standar fairness, relevant (menjawab purpose dan question), dan persisi atau tidak? Demikian seterusnya untuk elemen lainnya. Tahap ini baru akan efektif bila sudah terampil mengidentifikasi EoR.   

Secara keseluruhan hanya 11,9% (21 dari 176 responden) yang bisa mengerjakan semua instruksi dengan tepat. Artinya, kelompok ini menunjukkan kemampuan mengidentifikasi semua elemen penalaran dalam bacaan. Dengan kata lain, kemampuan membaca kritis bisa dikatakan tinggi. Meski masih kecil angka ini memberi harapan bahwa dengan memperbanyak latihan dan pembiasaan akan dapat menghasilkan pembaca-pembaca kritis. Dari segi bahasa, bahan bacaan berbahasa Inggris maupun Indonesia tidak berpengaruh. Kemampuan mengidentifikasi elemen-elemen penalaran tidak tergantung pada apakah bahan bacaan berbahasa Inggris atau Indonesia. 

Selalu ada momentum berbenah.  Setiap 23 April diperingati sebagai Hari Buku Sedunia, dan secara nasional dirayakan pada 17 Mei bertepatan dengan tanggal berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tahun 1980.  Semoga, menyongsong perayaannya tahun 2019 ini pemerintah, pendidik dan para pegiat literasi bisa menciptakan program-program kreatif dan menarik, sampai ke berbagai pelosok negeri. Sejauh ini para pegiat literasi sudah banyak berpartisipasi membangun rumah baca, komunitas baca, perpustakaan komunitas  atau perpustakaan keliling, dan sebagainya. Harapannya agar bisa meningkatkan minat baca masyarakat, tetapi sebaiknya juga dibarengi melatih kemampuan membaca kritis.

Tanpa melatih kemampuan membaca kritis, aktivitas membaca hanyalah rutinitas yang tidak menarik dan kurang memberi manfaat maksimal. Dengan terampil membaca kritis, aktivitas membaca menjadi semacam asesmen (kegiatan mengases bahan bacaan) sehingga lebih menantang dan memicu hasrat ‘menjelajah teks.” Sebagai bentuk keterampilan, membaca kritis membutuhkan latihan-latihan dan pembiasaan. Terutama untuk dunia pendidikan membaca kritis sudah menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditunda. Dengan demikian, pekerjaan rumah terbesar tidak hanya menumbuhkan minat baca masyarakat Indonesia, melainkan juga meningkatkan keterampilan membaca kritis (critical reading).

Semuel S.Lusi, Center for Critical Thinking Development-UKSW  Salatiga, dan pendiri Indonesia Menalar

Tulisan ini sudah dipublikasikan di KOMPAS.ID tgl.6 Mei 2019

 

 

Melampaui Post-truth

Negara sekaliber Amerika pun tidak berdaya dihajar post-truth. Kemenangan Trump di Pilpres AS 2016 didaku sebagai kemenangan gemilang post-truth. Bagaimana dengan Indonesia?

Dalam karya Ken Willber, seorang “filsuf integral” berjudul Trump and the Post-truth World (2017), post-truth dikaitkan dengan nihilisme, narsisme, sceptisime, dan post-modernisme, yang pada prinsipnya menolak kebenaran universal. Realitas dan kebenaran hanyalah persepsi atau terikat pada perspektif dan interpretasi individu. Juga, tidak ada kerangka moral dan kebajikan universal sebagai acuan bersama.  Asumsi-asumsi filosofis  itu menjadi dasar pijak operasi post-truth, baik dalam bentuk fake-news (berita bohong) maupun hoax(berita fakta yang dipelintir).

Berbeda dengan AS, di Indonesia virus post-truthikut dimainkan oknum-oknum yang menyandang gelar akademik professor dan doktor. Instrumen ilmiah seperti survei juga digunakan untuk mengefektifkan daya kerja kebohongan. Pada saat bersamaan, hasil kerja ilmiah yang merugikan didelegitimasi.

Agensi lain yang berkontribusi mengkultivasi post-truthdi lanskap politik Indonesia adalah oknum ulama atau politisi yang membajak agama. Memanfaatkan kewibawaan jubah gamis dan obralan ayat-ayat suci, mereka melontar umpan empuk untuk menjaring mangsa. Kepolosan religiusitas masyarakat Indonesia dijadikan lahan subur pengembangbiakan bibit kebohongan berbalut agama. Samahalnya dengan potensi dampak bagi  dunia pendidikan, demikian pula institusi agama diinstrumentasi bagi kepentingan politik sempit.   

Turun gunungnya kedua agensi ini didunia politik melipatgandakan daya kerja post-truth. Potensi menjadi lebih berbahaya lantaran pendidik dan ulama menyandang peran terhormat dalam struktur sosial. Pendidik dipercaya sebagai produsen pengetahuan dan pembentuk daya kritis masyarakat, sementara ulama identik dengan pencipta dan pengawal moral etis, penuntun ke pintu surga. Penyelewengan kedua profesi ini meski oleh oknum, berpotensi menyesatkan massa, menjerumuskannya ke labirin nihilitas yang berbahaya, sekaligus meruntuhkan reputasi institusi agama dan pendidikan.

Pengalaman Amerika

Hasil berbagai lembaga survei menjelang Pilpres 2016 menyimpulkan kemenangan Hillary Clinton. Misalnya poling dari Economist/YouGov, Bloomberg, IBD, ABC, Fox News, Monmouth, CBS News, Reuters, juga New York Times memperkirakan Hillary menang dengan selisih 1-6%.Pun, pada semua sesi debat capres para pengamat memenangkan Hillary.  Namun, hasil perhitungan suara membungkam semua lembaga survei dan penilaian pengamat.

Selama kampanye Trump ditengarai menggunakan fake news, antaralain menuduh Obama dan Hillary sebagai pendiri ISIS, adanya 30-an juta imigran illegal dan deportasi massal, tingkat pengangguran Amerika 42%, Laster Holt, moderator debat capres tidak netral karena pendukung partai Demokrat, dan masih banyak lagi. Setelah kebohongan dikonfirmasi dengan fakta kubu Trump enteng menyebutnya sebagai bukan kebohongan, melainkan “alternative facts.”

New York Times membuat pernyataan bernada keluhan, “we have entered an age of post-truth politics.”  Sebuah studi dari PolitiFact menemukan 70% dari pernyataan-pernyataan Trump terkategori mostly false, false, dan untruth. Atas ‘prestasi’ itu, Trump dianugrahi Lie of The Year 2015 dan 2017. Meski tentu Trump punya terobosan membangun Amerika, orang bisa juga bertanya, apa yang bisa dibanggakan dari kepala negara hasil ‘politik kebohongan’ dengan reputasi demikian? Menepis pesimisme Profesor Filsafat dari Cambridge University, Simon Blackburn berargumentasi, bahwa bukti banyaknya orang marah dan kesal pada kebohongan Trump mununjukkan masyarakat Amerika masih menghargai dan mengakui kebenaran. 

Apa yang didapatkan masyarakat Amerika dari kemenganan Trump?  Beberapa lembaga mencatat sejumlah perkembangan, antara lain penurunan pada indeks korupsi. Tahun pertama kepemimpinan Trump indeks korupsi global yang dirilis Transparency International mencatat rekor terburuk  sejak 2011. Oktober 2018 Pew Research Center merilis hasil survei terhadap 25 negara yang membandingkan pandangan positif terhadap Amerika Serikat, yaitu antara masa akhir kepemimpinan Obama (2016) dan dua tahun kepemimpinan Trump.  Hasil survei membuktikan adanya penurunan tajam sebagian besar negara, termasuk sekutu-sekutu dekat Amerika. Antara lain, Belanda (dari 65 diakhir pemerintahan Obama turun menjadi 37 di tahun 2017, lalu 34 di tahun 2018), Jerman (57 menjadi 35, 30), Kanada (65 menjadi 43, 39), Australia (60 menjadi 48, 54), Perancis (63 menjadi 46, 38), Indonesia (62 menjadi 48, 42), Jepang (72 menjadi 57, 67).  Hanya 3 negara yang memberikan pandangan positif, yaitu Rusia, Israel dan Kenya.Apakah penyebab turunya ‘pamor’ AS karena keterpilihan melalui ‘strategi’  kebohongan,  atau karena personalitas Trump?

Melampaui Post-truth

Sayangnya, hasil riset,misalnya dari  Alcott & Gentzkow, “Social Media and Fake News in 2016 Election” (2017) untuk pilpres Amerika, atau Oscar Barrera, dkk., “Facts, Alternative Facts, and Fact Checking in Times of Post-Truth Politics” (2018) untuk pilpres Perancis, menyimpulkan masyarakat pemilih selalu sudah terbelah dalam pemihakan kandidat. Akibatnya upaya koreksi atas informasi bohong,misalnya fact checking, tidak dapat berfungsi efektif. Bukankah tipikal pemilih seperti ini juga tergambarkan pada mayoritas pemilih Indonesia?

Seperti di Pilpres AS 2016, demikian pula pada pemilu serentak 2019 di Indonesia virus post-truthmenyebar ganas meneror massa. Kasus-kasus seperti bubarnya Indonesia di tahun 2030, isu kebangkitan PKI, jutaan kartu suara tercoblos, penganiayaan Ratna Sarumpaet, membanjirnya tenaga kerja asing,kecurangan penyelenggara pemilu, ketidaknetralan aparat, dan sebagainya.Bulan April menjelang dan pasca pemungutan suara, KOMINFO mendata beredarnya 22 hoax yang kebanyakan terkait Pemilu 2019, antara lain Cawapres 02 Sandiaga Uno diusir Prabowo Subianto karena menolak ikut deklarasi kemenangan, lembaga survei memihak paslon 01, KPU curang, dan sebagainya.Patut dicatat bahwa meski intensitasnya lebih banyak menyerang satu kubu tidaklah berarti kubu lain bersih dari serangan.

Post-truth adalah sebuah ketidaknormalan. Masyarakat beradab, apalagi yang berke-Tuhan-an seperti Indonesia masih berpegang pada nilai-nilai kebenaran dan moralitas ketuhanan sebagai nilai bersama.Sukarno menyebutnya dengan ke-Tuhanan yang berkebudayaan, yang sesungguhnya  merupakan spirit kolektifitas, yaitu beragama yang bermartabat, saling menghormati perbedaan dan gotong royong. Inilah modal sosial penangkal virus hoax dan  fake-news. Kalau spirit liberaslisme yang ‘memuja’ kebebasan individuseperti yang hidup di AS membuka ruang lebar bagi kebenaran parsial, maka semangat komunalitas masyarakat Indonesia selalu mengandaikan nilai-nilai bersama sebagai pegangan. Benar, bahwa liberalismetelahlama melanda Indonesia lewat pasar dan arus modernisasi, tetapi tidak mampu sepenuhnya melindas fondasi kolektifitas yang menjadi struktur dasar bangunan sosial.

Semangat kolektif dan dan gotong-royong ikut diendors agama-agama modern yang datang dari luar Nusantara. Lewat ajaran Islam, dalam salahsatu sesi debat capresJoko Widodo merumuskannya dengan sangat brilian, yaitu persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah) dan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathoniyah), yang disebutnya sebagai aset bangsa. Ajaran persaudaraan, meski dalam konsepsi yang berbeda-beda,  juga menjadi inti pesan dari agama lainnya, seperti Kristen, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Semua ini beresonansi dengan nilai-nilai autentik, termasuk ajaran agama-agama lokal masyarakat Nusantara untuk membangun ‘nilai bersama’ masyarakat Indonesia.

Memang tidak sedikit yang terlanjur terjangkiti wabah post-truthlantaran terpengaruh mainan oknum yang memiliki kedudukan terhormat, sehingga membelah masyarakat dalam sekat-sekat dukungan politik. Bukan oleh kesadaran akan pilihan-pilihannya, melainkan oleh kabar bohong dan fakta pelintiran.Namun, dengan modal sosial semangat persaudaran dan gotong-royong  post-truth niscaya dapat dilampaui.

Seperti diketahui, pemilu 2019 dipantau 32 kedutaan besar, 11 penyelenggaran Pemilu luar negeri, 8 NGO Internasional dan 6 NGO Lokal. Apresiasi yang diberikan para pemimpin dunia dan lembaga internasional bisa dijadikan ‘tropi kebanggaan’ untuk memperkuat ikatan persaudaraan kebangsaan.Perbedaan pilihan politik itu normal, saatnya semua kembali bersatu untuk bergotong-royong membangun bangsa dengan berpijak pada pilar-pilar kebenaran dan nilai-nilai moral religius. Karena pemilu hanya berusia lima tahunan tetapi persaudaraan bersifat abadi. Kita buktikan diri sebagai bangsa beradab dan ber-ketuhanan.

Semuel S.Lusi, Peneliti pada Center for Critical Thinking Development-UKSW  Salatiga, dan pendiri Indonesia Menalar

Tulisan ini sudah dipublikasikan di DETIK.COM tgl.3 Mei 2019