𝟓 𝐌𝐈𝐍𝐔𝐓𝐄 𝐏𝐑𝐄𝐒𝐄𝐍𝐓𝐀𝐓𝐈𝐎𝐍 (𝟓𝐌𝐏) 𝐃𝐈 𝐔𝐊𝐒𝐖

Sebagian warga akademik mungkin cukup akrab dengan TMT (𝗧𝗵𝗿𝗲𝗲 𝗠𝗶𝗻𝘂𝘁𝗲 𝗧𝗵𝗲𝘀𝗶𝘀). Sebuah inovasi yang diintroduksi oleh University of Quensland sekitar 2008/2009. Inovasi ini memberi kesempatan kepada para peneliti, umumnya mahasiswa magister dan doktoral untuk mempresentasikan hasil riset mereka, hanya dalam waktu 3 menit. Ini tantangan yang tidak mudah. Bayangkan, membuat presentasi hasil riset yang mungkin ratusan halaman hanya dalam waktu sesingkat itu. Kompetensi utama yang dibutuhkan untuk itu tidak saja penguasaan materi, tetapi juga kemampuan membuat media (infografis, mindmap dan sejenisnya) serta me-manage waktu. Dalam hal ini kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efisien juga dibutuhkan.

Hingga hari ini TMT telah diadopsi di ratusan universitas berbagai negara, baik Asia Pasifik, Eropa maupun Amerika. Di Indonesia terekam FISIPOL UGM yang pertama kali menyelenggarakannya di tahun 2021, dengan menyertakan juga mahasiswa S1 dan S2. Dirancang sebagai event kompetisi membuat even ini “bergengsi,” dan menantang. Dampaknya akan luar biasa sebab dapat memproduksi “presenter-presenter sains” yang mumpuni. Karenanya, TMT memang sangat sesuai untuk mahasiswa-mahasiswa tahun terakhir, apalagi untuk mahasiswa magister dan doktoral sehingga selayaknya dilihat sebagai “hal yang tak terhindarkan.”

Tetapi, bukankah mahasiswa tahun pertama di bangku kuliah juga membutuhkan keterampilan mengkomunikasikan pengetahuan? Bahkan, mungkin lebih membutuhkannya, mengingat hampir semua proses pembelajaran di kampus melibatkan keterampilan menulis dan presentasi? Tentu saja, ini mempersyaratkan kemampuan dasar terkait literasi ilmiah (memahami proses dan cara-cara kerja ilmiah), kemudian baru mengkomunikasikannya. Dimulai dari lingkungan terbatas pada diskusi-diskusi kelompok, diskusi kelas, lalu ke lingkungan lebih luas seiring perkembangan tingkat kematangan dalam “produksi” pengetahuan. Itulah sebabnya kompetensi-kompetensi ini sudah seharusnya dikuasai, setidaknya dipahami sejak ditahun pertama.

Pusat Pengembangan Pemikiran Kritis (CCTD) UKSW sebagai pengelola MDU Berpikir Kritis mengamati, bahwa kebutuhan mempersiapkan mahasiswa tahun pertama agar memiliki literasi ilmiah merupakan prasyarat penting. Jamak dikeluhkan para dosen bahwa mahasiswa kurang kritis, bermentalitas copas (plagiasi), punya kemampuan menulis dan presentasi (komunikasi) yang lemah. Sayangnya, bertahun-tahun kendala ini hanya menjadi keluhan, tanpa intervensi atau terobosan untuk memberi solusi.

Itulah sebabnya CCTD UKSW melalui kuliah Berpikir Kritis memutuskan merancang silabus untuk memberikan literasi ilmiah kepada mahasiswa tahun pertama, dengan menekankan pada latihan keterampilan menulis (Critcal Writing) dan keterampilan presentasi (Critical Speaking). Artinya, hasil-hasil “latihan memahami dan memproduksi pengetahuan” harus diikuti kemampuan mempresentasikannya dalam bentuk tulisan maupun verbal.

Sebagai Tugas Akhir Semester (TAS), mahasiswa diminta menulis esai lalu membuat presentasi verbal. Kedua tugas ini merupakan bagian dari penilaian TAS. Melalui proses pelatihan dan pendampingan, mahasiswa diminta mempersiapkan presentasi dalam bentuk MINDMAP atau INFOGRAFIS, dengan durasi maksimal 5 menit. Itulah sebabnya, kami namai FMP (𝐅𝐢𝐯𝐞 𝐌𝐢𝐧𝐮𝐭𝐞 𝐏𝐫𝐞𝐬𝐞𝐧𝐭𝐚𝐭𝐢𝐨𝐧). Kalau TMT diperuntukkan bagi para “presenter sains professional,” maka FMP diadakan untuk para pemula sehingga sifatnya sebagai forum latihan saja. Karena itu, kelak standar-standar penilaiannya (bila hendak dijadikan ajang kompetisi) disesuaikan sesuai levelnya itu.

TAS dapat dipresentasikan secara langsung maupun recorded. Mahasiswa diberi kebebasan memilih. Bagi yang ingin merekam sendiri dapat meng-uploadnya di youtube channel pribadi lalu menyerahkan link-nya. Sedangkan, bagi yang ingin presentasi langsung, disediakan forum untuk live streaming di youtube channel CCTD UKSW, .

Pada sesi perdana ini dilaksanakan 8-9 Desember 2022. Mahasiswa yang mengikuti presentasi live sebanyak 43 peserta. Jumlah yang melampaui ekspektasi kami. Berkolaborasi dengan Ruang Saling Silang (RSS) presentasi live diadakan di café rumah Kolega (Grogol, Salatiga).

Setelah presentasi, tim membuat evauasi keseluruhan untuk lebih mempersiapkan session berikutnya. Tetapi, terutama adalah juga dijadikan bahan masukan untuk menyempurnakan materi (konten), media, pendekatan, maupun metode belajar-mengajar di kelas. Seperti dapat Anda lihat di gambar-gambar lampiran, hasil-hasil disain mindmap atau infografis cukup kreatif. Perform mereka juga tidak mengecewakan, bahkan dapat memberikan alasan untuk kita optimis dan berharap banyak di masa depan.

Semoga, dengan hadirnya FMP ini membuat mahasiswa UKSW di tahun pertama memiliki keterampilan dasar yang membantunya berproses secara mulus dan lancar. Bahkan berkontribusi dalam pembentukan kultur akademik, tidak hanya untuk kepentingan jangka pendek tetapi juga jangka panjang. Untuk kepentingan di kampus. Kedua keterampilan dasar yaitu menulis (critical writing) dan presentasi (critical speaking) akan membantunya mengerjakan tugas-tugas perkuliahan dan membantu mahasiswa menalar produk intelektual mereka. Kedua keterampilan itu juga akan sangat dibutuhkan di dunia kerja (karier), bahkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sebab menulis dan presentasi (komunikasi) merupakan life skill.

Epistemologi & Metodologi Fenomenologi.

CCTD UKSW kembali melanjutkan seri kursus epistemologi dan metodologi. Pada 13 Mei 2022, pukul 14.00-16.00 WIB, Thomas A. Tjaya, Ph.D sebagai pemateri membawa materi dengan pendekatan dialog, membuat para peserta terlibat aktif dalam sessi ke-7 ini. Topik epistemologi dan metodologi fenomenologi disajikan dengan menarik dan penuh diskusi antar pemateri dan peserta.

Bagaimana kita melihat dan memahami realitas diluar kita? Menurut Husserl kita tidak bisa memahami realitas diluar diri kita, apabila realitas tidak menampakan diri pada subyek. Husserl mengembalikan proses mendapatkan pengetahuan ke asal mula pengalaman untuk mendapatkan pengetahuan, yakni benda-benda yang ada diamati. Pengamat diminta kembali pada benda-benda yang akan membantu kita untuk mendapatkan pengalaman dalam melahirkan pengetahuan. Pada akhirnya obyek merupakan apa yang menampakkan diri pada kesadaran manusia. Hal inilah yang melahirkan pendekatan fenomenologi. Karena fenomen merupakan apa yang menampakkan diri pada kesadaran manusia. Dalam kesadaran tersebut membentuk perspektif terhadap benda yang dilihatnya.

Menurut Husserl, Nomena merupakan intensional dari kesadaran kita saat berhadapan dengan realitas. Dalam intensionalitas tersebut hanya akan didekati oleh satu aspek saja, dan bukan melihat secara keseluruan. Dalam fenomenologi membutuhkan sikap alamiah dari realitas yang ada diluar sana. Jadi siapa pun yang meneliti dan mengamati dunia, maka ia melihat dunia yang tetap sama dan tidak berubah. Untuk itu hindari diri dari membuat asumsi yang membuang sikap alamiah. Sikap alamiah dapat dilihat secara spesifik dengan membuat pengurungan (epoche-bracketing) untuk melihat realitas alamiah secara rinci. Contoh sikap alamiah adalah dengan melihat dunia sebagaimana apa adanya. Walaupun ada asumsi saat mengamati realitas. Namun diupayakan sikap alamiah dalam melihat realitas. Misal jika kita memandang sebuah benda dari depan, maka diupayakan mengungkapkan ralitas didepan yang dilihat. Bagian belakang yang tidak terlihat, tidak perlu diungkapkan. Karena akan bias dan mengandung banyak asumsi. Jadi sikap alamiah berupaya melihat realitas sebagaimana yang tampak.

Fenomenologi membutuhkan tanggungjawab dalam memahami realitas, sehingga kebenaran tidak direduksi.

Video lengkap:

Epistemologi & Hermeneutika.

Jumat, 22 April 2022, pukul 14.00-16.00 WIB, Pusat Pengembangan Pemikiran Kritis UKSW kembali melaksanakan Kursus Epstemologi & Metodologi. Pada sessi kali ini Dr. Dwi Kristanto, dosen dari STF Driyarkara, memaparkan tentang dialektis dalam epistemologi hermeneutika.

Benarkah sains dapat menjadi pengamat realitas yang benar-benar netral? Pertanyaan yang menjadi awal dari pemaparan materi oleh Dr. H. Dwi Kristanto.

Sains dalam melakukan aktifitas verifikasi tidak pernah netral. Karena selalu ada backgroud knowledge dibalik kerja-kerja sains.

Menurut Heisenberg, hukum alam belum bersifat mutlak, namun dugaan. Untuk itu ada interpretasi dalam natural sains. Aktivitas mengetahui tidak lepas dari aktivitas menafsir. Pada saat seseorang mencari tahu tentang realitas obyek tertentu, maka yang dilakukan orang tersebut adalah menafsir obyek yang tidak dikenal dihadapannya.

Dalam lingkaran hermeneutika, pengetahuan diperoleh lewat aktivitas mengintegrasikan dan kontekstualisasi bagian-bagian (partikular) dalam keseluruan. Dengan melakukan aktivitas ini, maka kita mengetahui dan memahami segala sesuatu.

Dalam pemaparan materinya romo Dwi memaparkan tujuan dan hakekat dari hermenutika, hingga perkembangannya dalam konstruksi ilmu pengetahuan.

Ada tiga kondisi yang perlu diselidiki agar manusia bisa memahami, yakni: Hakekat Kesadaran, Hakekat Kebenaran, dan Hakekat Bahasa.

Dialog antara pemateri dan peserta membuat diskusi ini semakin menarik.

Video lengkap sessi 7:

Epistemologi & Metodologi Kritisisme Kant.

Presentasi Dr.Simon P.L.Tjahjadi pada sesi 4 kursus Epistemologi dan Metodologi UKSW 2022 (1/4/22) termasuk berat tetapi juga sangat penting. Persoalnnya, melalui proyek filsafat kritis, Kant mendaku telah mensintesa pertentangan rasionalisme dan emperisme. Kalau rasionalisme mendahulukan rasio sebagai sumber pengetahuan, sebaliknya emperisme menegasi rasio dan mengusung pengalaman. Bagi rasionalisme, pengalaman hanya menegaskan pengetahuan yang sudah “tertanam” di rasio. Sebuah pohon yang kita lihat dan pegang (alami) menegaskan “pohon ide” yang telah ada sebagai ide bawaan (rasio murni). Ini khas Platonian, yaitu substansi mendahului materi. Sementara, bagi emperisme kita terlebih dahulu mengalami “pohon indrawi” barulah rasio mengabtraskinya sebagai pohon ide. Ringkasnya, dari pohon indrawilah lahir kondepsi/ide pohon. Ini sangat Aristotelian, yaitu materi mendahului substansi.

Meski demikian, keduanya sama-sama tidak memberi kepastian pengetahuan, persis karena masing-masing berdiri di “titik ekstrim” yang berbeda. Setidaknya, itulah (antaralain) argumen Kant. Lalu, apakah Kant benar-benar menghasilkan sebuah sintesa parmanen? Bagaimana Kant mencapai sintesa itu?

Berbeda dengan para filsuf sebelumnya, Kant memulai epistemologinya dengan menyelidiki “kapasitas manusia dalam hal mengetahui.” Tentu saja, dimaksud adalah kapasitas rasio. Tetapi, secara proses (praktis) pengetahuan dimulai dari pengalaman (induksi). Dengan terlebih dahulu menyelediki kapasitas manusia, filsafat kritis Kant memetakan sampai di mana batas-batas kemampuan mengetahui, apa saja yang dimungkinkan untuk diketahui dan apa yang tidak bisa diketahui, persis karena kapasitas untuk itu tidak ada. Katakanlah manusia tidak dibekali fitur untuk mengetahui jenis pengetahuan tertentu.

Seperti menggunakan sebuah HP keluaran tahun 1990-an, kita tidak dapat mengakses internet dan bermedia sosial. Bukan karena internet dan media sosial tidak eksis, melainkan karena default dari device yang digunakan tidak memiliki fitur-fitur yang memungkinkannya mengakses.

Proyek epistemologi Kant dibahas dalam karyanya “Kritik der reinen Vernunft” atau Critiques of Pure Reason (1781). Disini kapasitas mengetahui dipaparkan. Tanpa kapasitas (fitur-fitur) yang memungkinkan pengetahuan, manusia tidak dapat mengetahui. Itulah sebabnya kritisime menganjurkan penyelidikan dimulai dari kemungkinan-kemunginan pengetahuan, dan bukan dari pengalaman atau obyek indrawi. Kant lalu memetakan tiga level pengetahuan, yang tersurat dalam pernyataan ini:

“All our knowledge begins with THE SENSES, procceds them to the UNDERSTANDING, and ends with REASON. There is nothing higher than REASON,” seperti dikutib Dr. Tjahjadi dalam Critiques of Pure Reason. Dari pernyataan di atas, secara eksplisit memuat ketiga level pengetahuan, yaitu senses, understanding dan, sebagai yang tertinggi adalah reason.

Ketika memandang dari ketinggian puncak Merbabu, Anda melihat persawahan dan lahan pertanian yang tertata indah. Pepohonan dan bunga-bungaan, gemerlap kota di kejauhan, dan bentangan Rawa Pening dengan sebagian besarnya tertutup enceng gondok. Juga, aktifitas-aktifitas penduduk di lahan pertanian. Semua itu barulah data pengalaman, yang secara serentak diproses oleh rasio murni (kategori apriori), khususnya ruang waktu. Dengan kategori ruang waktu Anda mengatribusi hasil pencerapan indrawi dari puncak Merbabu sebagai lahan yang luas, lebar, pepohonan tinggi, rendah, tanaman baru (muda), tanaman tua, dan sebagainya. Inilah pengetahuan level I, yaitu SENSES atau tahap pencerapan indrawi (Sinneswahrnehmung). Senses atau pengalaman adalah data-data indrawi plus ruang-waktu.

Sebelum dilanjutkan, perlu disadari dua hal disini. Pertama; bahwa sejak mula di level senses sudah terdapat “kerjasama antara rasio dan pengalaman.” Jadi, bukan rasio atau pengalaman yang mendahului, melainkan kerjasama keduanya berlangsung secara serentak. Rasio murni memungkinkan manusia memaknai pengalaman pengamatan. Kedua; kausalitas yang ditolak David Hume karena dianggap bersifat metafisik lantaran berada diluar pengamatan indrawi, oleh Kant diposisikan sebagai rasio murni atau ide bawaan, yaitu sebagai modalitas yang membantu memproses pengetahuan.

Data dari senses (pengetahuan level I) ditata oleh kategori apriori, terutama ruang waktu. Bagi Kant, ruang waktu bukanlah entitas diluar subyek, melainkan “default” manusia yang membantunya menata pengetahuan. Selain ruang waktu, terdapat 12 kategori apriori (rasio murni non pengalaman), antara lain kausalitas, keindahan (beautifulness), quantity dan quality. Dengan ke-12 kategori apriori yang merupakan struktur internal pengamat atau default, Anda dimungkinkan memaknai pengalaman pengamatan sebagai pohon-pohon, lahan persawahan, petak-petak sayur mayur dengan atribusi ruang waktu yaitu panjang, lebar, luas, tinggi-rendah, tua-muda, baru-lama dan sebagainya. Atribusi keindahan untuk nilai estetik seperti pemandangan yang indah, bunga-bungaan yang indah, tertata dan sebagainya. Kategori kualitas dan kuantitas tentang jumlah (banyak-sedikit) dan mutu tanaman atau lahan. Sementara, kategori kausalitas memungkinkan Anda menjelaskan relasi antara penanganan (manejemen) pertanian dengan hasilnya, perawatan dan penataan dengan keindahan, dan sebagainya.

Semuanya merupakan rasio murni yang membantu menata dan memaknai pengalaman indrawi serta memproses pengetahuan. Inilah level II dari pengetahuan, yaitu understanding atau pencerapan akal budi (Verstand). Cobalah bayangkan, bagaimana pengetahuan dimungkinkan tanpa peran rasio murni, yaitu kategori-kategori apriori di atas?

Sebuah problem pada emperisme terselesaikan di sini. Kalau pada skeptisme David Hume, si A yang meninggal karena ditembak dengan pistol oleh si B tidak dapat dikatakan A meninggal oleh sebab tembakan senjata api (melainkan meninggal setelah ada tembakan), pada filsafat kritis Kant telah menjadi jelas. Kausalitas memang bukan obyek pengamatan (di luar pengamat), melainkan modalitas apriori (bagian integral atau kekeran atau default pengamat/subyek) yang berguna menginterpretasi pengalaman. Hubungan kausalitas A dan B bukan sebagai hasil pengamatan, melainkna hasil kerja rasio murni setelah memproses data pengamatan. Disini kepastian diperoleh, sebab yang diproses bukan pengalaman (yang tidak dapat memberikan kepastian itu) melainkan rasio murni. Melalui rasio murni sebagai “wadah atau fasilitas memasak pengalaman menjadi pengetahuan,” tersedia dasar-dasar kokoh bagi pengetahuan.

Semua pengetahuan yang dihasilkan di level II dilihat dalam cakupan yang lebih luas, saling terkoneksi dan menyeluruh. Ini fungsi regulative yang menjadi bobotan pengetahuan level III sebagai level tertinggi dari pengetahuan, yaitu reason. Namun, perlu dicatat bahwa reason disini berbeda dari makna frasa itu dalam bahasa Inggris. Pada Kant, reason yang dimaksud adalah intelek / intellect (Latin) atau nous (Yunani) atau vernunft (Jerman), yang oleh Dr. Simon P.L.Tjahjadi diterjemahkan sebagai budi. Itulah yang tertinggi dari pengetahuan.

Hakikat akal-budi (reason/nous) itu melampaui nalar. Ia bukan anti-nalar, melainkan beyond nalar atau rasio. Ia juga merupakan kapasitas dan hasilnya adalah kebijaksanaan.

Reason atau intelek menata (fungsi regulator) pengetahuan karena ditopang oleh tiga ide bawaan, yaitu ide dunia, ide jiwa dan ide Tuhan. Ide dunia disebut oleh Dr.S.P.L.Tjahjadi sebagai folder penyimpan data, ide jiwa sebagai folder untuk perasaan, estetika, etika dan sejenisnya, dan ide Tuhan sebagai super folder yang menata segalanya. Bagaimana peran Tuhan? Bila emperisme Hume menolak tuhan dan semua atribut metafisika, maka kritisisme Kant menempatkan Tuhan sebagai fungsi regulator. Sebagai ide regulatif, Tuhan adalah penata pengetahuan yang karenanya tidak dapat menjadi obyek pengetahuan, obyek pengamatan atau obyek indrawi. Itu sebabnya, tujuan pengetahuan atau level pengetahuan tertinggi pada akhirnya adalah intelek atau “kepekaan” budi, dimana semua bentuk pengetahaun telah dirangkum sehingga membentuk sikap bijak/wisdom. Kita tentu ingat piramida pengetahuan Russel Ackoff, dimana pengetahuan berawal dari Data ke Informasi ke Pengetahuan dan tertinggi Wisdom (DIKW pyramide).

Bagaimana memahami keberadaan Tuhan? Menurut Kant, Tuhan berada dalam suara hati. Itulah sebabnya, hati nurani dapat memberi kepastian sebab ia tidak tergantung pada apa pun diluarnya. Bila kita tergoda akan melakukan sebuah kejahatan, hatinurani tanpa tedeng aling menegur / mengingatkan kita dengan keras. Artinya ia tidak tergantung pada kita dan seakan memiliki otoritas yang kuat. Ia juga tidak tergantung pada orang tua kita, pastor/pendeta atau ulama kita, dan sebagainya. Ia memiliki kewibawaan independen dalam melakukan fungsi regulator. Dengan kata lain, Tuhan tidak dapat diketahui melalui rasio murni melainkan rasio praktis, yaitu hatinurani.

Anda menangkap sedikit keganjilan, bukan? Bagaimana ide Tuhan tiba-tiba muncul dan berperan sangat penting yaitu sebagai regulator pengetahuan, namun Ia tidak dapat diketahui? Bukankah mengasumsikan Tuhan sebagai regulator telah mengandaikan “bentuk pengetahuan” atas-Nya?

Meski mendaku mensintesa pertentangan Rasionalisme (tesa) dan Emperisme (antitesa), filsafat kritis Kant berakhir di sebuah simpang baru yang menandai keterbelahan. Darinya lahir idealisme Jerman (dikenal juga sebagai transendetalisme atau spiritualisme) dengan Hegel sebagai arsitek utama, dan Positivisme Prancis dimana August Comte sebagai tokohnya. Idealisme kembali mempertegas peran “ide/Tuhan/Roh” dalam proses pengetahuan, sementara Positivisme mengamputasi unsur-unsur metafisika Kant dan mengusung kembali peranan emperia (pengalaman) dengan standar keterukuran yang lebih ketat. Sains abad 19 telah beroperasi dengan epistemologi positivisme dan melibatkan banyak tokoh selain Comte, yakni Karl Popper, John Stuart Mill (kemudian mengembangkan aliran Utilitarianisme), Ĕmile Durkheim, Ludwig Wittgenstein, Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer.

Untuk menonton aktivitas kursus secara lengkap dapat dinonton dalam video berikut:


Epistemologi & Metodologi Empirisisme Hume

Kursus epistemologi dan metodologi segera memasuki sesi keempat (dari 10 sesi). Di sesi pertama Dr.Setyo Wibowo membawa kita ke permulaan aktivitas epistemologi oleh para pemikir Yunani antik. Merekalah yang meletakkan dasar bagi kegiatan berpikir ilmiah dan merintis apa yang kemudian kita kenal sebagai epistemologi. Pun, para pemikir Yunani telah berspekulasi tentang esensi realitas. Melalui Demokritus, misalnya, Sains modern telah mewarisi atom sebagai “inti realitas,” juga teorema Pytagoras, kosmologi Aristotelian (dan Ptolomeus), Geometri Platonian, dan sebagainya. Bahkan, skeptisme nihilisme telah lahir melalui gagasan Gorgias diabad ke-5 SM.

Sekitar 2000 tahun kemudian setelah melalui lorong remang 1000 tahun abad pertengahan, munculah Rene Descartes di panggung peradaban dengan mendeklarasikan Rasionalisme. Melalui metode kesangsian radikal, ia mentahbiskan rasio/nalar sebagai “satu-satunya jalan” menuju pengetahuan. Indera bisa menipu karenanya tidak bisa menjadi pegangan kokoh bagi pengetahuan. Meski demikian, seperti kita pahami melalui presentasi Dr.Karlina Supelli, sains telah membuktikan bahwa rasio tidak tahan uji, dan melaluinya kepastian pengetahuan tidak terjamin.

David Hume (dan emperis lainnya seperti John Locke dan Barkley) kemudian memperkenalkan metode skeptisme (radikal). Metode ini menolak rasionalisme, karena bagi mereka yang nyata ada adalah apa yang bisa kita alami secara langsung. Pengalaman (emperia)lah jalan menuju pengetahuan, bukan rasio. David Hume, sebagai salah satu arsitek utama emperisme sesungguhnya terobsesi dengan emperisme Isaac Newton, yaitu bertitiktolak dari gejala. Bahwa gejala mendorong pengamatan dan pengalaman lalu menjadi awal pencarian pengetahuan.

Guna memperlihatkan perbedaan antara rasionalisme dan emperisme, Dr. A. Widyarsono memberikan analogi yang menarik, yaitu dengan menjawab pertanyaan, “bagaimana sebuah pohon diketahui sebagai pohon?” Rasionalisme akan menjawab, “oh, di dalam pikiran kita sudah ada ide tentang pohon (innate ideas), sehingga ketika melihat pohon di sana kita segera ketahui itu sebagai pohon.” Tetapi, sebaliknya jawaban emperisme adalah, “ide tentang pohon muncul didalam pikiran kita, sesudah kita melihat atau meraba pohon di luar diri kita.”

Dari pemahaman di atas terlihat rasionalisme dan emperisme terkait secara oposisional. Keduanya mengklaim jalannya sendiri, apakah benda ada terlebih dahulu atau ide tentang benda yang terlebih dahulu ada? Perbedaan ontologis ini dengan sendirinya menjadi penciri perbedaan epistemologis keduanya. Hakikatnya, tidak seperti rasionalisme yang mengusung rasio atau nalar, emperisme meletakkan jalan pengetahuan melalui daya sensorik dari sistem pengindraan manusia.

Maka, jelas proyek emperisme Hume melawan gagasan ide bawaan yang diusung rasionalisme. Juga menyerang pemikiran religius, termasuk kaum emperis yang masih percaya pada substansi (yang bersifat metafisik). Dengan kata lain, secara luas empersime menolak sepenuhnya metafisika.

Bagi emperisisme Hume, pengetahuan harus dibangun di atas pengalaman dan pengamatan yang ketat. Apapun yang tidak mengacu ke fakta dan pengalaman harus ditolak. Itulah sebabnya, gagasan keabadian jiwa, atau argumen untuk membuktikan eksistensi Tuhan sama sekali ditolak.

Bahkan, pada pandangan Hume kausalitas bersifat metafisik sehingga tidak dapat dibuktikan. Kita tidak dapat mengamatinya. Apa yang dianggap kausal hanyalah prediksi atas dasar prinsip asosiasi yang dimungkinkan karena lebih ditopang oleh “pengaharapan” ketimbang fakta obyektif yang bisa dialami. Prinsip asosiasi ini membawa kita melampaui pengamatan indrawi.

Bila seekor kucing ditabrak mobil lalu mati, kita tidak dapat mengatakan bahwa kucing mati oleh sebab tertabrak. Antara “mobil yang menabrak” dengan “kucing yang mati” hanyalah dua kejadian yang berurutan atau beruntun. Itulah fakta pengamatan, sebab memang yang dilihat oleh “saksi mata” hanyalah mulanya ada kejadian mobil menabrak, kemudian diikuti kucing mati.

Ini tentu membawa implikasi luas, misalnya pada kasus-kasus hukum. Bila seorang memberi kesaksian di pengadilan, bahwa ia menyaksikan “Si A dibunuh oleh si B dengan pistol” maka dalam pandangan Hume, si saksi mata telah bersaksi melampaui fakta indrawinya. Fakta sesungguhnya yang bisa diamati indra adalah, terjadi penembakan pistol oleh si B lalu diikuti kejadian si A meninggal.” Apakah si A meninggal disebabkan oleh peluru yang digelontorkan dari pistol si B sama sekali tidak dapat diamati dalam sebuah hubungan sebab akibat. Bukankah si A bisa saja meninggal karena faktor lain sebelum peluru mengenainya? Misalnya, serangan jantung? Intinya, kaitan atau proses sebab-akibat antara penembakan dan kematian tidak dapat diamati.

Itulah sebabnya skeptisme Hume dianggap radikal, karena bahkan ia mengatakan bahwa kita hanya bisa memprediksi besok matahari akan terbit di timur, tetapi tidak bisa memastikannya. Faktanya kita tidak atau belum mengalami hari esok sehingga tidak bisa membuat kesimpulan atas apa yang belum dialami. Kita hanya mungkin menprediskinya berdasarkan pengalaman sebelumnya, namun sebuah prediksi tentu bukanlah fakta. Kita juga bisa mengharapkan besok matahari terbit (di timur), tetapi pengharapan juga bukan fakta, bukan?

Sebagai runtun logis dari skeptisme radikalnya, Hume menegaskan tidak mungkin mencapai kepastian pengetahuan. Dengan bertopang pada pengalaman inderawi, Hume meyakini pengalaman yang menjadi fondasi pengetahuan itu sendiri tidak dapat memberi kepastian, melainkan ‘sekadar” probabilities. Artinya, semua pengetahuan yang kita miliki hanyalah berupa kemungkinan-kemungkinan yang bisa mendekati kepastian.

Pun, kita pahami bahwa penemuan sains menunjukkan realitas dapat melampaui fakta-fakta pengamatan seperti yang diidealkan Hume dan kaum empersime. Kepastian matematik, misalnya. Juga, banyak fakta hanya dapat dikonfigurasi melalui model abstrak atau formula matematik guna mensimplifikasi realitas agar bisa dipahami. Dan, kitapun tahu model dan formula bukanlah fakta sebagaimana “apa adanya”, bahkan bukan didasarkan atas sesuatu yang bisa disebut “fakta,” alih-alih “fakta teralami?”

Dengan demikian, baik rasionalisme maupun empersime belum dapat memberi kepastian pengetahuan. Artinya, baik kesangsian radikal rasionalisme maupun skeptisme radikal emperisme belum dapat memberikan kepastian pengetahuan.

Link sessi 3:

Epistemologi & Metodologi Rasionalisme Descartes

Kursus Epistemologi dan Metodologi UKSW 2022, sesi 2 tanggal 18/3/22 telah menghadirkan Dr.Karlian Supelli. Tema yang dibahasnya adalah Epistemologi Rasionalisme Descartes dan Kepastian Pengetahuan.

René Descartes (dalam literatur berbahasa Latin dikenal sebagai Renatus Cartesius) adalah filsuf matematikawan Prancis. Ia lahir di La Haye sebuah kota pinggiran di Tourine, Perancis Barat pada 31 Maret 1596, dan meninggal di Swiss 11 Februari 1650. Untuk menghormatinya, sejak tahun 1802 kota itu diganti namanya menjadi La Haye-Descartes, lalu 1967 diganti lagi dengan menghilangkan nama lamanya sehingga resmi bernama kota Descartes.

Filsuf Jerman Friedrich W. J. Schelling (1775–1854) mentahbiskan Descartes sebagai Bapak Filsafat Modern, dan disejajarkan dengan Francis Bacon. Kalau Bacon didaku sebagai peletak dasar sains modern, maka Descartes sebagai peletak dasar Epistemologi Modern.

Dua buah karya masterpiece-nya adalah Discours de la méthode (1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641). Jargon yang melekat padanya sangat terkenal, yaitu cogito ergo sum (Prancis: Je Pense, Donc Je Suis) muncul dalam karya ini. Label itu penting karena menandai sebuah tonggak baru dalam babakan sejarah, yaitu era filsafat modern. Secara garis besar dalam kedua karya tersebut (tetapi tidak hanya itu) digambarkan metode dan gagasan-gagasan pokok filosofinya:

Discours de La Methode (Discourse on Method) popular namun sesungguhnya judul lengkapnya cukup panjang, yaitu Discours de la Méthode Pour bien conduire sa raison, et chercher la vérité dans les sciences (Discourse on the Method of Rightly Conducting One’s Reason and of Seeking Truth in the Sciences), merupakan sebuah risalah filsafat dan otobiografi. Di Bab IV dari risalah inilah ia menulis dalilnya yang terkenal, Je pense, donc je suis (cogito erguí sum/I think therefore I am). Karya ini diakui sebagai salah satu karya paling berpengaruh dalam sejarah filsafat modern dan berkontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan alam. Disini Descartes mencoba menangani masalah skeptisisme yang telah dipelajari para filsuf sebelumnya, yakni dengan metode keragu-raguan radikal.

Meditationes de prima Philosophia (1641) atau terjemahan Inggrisnya, Meditations on The First Philosophy membahas 7 set keberatan dari para filsuf terkemuka, termasuk Jean Pierre Bourdin, Thomas Hobbes, dan Pierre Gassendi & Jawaban Descartes atas keberatan-keberatan itu. Dari ketujuh keberatan itu, 3 bersifat teologis dan 4 bersifat filosofis. Dari sini tergambarkan betapa pikiran-pikiran Descartes sangat berpengaruh sehingga mendapatkan banyak respons penolakan, yang semuanya dihadapi (dijawab) dalam karya ini.

Peran dan kontribusinya dalam filsafat akan lebih mudah dipahami bila terlebih dahulu memhami konteks keseluruhan zamannya. Setelah kurang lebih 1000 tahun filsafat agama yang kita kenal sebagai babakan filsafat abad pertengahan, dimana “kebenaran wahyu” mendominasi interpretasi kebenaran, munculah era renaissance. Renaissanse bisa dilihat sebagai interupsi atas dominasi kebenaran teologis, yang diawal masih lebih banyak mengekspresikan pemikiran dan kreativitas melalui seni dan sastra. Dapat dikatakan bahwa Renaisanse merupakan “pemberontakan malu-malu” terhadap dogmatisme abad pertengahan, mengingat perbedaan interpretasi atau ekspresi pemikiran yang berbeda mendapatkan konsekuensi yang tidak mudah. Galileo Galilei, Isaac Newton, dan lainnya menjadi bukti betapa kuat dan ketatnya kontrol teologi atas kemerdekaan berpikir dan berekspresi. Itulah sebabnya, Renaisance yang muncul dengan cita-cita menghidupkan kembali filsafat Yunani-Helenias masih bergerak di bidang seni dan sastra. Muncullah tokoh-tokoh besar, seperti Leonardo da Vinci, Tiziano Vecelli, Sandro Boticelli, Raphael Sanzio, Michaelangelo Buonarroti, Shakespeare, Francis Bacon, dan para penjelajah seperti Vasco da Gama, dan lainnya.

Maka, naiknya Rene Descartes di panggung peradaban benar-benar sebuah momentum besar. Seolah ia memecah kesunyian dengan deklarasinya yang menggelegar, “aku berpikir maka aku ada.” Ini menjadi babakan penting karena menandai sebuah revolusi, yaitu dari iman/wahyu sebagai pusat orientasi pengetahuan digantikan oleh “cogito.” Dengan sendirinya deklarasi ini menandai berakhirnya “takhta kekuasaan kebenaran wahyu” yang menjadi ciri filsafat abad pertengahan selama satu milenium.

Lewat deklarasi itu, Descartes menegaskan bahwa hanya akal (rasio) yang menjadi satu-satunya dasar untuk dipercaya. Bukan lagi iman atau wahyu sebagaimana dipegang oleh filsafat abad pertengahan. Descartes mendapatkan dukungan dari pemikir lain yang akhirnya dikenal sebagai pendukung Rasionalisme, yaitu Baruch Spinoza (Benedictus de Spinoza 1632-1677), Gotiefried Wilhelm von Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662) dan Cristian Wolf (1679-1754).

Melalui presentasi Dr. Karlina Supelli di kelas Kursus Epistemologi dan Metodologi UKSW 2022 (18/3/22), kita jadi tahu bahwa Descartes mengakui keyakinan (convictio) sebagai jenis pengetahuan, disamping pengetahuan ilmiah (scientia). Meski, diakuinya jenis pengetahuan convictio tidak seketat scientia disebabkan ada alasan-alasan untuk meragukannya. Berbeda dengan scientia sebagai jenis pengetahuan yang bertumpu pada alasan-alasan kokoh sehingga tidak berbuka kemungikan menggoyahnya. Poin terpenting disini adalah, memahami bagaimana Descartes tiba di kesimpulan itu.

Untuk memahami epistemologi Descartes perlu terlebih dahulu memahami konsep innate ideas (ide bawaan), yang nampaknya menjadi prasyarat bagi pengetahuan manusia. Terdapat tiga ide bawaan yaitu res cogito (kesadaran aku), res extentia (ide keluasan) dan ide Allah. Dari ketiga ide bawaan inilah dideduksi menjadi berbagai ilmu pengetahuan. Dari sini bisa dipahami bahwa proses pengetahuan dalam epistemologi Descartes telah mengandaikan peran Tuhan., bahkan dengan adanya rex extentia juga mengandaikan corak emperia (pengalaman langsung).

Bermula sebagai hasil kerja metode kesangsian radikal, Descartes mendapati res cogita (kesadaran) sebagai realitas (ada) tahan uji, kokoh, jelas dan terpilah. Ia lolos dari uji kesangsian atau keragu-raguan. Inilah titik-tolak pengetahuan. Melalui res cogita-lah disadari realitas lain, yaitu res extentia (ide keluasan), antara lain sebagai wadah bagi res cogita. Semua jenis realitas lain hanya dapat dipahami melalui keluasannya, yaitu tinggi, luas, lebar, panjang. Tetapi, perhatikanlah, bahwa keseluruhan kesadaran aku dan keluasan ini sama-sama menginisiasi kesempurnaan. Dan, baik kesadaran aku, maupun keluasan, bukanlah yang sempurna itu, melainkan selalu dalam proses menujunya (prinsip teleologis). Maka, kesempurnaan yang menjadi orientasi dari realitas cogito dan extentia pastilah memiliki sumber. Disebabkan kesadaran aku dan ide keluasan tidak sempurna maka sumber kesempuraan itu pastilah hanya Allah.

Adanya ketiga ide bawan di atas membawa Descartes pada identifikasi dua jalan pengetahuan,seperti disebut di paragraf awal, yaitu scientia dan convictio. Scientia menganut paham fondasional, dimana harus bertolak dari sebuah kepastian. Ide Allah adalah penjamin kepastian. Scientia diperoleh dengan intuisi, yang merupakan konsepsi sederhana tetapi muncul secara langsung, jelas dan terpilah. Intuisi juga sebagai bukti kehadiran kita yang mendapatkan anugerah Tuhan. Sementara, convictio diperoleh melalui proses deduksi yang tidak terlalu jelas dan terpilah sebagaimana dipersyaratkannya bagi sebuah pengetahuan.

Seperti Aristoteles, Descartes juga mengkategorikan metafisika sebagai filsafat pertama, yang dalam hal ini digambarkan sebagai akar dari pohon pengetahuan. Tepatnya lagi, akar pohon pengetahuan adalah metafisika skolastik (yang membutuhkan Tuhan), sementara batangnya adalah fisika dan ilmu-ilmu lain menjadi cabang-cabangnya.

Epistemologi Descartes merupakan “penemuan” genuine, yang dengan rendah hati diakuinya bukan sebagai pengajaran. Melainkan sebagai “sekadar menceritakan” apa yang telah dilakukannya sehingga sampai kepada pengetahuan. Ia bertolak dari geometri analitik, yaitu berbasis pada persoalan/kasus/ masalah. Karenanya bersifat empirik atau berbasis pada pengalaman (emperia).

Metode yang dimaksud adalah “kesangsian radikal,” dimana baginya pengetahuan harus dimulai dengan meragukan keberadaan segala sesuatu, apa pun, termasuk meragukan diri sendiri. Melalui metode ini, kita akan sampai pada sebuah titik kokoh dimana tidak mungkin bisa diragukan lagi. Setelah meragukan apapun, kita akan dapati diri kita yang sedang meragukan segala sesuatu itu. Kenyataan bahwa kita sedang ragu-ragu itu tidak bisa diragukan lagi. Dari situlah muncul deklarasinya yang popular, “aku berpikir maka aku ada” (cogito ergo sum /Prancis: Je Pense, Donc Je Suis).

Setelah mencapai titik “realitas sejati” itu, Descartes lalu mengidentifikasi ciri pengetahuan, yaitu harus “jelas dan terpilah-pilah.” Sesuatu disebut pengetahuan apabila memenuhi kedua ciri tersebut. Jelas artinya terang benderang, nyata. Terpilah-pilah artinya secara tegas dapat dibedakan dari yang lain. Bahwa pencapaian “cogita” melalui metode penyakalan telah membuat realitas cogita menjadi jelas dan terpilah-pilah.

Apakah dengan demikian, proses pengetahuan sains, baik convictio maupun scientia dapat dapat mencapai kepastian? Seberapa pastikah pengetahuan/sains? Nampaknya, melaui epistemologi rasionalisme Cartesian, betapapun telah mengandaikan pengalaman (emperia) atau res extentia dan bahkan Tuhan sebagai penjamin, perkembangan sains membuktikan bahwa tidak ada kepastian pengetahuan. Kecuali kebenaran-kebenaran sementara yang selalu terbuka untuk terus diuji.

Link Kursus sessi 2:

Epistemologi Filsafat Yunani

Menarik, bahwa Dr.Julius Ranimpi mempertanyakan, mengapa berbicara epistemologi selalu dari Barat? Dan, lebih-lebih lagi Yunani? Apakah filsafat timur tidak punya “epsitemologi?” Atau pertanyaan pak Wahyu, mengapa “episteme” di Yunani berkembang bersamaan juga dengan mekarnya mitologi, seni pentas, sastra dan lainnya—yang secara substantif bertentangan? Penanya lain mengkonfirmasi, apa sumbangan filsafat Yunani pada metode peneiltian sosial atau humaniora? Saya sendiri juga merenungkan, ketika sains (dalam versi Richard Dawkins, baik dalam karyanya The Magic Reality maupun dalam berbagai debat publik), ngotot bahwa sains berhak masuk ke manapun, termasuk “dunia etika,” “dunia seni,” “dunia teologi,” dan apapun, dengan sensor standar ilmiahnya, bagaimana epistemologi menjelaskannya. Apakah seni dan teologi memiliki (memerlukan) epistemologi?

Demikian secuil gambaran dinamika diskusi pada Sesi-1 dari 10 Sesi yang dirancang dalam kursus “Epistemologi dan Metodologi” 2022 bagi dosen-dosen UKSW. Selain dosen, juga mahasiswa-mahasiswa Pascasarjana di lingkungan UKSW dan sejumlah alumni ikut menjadi peserta dan berpartisipasi dalam diskusi.

Meski menggunakan pertanyaan-pertanyaan di atas sebagai pembuka tulisan ini, saya tidak maksudkan menyimpulkan jawaban-jawaban Dr.Setyo Wibowo, karena memang tidak semua pertanyaan tersebut tercakup dalam materi pembahasan. Secara teknis filsafat Yunani mengawali aktifitas “episteme” (mengupayakan penjelasan rasional atas realitas dan pengalaman manusia), namun secara konseptual kata episteme (dan espitemologi) barulah muncul di masa-masa setelah revolusi sains.

Revolusi sains sendiri secara umum dipahami dimulai di penghujung renaisans (abad 16) hingga abad ke-18. Ketika itu, sains telah berkembang pesat dan meninggalkan (mengingkari) “induk semangnya” yaitu filsafat. Maka, episteme menjadi “cara kerja ilmiah,” meski secara historis merupakan “cara kerja filsafat.”

Pada Sessi 1 ini mengambil topik “Epistemologi Filsafat Yunani,” dengan pemateri Dr. A. Setyo Wibowo. Para peserta yang hadir dalam sessi 1 ini berjumlah 98 orang, yang terdiri dari para akademisi.

Epistemologi (Dr.Setyo Wibowo secara longgar menyamakannya dengan filsafat ilmu) dalam pembidangan filsafat disebut filsafat pengetahuan, untuk membedakannya dari fillsafat ada (ontologi) dan filsafat nilai yang mencakup etika dan estetika. Penyamaannya dengan filsafat ilmu bisa dipahami, sebab “longgar” yang dimaksud Wibowo adalah “kajian mengenai hakikat pengetahuan manusia (atau ilmu).” Episteme itu sendiri memang berarti pengetahuan, dan kajian filsafat ilmu persis terkait perihal bagaimana cara kerja sains, bagaimana pengetahuan diperoleh, apa arti mengetahui, dan sejenisnya. Dalam cakupan pengertian ini episteme adalah filsafat tentang sains.

Perbedaan pengetahuan dan ilmu nampaknya adalah, bahwa pengetahuan masih bersifat “common,” belum teruji, belum terstandarisasi. Sementara ilmu merupakan bentuk pegetahuan yang telah teruji, diperoleh dengan menggunakan seperangkat metode ketat dan alat uji yang standard untuk memastikan daya obyektif, daya-periksa-ulang, keterbukaan validatif, dan kebolehan difalsifikasi. Dalam pengertian ini, para filsuf Yunani Kuno telah memiliki pengetahuan (berpengathuan) tetapi (mungkin) berlum berilmu?

“Operasi” epesteme oleh para pemikir awal Yunani Kuno (phusikoi/filsuf alam) meski menentang mitos, tidaklah memusuhinya. Bahkan, kebanyakan orang Yunani tetap menghidupi mitos dalam pengertian pikiran mereka diekspresikan melalui mitos dan puisi. Platon sendiri fasih menggunakan mitos sebagai instrumen penting untuk menjelaskan buah pemikirannya. Bahkan, Andrew Gregory (Eureka! The Birth of Science), seperti diacu Dr.Wibowo mencatat bahwa sains (episteme) sebenarnya diawali dengan mitos. Hasil-hasil observasi dalam ilmu perbintangan yang meninggalkan banyak catatan tentang kalender kuno, seperti dicapai bangsa Babilonia misalnya, meski punya persisi namun mereka tidak menjelaskan faktor “why” dan “how” sebagai ciri episteme. Sebaliknya, justru dihubungkan dengan mitologi dan diekspresikan dalam bahasa-bahasa sastrawi/puisi.

Itulah sebabnya penting untuk dipahami perbedaan tegas antara mitos dan sains. Mitos tidak membawa perubahan, sedangkan sains memicu banyak perubahan atau kemajuan. Mitos tidak memerlukan pengujian dan verifikasi, berkebalikan dengan sains. Mitos tidak mensyaratkan standar, konsistensi, obyektifitas, dan sejenisnya. Sementara sains mensyaratkan bahkan mewajibkannya. Lebih dari itu, kebenaran sains mensyaratkan perdebatan dan dialektika yang memungkinkan sebuah teori digugurkan oleh teori lainnya, lalu gugur lagi dan lagi. Sains selalu ada dalam bara api pengujian untuk menemukan “kebenaran sejati.” Mitos tidak berintensi dengan hakikat kebenaran.

Jejak-jejak buah pemikiran para filsuf Yunani Kuno meninggalkan jejak dan pewarisan yang terbawa hingga hari ini. Teorema Thales tentang “sudut siku-siku” dan teorema Pytagoras (persamaan Pytagoras) misalnya, tidak hanya memberi dasar bagi matematika melainkan juga geometri. Atau pemikiran Parmenides dan Herakleitos tentang sifat realitas, apakah tetap (stabil) atau berubah-ubah. Buah pikir Solon tentang sistem demokrasi sejak abad 7 SM yang diikuti Kleisthenes di abad 6 SM menjadi “model” pemerintahan ideal hingga hari ini. Artinya, para filsuf mula-mula ini telah menghasilkan “buah pengetahuan” yang sedemikian standar sehingga teruji melampaui batas-batas region dan melintasi ujian waktu ribuan tahun.

Masih ada warisan pengetahuan lainnya dari pemikiran Yunani Kuno yang masih menantang para saintis. Misalnya prinsip like-to-like (like-to-like principle) dari Platon, yang menurut Andrew Gregory merupakan permulaan dari argumen intelligent design. Gregory menukil tulisan Platon dalam karyanya Timaiois, dimana ia berkisah tentang ‘a skilled craftsman, a Demiourgos,’ dan menjelaskan “keillahian ini demikian terampil sehingga ia bisa memproduksi sebuah kosmos dari chaos yang ada.” Oposisi dari intelligent design juga sudah ada di era ini, yang percaya bahwa kosmos dan segala sesuatu ada begitu saja, seperti apa adanya, dan tidak ada sesuatu dibaliknya.

Itulah antara lain warisan agung yang mengagumkan dari filsafat Yunani. Ketekunan dan kontemplasi filosofis para filsuf mula-mula yang menghidupkan “cahaya episteme” melawan “penjelasan buta” mitos telah mampu mencapai puncak yang bisa dikatakan belum terlampaui hingga hari ini. Berbagai varian “teori pengetahuan,” baik dari yang beraliran monisme (realitas dibentuk oleh prinsip tunggal), dualisme maupun pluralisme telah mampu membuat kategori realitas yang masih berpengaruh hingga hari ini. Yakni, kategori realitas fisik dan non fisik, bahkan nihilisme Grogias (483 SM). Pengetahuan modern tidak melampaui kategori ini, kecuali bahwa telah mampu memberikan penjelasan detil yang lebih persisi, membuat model yang canggih dan memudahkan pemahaman, dan sebagainya. Andrew Gregory dalam karyanya Eureka! The Birth of Science (2001:4-5) menegaskan, “Many of their ideas, such as atomism, are still alive and well, and many of the principles laid down by the Greeks for understanding and investigating the universe are still valid today.

Ini tidak mengherankan. Penjelasan tertinggi tentang realitas fisika hingga hari ini memang, adalah atom, yang sudah diteorikan Demokritus di abad 5 SM. Sains modern berhasil membuat model, yang pada level inti atom terdapat proton dan netron yang “dikitari loncatan pijar” elektron. Ini menyisahkan banyak ruang kosong karena jarak “garis edar” jauh dari inti (nukleos). Kalau inti “realitas fisik” ternyata menunjukkan lebih banyak ruang hampa, dan bahkan proton dan elektron sendiri kenyatannya bukanlah “berwujud materi,” maka tidakah mudah dipahami hal ini membawa sejumlah ilmuan cenderung mengafirmasi nihilisme Gorgias? (karyanya berjudul “Tentang yang Tidak Ada atau tentang Alam”). Pun, alam luas yang kita pandang, baik dengan mata telanjang maupun dengan teropong tercanggih membahwa para saintis berkesimpulan bahwa materi teramati hanya kurang dari 5%, sisanya “kosong,” terdiri dan materi dan energi gelap (“gelap” dimaksudkan adalah tak teramati, mungkin sebagai ungkapan lain untuk “kosong/hampa?).

Di abad pertengahan, “aliran” realitas idea (non fisik/metafisika atau idealisme) mendominasi tafsir pengetahuan, mengalahkan realitas fisika yang dianggap “fana.” Munculnya revolusi sains menandai turun takhtanya idealisme/spiritualisme. Sains modern bekerja dalam asumsi naturalistik, dimana realitas hanyalah yang berwujud dan bisa disensor oleh indera manusia. Meski kerja keras sains ingin “membunuh” metafisika dalam ambisi membangun scientism society (sejenis positivisme Comte-ian atau seperti yang dikampanyekan secara agresif oleh the New Atheism) nampak tidak banyak memberi hasil, dominasi fisika tidak dapat disangkal.

Maka, pertanyaan kritisnya, sebagaimana di alinea pembuka, apakah epistemologi hanya bekerja dalam sains naturalistik/fisika? Dapatkah ia beroperasi dalam lanskap seni, teologi, neurosains, konfusiuisme, dan sejenisnya? Meski secara serampangan oleh sejumlah kalangan saintis filsafat dimasukkan dalam kategori metafisika, nyata bahwa “episteme” merupakan cara kerja filsafat tidak dapat ditutup-tutupi. Dengan demikian, epistemologi tetap sebagai pembidangan filsafat, sementara sains bekerja dengan “epistemologi level teknis” yaitu metode ilmiah, sebuah “tata cara” untuk mengidentifikasi, mengkategorisasi dan menakar-kuantifikasi realitas. Namun, dalam kategori episteme sebagai kata-kerja (nomina), ia dioperasikan baik oleh sains maupun filsafat, juga (mungkin) jenis pengetahuan lainnya.

Tidak hanya sebatas itu “daya jangkau dan daya pukau” epistemologi filsafat Yunani Kuno. Kenyataannya ia telah membuat kajian komprehensif tentang Kosmologi, Antropologi, Teologi, Psikologi, Etika, Politik, Matematika, Fisika dan Logika. Itulah alasan mengapa ia diakui sebagai mater scientiae (mother of sciences), induk dari semua ilmu. Berkembangnya berbagai percabangan keilmuan saat ini, diakui atau tidak, merupakan hasil dari perkawinan berbagai “ilmu” dan pengetahuan yang sebagian besarnya telah dicapai para pemikir Yunani Kuno. Mereka bisa disebut sebagai peletak dasar epistemologi yang hingga kini tetap menjadi “standar” untuk mengukur “kadar keilmuan sebuah ilmu.”

Kalau demikian, dapatkan disimpukan bahwa sains modern tidak lain adalah (cara berpikir) filsafat Yunani dalam wujud modern? Lalu, bagaimana dengan seni, teologi dan ilmu humaniora lainnya? Dapatkah disebut sebagai bentuk pengetahuan, karenanya membutuhkan operasi epistemologi? Bagaimana bentuk epistemologinya? Bagaimana epistemologi dalam ragam paradigma pengetahuan, mengingat sudah begitu banyak percabangan ilmu? Jawaban-jawaban atas pertanyaan ini kiranya akan terungkap pada sesi-sesi kursus selanjutnya.

Link:

MODEL PENDIDIKAN SENI LIBERAL DAN SAINS CINA (2)

Ketertarikan pada seni liberal dan ilmu pendidikan tinggi terjadi sebagai bagian dari perdebatan intensif di Cina tentang model pendidikan tinggi. Sebuah model pendidikan tinggi Cina yang membahas prinsip-prinsip dasar, dengan cara yang sama seperti prinsip dasar peradaban Barat yang tertanam dalam seni liberal dan ilmu pengetahuan. Argumennya adalah, bahwa Cina memiliki peradaban sendiri yang berbeda dengan Barat. Penulis mengutip Cheung (2012:186), yang mengkonstantir pertanyaan seorang cendekiawan Cina: “Akankah Asia hanya memproduksi lebih banyak model pendidikan tinggi kontemporer yang berasal dari Barat, atau akankah ia mampu melepaskan pemahaman dan praktik yang lebih kritis dari pendidikan tinggi? Pendidikan, refleksi budaya dan epistemologis dari peran universitas sebagai tempat pendidikan tinggi?”

Model pendidikan tinggi Cina pertama-tama merujuk gagasan Cai Yuanpei, presiden Universitas Peking tahun 1916-1926 dan reformator pendidikan, yang sejak awal mencoba membuat sintesis pemikiran Cina dan Barat. Cai merupakan alumni Jerman (Universität Leipzig), yang juga lama berkeliling Eropa sehingga memahami tradisi pendidikan di Eropa, khususnya Jerman, Prancis dan Inggris. Ia menggagas pengitegrasian model Barat dengan semangat Konfusianisme dan tradisi Cina. Itulah sebabnya reformasi Universitas Peking memilih model liberal arts dan hingga kini Yuanpei College masih dipertahankan dengan memodel kurikulum pendidikan liberal arts Harvard.

Sumber lain untuk model pendidikan datang dari para pemikir seperti Hu Shi, Liang Shuming, Ye Yangchu dan lainnya, yang membantu menangkap kekhawatiran yang masih ada untuk memastikan pendidikan universitas Cina ikut dibentuk oleh ide-ide pribumi, terutama tentu saja dalam kaitan dengan kerjasama patungan dengan luar negeri. Ini untuk memastikan independensi pendidikan (dan budaya) Cina dalam iklim kerjasama dengan universitas luar negeri dalam membangun universitas di negeri Cina.

Hasilnya mengagumkan, terlepas dari berbagai kritik atasnya. Akademi swasta pembelajaran klasik (shuyuan) yang dimulai sejak dinasti Tang (Abad ke-7) dan berlanjut hingga dinasti terakhir (Qing) di tahun 1911 dapat hidup berdampingan dengan sistem ujian negara di Cina modern. Dewasa ini pemerintah Cina mendirikan ratusan institut Konfusianisme di seluruh dunia, sementara juga mendanai lembaga penelitian nasional tentang Marxisme. Ketika Cina kembali menjadi negara adidaya mungkin akan ada lebih banyak dukungan untuk model yang mengandalkan fondasi klasik peradaban Cina, tetapi juga dengan konsisten mengintegrasikan semangat Marxisme didalamnya. Presiden Xi Jinping pernah bertemu dengan Tang Yijie, seorang sarjana Konfusiusisme terkemuka di Universitas Peking sebagai indikasi penguatan nilai-nilai dan tradisi Cina. Tetapi juga, menariknya Universitas Peking akan menamai sebuah gedung dengan nama Karl Marx.

Disini terlihat bagaimana “globalisasi/internasionalisasi konfusiusisme” dilakukan berbarengan dengan “nasionalisasi” Marxisme. Bahkan, ketika perayaan 200 tahun kelahiran Karl Marx (5 Mei 2018), Xi Jinping menghadiahi Trier, kota kelahiran Karl Marx, sebuah patung besar Marx setinggi lebih 4 meter. Ini mempertegas komitmen Cina mengintegrasikan ideologinya dalam mengembangkan sistem pengetahuan (pendidikan) nasionalnya.

Sebuah langkah revolusioner yang patut diperhatikan adalah sejak 2020 pemerintah Cina melakukan apa yang disebut dengan “de-administrasi universitas” (de-administration of universities). Demi meningkatkan kualitas akademik universitas, pemerintah memutuskan mengambil peran minimal, lebih sebagai PENGARAH daripada intervensi langsung dalam kehidupan akademik universitas. Pada saat yang sama pemerintah terus mendorong peningkatan dalam internasionalisasi universitas riset Cina. Itu berdampak pada lonjakan jumlah kerja sama Cina-asing yang menghasilkan masuknya kampus-kampus luar negeri di tanah Tiongkok, sebaliknya Cina juga mendirikan kampus-kampus di negara lain. Semua ini merupakan indikasi yang jelas dari reformasi dan pembukaan kerjasama internasional sekaligus eksperimen terhadap kurikulum pendidikan liberal arts Cina.

Sebut saja, misalnya dari Eropa seperti University of Nottingham Ningbo China (UNNC) didirikan pada tahun 2004 dan resmi dibuka pada tahun 2006 sebagai universitas asing pertama di Cina. Kini termasuk dalam 1% dari universitas terbaik dunia. Konon, Malaysia, Inggris dan Cina memiliki kesepakatan untuk pertukaran pelajar selama 1 tahun di UNNC.

Di Peking University terdapat Standford Center disingkat SCPKU (Standford Center at Peking University) yang fokus membangun jaringan akademik dan pendidikan di seluruh Asia Timur. SCPKU menawarkan ruang kolaboratif, kantor, layanan dukungan acara, dan pendanaan untuk penelitian dan pendidikan yang inovatif, menyatukan para peneliti mapan dan generasi baru sarjana muda untuk menciptakan pusat pertukaran dan kolaborasi intelektual. Kita masih bisa menyebut lainnya, seperti Harvard Center Shanghai, dan juga Yale University yang membangun kolaborasi dengan universitas-universitas China dalam isu-isu kesehatan, perubahan iklim, pendidikan, dan supremasi hukum.

Sebaliknya, universitas Cina yang dibuka di luar negeri seperti Universitas Fudan yang berbasis di Shanghai mendirikan universitas di Budapest (VOA Indonesia, 14/5/2021). Meski memicu banyak kekhawatiran di Eropa akan bahaya kampanye komunisme melalui pendidikan, upaya Fudan masuk Eropa menunjukkan hasil kerja keras Cina meng-internasionalisasi pendidikannya. Universitas Tsinghua juga mendirikan kampus di Seattle, yang disebut sebagai Pertukaran Inovasi Global, karena menjalankan program gelar master untuk mendorong penelitian tentang teknologi baru. Masih ada rencana Cina membuka di Malaysia, dan negara lainnya. Di Indonesia dalam kerjasama dengan Tsinghua University Southeast Asia Center dan MIT Sloan School of Management berkolaborasi dalam pengembangan pengajaran, penelitian dan pendidikan tinggi di UID Bali Campus. Kampus UID BC yang akan diresmikan akhir 2022 bertepatan dengan pertemuan G20 berdiri berdampingan dengan TechPark yang terdiri dari bangunan-bangunan yang melambangkan nilai-nilai kearifan lokal Bali Tri Hita Karana.

Ketika universitas-universitas Cina mulai naik peringkat global, perdebatan meningkat terkait model universitas seperti apa yang terbaik untuk masa depan. Bagi Postiglione, sebuah model pendidikan tinggi Tiongkok tidak hanya mungkin, melainkan diperlukan jika sistem universitas Tiongkok ingin meraih pengaruh global. Dan, semangat ini akan dibantu oleh keterlibatan kritis dengan model seni liberal dan ilmu pengetahuan di pendidikan tinggi. Paling tidak, dengan itu kebangkitan Cina akan membawa akademi global menuju pemahaman yang lebih baik tentang warisan sejarah dan nilai-nilai budaya Cina.

Guna meraih impian go global, pemerintah Cina mencanangkan tiga proyek yang saling terkait dan sustainable, yaitu 211 Project, 985 Project dan C9 League. Melalui ketiga proyek ini pemerintah banyak berinvestasi di lembaga-lembaga elit dengan tujuan menciptakan universitas yang kompetitif secara internasional.

Proyek 211 dicanangkan tahun 1995 memberikan dukungan keuangan ekstra untuk 112 universitas yang dipilih untuk menjadi ujung tombak pembangunan ekonomi nasional, dengan dua tujuan yaitu meningkatkan standar akademik internasional pada akhir abad ke-21, serta untuk mendukung universitas dalam peningkatan standar dan kapasitas penelitian. Semua universitas dalam proyek ini tergolong dalam peringkat tinggi, baik di Cina maupun peringkat dunia. Universitas-universitas ini didukung pemerintah untuk memiliki peralatan pengajaran terbaik dan diakui secara internasional, juga agar penelitian-penelitiannya dapat berjalan masif. Project ini juga menjadi jalan bagi Cina untuk menerapkan strategi dalam membangun negara melalui sains, pendidikan dan implementasi proyek-proyek strategis nasional.

Sedangkan proyek 985 dijalankan tahun 1998 bertujuan mengubah 40 institusi terbaik menjadi universitas kelas dunia. Institusi unggulan—seperti Peking dan Tsinghua di Beijing, serta Fudan dan Jiaotong di Shanghai—mulai berebut posisi di peringkat universitas dunia. Universitas-universitas Cina telah naik ke peringkat teratas dengan secara besar-besaran meningkatkan rangking mereka dalam publikasi ilmiah global. Tujuan lain proyek 985 adalah mempromosikan kerja sama dan pertukaran internasional serta menarik minat siswa internasional untuk belajar di Cina.

Terakhir, pada tahun 2009 pemerintah resmi memulai proyek C9 League, yang dibentuk dari sembilan universitas bergengsi pada project 985. Tujuannya adalah menciptakan grup elit universitas sehingga dapat menarik siswa di seluruh dunia untuk belajar di Cina sekaligus berbagi sumber daya. Anggota universitas dari program ini menerima dukungan dan pendanaan substansial dari pemerintah nasional dan lokal Tiongkok. C9 League menampung setidaknya 3% dari penelitian Tiongkok, menerima 10% dari anggaran penelitian nasional dan menghasilkan 20% makalah akademis nasional, serta menyumbang 30% total kutipan. Mereka juga menjadi prioritas dalam hibah dan hak istimewa yang diberikan oleh negara. Saat ini, kesembilan universitas di C9 League diisi oleh univeritas yang memiliki tingkat publikasi paling tinggi di China dan terdaftar sebagai universitas dengan peringkat terbaik di dunia berdasarkan QS World dan Times Higher Education. Masuk dalam C9 Laegue adalah Peking University, Tsinghua, Fudan, Shanghai Jiao Tong, Nanjing, University of Science and Technology of China, Zhejiang, Xi’an Jiao Tong University, dan Harbin Institute of Technology.

Ada beberapa perkembangan baru di sekitar 2014, 2016/17 dan 2021. Namun, sifatnya sebagai kelanjutan dari proyek-proyek di atas sehingga memberi gambaran bagaimana komitmen kuat dan konsitensi pemerintah membangun kualitas dan internasionalisasi pendidikan di Cina.

Sebut saja, misalnya The College of Future Technology (CFT) yang didirikan di Universitas Peking pada 22 Juni 2021. Tujuannya menciptakan pemimpin industri di bidang teknologi pencegahan dan pengendalian kesehatan dan penyakit di masa depan. Dengan demikian, fokus pada pengembangan teknologi untuk kepentingan sosial dan ekonomi. CFT melakukan kemitraan industri-akademisi dan proyek-proyek besar nasional, mengumpulkan sumber daya dari lembaga penelitian translasi dan perusahaan teknologi tinggi, mengeksplorasi model untuk inovasi kolaboratif, dan menghasilkan bakat multi-disiplin yang didorong oleh semangat berinovasi.

Juga, Oktober 2021 pemerintah Cina melalui otoritas pendidikan telah menetapkan 12 universitas top untuk membangun “sekolah teknologi masa depan” (schools of future technology) yang diperuntukkan sebagai pembangkit tenaga sains dan teknologi global. Sasaran utamanya untuk menumbuhkan bakat terkemuka dalam teknologi mutakhir dalam 10 hingga 15 tahun ke depan. Melansir Chinadaily.com (5/6/21), kementerian pendidikan menjelaskan bahwa sekolah teknologi masa depan ini akan mengeksplorasi kerja sama lintas disiplin yang substantif di antara berbagai bidang akademik dan mode untuk menumbuhkan pemimpin dalam inovasi terkait teknologi masa depan.

Terakhir, the Advanced Innovation Center for Future Education Beijing Normal University (AICFE BNU) telah memprakarsai program penelitian “Future School 2030” dengan maksud mengeksplorasi tujuan, implementasi kurikulum, mode pengajaran, metode pembelajaran, manajemen sekolah dan aspek lain dari sekolah masa depan, dan ini memimpin perkembangan pendidikan masa depan. Tahapanya telah dimulai sejak 2016, dan pada akhirnya dapat disusun serangkaian buku bertema “Pendidikan Masa Depan”, untuk memprediksi, dari tiga perspektif pendidik, peserta didik dan pengaruh pendidikan, perubahan pendidikan masa depan, pola dan tren perkembangan, dan mengeksplorasi solusi prospektif atasnya.

Seiring berkembangnya kepemimpinan China di seluruh dunia, sistem pendidikan tinggi makin terbuka dan universitas-universtas di Cina semakin terlibat secara internasional. Hal ini ditandai antara lain dengan Universitas Stanford yang telah mendirikan pusat di Universitas Peking guna memperluas peran dalam pendidikan dan penelitian global, termasuk program ilmu sosial yang berbagi ide tentang perubahan sosial. Ratusan usaha patungan dengan luar negeri dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Cina telah disetujui. Ratusan Institut Konfusianisme untuk studi bahasa dan budaya Tiongkok juga sudah didirikan oleh pemerintah Tiongkok di tanah asing. Pun, mendirikan dua kampus universitas Cina di luar negeri, satu di Seattle, AS, dan satu di Malaysia. Jumlah mahasiswa internasional yang datang ke Cina terus meningkat, seperti halnya jumlah mahasiswa Cina yang berangkat ke luar negeri.

Penulis mencatat pada 2013 terdapat 1060 usaha patungan asing-China yang disetujui di pendidikan tinggi melibatkan 450.000 siswa. Ini diatur oleh Undang-undang tahun 2003 tentang usaha patungan pendidikan sehingga membuka pintu bagi ratusan kemitraan antara universitas Cina dan asing. Reformasi terus berlangsung di universitas-universitas top Cina untuk beradaptasi dan berinovasi pada model pendidikan tinggi liberal di luar negeri. Perhatian terus diberikan untuk memastikan apakah kampus kemitraan asing dapat memiliki dampak signifikan pada sistem pendidikan tinggi Cina, disebabkan kolaborasi dan kemitraan merupakan laboratorium untuk format inovatif di perguruan tinggi.

Dalam sejumlah kasus, universitas asing telah melangkah lebih jauh dan mendirikan kampus penuh di Cina. Universitas Nottingham memiliki kampus di Ningbo; Shanghai Jiaotong dan University of Michigan menjalankan institute teknik di Shanghai; Xi’an Jiaotong dan Universitas Liverpool mendirikan universitas independen di Suzhou. Tahun 2013 New York University yang telah memiliki program studi luar negeri di sepuluh negara membuka kampus baru di Shanghai bersama East China Normal University, yang mengadakan kelas-kelas terpadu dalam humaniora dan ilmu-ilmu sosial dengan jumlah siswa Cina dan asing yang seimbang. Duke University juga telah mendirikan kampus di Kunshan dalam kemitraan dengan Universitas Wuhan. Universitas Amerika lainnya dengan aspirasi serupa termasuk Universitas Kean dan Universitas Montana.

Persoalan lain pun mengemuka. Munculnya usaha patungan menghidupkan kewaspadaan, bagaimana dengan kedaulatan pendidikan tinggi di Cina? Seorang sarjana berpengaruh dari pendidikan tinggi Cina disebut-sebut telah memperingatkan bahwa mengizinkan entitas asing memegang mayoritas (lebih dari 51%) kepemilikan institusional dapat menyebabkan “infiltrasi nilai-nilai dan budaya Barat yang bertentangan dengan keadaan Cina saat ini” Wakil Direktur Komisi Pendidikan Shanghai, Zhang Minxuan, menegaskan bahwa usaha asing Tiongkok dalam menjalankan lembaga pendidikan harus “memastikan kedaulatan dan kepentingan publik Tiongkok tidak dirugikan.”

Untuk itu diharapkan setidaknya setengah dari dewan direksi harus warga negara Cina. Zhang Li dari Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa komitmen Tiongkok untuk menyediakan akses ke pasar pendidikan lebih besar daripada negara berkembang lainnya dan oleh karena itu, “kita harus menjaga kedaulatan pendidikan Tiongkok, melindungi keamanan nasional, dan membimbing program-program semacam itu ke arah yang benar.”

Namun demikian, kampus asing telah mengalami peningkatan jumlah otonomi dengan sedikit campur tangan dari kampus tuan rumah sejak undang-undang tahun 2003 tentang kerjasama Tiongkok-asing diterbitkan. Mereka tetap harus mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh dinas pendidikan tingkat Provinsi yang melakukan kontrol substansial atas penerimaan siswa dan masalah keuangan.

Sebuah penegasan perlu saya berikan sebelum menyimpulkan apa yang bisa kita pelajari dari pegalaman Cina. Bahwa, dalam upaya meraih visi besarnya menjadi pemimpin dunia dalam sains dan teknologi, Cina jelas mengandalkan pendekatan seni liberal. Selain bisa dilihat dalam kurikulum dari dua belas college yang didirikan sebagai “school of future technology” yang semuanya berbasis interdisipliner, juga bisa dilihat dalam “Repelita ke 14” (2020-2025) terkait pendidikan dan rencana bidang penelitiannya. Antara lain misalnya, pengembangan penelitian di bidang kecerdasan buatan dan AI, teknologi informasi quantum, sirkuit terpadu, rekayasa genetika, ilmu kehidupan dan kesehatan, teknologi kedirgantaraan, eksplorasi bumi dan laut dalam, serta penelitian dasar dan interdisipliner. Ini disebabkan rancangan pendidikan Cina ditopang oleh semangat kolaborasi, internasionalisasi dan kedaulatan pendidikan (ciri budaya konfusiuisme), maka model liberal arts benar-benar dijadikan kerangka filosofis pendidikan nasional. Dan, target ambisius Cina adalah mencapai kepemimpinan global di bidang-bidang utama sains dan teknologi seperti disebutkan di atas mulai tahun 2025.

Cina juga sudah mengantisipasi kalau Amerika akan “membalas” ketika merasa hegemoninya terganggu oleh capaian Cina, yaitu dengan membentuk tim ahli dari bidang sains, sosial dan humaniora untuk mendiskusikan apa yang mungkin akan dilakukan Amerika serta bagaimana menghadapinya. Dengan semangat kolaborasi, Cina lebih mengutamakan kerjasama dengan negara manapun, termasuk dengan Amerika. Itulah sebabnya, Cina nampaknya ingin mengantisipasi segala hal yang bisa timbul di masa depan terkait dengan “rancangan strategis dan terukurnya” menjadi pemimpin dunia.

Apa yang Kita Pelajari?

Kerapkali Cina diopinikan sebagai negara non demokrasi, tetapi Cina sendiri menganggap telah menerapkan demokrasi dalam konteks nasionalnya. Bagi Deng Xiping, demokrasi tidak harus melalui DPR (perwakilan), karena penduduk Cina lebih dari 1 milyar. Demokrasi bisa beroperasi efektif melalui partai tunggal. Terlepas dari perbedaan cara pandang, nampaknya sistem pemerintahan Cina menjadi jauh lebih efektif dibanding negara mana pun. Efektif dalam pengertian memacu kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya, dengan dukungan penuh dari semua elemen masyarakat. Apa yang diputuskan oleh PKC (partai Komunis) dan Presiden secara serentak dapat dieksekusi tanpa debat-debat parlemen atau debat kusir di masyarakat yang menyedot banyak energi tanpa hasil positif.

Dalam negara demokrasi seperti Indonesia (dengan embel-embel Pancasila dibelakangnya), seharusnya pemerintahan efektif dapat juga tercipta. Kata kuncinya di penegakan aturan/undang-undang. Salah kaprah di masyarakat menganggap demokrasi seolah adalah “kebebasan tanpa batas,” padahal demokrasi mengandaikan penegakan undang-undang. Demokrasi tidak sama dengan keliaran dan anarkisme. Dengan penegakan aturan, pemerintah dapat mengendalikan sepenuhnya arah dan laju pembangunan strategis di berbagai bidang, termasuk pendidikan.

Visi pemerintah di bidang Pendidikan dan arah pengembangan teknologi menjadi prasyarat penting. Pemerintah perlu punya peta jalan (road map) berkaitan dengan pendidikan dan teknologi masa depan. Investasi pemerintah Cina dalam bidang EdTech tidak tanggung-tanggung, bahkan dijadikan prioritas paling utama. Pengorganisasiannya diawali dari pemetaan universitas-universitas terbaik. Kemudian diberi tugas membangun college dibidang teknologi tertentu, misalnya kedirgantaraan, informasi kuantum, bio-molekuler, big data dan AI, rekayasa genetika, dan sebagainya. Namun, semua sekolah-sekolah teknologi itu tetap menggunakan pendekatan interdisipliner.

Kebijakan anggaran pemerintah di bidang pendidikan juga perlu dialokasikan secara efektif. Agar fokus, pemerintah bisa memilih, misalnya 20 “universitas terbaik nasional” untuk dikembangkan. Kepada 20 universitas ini diberikan “hak istmewa” dalam alokasi anggaran pengajaran, penelitian dan membangun kolaborasi internasional. Bidang-bidang pengembangannya adalah teknologi, literasi saintifik dan riset-riset intensif yang menarget masuk dalam rangking 100 universitas terbaik Asia, misalnya dalam 10 tahun ke depan. Sambil jalan, mulai tahun kelima ke-20 universitas ini sudah harus berkolaborasi dengan 20 univerisitas “terbaik nasional” lainnya dengan target membuatnya naik peringkat, setidaknya ke 300 Asia.

Tetapi, yang perlu diingat adalah, integrasi nilai-nilai dan budaya lokal (nasional) perlu dilakukan agar pengembangan pendidikan nasional berjalan berbarengan dengan penguatan ideologi dan karakter bangsa. Ideologi dan karakter bangsa merupakan fungsi dari revitalisasi fungsi-fungsi budaya, kearifan dan pengetahuan-pengetahuan lokal. Komponen ini harus terintegrasi dalam strategi pengembangan pendidikan nasional.

Kolobaorasi internasional untuk “membangun pendidikan Cina” tidak hanya soal kerjasama dengan ahli dan institusi luar negeri. Pemerintah Cina mengundang anak-anak negeri yang telah sukses memiliki keahlian dan bekerja di luar negeri untuk kembali membangun negeri. Biro khusus di keimigrasian dibentuk untuk menanganinya. Pun, bagi mereka yang tidak bisa kembali, dicarikan jalan keluar agar mereka bisa berbagi talenta demi pengembangan resousces nasional di Cina. Sharing talenta ini ditujukan untuk menaikkan taraf dan peringkat kualitas keahlian SDM nasional.

Saya ingin mengakhiri pembahasan ini dengan mengusulkan universitas-universitas di Indonesia membangun kerjasama dengan universitas-universitas di Cina. Secara de vacto sudah banyak lembaga pendidikan, baik sekolah, pendidikan tinggi (seperti UGM), pesantren maupun individu yang berkolaborasi dan belajar di /dari Cina. Saat ini juga sudah banyak universitas luar negeri yang masuk ke Indonesia. Pemerintah perlu mempersiapkan regulasi (mungkin Undang-undang) yang mengatur syarat-syarat kerjasama agar kerjasama antar universitas, termasuk dengan Cina tidak merugikan dari segi nilai-nilai budaya, ideologi dan keamanan. Dengan regulasi itu, kerjasama dapat mendorong inovasi, kreativitas, saling tukar pengetahuan, keahlian dan kearifan demi pengembangan dalam banyak hal tanpa melibatkan pertarungan ideologis / politik didalamnya. Persaingan politik dan ideologi harus bisa dipisahkan dari pendidikan dan pengembangan sumberdaya nasional.

Visi besar dibalik pengembangan sumberdaya pendidikan nasional adalah membangun manusia (warga negara) dan kemanusiaan global (warga dunia). Seperti Cina, kita pun bisa mencerdaskan bangsa sekaligus berkolaborasi dan berkontribusi secara internasional. Dan, dasarnya adalah pendidikan humanitas berbasis pendekatan inter-displin, multi-disiplin dan trans-disiplin.

Dalam hal ini, pimpinan periode ini dengan Rektor Neil S.Rupidara, PhD., telah mengambil langkah strategis untuk mereposisi UKSW ke dalam model pendidikan humanitas sebagaimana rancangan awalnya. Dengan menghadirkan MDU 20 SKS, sejak Angkatan 2021/2022 semua mahasiswa dari berbagai latar kejuruan wajib belajar fisika dasar, biologi untuk keseharian, kimia dasar, antropologi, filsafat (berpikir kritis), seni dan sastra, entrepreneurship, dan sejenisnya.

Pun, pendirian prodi studi humanitas sedang dalam proses pengusulan, kiranya prodi ini menjadi “laboratorium” untuk pendekatan pembelajaran humanitas dengan basis inter, multi, dan trans-disiplin. Melalui prodi ini, kodivikasi pengetahuan lokal menjadi fokus, mengintegrasikan persepktif Timur, Barat dan Nusantara, serta kolaborasi dengan berbagai sumber pengetahuan, kearifan dan perspektif. Menjalin kolaborasi dengan Cina tentu saja dimungkinkan, sebagaimana juga dengan negara lain, seperti Hong Kong, Taiwan, Amerika, Eropa, Australia dan lainnya.

Tulisan ini ditulis dan di-share 4 Februari 2022 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/real.self.9

CINA PUNYA MODEL PENDIDIKAN SAINS & SENI LIBERAL, APA YANG BISA KITA PELAJARI? (1)

Melanjutkan pembahasan buku “Experiences in Liberal Arts and Science Education from America, Europe, and Asia A Dialogue across Continents” di postingan saya sebelumnya (15 Januari 2022), pada kesempatan ini saya ingin fokus di chapter 2 yang khusus membahas pendidikan liberal arts di Cina. Lantaran terdapat kemiripan konteks, saya asumsikan Indonesia bisa banyak belajar dari Cina.

Misalnya soal perbedaan budaya (dengan Eropa dan Amerika tempat pendidikan liberal modern berkembang dan berasal), perbedaan ideologi politik, dan dalam hal ini, bagaimana nilai-nilai kultural dan pengetahuan khas Cina yang telah teruji dan lestari selama ribuan tahun itu diramu sebagai bahan dasar mendisain sendiri “model pendidikan liberal arts-nya.” Apa yang membuatnya berhasil, dan pada akhirnya apakah juga terkait dengan revolusi sains dan teknologi di Cina yang berkembang begitu cepat dan pesat sehingga membuat “iri” negara lain, termasuk Amerika.

Menunjuk kesamaan konteks di atas, saya berpendapat bahwa Indoensia perlu belajar dari Cina, dengan asumsi kita akan mengadopsi model pendidikan liberal arts. Ada sejumlah indikasi yang meyakinkan saya bahwa Indonesia sedang dalam proses itu. Dihilangkannya sistem penjurusan di SLTA (IPA/IPS dan Bahasa) merupakan salahsatu indikasi. Sebelumnya, telah dihilangkan sistem ujian nasional (exam meritocracy) digantikan dengan “asesmen kompetensi” (talent meritocracy??). Lainnya adalah konsep Belajar Merdeka Kampus Merdeka (BMKM), yang setidaknya secara konsep mengatribusi wawasan liberal education. Indikasi terkahir yang ingin saya sebut adalah kecenderungan yang kuat negara-negara besar di Asia mengadopsi model liberal, selain Cina (termasuk Hong Kong), yaitu Jepang, India, Taiwan, dan Korea Selatan. Kita tahu bahwa Hong Kong dan India sebelumnya lebih berorientasi ke Inggris yang “menganut pendidikan spesifik/ keahlian” namun juga sudah mengadopsi liberal arts.

Dengan fokus pada chapter 2, saya tidak seperti biasanya sekadar membuat ringkasan bab melainkan juga mencoba membahasnya. Pembahasan saya mendasarkan pada “kesamaan konteks” kedua negara, dan menggunakan “data” strategi Cina mengelolanya, lalu mengidentifikasi isu-isu penting apa yang bisa kita pelajari untuk membangun pendidikan liberal arts di Indonesia, lebih khusus apa yang telah dan mungkin bisa dilakukan oleh UKSW.

Chapter ini ditulis oleh Gerard Postiglione, dan dijuduli “China’s Search for Its Liberal Arts and Sciences Model.” Postiglione adalah Ketua Profesor Pendidikan Tinggi dan Wakil Dekan untuk Penelitian di Fakultas Pendidikan, Universitas Hong Kong. Dengan memperkenalkannya, saya ingin mengatakan bahwa Postiglione tidak saja ahli pendidikan liberal arts, melainkan juga “orang dalam” yang menulis apa yang merupakan bidang kepakaran profesionalnya.

Postiglione memperkenalkan tokoh kunci (meski bukan satu-satunya dan bukan yang pertama) dibalik masuknya pendidikan liberal arts ke Cina (melalui Hong Kong), yaitu Woo Chia Wei. Wei adalah Profesor Fisika, tamatan Amerika (Georgetown College dan Washington University), dan menjadi pendiri sekaligus presiden pertama Hong Kong University of Science and Technology (HKUST) yang berdiri 1991. Sebelum ke Hong Kong ia telah berkarier di sejumlah universitas Amerika, seperti San Francisco State University, Northwestern University, dan University of California San Diego. Bahkan, tahun 1983 ketika masih berusia 45 tahun Wei terpilih menjadi President of San Fransisco State University.

Woo Chia Wei menunjukkan keunggulan seni liberal dalam pendidikan sarjana Amerika dan menerapkannya di HKUST. Dengan demikian HKUST menjadi katalis dalam transisi universitas gaya Inggris Hong Kong dari program studi tiga tahun yang sangat terspesialisasi menjadi program yang diperluas (general/seni liberal) untuk gelar sarjana. Kurikulum inti seni liberal dan ilmu pengetahuan ditambahkan sehingga semua siswa wajib mengambilnya terlepas dari spesialisasi mereka. Terobosan ini lalu menarik minat universitas-universitas di Cina daratan karena dianggap sebagai contoh seni liberal Barat yang diintegrasikan ke dalam universitas-universitas di Cina.

Kurikulum inti umum (liberal arts) HKUST terdiri dari empat bidang penyelidikan, yaitu Teknologi dan Literasi Ilmiah, Humaniora, Isu Global, dan China: Budaya, Negara, dan Masyarakat. Secara umum kurikulum ini bertujuan mengembangkan pemikiran kritis, kemampuan mengatasi situasi baru, keterampilan komunikasi dan kolaborasi, antar budaya pemahaman dan kewarganegaraan global, dan kepemimpinan dan advokasi untuk perbaikan kondisi manusia. Sementara sasaran spesifiknya adalah untuk memungkinkan siswa mengembangkan perspektif yang lebih luas dan pemahaman kritis tentang hubungan kompleks antara masalah dalam kehidupan sehari-hari; menumbuhkan kemampuan siswa untuk menavigasi persamaan dan perbedaan antara budaya mereka sendiri dengan budaya lain; untuk memungkinkan siswa berpartisipasi penuh sebagai individu dan warga negara dalam komunitas global, regional, dan lokal; dan untuk memungkinkan keterampilan intelektual, kolaboratif, dan komunikasi yang akan lebih ditingkatkan dalam studi disiplin siswa, dan, pada gilirannya, berkontribusi pada kualitas hidup mereka setelah lulus (Universitas Hong Kong 2015).

Sejak awal Cina telah menunjukkan minat pada pendidikan, dan orientasinya ke Amerika. Tetapi intensitasnya makin menguat pasca Revolusi 1949 yang menandai berkuasanya Partai Komunis di Cina. Minat awal pada tradisi pendidikan seni liberal ini tidak saja sebagai subjek penelitian tetapi juga sebagai “metode,” lantaran diyakini akan dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dengan cara-cara inovatif.

Postiglione mengutip Vogel yang menceritakan kisah panggilan telepon dari Presiden Deng Xiaoping kepada Presiden Jimmy Carter di suatu pagi buta (pukul 3:00 pagi (waktu Washington) di tahun 1978. Deng menginginkan persetujuan untuk mengirim segera ratusan orang Cina belajar di universitas-universitas Amerika, dan akan diikuti ribuan dalam beberapa tahun berikutnya. Dibawah kepemimpinan Deng Xiaoping telah dicanangkan bahwa Cina perlu memiliki ribuan ilmuwan berbakat bertaraf dunia. Deng yakin bahwa reformasi ekonomi Cina dan keterbukaan terhadap dunia luar mengharuskan penyiapan ilmuwan kelas dunia.

Sasaran besar dibaliknya adalah bahwa Cina ingin mendiversifikasi sistem pendidikan tingginya, membangun universitas kelas dunia, memperkuat ekonomi pengetahuannya, dan mengambil peran yang lebih besar dalam pendidikan tinggi internasional. Ini sebuah visi besar yang terlihat ambisius.

Postiglione menyaksikan bahwa dua puluh tahun setelah telpon Deng kepada Carter itu, komitmen Cina pada visi pendidikan makin konkrit. Tahun 1998 di Aula Besar Rakyat ia menghadiri pidato Presiden Jiang Zemin yang menegaskan tujuan Cina adalah untuk mendirikan universitas-universitas kelas dunia. Itu berarti membutuhkan identifikasi institusi tingkat atas dan paket dukungan finansial besar untuk memperkuat infrastruktur dan kapasitas akademik. Hanya dua tahun sejak pidato itu, Postiglione mengamati investasi besar-besaran dalam infrastruktur universitas, konsolidasi institusi dan perluasan pendaftaran, perombakan manajemen sains dan teknologi, reformasi pengajaran universitas, pengenalan lebih banyak buku teks asing, dan seruan untuk memperbaiki preferensi sains berbasis seni liberal.

Di tahap ini, persoalan dasar yang dicoba dijawab juga adalah, bagaimana tradisi budaya asli Tiongkok ikut membentuk model pendidikan tinggi yang khas? Pada saat yang sama, Cina ingin membawa universitas-universitasnya go global dan memposisikannya di deretan universitas terbaik baik dunia!

Cina paham bahwa kemampuan universitas Amerika menarik dan menghasilkan terobosan ilmiah dan kemajuan teknologi terkait dengan penekanan pada kreativitas, inovasi, dan kewirausahaan. Qian Xuesen, bapak ilmu roket Tiongkok ketika itu mengingatkan bahwa universitas-universitas di Cina gagal mendorong kreativitas, keluasan multidisiplin, dan pemikiran inovatif, yang justru menjadi kebutuhan Cina. Juga, bahwa pencapaian seperti itu di universitas-universitas Amerika tidak akan mungkin terjadi tanpa otonomi institusional dan kebebasan akademik. Meskipun nampaknya bukan sifat sistem universitas Cina untuk menetapkan itu sebagai prioritas utama, jelas ada pengakuan bahwa reformasi signifikan sangat diperlukan. Baik mantan Perdana Menteri Zhu Rongji maupun Wen Jiabao mengakui daya saing ekonomi Cina bergantung pada pengembangan pemikiran yang lebih kreatif dan mandiri.

Berhadapan dengan visi besar memajukan pendidikan Cina, bahkan target Cina menjadi pemimpin dunia di bidang sains dan teknologi di tahun 2035, ideologi Marxisme (terutama Komunisme yang secara umum diopinikan “tertutup”), semangat go global dan nilai budaya Konfusianisme yang kental, bagaimana Cina membangun model pendidikannya? Apalagi, jelas model yang dipilihnya adalah pendidikan liberal arts, padahal ia juga berhadapan dengan tantangan menginovasi semua strategi membangun riset teknologi masa depan yang futuristik?

Pertanyaan-pertanyaan di atas akan saya jawab di tulisan berikut, namun saya ingin merumuskan sejumlah poin penting yang telah dibahas, yang menurut saya diperlukan, sebelum kita masuk ke isu pentingnya yaitu, “bagaimana Cina menciptakan model Pendidikan liberalnya?”

Pertama; terdapat visi besar untuk membangun ekonomi Cina dan berpartisipasi dalam kepemimpinan global, dimulai dengan reformasi pendidikan. Visi ini disadari hanya bisa terelasisasi melalui jenis pendidikan yang dapat mendorong kerativitas dan inovasi untuk menciptakan teknologi tinggi dan mengembangkan pengetahuan.

Kedua; untuk mendukung poin pertama di atas perlu dibangun infrastruktur Pendidikan secara masif, mulai dari reformasi struktur, alokasi pendanaan, pengiriman mahasiswa untuk kuliah di luar negeri (terutama Amerika dan Eropa).

Ketiga; secara politik terdapat konsitensi dan sustainabilitas meski terjadi pergantian presiden. Bahkan sejak era sebelumnya, berlanjut setelah Revolusi 1949, dibawah pemerintahan Partai Komunis visi untuk memajukan negara Cina melalui Pendidikan tetap konsiten. Setiap presiden melanjutkan capaian presiden sebelumnya sehingga secara konsisten dan terukur capaian-capaian mudah dievaluasi dan terus dikembangkan.

Tulisan ini ditulis dan di-share 2 Februari 2022 oleh Semuel S. Lusi diaplikasi Facebook.

Link: https://www.facebook.com/real.self.9

Diskusi buku “In Defence of a Liberal Education.”

CCTD UKSW kembali melaksanakan diskusi buku di hari Jumat, 21 Januari 2022 pukul 16.00 WIB -selesai. Diskusi ini dilakukan secara daring dengan pembedah buku, yakni Semuel S. Lusi.

Pembedah menyampaikan latar belakang keterbutuhan akan pendidikan yang membebaskan dalam dunia yang cepat berubah saat ini. Negara di berbagai belahan dunia, berupaya mencari metode dan pendekatan yang tepat dalam dunia pendidikan, untuk menghasilkan generasi penerus yang kreatif, kritis dan inovatif, serta memiliki internalisasi nilai-nilai identitas budaya yang mumpuni.

Fareed Zakaria, seorang penulis dan jurnalis yang sangat terkenal menceritakan bagaimana pendidikan yang membebaskan (liberal education) membebaskan dirinya dalam melihat dunia ini. Fareed Zakaria merupakan kolumnis di The Wasington Post, serta seorang pembawa acara di CNN, mengungkapkan bahwa kebebasan menghantarnya memiliki perpektif yang luas dan dapat bertahan dalam dunia yang cepat berubah.

Menurut Fareed dalam bukunya “in Defence of a Liberal Education”, diawal abad 21 ini model pendidikan liberal arts yang sebenarnya sempat memudar kembali menguat.

Model yang memiliki sejarah panjang, diawali di Yunani sekitar abad 5 SM berhasil dilanjutkan selama kejayaan Romawi. Penyelenggaraannya di istana-istana, biara-biara dan katedral. Selama era skolastik menjadi model, hingga muncul universitas-universitras mula-mula di Maroko, Mesir, Italy, Inggris dan akhisnya sampai Amerika.

Kurikulum dasarnya adalah gramar, logika dan retorika (trivium) lalu aritmetika, geometri,musik dan astronomi (quadrivium). Inti dari kedua dasar kurikulum ini adalah membangun kemampuan observasi realitas dalam kawasan ruang waktu (quadrivium), lalu ditata/disistematisasikan dan dikomunikasikan (rhetorika). Model ini bertahan melintasi berbagai ujian zaman, memasuki era kejayaan di abad renaisans. Menyebar dan menjadi model di Eropa kemudian di Amerika.

Sayangnya, paska revolusi industri secara perlahan mulai memudar lantaran orientasi pendidikan secara umum lebih memberi prioritas kepada pendidikan keahlian spesifik untuk menjawab kebutuhan industri. Model research university muncul di Jerman sebagai “jalan tengah” yang mengintegrasikan riset dan pelatiah keahlian, sehingga sampai diakomodasi di Amerika.

Di abad 19 ciri pendidikan Amerika didominasi model liberal arts. Model ini disebutkan menyebabkan pendidikan Amerika memiliki ciri “unggul” yang membuat iri bangsa lain. Tetapi, rupanya berbagai krisis dan tekanan menyebabkan keberpihakan pemerintah pada mata kuliah liberal arts di berbagai universitas menurun. Bahkan di sejumlah provinsi ditiadakan. Nampaknya ini mengakibatkan terdeteksinya semacam penurunan generasi Amerika. Banyak tuntutan untuk pendidikan liberal arts dikembalikan. Rupanya tren penurunan juga dirasakan di Eropa, yang telah lebih dahulu meninggalkan liberal arts. Di awal abad 21, tren pendidikan liberal arts kembali menguat. Mulai dari Amerika, Eropa Australia, bahkan Asia. Di Asia, terutama Cina, India, Jepang, Korea Selatan cukup gencar menggelorakannya.

Diakhir pemaparan hasil bedahnya, Semuel S. Lusi menyayangkan, bahwa di Indonesia tidak terlihat tanda-tanda adanya kesadaran akan pentingnya pendidikan liberal arts. Dalam buku ini. Fareed menunjukkan bagaimana banyak tokoh berjuang untuk mengembalikan pendidikan liberal arts sebagai model di Amerika. Dan sangat memungkinkan Indonesia menerapkan model tersebut, dengan menyesuaikan dengan konteksnya, sebagaimana dilakukan Singapura, Cina dan India.

Untuk dapat menonton secara lengkap pemaparan materi, dapat dilihat di video berikut.